Islam, Pluralisme, dan Multikulturalisme 

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri atas lebih dari 17.000 pulau yang terhampar dari Sabang sampai Merauke. Di setiap pulau terdapat diversifikasi adat istiadat, budaya, suku, agama, dan kepercayaan. Diversifikasi ini menjadi suatu keunikan yang terangkum dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Potensi keberagaman ini, jika terjalin dengan baik akan menjadi kekuatan besar sekaligus kekayaan budaya yang tak ternilai harganya. Akan tetapi perbedaan ini juga berpotensi menjadi pemicu konflik. Isu Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA) yang menjadi khasanah bernegara bisa menjadi ragam (multikultural).

Masyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam agama mempunyai kecenderungan kuat terhadap identitas agama masing-masing dan berpotensi konfik. Indonesia merupakan salah satu contoh masyarakat yang multikultural. Multikultural masyarakat Indonesia tidak saja karena keanekaragaman suku, budaya, bahasa, ras, tapi juga dalam hal agama. Adapun agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia saat ini adalah agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.

Lantas, bagaimana perspektif menurut agama Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia tentang pluralisme dan multikulturalisme?

Pluralisme dan Kerukunan
Pluralisme merupakan suatu sistem nilai atau pandangan yang mengakui keragaman di dalam suatu bangsa. Keragaman atau kemajemukan dalam suatu bangsa itu haruslah senantiasa dipandang positif dan optimis sebagai kenyataan riil oleh semua anggota lapisan masyarakat dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Esensi makna pluralisme tidak hanya diartikan sebagai sebuah pengakuan terhadap keberagaman suatu bangsa, akan tetapi juga mempunyai implikasi-implikasi politis, sosial, dan ekonomi.

Islam memandang bahwa pluralisme adalah sesuatu yang alamiah (sunatullah) dalam wahana kehidupan manusia. Al-Qur’an sebagai kitabun muthahhar dan sebagai pedoman hidup (hudan linnas) sangat menghargai pluralitas sebagai suatu keniscayaan manusia sebagai khalifah di bumi. Ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an: “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah SWT menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan.” (Q.S. Al-Maa’idah:48).

Berdasarkan ayat di atas, jelas bahwa dalam tataran teologis, ideologis, dan bahkan sosiologis, Islam dengan kitab sucinya yaitu Al-Qur’an memandang positif terhadap pluralitas sebagai suatu yang alamiah dan mutlak keberadaannya. Oleh karena itu pluralisme dalam konsepsi Islam dapat dipahami sebagai tata nilai di tengah kehidupan manusia sebagai khalifah, yang hadir dalam dimensi teologis agama, dan juga hadir dalam dimensi sosial lainnya dengan segala kompleksitas dan konsekuensinya yang khas yang harus diterima sebagai sebuah anugerah dengan penuh kesadaran. Fenomena pluralitas agama telah menjadi fakta sosial yang harus dihadapi masyarakat modern. Ide awal lahirnya pluralitas agama adalah keragaman yang pada muaranya akan melahirkan perbedaan cara pandang bagi pemeluknya.

Multikulturalisme dan Kerukunan
Multikulturalisme berasal dari kata multi (plural) dan kultural (tentang budaya). Multi-kulturalisme mengisyaratkan pengakuan terhadap realitas keragaman kultural, yang berarti mencakup baik keberagaman tradisional seperti keberagaman suku, ras, ataupun agama, maupun keberagaman bentuk-bentuk kehidupan (sub-kultur) yang terus bermunculan di setiap tahap sejarah kehidupan masyarakat. Istilah multikulturalisme secara umum diterima secara positif oleh masyarakat Indonesia. Ini tentu ada kaitannya dengan realitas masyarakat Indonesia yang majemuk.

