Kifayatul Atqiya’: Perintah Menyebut Nama Allah

Bagi siapa saja yang hobi menekuri kitab-kitab turots pasti sudah begitu akrab dengan nama Syaikh Muhammad Syata ad-Dimyathi. Dialah Ulama cemerlang pengarang kitab I’anatut Tholibin yang sangat masyhur itu.Nama utuhnya adalah Sayyid  Bakr Al-Maky Ibnul `Arif billah As-Sayyid Muhammad Syata Ad-Dimyathi Al-Syafii. Imbuhan As-Syafi’i menyuratkan bahwasanya beliau termasuk penganut madzab Imam Syafi’i.

Membincangkan produktifitasnya dalam menulis kitab, karangan-karangan beliau sudah bejibun dalam berbagai bidang keilmuan, tak terkecuali juga anggitanya dalam babakan tasawuf.

Diceritakan, mulanya beliau diminta oleh sebagian santri-santrinya untuk menuliskan sebuah syarah tipis dari kitab yang bernama Hidayatul Adzkiya ila Thoriqil Auliya milik ulama keturunan India Syaikh Zainudin ibn syaikh Ali ibn Syaikh Ahmad Al-Ma’bariy. Dengan segala kerendahan hati beliau akhirnya memohon pertolongan dan bimbingan kepada Allah semoga dapat menunaikan permintaan tersebut seraya berdoa agar dimasukan ke jalan hamba-hamba-Nya penempuh laku tasawuf.

Walhasil, dinamailah kitab itu Kifayatul Atqiya wa Minhajul Asfiya. Dari penuturan beliau sendiri, kesemua muatan ajaran yang tertuang di dalamnya tak lain adalah nukilan dari petuah para ulama, perkataan orang-orang saleh dan nasehat para arif billah.

Pentingnya membaca Bismillah

Petikan nilai pertama yang diajarkan dalam kitab ini berkait tentang pentingnya menyebut nama Allah yang terejewantahkan dalam lafadz bismillah. Utusan terpilih akhir zaman—Nabi Muhammad saw—juga memerintahkan agar senantiasa mengawali segala perbuatan dengan menyebut Bismilah, karena pada permulaan yang disertai dengan ucapan tersebut terkandung banyak keberkahan dan nikmat yang agung. Dan lagi, karena yang sedemikian itu tergolong orang-orang yang mendapatkan hidayah, didekatkan kepada keridhaan dan dijauhkan dari marah bahaya-Nya.

Dikatakan, kalau Ba’ dalam lafadz Bismillah bermakna Baha’ullah (Keindahan Allah), lalu Shin sendiri bermakna Sanaullah (Keagungan Allah) sedang mim nya memeiliki arti Majdullah (keluhuran Allah). Kali lain ada yang memeram pretelan huruf ini dengan arti, Bakauttaibin (tangisanya orang yang bertaubat), Sahwul ghofilin (lalainya orang yang lupa) dan Magfirotullah lilmudznibin (ampunan Allah bagi yang berdosa).

Bertaut pada tema yang sama, saduran dari para ahli tasawuf menguraikan: Seandainya Allah swt telah menitipkan segala rupa ilmu-Nya di dunia ini dalam satu huruf yaitu Ba’ yang termanifestasikan dalam Biy (NamaKu). Sudah barang tentu hal ini sangat enigmatik dan mengundang beragam pertanyaan bagi siapa pun.

Ternyata jawaban untuk kegamangan ini terbubuh dalam kalimat apik berikut ini:

بى كان ما كان بى يكون ما يكون (Dengan menyebut namaKu—Allah—apa yang sudah ada pasti ada dan yang akan ada pasti akan ada).

Jika kita coba merenung pikirkan kalimat sarat makna di atas rupanya betul betul sudah menjawab pertanyaan yang mengelukan pening tadi. Bagaimana tidak? apapun yang ada di dunia ini—aku, kamu, dia, dan bumi seisinya tak terkecuali itu ilmu (silahkan teruskan sendiri)—tak lain dan tak bukan hasil dari konsekuensi baku atau akibat otomatis dari sebab firman Allah Kun fayakun (jadi maka jadilah). Ya, sesederhana itu penjelasanya. Karena wujudnya semua alam ini sebab Aku dan bukan selainKu.

Tak heran bila seorang yang menjalani laku tasawuf kerap kali merogoh sari arti sampai palung paling dasar, memandang segala sesuatunya berdasarkan nilai terdalam, dia tidak berhenti hanya di kulit saja.

