Rebo Wekasan dan Beberapa Amalannya

Hari Rabu terakhir di bulan Shafar atau yang disebut Rabu Wekasan diyakini sebagian orang sebagai Waktu turunnya berbagai macam bala bencana. Seyogianya pada malam tersebut mengisi dengan amalan kebaikan yang bisa mendatangkan rahmat dan ampunan Allah. 

Bulan Safar adalah salah satu bulan dalam kalender Islam yang sering kali dipersepsikan dengan berbagai mitos dan kepercayaan. Bulan ini sering dianggap sebagai bulan yang tidak baik atau dihindari oleh beberapa masyarakat.  Salah satu kepercayaan yang mengakar di masyarakat ialah tentang kesialan di Rebo Wekasan. 

Secara pengertian Rebo Wekasan adalah tradisi yang dilakukan setiap hari Rabu terakhir di bulan Safar dalam kalender Islam atau kalender Hijriah. Tradisi ini dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Jawa. Akar tradisi Rebo Wekasan berasal dari kepercayaan masyarakat Nusantara yang menganggap bahwa bulan Safar adalah bulan yang penuh dengan kesialan. 

Dalam Islam, tidak ada bulan atau waktu yang membawa kesialan atau keberuntungan. Sejatinya semua keberuntungan dan kesialan bergantung pada kehendak Allah SWT, bukan pada bulan atau tanggal tertentu. Lebih jauh lagi, Islam mengajarkan kepada umatnya bahwa nasib baik atau buruk datang dari Allah, bukan dari bulan atau tindakan tertentu selama bulan tertentu. 

Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk menjauhkan diri dari keyakinan atau praktik-praktik yang bertentangan dengan ajaran agama dan mengandalkan Allah dalam semua aspek kehidupan. Hal ini ditegaskan langsung oleh Rasulullah dalam hadits riwayat Imam Bukhari, bahwa tidak ada kesialan dalam bulan Safar. 

لا عَدْوَى ولا طِيَرَةَ ولا هَامةَ ولا صَفَرَ وفِرَّ من المَجْذُومِ كما تَفِرُّ من الأَسَد

Artinya: “Tidak ada penyakit menular, tidak ada ramalan buruk, tidak ada kesialan karena burung hammah, tidak ada sial bulan Safar, dan larilah kamu dari penyakit kusta seperti kamu lari dari singa” (HR. Bukhari). 

Hal ini selaras dengan yang dikatakan oleh Abdurrauf al-Munawiy  dalam kitab Faidh al-Qadir, jilid I, halaman 62 yang mengingatkan bahwa semua hari adalah milik Allah dan tidak ada manfaat atau bahaya dalam mengaitkan hari tertentu dengan kesialan atau keyakinan peramal. 

وَالْحَاصِلُ أَنَّ تَوَقِّيَ يَوْمِ الْأَرْبِعَاءِ عَلَى جِهَةِ الطِّيَرَةِ وَطَنِّ اعْتِقَادِ الْمُنَجِّمِيْنَ حَرَامٌ شَدِيْدَ التَّحْرِيْمِ إِذِ الْأَيَّامُ كُلُّهَا للهِ تَعَالَى لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ بِذَاتِهَا وَبِدُوْنِ ذَلِكَ لَا ضَيْرَ وَلَا مَحْذُوْرَ وَمَنْ تَطَيَّرَ حَاقَتْ بِهِ نَحْوَسَتُهُ وَمَنْ أَيْقَنَ بِأّنَّهُ لَا يَضُرُّ وَلَا يَنْفَعُ إِلَّا اللهُ لَمْ يُؤَثِّرْ فِيْهِ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ

Artinya: “Dan yang dapat disimpulkan adalah bahwa untuk menghindari hari Rabu dengan menganggap sial dan mengikuti keyakinan peramal adalah sangat dilarang, karena semua hari adalah milik Allah yang Maha Tinggi. Kalau bukan karena di atas, maka tidak apa-apa dan tidak dilarang. Barangsiapa meyakini mitos buruk, maka kejadian buruk tersebut benar-benar akan menimpanya. Barangsiapa meyakini bahwa tidak ada yang memberi bahaya dan manfaat kecuali Allah, maka tidak akan terjadi kepadanya keburukan tersebut.”

Kemudian yang menjadi pertanyaan lanjutan adalah tradisi Rebo Wekasan sudah menjadi tradisi budaya di Indonesia yang masih lestari hingga saat ini. Pun tradisi ini merupakan bentuk kearifan lokal yang diwariskan dari nenek moyang terdahulu. Bagaimana pandangan Islam dalam persoalan ini?

Imam Abdurrauf al-Munawiy  dalam kitab Faidh al-Qadir, jilid I, halaman 62 telah menjawab dengan baik, bahwa tradisi amalan yang dikerjakan dalam Rebo Wekasan sejatinya diperbolehkan akan tetapi dengan niat yang baik dan benar, yakni amalan yang dikerjakan bukan karena hari Rabu atau bulan Safar itu bulan sial, tetapi lebih kepada amalan yang mendekatkan diri pada Allah. Misalnya, jika ingin bertaubat, bukan karena takut sial Rebo Wekasan, tetapi karena mensucikan diri dari dosa. Pun ketika shalat, niatkan saja shalat hajat.