Lahirnya paham multikulturalisme berlatar belakang kebutuhan akan pengakuan (the need of recognition) terhadap kemajemukan budaya, yang menjadi realitas sehari-hari banyak bangsa, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, sejak semula multikulturalisme harus disadari sebagai suatu ideologi, menjadi alat atau wahana untuk meningkatkan penghargaan atas kesetaraan semua manusia dan kemanusiaannya yang secara operasional mewujud melalui pranata-pranata sosialnya, yakni budaya sebagai pemandu kehidupan sekelompok manusia sehari-hari. Dalam konteks ini, multikulturalisme adalah konsep yang melegitimasi keanekaragaman budaya. Kita melihat kuatnya prinsip kesetaraan (egality) dan prinsip pengakuan (recognition) pada berbagai definisi multikulturalisme.

Secara tradisional, kita menyadari kebutuhan untuk mengakui berbagai ragam budaya sebagai sederajat demi kesatuan bangsa Indonesia. Dalam perspektif ideologi negara, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara 1945 mengamanatkan seluruh rakyat Indonesia untuk saling menghargai antar umat beragama. Sedangkan dalam perspektif Islam, banyak ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan pentingnya menjunjung tinggi perbedaan antar umat beragama. Secara esensial, hal ini dapat diartikulasikan bahwa, Islam menghendaki hidup bersama dalam sebuah perbedaan dalam sistem berbangsa dan bernegara.

Toleransi Beragama Menurut Al-Qur’an

Secara etimologi toleransi berasal dari kata tolerare (Bahasa Latin) yang berarti saling menanggung dan memikul. Berarti toleran diartikan sebagai sikap saling memikul walau pekerjaan itu tidak disukai; atau memberi tempat kepada orang lain, walaupun kedua belah pihak tidak sependapat. Kata toleran ini lebih kental unsur sosiologisnya daripada teologisnya. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata “toleran” yang mempunyai padanan dalam bahasa Inggris tolerance (Kamus Bahasa Indonesia). Toleransi dalam bahasa Arab adalah tasamuh (Mandzur, Lisan al-Arab, Maktabah Syamilah) berarti membiarkan sesuatu untuk dapat saling mengizinkan dan saling memudahkan. Toleransi juga mempunyai arti kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada.

     Wacana toleransi selalu dikaitkan dengan wacana teologis, menyangkut iman dan agama. Atau dalam konteks ini toleransi erat kaitannya dengan makna-imperatif agama yang harus mewujudkan diri dalam perbuatan dan tindakan konkret di tengah masyarakat. Dalam wacana teologis, toleransi tidak lain merupakan perwujudan iman yang berlaku dalam setiap tindakan umat beragama. Perwujudan iman tidak pandang bulu agama seseorang. Setiap umat beragama dituntut untuk mewujudkan imannya dalam dataran praksis sehari-hari. Perwujudan iman nyata dalam tindakan baik, rukun, saling mengerti, saling menerima, dan mengembangkan hidup.

     Dalam Al-Qur’an pun banyak konsep-konsep yang membicarakan tentang toleransi.  Nilai-nilai toleransi al-Qur’an dibagi dua. Pertama, toleransi kepada sesama muslim, ini merupakan sebuah keniscayaan dan kewajiban wujud persaudaraan yang terikat oleh tali aqidah yang sama. Kedua, toleransi kepada non muslim, toleransi terhadap non muslm  juga diperintahkan, karena islam mengajarkan perdamaian baik terhadap muslim dan non muslim. Konsep kerja sama dan toleransi hanya dalam kepentingan duniawi saja, tidak menyangkut kepentingan agama, seperti aqidah. 

Konsep-konsep toleransi dalam al-Qur’an adalah:

1.  Bersikap toleran terhadap agama lain (QS. Al-Kafirun: 1-5),

 قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6) 

Artinya: Katakanlah: “Hai orang-orang kafir (1), Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah (2), Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah (3), Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah (4),  Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah (5), Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku (6) (QS. Al-Kafirun: 1-6)

2. Toleransi merupakan sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adapt-istiadat, budaya, bahasa, serta agama.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13)

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al-Hujurat: 13).