ما نظرت فى شيء الا رايت الله فيه او قبله

“Aku tidak melihat ke dalam sesuatu kecuali aku memandang Allah di dalamnya ataupun sebelumnya.”

Sampai di sini, berarti sanad keilmuan–yang kita sebut dengan diskursus genealogi–ternyata semua muaranya pada lafadz Biy—namaKu.

Pewarta: Alima Sri Sutami Mukti

Editor: Nida Millatissaniyah

Puasa Asyura: Sejarah, Keutamaan dan Amalan Lainnya

Bulan Muharram merupakan salah satu bulan mulia yang memiliki sejarah dan keutamaan yang luar biasa. Umat Islam bahkan diajurkan untuk memperbanyak ibadah kepada Allah sebagai pengingat dan motivasi untuk memulai menjadi pribadi yang lebih baik di tahun baru.

Ustadz Muhammad Ali Fikri dalam tulisannya menjelaskan, Pada bulan Muharram ini—termasuk dalam bulan-bulan yang haram (asyhurul hurum)—Allah memiliki suatu hari, yang merupakan hari mulia dalam Islam. Hari itu adalah hari Asyura. Banyak kejadian, hal-hal penting, yang berhubungan dengan bulan ini. 

“Asyura diambil dari kata Asyirah (kesepuluh) untuk pleonastis (yang dilebih-lebihkan) dan diagungkan. Sedangkan pendapat yang kedua adalah pendapat yang paling banyak yaitu, kata Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram,”

Dari sahabat Abdullah bin Abbas radliyallahu ‘anh beliau berkata: “Tatkala Nabi Muhammad ﷺ datang ke kota Madinah, beliau mendapati kaum Yahudi sedang berpuasa di hari Asyura, lantas beliau bersabda kepada mereka, ‘Hari apa yang kalian sedang berpuasa ini?’   


Mereka menjawab, ‘Hari ini adalah hari yang agung. Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya pada hari ini dan menenggelamkan Fir’aun beserta pasukannya. Maka Musa berpuasa pada hari ini sebagai rasa syukur dan kami turut berpuasa.’   

Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Maka kami dengan Musa lebih berhak dan lebih utama daripada kalian.’ Maka Rasulullah ﷺ berpuasa dan memerintahkan berpuasa.” (HR Bukhari dan Muslim).   


Konon katanya, kaum Quraisy juga berpuasa pada hari Asyura.   


Disebutkan dalam riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim bahwa Sayyidah Aisyah radliyallahu ‘anha berkata: “Dulu kaum Quraisy berpuasa Asyura pada masa jahiliah. Kemudian Rasulullah ﷺ memerintahkan berpuasa Asyura pula, hingga diwajibkan puasa Ramadhan.   

Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Barang siapa yang berkehendak (ingin berpuasa), maka silakan berpuasa. Dan barang siapa yang berkehendak (tak ingin berpuasa), maka tidak berpuasa.”   

Tak hanya puasa Asyura yang dianjurkan, puasa Tasu’a (hari kesembilan dari bulan Muharam) dan hari kesebelas pun juga diperintahkan oleh Nabi Muhammad ﷺ untuk berpuasa juga. Hal ini guna untuk membedakan antara ritual ibadah orang Muslim dan kaum Yahudi.   

Diriwayatkan oleh sahabat Abdullah bin Abbas radliyallahu ‘anh beliau berkata: “Nabi Muhammad ﷺ beliau bersabda, ‘Jika aku masih hidup hingga tahun depan, pasti aku akan berpuasa pada hari kesembilan’” (HR Muslim).   


Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dari sahabat Ibnu Abbas radliyallahu ‘anh, marfu‘ (disandarkan kepada Nabi Muhammad ﷺ) berkata, “Puasalah pada hari Asyura dan bedakanlah diri kalian dengan kaum Yahudi. Puasalah sehari sebelumnya atau setelahnya.”   

Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Um dan al-Imla’ menegaskan bahwa disunahkan berpuasa 3 hari; puasa Asyura, Tasu’a dan puasa hari kesebelas.   

Berdasarkan riwayat tersebut, Ustadz Ali Fikri menyimpulkan  bahwa puasa Asyura itu ada 3 tingkatan: Tingkatan yang paling rendah ialah puasa Asyura saja, kemudian atasnya adalah puasa Asyura dan puasa Tasu’a, dan yang terakhir, tingkatan yang paling tinggi adalah puasa Asyura, Tasu’a dan puasa hari kesebelas (bulan Muharram).