وَيَجُوْزُ كَوْنُ ذِكْرِ الْأَرْبِعَاءِ نَحْسٌ عَلَى طَرِيْقِ التَّخْوِيْفِ وَالتَّحْذِيْرِ أَيِ احْذَرُوْا ذَلِكَ الْيَوْمَ لِمَا نَزَلَ فِيْهِ مِنَ الْعَذَابِ وَكَانَ فِيْهِ مِنَ الْهَلَاكِ وَجَدِّدُوْا للهِ تَوْبَةً خَوْفًا أَنْ يَلْحَقَكُمْ فِيْهِ بُؤْسٌ كَمَا وَقَعَ لِمَنْ قَبْلَكُمْ

Artinya: “Diperbolehkan menyebut hari Rabu sebagai “hari sial” dengan tujuan untuk menakut-nakuti dan memperingatkan. Artinya, waspadalah terhadap hari tersebut karena telah turun azab dan kehancuran di dalamnya. Perbaiki taubat kepada Allah, agar tidak menimpamu petaka seperti yang menimpa orang-orang sebelummu.”

Salah satu amalan yang bisa dilakukan di hari Rebo Wekasan adalah pertama, berdoa pada Allah. Sejatinya, bulan Safar dianjurkan untuk memperbanyak doa. Dalam hadits disebutkan bahwa dalam bulan Safar doa akan dikabulkan oleh Allah. Di antara doa yang bisa dibaca adalah ;

  بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ وَصَلىَّ اللهُ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ يَا شَدِيْدَ الْقُوَى وَيَا شَدِيْدَ الْمِحَالِ يَا عَزِيْزُ ذَلَّتْ لِعِزَّتِكَ جَمِيْعُ خَلْقِكَ اِكْفِنِيْ مِنْ جَمِيْعِ خَلْقِكَ يَا مُحْسِنُ يَا مُجَمِّلُ يَا مُتَفَضِّلُ يَا مُنْعِمُ يَا مُكْرِمُ يَا مَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا أَنْتَ اِرْحَمْنِيْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ اللهم بِسِرِّ الْحَسَنِ وَأَخِيْهِ وَجَدِّهِ وَأَبِيْهِ وَأُمِّهِ وَبَنِيْهِ اِكْفِنِيْ شَرَّ هَذَا الْيَوْمِ وَمَا يَنْزِلُ فِيْهِ يَا كَافِيَ الْمُهِمَّاتِ يَا دَافِعَ الْبَلِيَّاتِ فَسَيَكْفِيْكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَحَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ اِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَصَلىَّ اللهُ تَعَالىَ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ الِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

Kedua, membaca istighfar. Istighfar adalah memohon ampun kepada Allah SWT atas segala dosa dan kesalahan yang telah kita lakukan. Istighfar sangat dianjurkan untuk dilakukan oleh setiap muslim, baik itu besar maupun kecil, baik itu disengaja maupun tidak disengaja.

Dalam Al-Qur’an firman Allah SWT dalam surat Hud [11] ayat 90:

وَاسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي رَحِيمٌ وَوَدُودٌ

Artinya: “Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Mencintai.”

Hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA:

مَنْ أَكْثَرَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

Artinya: “Barang siapa yang memperbanyak istighfar, niscaya Allah akan memberikan jalan keluar bagi setiap kesedihannya, kelapangan untuk setiap kesempitannya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (HR. Ahmad).

Ketiga, membaca Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai pedoman hidup. Membaca Al-Qur’an adalah salah satu ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam. Ada banyak sekali keutamaan dan pahala yang besar bagi orang yang membaca Al-Qur’an. Dan mendapatkan pahala yang cukup besar bagi orang yang membacanya. 

من قرأ حرفا من كتاب الله فله به حسنة والحسنة بعشر أمثالها لا أقول آلم حرف ولكن ألف حرف ولام حرف وميم حرف Artinya: “Siapa yang membaca satu huruf dari Kitabullah (Al-Qur’an), maka baginya satu kebaikan. Dan satu kebaikan itu dibalas dengan sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan alif laam mim itu satu huruf. Akan tetapi, alif satu huruf, laam satu huruf, dan mim satu huruf.” (HR. Tirmidzi).

Dalam hadits lain, Rasulullah menyatakan siapa yang memperbanyak membaca Al-Qur’an, niscaya ia tidak akan masuk ke dalam neraka. Nabi bersabda;

من قرأ آيتين من القرآن لم يدخل النار

Artinya: :Barangsiapa yang membaca dua ayat dari Al-Qur’an, maka ia tidak akan dimasukkan ke dalam neraka.”