3. Toleransi juga menafikan pemaksaan dalam memeluk Islam.

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ

Artinya: Tidak ada paksaan dalam (menerima) agama (Islam) (QS. Al-Baqarah: 256).

 Toleransi berarti tidak memaksa beribadah sesuai agama Islam, namun membiarkan agama lain menjalankan ibadah sesuai ajarannya (QS. Yunus: 40-41) (Rahman, 1996: 203). 

وَمِنْهُمْ مَنْ يُؤْمِنُ بِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ لَا يُؤْمِنُ بِهِ وَرَبُّكَ أَعْلَمُ بِالْمُفْسِدِينَ (40) وَإِنْ كَذَّبُوكَ فَقُلْ لِي عَمَلِي وَلَكُمْ عَمَلُكُمْ أَنْتُمْ بَرِيئُونَ مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَا بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ (41)

Artinya: “Dan di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepadanya (Al Quran), dan di antaranya ada pula orang-orang yang tidak beriman kepadanya. Sedangkan Tuhanmu lebih mengetahui tentang orang-orang yang berbuat kerusakan.”(40), “Dan jika mereka tetap mendustakan Muhammad maka katakanlah,’Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu tidak bertanggung jawab terhadap apa yang aku kerjakan dan aku pun tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan.” (41) (QS. Yusuf: 40-41).

4. Toleransi sesama muslim merupakan kewajiban wujud persaudaraan yang terikat oleh tali aqidah yang sama. إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Artinya: Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat (QS. Al-Hujurat: 10).

5. Toleransi kepada sesama muslim dengan mendahulukan saudaranya atas dirinya sendiri

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Artinya: Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9).

      Kemajemukan merupakan keniscayaan dan suatu hukum alam yang tak akan pernah bisa dirubah ataupun dilawan. Masyarakat majemuk tentu memiliki aspirasi dan budaya yang beranekaragam, mereka memiliki kedudukan yang setara, tidak ada perbedaaan antara kelompok masyarakat satu dengan lainnya. Dalam kemajemukan ini sikap yang paling ideal adalah sikap toleran antar sesama agama Islam yang beda aliran (NU dan Muhammadiyah) maupun dengan agama lainnya.

     Menurut Masykuri Abdillah, untuk mewujudkan dan mendukung sikap pluralisme, diperlukannya sikap toleransi. Meskipun hampir semua masyarkat mengakui adanya kemajemukan sosial, tapi dalam kenyataannya, permasalahan intoleransi baik dalam hubungan ras, etnis, suku, maupun agama, masih sering muncul dalam suatu masyarakat di dunia. Terkadang, konflik ini didominasi langsung oleh agama dan ras, seperti dalam konflik Palestina-Israel. 

     Senada diungkapkan Abd. A’la, konflik dan semacamnya yang ditimbulkan oleh kurangnya toleransi dalam berbudaya dan beragama baik dalam skala nasional maupun internasional mengalami eskalasi yang cukup tajam. Konflik yang terus menajam itu ditimbulkan oleh sikap eksklusif kelompok, serta pada saat yang sama kurang mampunya mereduksi deversitas ke dalam penyeragaman sesuai dengan keinginan kelompok itu sendiri.

Rebo Wekasan dan Beberapa Amalannya

Hari Rabu terakhir di bulan Shafar atau yang disebut Rabu Wekasan diyakini sebagian orang sebagai Waktu turunnya berbagai macam bala bencana. Seyogianya pada malam tersebut mengisi dengan amalan kebaikan yang bisa mendatangkan rahmat dan ampunan Allah. 

Bulan Safar adalah salah satu bulan dalam kalender Islam yang sering kali dipersepsikan dengan berbagai mitos dan kepercayaan. Bulan ini sering dianggap sebagai bulan yang tidak baik atau dihindari oleh beberapa masyarakat.  Salah satu kepercayaan yang mengakar di masyarakat ialah tentang kesialan di Rebo Wekasan. 