Lafadz Niat Puasa Tasu‘a (9 Muharram) dan Asyura (10 Muharam)

Niat merupakan salah satu rukun puasa dan ibadah lain pada umumnya. Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa segala sesuatu itu bergantung pada niat. Saat niat di dalam hati seseorang menyatakan maksudnya, dalam hal ini berpuasa (qashad). Di samping  qashad, seseorang juga menyebutkan hukum wajib atau sunah perihal ibadah yang akan dilakukan. Hal ini disebut ta’arrudh. Sedangkan hal lain yang mesti diingat saat niat adalah penyebutan nama ibadahnya (ta’yin). Dalam konteks puasa sunah Tasu‘a (9 Muharram) dan Asyura (10 Muharram), ulama berbeda pendapat perihal ta‘yin. Sebagian ulama menyatakan bahwa seseorang harus mengingat ‘puasa sunah Asyura’ saat niat di dalam batinnya. Sedangkan sebagian ulama lain menyatakan bahwa tidak wajib ta’yin. Hal ini dijelaskan oleh Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami sebagai berikut.

وْلُهُ نَعَمْ بَحَثَ إلَخْ ) عِبَارَةُ الْمُغْنِي وَالنِّهَايَةِ وَالْأَسْنَى فَإِنْ قِيلَ قَالَ فِي الْمَجْمُوعِ هَكَذَا أَطْلَقَهُ الْأَصْحَابُ وَيَنْبَغِي اشْتِرَاطُ التَّعْيِينِ فِي الصَّوْمِ الرَّاتِبِ كَعَرَفَةَ وَعَاشُورَاءَ وَأَيَّامِ الْبِيضِ وَسِتَّةٍ مِنْ شَوَّالٍ كَرَوَاتِبِ الصَّلَاةِ أُجِيبُ بِأَنَّ الصَّوْمَ فِي الْأَيَّامِ الْمَذْكُورَةِ مُنْصَرِفٌ إلَيْهَا بَلْ لَوْ نَوَى بِهِ غَيْرَهَا حَصَلَ أَيْضًا كَتَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ وُجُودُ صَوْمٍ فِيهَا ا هـ زَادَ شَيْخُنَا وَبِهَذَا فَارَقَتْ رَوَاتِبَ الصَّلَوَاتِ ا ه

Artinya, “Perkataan ‘Tetapi mencari…’ merupakan ungkapan yang digunakan di Mughni, Nihayah, dan Asna. Bila ditanya, Imam An-Nawawi berkata di Al-Majmu‘, ‘Ini yang disebutkan secara mutlak oleh ulama Syafi’iyyah. Semestinya disyaratkan ta’yin (penyebutan nama puasa di niat) dalam puasa rawatib seperti puasa ‘Arafah, puasa Asyura, puasa bidh (13,14, 15 setiap bulan Hijriyah), dan puasa enam hari Syawwal seperti ta’yin dalam shalat rawatib’. Jawabnya, puasa pada hari-hari tersebut sudah diatur berdasarkan waktunya. Tetapi kalau seseorang berniat puasa lain di waktu-waktu tersebut, maka ia telah mendapat keutamaan sunah puasa rawatib tersebut. Hal ini serupa dengan sembahyang tahiyyatul masjid. Karena tujuan dari perintah puasa rawatib itu adalah pelaksanaan puasanya itu sendiri terlepas apapun niat puasanya. Guru kami menambahkan, di sinilah bedanya puasa rawatib dan sembahyang rawatib,” (Lihat Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj) Untuk memantapkan hati, ulama menganjurkan seseorang untuk melafalkan niatnya.

Berikut ini contoh lafal niat puasa Tasu‘a.

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ التَا سُوعَاء لِلهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma ghadin ‘an adâ’i sunnatit Tasû‘â lillâhi ta‘âlâ.

Artinya, “Aku berniat puasa sunah Tasu‘a esok hari karena Allah SWT.”

Sedangkan contoh lafal niat puasa sunah Asyura sebagai berikut.

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ ِعَا شُورَاء لِلهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma ghadin ‘an adâ’i sunnatil âsyûrâ lillâhi ta‘âlâ.