Dengan demikian, di malam Rebo Wekasan tidak ada salahnya untuk melakukan amalan-amalan kebaikan sebagai bentuk ikhtiar dan memohon ampunan dan perlindungan kepada Allah SWT dari segala macam musibah.  

sumber gambar: www.google.com
Isi Bulan Safar dari Doa hingga Beragam Amalan dengan Pahala Berlipat

Dalam kalender hijriah, Safar adalah bulan kedua setelah Muharram. Safar Safar berarti sunyi, sepi atau kosong. Dahulu, bulan Safar identik dengan kebiasaan masyarakat Arab yang kerap mengosongkan rumahnya untuk berperang atau bepergian. Demikian ini sebagaimana yang dirkemukakan oleh Imam Ibnu Katsir:

صَفَرْ: سُمِيَ بِذَلِكَ لِخُلُوِّ بُيُوْتِهِمْ مِنْهُمْ، حِيْنَ يَخْرُجُوْنَ لِلْقِتَالِ وَالْأَسْفَارِ

Artinya, “Safar dinamakan dengan nama tersebut, karena sepinya rumah-rumah mereka dari mereka, ketika mereka keluar untuk perang dan bepergian.” (Ibnu Katsir, Tafsîrubnu Katsîr, [Dârut Thayyibah, 1999], juz IV, halaman 146).

Dalam kebiasaan sebagian masyarakat zaman dulu, Safar dimaknai dengan bulan sial atau bulan yang penuh dengan musibah yang akan menimpa kepada siapa saja. Sebagai konsekuensinya, masyarakat tersebut enggan melakukan apa pun.

Pandangan semacam ini tidak benar. Karena Nabi Muhammad saw sendiri justru melakukan berbagai hal yang mulia di bulan Safar, misalnya Rasulullah saw melangsungkan pernikahan dengan Sayyidah Khadijah pada bulan Safar, Pernikahan antara Sayyidina Ali dan Sayyidah Fatimah az-Zahra juga di bulan Safar, hijrah Rasulullah saw sendiri dari Makkah ke Madinah bertepatan dengan bulan Safar, peperangan hebat yaitu perang Khaibar terjadi pada bulan Safar, dan kemenangan diraih oleh umat Islam. Dan masih ada beberapa hal yang dilakukan Rasulullah saw di bulan Safar. 

Sejumlah peristiwa di atas dapat ditemukan dalam kitab Mandzûmatu Syarhil Atsar   warada ‘an Syahri Shafar, halaman 9 karya Abu Bakar al-Adni. Keterangan tersebut sekaligus membantah tentang mitos yang ternyata sampai saat ini masih dipercayai di lingkungan masyarakat tertentu. 

Ada banyak pandangan ulama yang menyangkal terhadap anggapan Safar adalah bulan yang sial. Tapi, kiranya penjelasan di atas cukup mewakili. Justru yang semestinya dilakukan oleh masyarakat Muslim khususnya adalah mempersiapkan diri untuk meraih kebaikan-kebaikan dan pahala berlipat di bulan Safar, dan tentu saja juga untuk bulan-bulan lainnya. 

Satu kebaikan yang dapat pertama-tama perlu dilakukan oleh masyarakat Muslim adalah berdoa saat memasuki bulan Safar. Habib Abu Bakar Al-‘Adni dalam kitab yang sama menuliskan tentang doa yang bisa dibaca di bulan Safar. Apapun isi doa yang ia tulis di antaranya memohon keberkahan dan perlindungan Allah swt dari aneka keburukan. Doanya sebagaimana berikut:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ، وَصَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، أَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شَرِّ هٰذَا الزَّمَانِ وَأَهْلِهِ، وَأَسْأَلُكَ بِجَلَالِكَ وَجَلَالِ وَجْهِكَ وَكَمَالِ جَلَالِ قُدْسِكَ أَنْ تُجِيْرَنِيْ وَوَالِدَيَّ وَأَوْلَادِيْ وَأَهْلِيْ وَأَحْبَابِيْ وَمَا تُحِيْطُهُ شَفَقَةُ قَلْبِيْ مِنْ شَرِّ هٰذِهِ السَّنَةِ، وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ فِيْهَا، وَاصْرِفْ عَنِّيْ شَرَّ شَهْرِ صَفَرَ، يَا كَرِيْمَ النَّظَرِ، وَاخْتِمْ لِيْ فِيْ هٰذَا الشَّهْرِ وَالدَّهْرِ بِالسَّلَامَةِ وَالْعَافِيَةِ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَأَوْلَادِيْ وَلِأَهْلِيْ وَمَا تَحُوْطُهُ شَفَقَةُ قَلْبِيْ وَجَمِيْعِ الْمُسْلِمِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

اَللّٰهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ هٰذَا الشَّهْرِ، وَمِنْ كُلِّ شِدَّةٍ وَبَلَاءٍ وبَلِيَّةٍ قَدَّرْتَهَا فِيْهِ يَا دَهْرَ، يَا مَالِكَ الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ، يَا عَالِمًا بِمَا كَانَ وَمَا يَكُوْنُ، وَمَنْ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا قَالَ لَهُ: (كُنْ فَيَكُوْنُ) يَا أَزَلِيُّ يَا أَبَدِيُّ يَا مُبْدِئُ يَا مُعِيْدُ يَاذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ، يَاذَا الْعَرْشِ الْمَجِيْدِ أَنْتَ تَفْعَلُ مَا تُرِيْدُ