Secara pengertian Rebo Wekasan adalah tradisi yang dilakukan setiap hari Rabu terakhir di bulan Safar dalam kalender Islam atau kalender Hijriah. Tradisi ini dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Jawa. Akar tradisi Rebo Wekasan berasal dari kepercayaan masyarakat Nusantara yang menganggap bahwa bulan Safar adalah bulan yang penuh dengan kesialan. 

Dalam Islam, tidak ada bulan atau waktu yang membawa kesialan atau keberuntungan. Sejatinya semua keberuntungan dan kesialan bergantung pada kehendak Allah SWT, bukan pada bulan atau tanggal tertentu. Lebih jauh lagi, Islam mengajarkan kepada umatnya bahwa nasib baik atau buruk datang dari Allah, bukan dari bulan atau tindakan tertentu selama bulan tertentu. 

Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk menjauhkan diri dari keyakinan atau praktik-praktik yang bertentangan dengan ajaran agama dan mengandalkan Allah dalam semua aspek kehidupan. Hal ini ditegaskan langsung oleh Rasulullah dalam hadits riwayat Imam Bukhari, bahwa tidak ada kesialan dalam bulan Safar. 

لا عَدْوَى ولا طِيَرَةَ ولا هَامةَ ولا صَفَرَ وفِرَّ من المَجْذُومِ كما تَفِرُّ من الأَسَد

Artinya: “Tidak ada penyakit menular, tidak ada ramalan buruk, tidak ada kesialan karena burung hammah, tidak ada sial bulan Safar, dan larilah kamu dari penyakit kusta seperti kamu lari dari singa” (HR. Bukhari). 

Hal ini selaras dengan yang dikatakan oleh Abdurrauf al-Munawiy  dalam kitab Faidh al-Qadir, jilid I, halaman 62 yang mengingatkan bahwa semua hari adalah milik Allah dan tidak ada manfaat atau bahaya dalam mengaitkan hari tertentu dengan kesialan atau keyakinan peramal. 

وَالْحَاصِلُ أَنَّ تَوَقِّيَ يَوْمِ الْأَرْبِعَاءِ عَلَى جِهَةِ الطِّيَرَةِ وَطَنِّ اعْتِقَادِ الْمُنَجِّمِيْنَ حَرَامٌ شَدِيْدَ التَّحْرِيْمِ إِذِ الْأَيَّامُ كُلُّهَا للهِ تَعَالَى لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ بِذَاتِهَا وَبِدُوْنِ ذَلِكَ لَا ضَيْرَ وَلَا مَحْذُوْرَ وَمَنْ تَطَيَّرَ حَاقَتْ بِهِ نَحْوَسَتُهُ وَمَنْ أَيْقَنَ بِأّنَّهُ لَا يَضُرُّ وَلَا يَنْفَعُ إِلَّا اللهُ لَمْ يُؤَثِّرْ فِيْهِ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ

Artinya: “Dan yang dapat disimpulkan adalah bahwa untuk menghindari hari Rabu dengan menganggap sial dan mengikuti keyakinan peramal adalah sangat dilarang, karena semua hari adalah milik Allah yang Maha Tinggi. Kalau bukan karena di atas, maka tidak apa-apa dan tidak dilarang. Barangsiapa meyakini mitos buruk, maka kejadian buruk tersebut benar-benar akan menimpanya. Barangsiapa meyakini bahwa tidak ada yang memberi bahaya dan manfaat kecuali Allah, maka tidak akan terjadi kepadanya keburukan tersebut.”

Kemudian yang menjadi pertanyaan lanjutan adalah tradisi Rebo Wekasan sudah menjadi tradisi budaya di Indonesia yang masih lestari hingga saat ini. Pun tradisi ini merupakan bentuk kearifan lokal yang diwariskan dari nenek moyang terdahulu. Bagaimana pandangan Islam dalam persoalan ini?