Artinya, “Aku berniat puasa sunah Asyura esok hari karena Allah SWT.” Orang yang mendadak di pagi hari ingin mengamalkan sunah puasa Tasu’a atau Asyura diperbolehkan berniat sejak ia berkehendak puasa sunah. Karena kewajiban niat di malam hari hanya berlaku untuk puasa wajib (menurut madzhab Syafi’i). Untuk puasa sunah, niat boleh dilakukan di siang hari sejauh yang bersangkutan belum makan, minum, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa sejak subuh.

Ia juga dianjurkan untuk melafalkan niat puasa Tasu’a atau Asyura di siang hari. Berikut ini lafalnya.

نَوَيْتُ صَوْمَ هَذَا اليَوْمِ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ التَا سُوعَاء أو عَا شُورَاء لِلهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma hâdzal yaumi ‘an adâ’i sunnatit Tasû‘â awil âsyûrâ lillâhi ta‘âlâ Artinya,

“Aku berniat puasa sunah Tasu’a atau Asyura hari ini karena Allah SWT.” Wallahu a’lam.

Sumber: nu.or.id

___

Memetik Nilai Parenting dalam Dialog Nabi Ibrahim dan Ismail

Di era modern saat ini, seorang anak yang lahir tak boleh dianggap sebagai konsekuensi logis dari hubungan biologis dari kedua orang tuanya. Pandangan dan sikap semacam ini akan melepaskan segala macam bentuk perhatian yang seharusnya diberikan kepada anak. Penting bagi orang tua untuk bentuk-bentuk pendidikan keluarga yang saat ini sering disebut sebagai ilmu parenting.  Ketidakpahaman orang tua akan ilmu parenting akan berakibat buruk bagi kehidupan anak. Tidak mengherankan jika anak di kemudian hari menjadi sumber fitnah dan ujian bagi kedua orang tuanya. Bahkan, berdampak pada meningkatnya angka kekerasan dalam rumah tangga terutama antar anak dan orang tuanya. Parenting Islami: Berdialog dengan Anak Islam mengajarkan bahwa salah satu bentuk perhatian yang seharusnya diberikan tiap orang tua kepada anaknya ialah dengan sering mengajaknya berdialog. Melalui dialog seorang anak dilatih berpikir, belajar mendengar, berbicara, berpendapat, dan mengambil keputusan. Salah satu ayat yang menjelaskan tentang dialog terdapat dalam Surah Ash-Shaffat ayat 102.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ ۝١٠٢