اَللّٰهُمَّ احْرِسْ بِعَيْنِكَ أَنْفُسَنَا وَأَهْلَنَا وَأَمْوَالَنَا وَوَالِدِيْنَا وَدِيْنَنَا وَدُنْيَانَا الَّتِيْ ابْتَلَيْتَنَا بِصُحْبَتِهَا، بِبَرَكَةِ الْأَبْرَارِ وَالْأخْيَارِ، وَبِرَحْمَتِكَ يَاعَزِيْزُ يَاغَفَّارُ، يَاكَرِيْمُ يَاسَتَّارُ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللّٰهُمَّ يَا شَدِيْدَ الْقُوَى، وَيَا شَدِيْدَ الْمِحَنِ، يَا عَزِيْزُ ذَلَّتْ لِعِزَّتِكَ جَمِيْعُ خَلْقِكَ، اِكْفِنِيْ مِنْ جَمِيْعِ خَلْقِكَ، يَا مُحْسِنُ يَا مُجْمِلُ يَا مُتَفَضِّلُ يَا مُنْعِمُ يَا مُتَكَرِّمُ، يَا مَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ اِرْحَمْنَا اللّٰهُمَّ بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ أَجْمَعِيْنَ

(Bismilahirrahmanirrahim, wa shallallahu ta’âla ‘ala sayyidina Muhammadin wa ‘ala âlihi wa shahbihi ajma’în. A’ûdzu billahi min syarri hadzaz zaman wa ahlihi, wa as`aluka bi jalâlika wa jalâli wajhika wa kamâli jalâli qudsika an tujîrani wa walidayya wa ahlî wa ahbâbi wa mâ tuhîthuhu syafaqatu qalbi min syarri hadzas sanati, wa qini syarra mâ qhaddaita fîha, washrif ‘anni syarra syahri shafar, yâ Karîman nazhar, wakhtim lî fî hâdzas syahri wad dahri bis salamati wal ‘afiyati lî wa liwâdayya wa aulâdi wa li ahli wa mâ tahûthuhu syafaqatu qalbi wa jamî’il muslimîn, wa shallallahu ta’âla ‘ala sayyidina Muhammadin wa ‘alâ âli wa shahbihi wa sallam.

Allahumma innâ na’udzubika min syarri hadzas syahri, wa min kulli syiddatin wa balâin wa baliyyatin qaddartahâ fîhi yâ dahru, ya mâlikad dunya wal akhirat, ya ‘âliman bima kâna wa mâ yakûnu, wa man idzâ arâda syai`an qâla lahu: (kun fayakûn) yâ azaliyyu ya abadiyyu ya mubdi-u ya mu‘id ya dzal jalâli wal ikrâm, ya dzal ‘arsyil majîd anta taf’alu mâ turîd.

Allahummahris bi ‘anika anfusana wa ahlana wa amwalana wa wâlidina wa dînana wa dunyânal latî ibtalaina bi suhbatiha, bi barakatil abrâri wal akhyâri, wa birahmatika ya ‘azîzu yâ ghaffâru, yâ karîmu yâ sattâru yâ arhamar râhimin.

Allahuma yâ syadîdal qawiyyi wa yâ syadidal mihani, yâ ‘azîzu dzallat li’izzatika jamîu khalkika, ikfîni min jami’i khalkika, yâ Muhsinu yâ Mujmilu yâ Mutafaddhil, yâ Mun’im, ya Mutakarrim, yâ man lâ ilaha illa Anta, irhamnâ allahumma bi rahmatika yâ arhamar rahimîn. Wa shallallahu ta’âla ‘ala sayyidina Muhammadin wa ‘ala âlihi wa shahbihi ajma’în)

Artinya, “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Semoga Allah selalu memberi rahmat kepada Tuan kami, Muhammad SAW dan keluarganya serta sahabatnya semuanya. Aku berlindung dari keburukan zaman ini dan orang-orang yang memiliki keburukan itu, dan aku memohon dengan wasilah keagungan-Mu dan keagungan keridhaan-Mu serta keagungan kesucian-Mu, supaya Engkau melindungiku, kedua orang tuaku, keluargaku, orang-orang yang aku cintai dan sesuatu yang diliputi kasih sayangku, dari keburukan tahun ini, dan cegahlah aku dari keburukan yang telah Engkau tetapkan di dalamnya. Palingkanlah dariku keburukan di bulan Safar, wahai Dzat Yang Memiliki Pandangan Yang Mulia. Akhirilah aku di bulan ini, di waktu ini dengan keselamatan dan sejahtera bagi kedua orang tuaku, anak-anakku, keluargaku, dan sesuatu yang diliputi kasih sayangku seluruhnya. Semoga Allah selalu memberi rahmat dan keselamatan kepada tuan kami Muhammad SAW, dan keluarganya serta sahabatnya.

Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari keburukan bulan ini, dan dari segala kesukaran, bencana dan cobaan yang telah Engkau takdirkan di dalamnya, wahai Ad-Dahr (Allah), wahai sang pemilik dunia dan akhirat, wahai Zat Yang Maha mengetahui sesuatu yang telah terjadi dan yang akan terjadi, wahai Zat yang apabila menghendaki sesuatu mengucapkan: Kun fayakun, Wahai yang Zat yang tidak terikat waktu, wahai Zat yang abadi, wahai Zat yang menciptakan segala sesuatu, wahai Zat yang mengembalikan segala sesuatu, wahai Zat pemilik keagungan dan kemuliaan, wahai Zat pemilik ‘Arsyi yang mulia, Kau maha melakukan apa yang Kau kehendaki.