Imam Abdurrauf al-Munawiy  dalam kitab Faidh al-Qadir, jilid I, halaman 62 telah menjawab dengan baik, bahwa tradisi amalan yang dikerjakan dalam Rebo Wekasan sejatinya diperbolehkan akan tetapi dengan niat yang baik dan benar, yakni amalan yang dikerjakan bukan karena hari Rabu atau bulan Safar itu bulan sial, tetapi lebih kepada amalan yang mendekatkan diri pada Allah. Misalnya, jika ingin bertaubat, bukan karena takut sial Rebo Wekasan, tetapi karena mensucikan diri dari dosa. Pun ketika shalat, niatkan saja shalat hajat.

وَيَجُوْزُ كَوْنُ ذِكْرِ الْأَرْبِعَاءِ نَحْسٌ عَلَى طَرِيْقِ التَّخْوِيْفِ وَالتَّحْذِيْرِ أَيِ احْذَرُوْا ذَلِكَ الْيَوْمَ لِمَا نَزَلَ فِيْهِ مِنَ الْعَذَابِ وَكَانَ فِيْهِ مِنَ الْهَلَاكِ وَجَدِّدُوْا للهِ تَوْبَةً خَوْفًا أَنْ يَلْحَقَكُمْ فِيْهِ بُؤْسٌ كَمَا وَقَعَ لِمَنْ قَبْلَكُمْ

Artinya: “Diperbolehkan menyebut hari Rabu sebagai “hari sial” dengan tujuan untuk menakut-nakuti dan memperingatkan. Artinya, waspadalah terhadap hari tersebut karena telah turun azab dan kehancuran di dalamnya. Perbaiki taubat kepada Allah, agar tidak menimpamu petaka seperti yang menimpa orang-orang sebelummu.”

Salah satu amalan yang bisa dilakukan di hari Rebo Wekasan adalah pertama, berdoa pada Allah. Sejatinya, bulan Safar dianjurkan untuk memperbanyak doa. Dalam hadits disebutkan bahwa dalam bulan Safar doa akan dikabulkan oleh Allah. Di antara doa yang bisa dibaca adalah ;

  بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ وَصَلىَّ اللهُ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ يَا شَدِيْدَ الْقُوَى وَيَا شَدِيْدَ الْمِحَالِ يَا عَزِيْزُ ذَلَّتْ لِعِزَّتِكَ جَمِيْعُ خَلْقِكَ اِكْفِنِيْ مِنْ جَمِيْعِ خَلْقِكَ يَا مُحْسِنُ يَا مُجَمِّلُ يَا مُتَفَضِّلُ يَا مُنْعِمُ يَا مُكْرِمُ يَا مَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا أَنْتَ اِرْحَمْنِيْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ اللهم بِسِرِّ الْحَسَنِ وَأَخِيْهِ وَجَدِّهِ وَأَبِيْهِ وَأُمِّهِ وَبَنِيْهِ اِكْفِنِيْ شَرَّ هَذَا الْيَوْمِ وَمَا يَنْزِلُ فِيْهِ يَا كَافِيَ الْمُهِمَّاتِ يَا دَافِعَ الْبَلِيَّاتِ فَسَيَكْفِيْكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَحَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ اِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَصَلىَّ اللهُ تَعَالىَ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ الِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

Kedua, membaca istighfar. Istighfar adalah memohon ampun kepada Allah SWT atas segala dosa dan kesalahan yang telah kita lakukan. Istighfar sangat dianjurkan untuk dilakukan oleh setiap muslim, baik itu besar maupun kecil, baik itu disengaja maupun tidak disengaja.

Dalam Al-Qur’an firman Allah SWT dalam surat Hud [11] ayat 90:

وَاسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي رَحِيمٌ وَوَدُودٌ

Artinya: “Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Mencintai.”

Hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA:

مَنْ أَكْثَرَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

Artinya: “Barang siapa yang memperbanyak istighfar, niscaya Allah akan memberikan jalan keluar bagi setiap kesedihannya, kelapangan untuk setiap kesempitannya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (HR. Ahmad).

Ketiga, membaca Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai pedoman hidup. Membaca Al-Qur’an adalah salah satu ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam. Ada banyak sekali keutamaan dan pahala yang besar bagi orang yang membaca Al-Qur’an. Dan mendapatkan pahala yang cukup besar bagi orang yang membacanya. 

من قرأ حرفا من كتاب الله فله به حسنة والحسنة بعشر أمثالها لا أقول آلم حرف ولكن ألف حرف ولام حرف وميم حرف Artinya: “Siapa yang membaca satu huruf dari Kitabullah (Al-Qur’an), maka baginya satu kebaikan. Dan satu kebaikan itu dibalas dengan sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan alif laam mim itu satu huruf. Akan tetapi, alif satu huruf, laam satu huruf, dan mim satu huruf.” (HR. Tirmidzi).

Dalam hadits lain, Rasulullah menyatakan siapa yang memperbanyak membaca Al-Qur’an, niscaya ia tidak akan masuk ke dalam neraka. Nabi bersabda;

من قرأ آيتين من القرآن لم يدخل النار

Artinya: :Barangsiapa yang membaca dua ayat dari Al-Qur’an, maka ia tidak akan dimasukkan ke dalam neraka.”

Dengan demikian, di malam Rebo Wekasan tidak ada salahnya untuk melakukan amalan-amalan kebaikan sebagai bentuk ikhtiar dan memohon ampunan dan perlindungan kepada Allah SWT dari segala macam musibah.  

Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Kemenag, Basnang Said. (Foto: Kemenag)
Kemenag Dorong Pesantren Masifkan Penggunaan Aksara Pegon

Kemenag mendorong pimpinan pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan memasifkan penggunaan aksara pegon. Hal itu dilakukan agar warisan ulama Nusantara itu tidak hilang. Pasalnya, beberapa aksara daerah hilang karena tidak ada yang melestarikannya.

Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Kemenag, Basnang Said mengatakan upaya pelestarian pegon bisa dilakukan dengan menampilkan aksara itu di gerbang atau papan-papan di depan pesantren.

“Kalau narasi yang terpampang di papan atau gerbang pesantren ditulis dengan aksara pegon, maka kita sedang memperjuangkan kelestarian pegon sebagai warisan khazanah ulama Nusantara,” ujarnya saat memberikan sambutan dalam Koordinasi Penguatan Digitalisasi Aksara Pegon dalam Kitab Kuning di Pesantren, Selasa (27/8/2024) di Jakarta.

Basnang menegaskan bahwa Kemenag pun terus melakukan upaya pelestarian aksara pegon. Salah satunya dengan melakukan digitalisasi aksara pegon.

“Alhamdulillah Kemenag telah meluncurkan papan ketik virtual aksara pegon (pegon virtual keyboard) di awal Januari tahun 2024. Kalau Bapak/Ibu menginstall aplikasi pegon virtual keyboard di smartphone, maka Bapak/Ibu bisa menulis atau berkirim pesan dengan aksara pegon,” lanjutnya.

“Makanya kami sedang menggodog dan menyiapkan perangkat digital berisi kitab kuning yang nantinya bisa diberi makna dengan aksara pegon,” pungkasnya.

Sebelumnya, Kemenag telah meluncurkan aksara pegon dalam format digital, yaitu dalam bentuk papan ketik virtual, pada awal tahun 2024 lalu.

Sebagaimana jamak diketahui, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V, pegon memiliki arti aksara Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa. Aksara ini biasa digunakan masyarakat santri untuk memberikan makna pada teks kitab yang dikajinya.

Huruf Pegon bahasa Jawa pego, yang mempunyai arti menyimpang, sebagaimana dilansir NU Online. Penamaan ini mengingat memang huruf Pegon ini menyimpang dari literatur Arab dan juga menyimpang dari literatur Jawa. Huruf-huruf pegon ini bisa dikatakan sebagai sebuah aksara yang nyleneh karena susunan atau tatanannya yang agak berbeda dengan bahasa aslinya (Arab bukan, Jawa juga bukan).