Artinya: “Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.” ad Ayat tersebut merekam jelas dialog yang terjadi antara Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail. Dialog tersebut berkenaan dengan mimpi Ibrahim menyembelih (mengurbankan) Ismail atas perintah dari Allah, yang kemudian menjadi landasan syariat berkurban tiap tanggal 10 Dzulhijjah.  Alkisah, sebelumnya Ibrahim sempat ragu apakah itu benar datangnya dari Allah ataukah dari setan. Namun, setelah mimpi tersebut terulang tiga kali barulah ia yakin bahwa mimpi tersebut memang perintah dari Allah. Menariknya, dalam kisah ini, meskipun Ibrahim telah yakin mimpi tersebut mutlak dari Allah, tapi ia tetap mengatakannya terlebih dahulu kepada Ismail sebagai anaknya. Di sinilah pesan pentingnya dialog yang ingin diajarkan Nabi Ibrahim kepada anaknya sebelum pengambilan keputusan. Kebijaksanaan Nabi Ibrahim sebagai seorang ayah juga terlihat dengan melihat usia anaknya, Ismail. Hal itu seperti yang disebutkan dalam ayat, Fa lammâ balagha ma‘ahus-sa‘ya ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya). Al-Qurthubi menyatakan bahwa kata tersebut mengindikasikan usia Ismail sudah bujang alias tidak lagi kecil. Yakni, usia di mana ia sudah mampu bekerja dan menolong ayahnya. (Al-Qurthubi, Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Juz 15, [Kairo: Dar Al-Kutub Al-Misriyyah, 1964], hal. 99) Melihat usia anak untuk diajak berdialog ini diperlukan karena semakin bertambahnya usia, kematangan dan kemantapan anak dalam berpikir juga semakin baik. Sehingga, tatkala diajak berdialog, dia akan mudah mengerti dan paham apa yang dimaksudkan oleh yang mengajaknya berbicara. Cara Nabi Ibrahim Berdialog Pada penggalan ayat tersebut, Nabi Ibrahim mempersilakan Ismail untuk mengutarakan pendapat pribadinya. Setelah Ibrahim mengabarkan informasi apa yang didapat dari mimpi maka ia pun lalu menyodorkan pertanyaan padanya: “maka pikirkanlah apa pendapatmu?”. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim membutuhkan konfirmasi dari anaknya, tak serta merta bertindak. Juga agar anaknya memberikan pendapat dulu mengenai perintah tersebut. Setelah mereka berdialog dan bermusyawarah tibalah saat penentuan.  Pola komunikasi yang baik ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim kepada anaknya. Tepatnya melalui ungkapan panggilannya kepada Ismail. Di sini redaksi yang dipakai ialah ya bunayya (wahai anakku) dalam bentuk isim tasghir yang salah satu faedahnya adalah menyayangi. Artinya, ungkapan tersebut merupakan perasaan penuh kasih dan sayang yang mendalam dari Ibrahim kepada Ismail. Bukan panggilan biasa. Mendengar itu, Ismail pun dengan sigap menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Jawaban tersebut merupakan bentuk bakti Ismail kepada ayahnya dan ketaatannya kepada Tuhannya. Ia dengan penuh rela dan sabar menerima semua itu untuk membantu ayahnya menjalankan apa yang Allah perintahkan. (Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Juz 23, [Damaskus: Dar Al-Fikri, 1991], hal. 126) Kisah ini mengajarkan bahwa ayah tidak boleh abai dengan anaknya. Seorang ayah harus mengajarkan pentingnya membiasakan berdialog dan bermusyawarah. Jika sedang dihadapkan suatu persoalan atau pengambilan keputusan, ayah tidak boleh mengekang anaknya hidup sesuai dengan keinginannya. Mengingat karena anak sudah menginjak usia dewasa atau sudah bisa berpikir, ayah juga harus mengajarkan agar anaknya mengutarakan pendapatnya. Dialog Ibrahim dan Ismail mengajarkan kepada anak bahwa mereka harus siap mengambil sikap dan berpendapat. Selain itu, mereka juga harus bisa menghargai perbedaan pendapat dan hidup berdampingan dengan orang lain. Porsi Besar Dialog Ayah dan Anak Selama ini, anggapan yang terus berkembang bahwa peranan ayah dalam urusan keluarga hanya pada kebutuhan nafkah. Adapun pendidikan anak diserahkan kepada ibu. Stigma tersebut telah mengakar lama di masyarakat. Muncullah kemudian persepsi seorang anak lebih dekat dengan ibu ketimbang ayahnya. Nyatanya, jika merujuk kepada Al-Qur’an kita akan temukan sebaliknya. Porsi besar justru seharusnya berada di tangan ayahnya. Sarah binti Halil menulis tesis yang berjudul Hiwar Aba’ ma’al Abna fi Qur’anil Karim wa Tathbiqatuhut Tarbawiyyah (Dialog Orang Tua dan Anak dalam Al-Qur’an serta Praktiknya dalam Pendidikan). Karyanya tersebut menuturkan bahwa 17 ayat berbicara dialog antara orang tua dan anaknya. Sebanyak 14 ayat merupakan dialog antar ayah kepada anaknya. Hanya 2 ayat antara ibu dan anaknya. Sedangkan 1 lagi berupa dialog tanpa nama. (Sarah binti Halil, Hiwar Aba’ ma’al Abna fi Qur’anil Karim wa Tathbiqatuhut Tarbawiyyah, Umm Qura University, 1429 H) Kebanyakan dialog yang terekam dalam Al-Qur’an di atas merupakan percakapan yang terjadi pada para nabi dengan anaknya. Seperti, Ibrahim dan Ismail, Ya’qub dan Yusuf serta saudara-saudaranya. Dua lain yang antara ibu dan anaknya ialah dialog Maryam dengan bayinya dan dialog Ibu Nabi Musa kepada putrinya. Isyarat yang ditampilkan dalam Al-Qur’an tersebut menunjukkan bahwa ayah justru sangat berperang penting terhadap pendidikan anaknya. Para orang tua hendaknya sadar dan merubah paradigma mereka selama ini yang meletakkan pendidikan anak hanya diserahkan pada ibu tanpa ayah. Perlu digarisbawahi, dialog dari ibu bukan berarti tidak penting. Pesan tersebut ditujukan agar ayah juga ikut terlibat dan berpartisipasi aktif dalam mendidik dan membesarkan putra-putrinya. Bukan hanya tugas ibu semata. Tidak hanya masalah finansial anak tapi juga psikologi, perasaan, dan karakter mereka. Walhasil, ayat 102 surah Ash-Shaffat, bukan semata berbicara ibadah qurban semata. Melainkan, juga terdapat nilai parenting yang perlu diperhatikan tiap orang tua dalam mendidik anaknya. Terlebih ayahnya yang sangat punya porsi besar dalam membentuk anak yang taat, beriman, dan berhasil kelak. Seseorang ayah harus memperbanyak waktu bercengkerama dengan anaknya. Tentu bukan sebatas berbicara saja, tapi juga dibalut dengan pesan, hikmah, nasihat, dan pengajaran yang baik guna menyokong kehidupan anak menjadi orang yang berbakti kepada kedua orang tua. Menjadikan mereka taat, saleh, dan sukses baik di dunia maupun di akhirat. Kebiasaan berdiskusi dan bermusyawarah dengan anak juga akan mendukung tumbuh kembang pola pikir anak. Mereka akan terbiasa tidak gegabah dan mampu berpikir serta mengendalikan emosi dalam pengambilan keputusan. 

Editor: Alima sri sutami mukti

Setitik Kebaikan Bisa Menyadarkan Kejahatan

 tentang seorang kakek tua pemilik pohon pepaya dengan seorang pemuda pencuri. Pada suatu hari ada seorang kakek tua yang sudah memiliki pohon pepaya dengan kondisi berbuah matang.

Pohon pepaya tersebut dirawat dari kecil hingga bertumbuh dan menghasilkan buah. Akan tetapi buah yang dihasilkan dari pohon pepaya tersebut sangat sedikit. Posisi pohon tersebut di dekat pagar yang bersebelahan dengan  jalan raya.

Pada keesokan harinya sang kakek pemilik pohon berniat untuk memetik buah pepaya yang selama ini ia rawat. Namun siapa sangka ketika sampai ternyata buah pepaya tersebut sudah hilang beberapa biji. Seketika sang kakek kembali ke dalam rumah dan terlihat murung.

Sang istri yang melihat keadaan tersebut merasa heran hanya karena buah pepaya yang tak seberapa harganya bisa sekecewa dan semurung itu. Namun yang dipikirkan oleh kakek berbeda dengan yang dipikirkan oleh sang istri.

Ia memikirkan begitu kasihan terhadap seorang pencuri harus menunggu sampai tengah malam sekaligus penuh usaha hanya untuk mendapatkan beberapa buah pepaya. Keesokan harinya ia berinisiatif untuk membantu sang pencuri dalam meletakkan sebuah tanggal.

Namun siapa sangka ketika keesokan harinya buah pepaya yang ada pada pohon masih utuh jumlahnya. Sang kakek mulai bersabar dan mencoba menunggu keesokan harinya. Akan tetapi kejadian yang sama masih kakek alami, di mana buah pepaya masih utuh meskipun sudah diletakkannya sebuah tangga di dekatnya

Hari esoknya kakek kedatangan tamu seorang pemuda yang belum pernah ia temui sebelumnya. Pemuda tersebut membawa beberapa pepaya matang. Pemuda tersebut memberikan pepaya tersebut kepada kakek dan meminta maaf.

Pemuda tersebut juga menjelaskan jika dirinyalah yang mencuri pepaya milik kakek tadi. Sebenarnya pemuda tersebut masih berniat untuk mencuri pepaya. Namun karena adanya sebuah tangga tadi, pemuda tersebut hatinya tergerak dan sadar jika pemilik pepaya tersebut begitu sabar sekaligus baik hati. Sejak saat itu pemuda tersebut sudah memiliki tekad untuk berubah dan tidak mencuri lagi.

Pesan moral yang diberikan oleh kisah tersebut adalah sebuah kebaikan meski sekecil apa pun itu ternyata bisa memberikan dampak positif terhadap kebaikan orang lain. Mungkin orang lain memiliki rasa jahat terhadap kita.

Namun bisa jadi akibat kebaikan yang selama ini kita tabur di mana pun tempatnya akan memberikan buah manis di kemudian hari seperti mengubah niat jahat seseorang menjadi lebih baik lagi.

Apapun bentuknya, kebaikan pasti akan memberikan hasil yang berdampak positif kepada kita. Meski mungkin kita tak merasakannya. Bisa jadi yang akan menuai adalah anak cucu kita kelak. So, jangan pernah bosan untuk berbuat baik kepada sesama.

Editor: Alima sri sutami mukti