Ya Allah jagalah diri kami dengan pandangan-Mu, dan keluarga kami, harta kami, orang tua kami, agama kami, dunia yang kami dicoba untuk menghadapinya, dengan wasilah keberkahan orang-orang yang baik dan pilihan, dan dengan kasih sayang-Mu wahai yang maha perkasa, maha pengampun, maha mulia, maha menutup aib, duhai yang paling maha penyayang di antara para penyayang. 


Wahai Allah, wahai Zat yang sungguh amat kuat, Zat yang cobaannya sangat berat, wahai yang maha perkasa, yang mana seluruh mahlukNya tunduk karena keperkasaan-Mu, jagalah aku dari semua mahluk-Mu, wahai yang maha memperbagus, yang maha memperindah, yang maha memberikan keutamaan, yang maha memberikan kemuliaan, Yang Siapa tiada tuhan kecuali Engkau, kasih sayangilah kami dengan rahmat-Mu wahai Zat paling penyayang di antara para penyayang. Semoga Allah selalu memberi rahmat dan kepada tuan kami Muhammad SAW, dan keluarganya serta sahabatnya semua”.


Selain doa di atas, hendaknya umat Islam mengisi amal ibadah yang pahalanya berlipat-lipat. Pada Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim disebutkan:


عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فِيْمَا يَرْوِي عَنْ رَبِّهِ ، تَبَارَكَ وَتَعَالَى، قَالَ: إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ، ثُمَّ بَيَّنَ ذلِكَ. فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَها اللهُ تَبَارَكَ وتَعَالى عِنْدَهُ حَسَنَةً كامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ عَشْرَ حَسَناتٍ إِلى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلى أَضعَافٍ كَثيرةٍ. وَإِنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ تَعَالَى عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلةً، وَإنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ سَيِّئَةً وَاحِدَة. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ


Artinya, “Diriwayatkan dari Abul Abbas yaitu Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthallib ra, dari Rasulullah saw dalam hadits yang diriwayatkannya dari Tuhannya, tabaraka wa ta’ala, Rasulullah saw bersabda: ‘Sungguh Allah telah memastikan banyak kebaikan dan keburukan, lalu beliau menjelaskannya. Maka siapa saja yang bertekad melakukan satu kebaikan, lalu ia tidak melakukannya, meskipun begitu tetap Allah tabaraka wa ta’ala pastikan satu kebaikan yang sempurna baginya di sisi-Nya; dan siapa saja yang bertekad melakukan satu kebaikan, lalu ia melakukannya, maka Allah pastikan 10 kebaikan, sampai 700 kebaikan, sampai kebaikan yang banyak dan berlipat ganda. Jika ia bertekad melakukan satu keburukan, lalu ia tidak melakukannya, maka Allah ta’ala pastikan satu kebaikan yang sempurna untuknya di sisi-Nya; dan jika ia bertekad melakukan satu keburukan, lalu ia tidak melakukannya, maka hanya Allah pastikan satu keburukan untuknya.” (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim).


Hadits dapat disimpulkan bahwa ada tiga poin utama berkaitan dengan amal kebaikan yang pahalanya berlipat ganda. Pertama, amal kebaikan yang pahalanya 10 kali lipat. Kedua, amal kebaikan yang pahalanya 700 kali lipat. Ketiga, amal kebaikan yang pahalanya sangat banyak lebih dari 700 kali lipat.


Menurut Imam an-Nawawi, atas dasar rahmat Allah setiap kebaikan itu pasti pahalanya dilipatgandakan sampai 10 kali lipat. Maka amal kebaikan apa pun pahalanya otomatis 10 kali lipatnya. Ini seiring dengan firman Allah:


مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا


Artinya, “Siapa saja yang datang dengan kebaikan, maka ia mendapatkan pahala 10 kali lipatnya.” (Surat Al-An’am ayat 16).
 

Demikian dijelaskan oleh Syekh Muhammad bin Abdillah al-Jurdani dalam kitabnya alJawahir alLu’lu’iyah halaman 319.


Sementara di antara amal kebaikan yang pahalanya 700 kali lipat adalah donasi untuk perjuangan jihad fi sabilillah. Dalam hal ini Nabi bersabda:


مَنْ أَرْسَلَ نَفَقَةً فِي سَبِيلِ اللهِ وَأَقَامَ فِي بَيْتِهِ، فَلَهُ بِكُلِّ دِرْهَمٍ سَبْعُمِائَةِ دِرْهَمٍ


Artinya, “Siapa saja yang mengirim donasi infak untuk perjuangan jihad fi sabilillah sementara ia sendiri hanya diam di rumah (tidak ikut berangkat berjuang), maka baginya setiap donasi satu dirham mendapatkan pahala 700 dirham.” (Hadits riwayat Ibnu Majah dan Al-Mundziri).


Amal kebaikan yang pahalanya 700 kali lipat ini tidak hanya donasi untuk perjuangan jihad fi sabilillah, namun bersifat umum. Amal apa saja sesuai dengan tingkat keikhlasan, kekhusyukan, kemanfaatan bagi orang lain dan semisalnya. Demikian menurut penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari, juz II halaman 326. Ini sesuai sabda Nabi Muhammad saw:


كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ، اَلْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ


Artinya, “Setiap amal manusia dilipatgandakan pahalanya 10 sampai 700 kali lipat.” (Hadits riwayat Imam Muslim).


Adapun amal kebaikan yang pahalanya sangat banyak lebih dari 700 kali lipat sampai tak terhingga. Di antaranya adalah membaca dzikir masuk pasar, dalam konteks sekarang masuk mall, dan semisalnya. Nabi Muhammad saw bersabda:


مَنْ دَخَلَ السُّوقَ فَقَالَ : لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ، وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوْتُ، بِيَدِهِ الْخَيْرُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ؛ كَتَبَ اللهُ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ حَسَنَةٍ، وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ أَلْفِ سَيِّئَةٍ، وَرَفَعَ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ دَرَجَةٍ. رواه الحاكم


Artinya, “Siapa saja yang masuk ke pasar lalu membaca dzikir yang artinya: ‘Tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya pujian, Allah Dzat yang menghidupkan dan yang membinasakan, Allah Dzat adalah Yang Maha Hidup yang tidak akan pernah binasa, hanya pada kekuasan-Nya lah kebaikan, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu’; maka Allah pastikan bagi orang yang membacanya itu sejuta kebaikan, Allah lebur darinya sejuta keburukan, dan Allah angkat baginya sejuta derajat.” (Hadits riwayat al-Hakim)

Merujuk penelitian Al-Hafizh Al-Mudziri sanad hadits ini adalah hasan atau baik, sebagaimana dijelaskan dalam kitabnya AtTarghib wat Tarhib, juz II, halaman 337.

*Artikel ini diolah tulisan yang dimuat di NU Online dengan judul Doa Bulan Safar dan Khutbah Jumat: Amal Pilihan Bulan Safar

Kifayatul Atqiya’: Perintah Menyebut Nama Allah

Bagi siapa saja yang hobi menekuri kitab-kitab turots pasti sudah begitu akrab dengan nama Syaikh Muhammad Syata ad-Dimyathi. Dialah Ulama cemerlang pengarang kitab I’anatut Tholibin yang sangat masyhur itu.Nama utuhnya adalah Sayyid  Bakr Al-Maky Ibnul `Arif billah As-Sayyid Muhammad Syata Ad-Dimyathi Al-Syafii. Imbuhan As-Syafi’i menyuratkan bahwasanya beliau termasuk penganut madzab Imam Syafi’i.

Membincangkan produktifitasnya dalam menulis kitab, karangan-karangan beliau sudah bejibun dalam berbagai bidang keilmuan, tak terkecuali juga anggitanya dalam babakan tasawuf.

Diceritakan, mulanya beliau diminta oleh sebagian santri-santrinya untuk menuliskan sebuah syarah tipis dari kitab yang bernama Hidayatul Adzkiya ila Thoriqil Auliya milik ulama keturunan India Syaikh Zainudin ibn syaikh Ali ibn Syaikh Ahmad Al-Ma’bariy. Dengan segala kerendahan hati beliau akhirnya memohon pertolongan dan bimbingan kepada Allah semoga dapat menunaikan permintaan tersebut seraya berdoa agar dimasukan ke jalan hamba-hamba-Nya penempuh laku tasawuf.

Walhasil, dinamailah kitab itu Kifayatul Atqiya wa Minhajul Asfiya. Dari penuturan beliau sendiri, kesemua muatan ajaran yang tertuang di dalamnya tak lain adalah nukilan dari petuah para ulama, perkataan orang-orang saleh dan nasehat para arif billah.

Pentingnya membaca Bismillah

Petikan nilai pertama yang diajarkan dalam kitab ini berkait tentang pentingnya menyebut nama Allah yang terejewantahkan dalam lafadz bismillah. Utusan terpilih akhir zaman—Nabi Muhammad saw—juga memerintahkan agar senantiasa mengawali segala perbuatan dengan menyebut Bismilah, karena pada permulaan yang disertai dengan ucapan tersebut terkandung banyak keberkahan dan nikmat yang agung. Dan lagi, karena yang sedemikian itu tergolong orang-orang yang mendapatkan hidayah, didekatkan kepada keridhaan dan dijauhkan dari marah bahaya-Nya.

Dikatakan, kalau Ba’ dalam lafadz Bismillah bermakna Baha’ullah (Keindahan Allah), lalu Shin sendiri bermakna Sanaullah (Keagungan Allah) sedang mim nya memeiliki arti Majdullah (keluhuran Allah). Kali lain ada yang memeram pretelan huruf ini dengan arti, Bakauttaibin (tangisanya orang yang bertaubat), Sahwul ghofilin (lalainya orang yang lupa) dan Magfirotullah lilmudznibin (ampunan Allah bagi yang berdosa).

Bertaut pada tema yang sama, saduran dari para ahli tasawuf menguraikan: Seandainya Allah swt telah menitipkan segala rupa ilmu-Nya di dunia ini dalam satu huruf yaitu Ba’ yang termanifestasikan dalam Biy (NamaKu). Sudah barang tentu hal ini sangat enigmatik dan mengundang beragam pertanyaan bagi siapa pun.

Ternyata jawaban untuk kegamangan ini terbubuh dalam kalimat apik berikut ini:

بى كان ما كان بى يكون ما يكون (Dengan menyebut namaKu—Allah—apa yang sudah ada pasti ada dan yang akan ada pasti akan ada).

Jika kita coba merenung pikirkan kalimat sarat makna di atas rupanya betul betul sudah menjawab pertanyaan yang mengelukan pening tadi. Bagaimana tidak? apapun yang ada di dunia ini—aku, kamu, dia, dan bumi seisinya tak terkecuali itu ilmu (silahkan teruskan sendiri)—tak lain dan tak bukan hasil dari konsekuensi baku atau akibat otomatis dari sebab firman Allah Kun fayakun (jadi maka jadilah). Ya, sesederhana itu penjelasanya. Karena wujudnya semua alam ini sebab Aku dan bukan selainKu.

Tak heran bila seorang yang menjalani laku tasawuf kerap kali merogoh sari arti sampai palung paling dasar, memandang segala sesuatunya berdasarkan nilai terdalam, dia tidak berhenti hanya di kulit saja.

ما نظرت فى شيء الا رايت الله فيه او قبله

“Aku tidak melihat ke dalam sesuatu kecuali aku memandang Allah di dalamnya ataupun sebelumnya.”

Sampai di sini, berarti sanad keilmuan–yang kita sebut dengan diskursus genealogi–ternyata semua muaranya pada lafadz Biy—namaKu.

Pewarta: Alima Sri Sutami Mukti

Editor: Nida Millatissaniyah

Puasa Asyura: Sejarah, Keutamaan dan Amalan Lainnya

Bulan Muharram merupakan salah satu bulan mulia yang memiliki sejarah dan keutamaan yang luar biasa. Umat Islam bahkan diajurkan untuk memperbanyak ibadah kepada Allah sebagai pengingat dan motivasi untuk memulai menjadi pribadi yang lebih baik di tahun baru.

Ustadz Muhammad Ali Fikri dalam tulisannya menjelaskan, Pada bulan Muharram ini—termasuk dalam bulan-bulan yang haram (asyhurul hurum)—Allah memiliki suatu hari, yang merupakan hari mulia dalam Islam. Hari itu adalah hari Asyura. Banyak kejadian, hal-hal penting, yang berhubungan dengan bulan ini. 

“Asyura diambil dari kata Asyirah (kesepuluh) untuk pleonastis (yang dilebih-lebihkan) dan diagungkan. Sedangkan pendapat yang kedua adalah pendapat yang paling banyak yaitu, kata Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram,”

Dari sahabat Abdullah bin Abbas radliyallahu ‘anh beliau berkata: “Tatkala Nabi Muhammad ﷺ datang ke kota Madinah, beliau mendapati kaum Yahudi sedang berpuasa di hari Asyura, lantas beliau bersabda kepada mereka, ‘Hari apa yang kalian sedang berpuasa ini?’   


Mereka menjawab, ‘Hari ini adalah hari yang agung. Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya pada hari ini dan menenggelamkan Fir’aun beserta pasukannya. Maka Musa berpuasa pada hari ini sebagai rasa syukur dan kami turut berpuasa.’   

Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Maka kami dengan Musa lebih berhak dan lebih utama daripada kalian.’ Maka Rasulullah ﷺ berpuasa dan memerintahkan berpuasa.” (HR Bukhari dan Muslim).   


Konon katanya, kaum Quraisy juga berpuasa pada hari Asyura.   


Disebutkan dalam riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim bahwa Sayyidah Aisyah radliyallahu ‘anha berkata: “Dulu kaum Quraisy berpuasa Asyura pada masa jahiliah. Kemudian Rasulullah ﷺ memerintahkan berpuasa Asyura pula, hingga diwajibkan puasa Ramadhan.   

Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Barang siapa yang berkehendak (ingin berpuasa), maka silakan berpuasa. Dan barang siapa yang berkehendak (tak ingin berpuasa), maka tidak berpuasa.”   

Tak hanya puasa Asyura yang dianjurkan, puasa Tasu’a (hari kesembilan dari bulan Muharam) dan hari kesebelas pun juga diperintahkan oleh Nabi Muhammad ﷺ untuk berpuasa juga. Hal ini guna untuk membedakan antara ritual ibadah orang Muslim dan kaum Yahudi.   

Diriwayatkan oleh sahabat Abdullah bin Abbas radliyallahu ‘anh beliau berkata: “Nabi Muhammad ﷺ beliau bersabda, ‘Jika aku masih hidup hingga tahun depan, pasti aku akan berpuasa pada hari kesembilan’” (HR Muslim).   


Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dari sahabat Ibnu Abbas radliyallahu ‘anh, marfu‘ (disandarkan kepada Nabi Muhammad ﷺ) berkata, “Puasalah pada hari Asyura dan bedakanlah diri kalian dengan kaum Yahudi. Puasalah sehari sebelumnya atau setelahnya.”   

Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Um dan al-Imla’ menegaskan bahwa disunahkan berpuasa 3 hari; puasa Asyura, Tasu’a dan puasa hari kesebelas.   

Berdasarkan riwayat tersebut, Ustadz Ali Fikri menyimpulkan  bahwa puasa Asyura itu ada 3 tingkatan: Tingkatan yang paling rendah ialah puasa Asyura saja, kemudian atasnya adalah puasa Asyura dan puasa Tasu’a, dan yang terakhir, tingkatan yang paling tinggi adalah puasa Asyura, Tasu’a dan puasa hari kesebelas (bulan Muharram).

Lafadz Niat Puasa Tasu‘a (9 Muharram) dan Asyura (10 Muharam)

Niat merupakan salah satu rukun puasa dan ibadah lain pada umumnya. Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa segala sesuatu itu bergantung pada niat. Saat niat di dalam hati seseorang menyatakan maksudnya, dalam hal ini berpuasa (qashad). Di samping  qashad, seseorang juga menyebutkan hukum wajib atau sunah perihal ibadah yang akan dilakukan. Hal ini disebut ta’arrudh. Sedangkan hal lain yang mesti diingat saat niat adalah penyebutan nama ibadahnya (ta’yin). Dalam konteks puasa sunah Tasu‘a (9 Muharram) dan Asyura (10 Muharram), ulama berbeda pendapat perihal ta‘yin. Sebagian ulama menyatakan bahwa seseorang harus mengingat ‘puasa sunah Asyura’ saat niat di dalam batinnya. Sedangkan sebagian ulama lain menyatakan bahwa tidak wajib ta’yin. Hal ini dijelaskan oleh Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami sebagai berikut.

وْلُهُ نَعَمْ بَحَثَ إلَخْ ) عِبَارَةُ الْمُغْنِي وَالنِّهَايَةِ وَالْأَسْنَى فَإِنْ قِيلَ قَالَ فِي الْمَجْمُوعِ هَكَذَا أَطْلَقَهُ الْأَصْحَابُ وَيَنْبَغِي اشْتِرَاطُ التَّعْيِينِ فِي الصَّوْمِ الرَّاتِبِ كَعَرَفَةَ وَعَاشُورَاءَ وَأَيَّامِ الْبِيضِ وَسِتَّةٍ مِنْ شَوَّالٍ كَرَوَاتِبِ الصَّلَاةِ أُجِيبُ بِأَنَّ الصَّوْمَ فِي الْأَيَّامِ الْمَذْكُورَةِ مُنْصَرِفٌ إلَيْهَا بَلْ لَوْ نَوَى بِهِ غَيْرَهَا حَصَلَ أَيْضًا كَتَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ وُجُودُ صَوْمٍ فِيهَا ا هـ زَادَ شَيْخُنَا وَبِهَذَا فَارَقَتْ رَوَاتِبَ الصَّلَوَاتِ ا ه

Artinya, “Perkataan ‘Tetapi mencari…’ merupakan ungkapan yang digunakan di Mughni, Nihayah, dan Asna. Bila ditanya, Imam An-Nawawi berkata di Al-Majmu‘, ‘Ini yang disebutkan secara mutlak oleh ulama Syafi’iyyah. Semestinya disyaratkan ta’yin (penyebutan nama puasa di niat) dalam puasa rawatib seperti puasa ‘Arafah, puasa Asyura, puasa bidh (13,14, 15 setiap bulan Hijriyah), dan puasa enam hari Syawwal seperti ta’yin dalam shalat rawatib’. Jawabnya, puasa pada hari-hari tersebut sudah diatur berdasarkan waktunya. Tetapi kalau seseorang berniat puasa lain di waktu-waktu tersebut, maka ia telah mendapat keutamaan sunah puasa rawatib tersebut. Hal ini serupa dengan sembahyang tahiyyatul masjid. Karena tujuan dari perintah puasa rawatib itu adalah pelaksanaan puasanya itu sendiri terlepas apapun niat puasanya. Guru kami menambahkan, di sinilah bedanya puasa rawatib dan sembahyang rawatib,” (Lihat Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj) Untuk memantapkan hati, ulama menganjurkan seseorang untuk melafalkan niatnya.

Berikut ini contoh lafal niat puasa Tasu‘a.

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ التَا سُوعَاء لِلهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma ghadin ‘an adâ’i sunnatit Tasû‘â lillâhi ta‘âlâ.

Artinya, “Aku berniat puasa sunah Tasu‘a esok hari karena Allah SWT.”

Sedangkan contoh lafal niat puasa sunah Asyura sebagai berikut.

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ ِعَا شُورَاء لِلهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma ghadin ‘an adâ’i sunnatil âsyûrâ lillâhi ta‘âlâ.

Artinya, “Aku berniat puasa sunah Asyura esok hari karena Allah SWT.” Orang yang mendadak di pagi hari ingin mengamalkan sunah puasa Tasu’a atau Asyura diperbolehkan berniat sejak ia berkehendak puasa sunah. Karena kewajiban niat di malam hari hanya berlaku untuk puasa wajib (menurut madzhab Syafi’i). Untuk puasa sunah, niat boleh dilakukan di siang hari sejauh yang bersangkutan belum makan, minum, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa sejak subuh.

Ia juga dianjurkan untuk melafalkan niat puasa Tasu’a atau Asyura di siang hari. Berikut ini lafalnya.

نَوَيْتُ صَوْمَ هَذَا اليَوْمِ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ التَا سُوعَاء أو عَا شُورَاء لِلهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma hâdzal yaumi ‘an adâ’i sunnatit Tasû‘â awil âsyûrâ lillâhi ta‘âlâ Artinya,

“Aku berniat puasa sunah Tasu’a atau Asyura hari ini karena Allah SWT.” Wallahu a’lam.

Sumber: nu.or.id

___