Persoalan Shalat Empat Puluh Kali (Arba’in) Di Masjid Nawawi Madinah
Bagikan ini :

Bagaimana sebenarnya persoalan shalat empat puluh kali (arba’in) di masjid Nawawi Madinah?

Tidak dapat disangkal bahwa amat banyak hadist Nabi SAW yang menguraikan keutamaan Masjid Nawawi serta ganjaran shalat di Masjid itu. Tetapi hadits yang berbicara tentang ganjaran shalat  empat puluh kali di Masjid itu tidak ditemukan dalam al-Kutub as-Sittah atau al-Shihah as-Sittah (enam Kitab Hadis Shahi atau Standar).

Memang, hadits tentang ganjaran empat puluh kali (arba’in) di Masjid Nawawi ditemukan dalam beberapa kitab hadits, tetapi semua merujuk kepada dua sumber, yakni kitab hadits Musnad Ahmad (jil. III, hlm. 155) karya Imam Ahmad bin Hanbal dan al-Mu’jam al-Awsath (jil. II,, hlm. 32) karya ath-Thabrani.kedua sumber ini menyajikannya dengan satu jalur yang sama, yakni dari seorang bernama al-Hakam bin Musa, yang katanya meriwayatkan dari ‘Abd ar-Rahman bin Abu ar-Rijal, dari Nubayth bin ‘Umar (‘Amr), dari Anas bun Malik, dari Rasulullah SAW yang bersabda “Barang siapa mengerjakan empat puluh shalat dimasjidku dan tidak ketinggalan satupun, maka tercatat baginya (dia memperoleh hak) pembebasan dari neraka, keselamat dari siksa, dan terbebas dari kemunafikan.”

Ath-Thabrani menegaskan bahwa hadits ini hanya diriwayatkan dari Anas oleh Nubayth bin ‘Amr. Kemudian juga pada tingkat Abu ar-Rijal. Yang memprihatinkan adalahbahwa Nubayth bin ‘Amr tidak tikenal sebagaisorang perawi hadits. Dia hanya meriwayatkan satu hadits saja. Karena itu, dia dinilai oleh ulama hadits sebagai seorang yang tidak dikenal (majhul), dan penilaian semacam ini menjadikan hadits yang diriwayatkannya lemah (dha’if). Penilaian atas kelemahan hadits ini dikemukakan oleh banyak ulama. Salah seorang di antaranya adalah Nashir ad-Din al-Albani dalam kitabnya Silsilah al-Ahadits al-Dha’ifah al-Mawdhu’ah (jil. I, jlm. 634).

Memang al-Mundziri dalam at-Traghib wa at-Tarhib (jil. II, hlm. 215) mengemukakan bahwa perawi-perawi yang digunakan Imam Ahmad dalm hadits ini adalah para perawi kitab-kitab shahih. Namun, seperti dikemukakan diatas, hadits ini hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan ath-Thabrani, dan Nubayth bin ‘Amr haynya meriwayatkan satu hadits ini saja. Jadi, bagaimana mungkin dia menjadi perawi kitab-kitab shahih? Dalam Majma’ az-Zawa’id, al-Haytsami juga menyatakan bahwa perawi-perawi hadits ini dapat diterima periwayatannya (tsiqah), tetapi pandangan ini juag perlu diluruskan.

Al-Haytsami biasanya mengambil penilaian yang bersumber dari Ibnu Hibban dalam kitabnya Ats-Tsiqah, sedangkan ulama ini dikenal mempunyai kaidah penilaian tersendiri, yakni mencantumkan dalam kitabnya itu orang-orang yang tidak dikenal identitas atau keahlian dalam bidang hadits. Seakan-akan hal itu (al-jahalah) belum cukup untuk menetapkan tertolaknya riwayat seseorang. Kaidah semacam ini jelas bertentangan dengan kaidah umum para ulama hadits. Tetapi, memang demikian itulah cara Ibnu Hibban, sehingga wajar saja jika dia memasukan nama Nubayth dalam kitabnya yang menghimpun orang-orang yang dapat diterima riwayatnya.

Sebenarnya, ada satu riwayat lain yang bernilai hasan (hampir mencapai tingkat sahih)yang bersumber dari Imam at- Tirmidzi (jil. II,hlm. 7) yang boleh jadi meluruskan kandungan hadits populer di atas. Riwayat itu berbunyi: “barang siapa mengerjakan shalat jamaah selama empat puluh hari karna Allah dan mendapati takbir pembukaan (takbirah al-ihram), maka dicatat baginya dua kebebasan: kebebasan dari neraka dan kebebasan dari kemunafikan”.

Dari sini jelas sudah bahwa hadits yang menjadi pegangan untuk melakukan shalat arba’in adalah hadits yang lemah (dha’if). Tidak sedikit jamaah haji, dan bahkan ulama, yang melaksanakan kandungan hadits shalat arba’in yang populer tetapi lemah ini. Ini disebabkan ada saja sebgain ulama yang membolehkan mengamalkan hadits dha’if tertentu seperti diatas. Sebab, bukankah terdapat banyak anjuran untuk melaksanakan shalat jamaah, apadali dimasjid Nabawi? Kalau demikian, dahih tidaknya hadits itu tidak banyak berpengaruh bagi mereka. Memang, boleh jadi, pelaksanaannya menyulitkan. Dalam konteks ini, perlu dipelajari kandungan hadits diatas sehingga siapa saja yang ingin mengamalkannya tidak mengalami kesulitan.

Seperti terbaca diatas, pelaksanaannya tidak dikaitkan dengan imam tertentu, bahkan dengan tidak mendapatkan takbirah al-ihram. Ini memberi puluang untuk melaksanakannya tanpa harus mengikuti imam tetap (ratib) Masjid Nabawi selama melaksanakan berjamaah, walaupun pada akhir waktunya dan dengan siapa saja di Masjid Nabawi. Wallahu A’lam Bishawab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *