Hukum Jamak Ta’khir Beda Niat dengan Imam

Assalamu’alaikum wr wb. Mohon maaf, izin langsung menyampaikan pertanyaan ustadz. Kami saat itu sedang dalam perjalanan yang telah memenuhi syarat-syarat untuk diperbolehkan menjamak dan/atau menqashar shalat fardhu. Kemudian saya berniat untuk menjamak takhir Dhuhur dan Ashar dengan berjamaah. Saya tahunya bahwa jamak taqdim maupun ta’khir, yang didahulukan adalah shalat yang sesuai dengan urutan (Dhuhur dulu, baru Ashar). Sehingga, saya (makmum) berbeda niat dengan imam. Imam berniat shalat Ashar, saya berniat shalat Dhuhur (majm’uan bi shalatil ‘ashri).
Saya baru mengetahui hal itu saat jeda antara dua shalat yang dijamak tersebut, yaitu ketika teman saya (makmum juga) bilang, “Yuk Dhuhur”. Saya sontak bilang, “Hah?”. Teman saya kemudian bilang, “Kan jamak ta’khir, Ashar dulu baru Dhuhur”. Saya hanya jawab, “Iya”
Baca Juga: Bagaimana hukumnya meinggalkan solat sunnah di tengah pengerjaannya
Akhirnya kami meneruskan shalat tersebut, namun saya berniat shalat Ashar (imam niat shalat Dhuhur jamak). Bagaimana hukum shalat saya, ustadz? Apakah tetap sah? Atau tidak sah dan perlu diqadha’? Karena setelah itu saya tidak mengulangi shalat lagi. (Hamba Allah). Jawaban Wa’alaikum salam wr wb. Penanya dan pembaca NU Online yang dirahmati Allah. Semoga semuanya dimudahkan segala urusannya dan istiqamah dalam beribadah. Amin. Setelah kami baca dengan seksama, sebenarnya inti pertanyaan adalah bagaimana hukum jamaah shalat jamak ta’khir yang imam dan makmumnya berbeda niat. Namun sebelum menjelaskan inti pertanyaan, perlu kami sampaikan terlebih dahulu terkait mana shalat yang lebih dahulu dikerjakan dalam pelaksanaan jamak ta’khir, apa shalat yang pertama atau yang kedua? Memang benar, orang yang sedang menempuh perjalanan panjang (±80 km) diperbolehkan untuk menjamak shalat atau mengqashar shalat yang empat rakaat, atau menjamak sekaligus mengqasharnya di waktu yang dikehendaki, baik di waktu shalat pertama (jamak taqdim) maupun di waktu shalat yang kedua (jamak ta’khir). Masing-masing jamak taqdim dan jamak ta’khir mempunyai syarat tersendiri sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fathul Qarib. Syarat jamak taqdim ada tiga. Bolehkah Menjamak atau Qashar Shalat? Harus tertib, yaitu dimulai dengan shalat Dhuhur sebelum Ashar, dan Maghrib sebelum Isya. Jika terbalik, misalnya dimulai dengan shalat Ashar sebelum Dhuhur, maka tidak sah dan harus mengulanginya jika ingin melakukan jamak. Niat jamak harus ada pada awal shalat pertama, yaitu niat jamak harus bersamaan dengan takbiratul ihram. Tidak cukup jika niat tersebut dihadirkan sebelum takbir atau setelah salam dari shalat pertama. Menurut pendapat yang lebih kuat, diperbolehkan niat jama’ di tengah shalat pertama. Harus ada kesinambungan (muwalah) antara shalat pertama dan shalat kedua. Yaitu tidak boleh ada jeda yang lama di antara keduanya. Jika ada jeda yang lama, walaupun disebabkan oleh uzur seperti tertidur, maka wajib menunda shalat kedua sampai waktunya. Namun, tidak masalah jika ada jeda yang sedikit menurut kebiasaan (‘urf). Sedangkan pada jamak ta’khir syaratnya harus ada niat jamak, dan niat ini harus ada pada waktu shalat yang pertama. Diperbolehkan menunda niat sampai sisa waktu shalat pertama yang memungkinkan digunakan untuk shalat tersebut secara tepat waktu (ada’). Tiga syarat yang ada pada jamak taqdim yakni, tertib, muwalah, dan niat jamak pada awal shalat sebagaimana penjelasan di atas tidak menjadi syarat pada jamak ta’khir. (Muhammad bin Qasim, [Beirut, Dar Ibnu Hazm: 2005], halaman 96). Adapun alasantiga syarat jamak taqdim tidak menjadi syarat pada jamak ta’khir adalah sebagaimana penjelasan Syekh Nawawi Al-Bantani:
ولا يجب في جمع التأخير ترتيب) لأن الوقت هنا للثانية ( ولا موالاة) بينهما لأن النبي صلي الله عليه وسلم تركها (ولا نية جمع) في الصلاة الأولى لتقدم النية في وقت الأولى (على الصحيح في الثلاثة) خلافاً لصاحب المحرر والحاوي نعم، تسن هذه الثلاثة هنا فراراً من خلاف من أوجبها
Artinya, “Dalam jamak ta’khir tidak wajib adanya tertib, karena waktu di sini adalah milik shalat yang kedua; tidak wajib muwalah (kesinambungan) antara keduanya, karena Nabi saw meninggalkannya; dan tidak wajib niat jamak pada shalat pertama, karena niat sudah didahulukan di waktu shalat pertama. Demikian menurut pendapat yang sahih dalam tiga hal ini. Ini berbeda dengan pendapat penulis kitab Al-Muharrar dan Al-Hawi. Ya, disunnahkan tiga hal ini (tertib, muwalah, dan niat) di sini untuk menghindari perbedaan pendapat ulama yang mewajibkannya.” (Tausyikh ‘ala Ibni Qasim, [Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah: t.t], halaman 150).
Syekh Ibrahim Al-Bajuri lebih lugas menjelaskan:
قوله (ولا يجب في جميع التأخير الخ) لكن يسن فيه الترتيب والموالاة، وإنما لم يجب ما ذكر لأن الوقت صالح للأولى ولو من غير تبعية بخلافه في جمع التقديم، فلا يصلح الوقت للثانية إلا على وجه التبعية
Artinya, “Ungkapan mushanif: “(Dan tidak wajib dalam jamak ta’khir dan seterusnya). Namun disunnahkan tertib dan muwalah dalam jamak ta’khir. Hal ini tidak diwajibkan karena waktu ini (waktu shalat kedua) layak dan sesuai (pantas) untuk shalat pertama, meskipun tidak mengikuti (dikerjakan dengan menjamak shalat). Berbeda dengan jamak taqdim, yang mana waktunya tidak layak untuk shalat kedua kecuali dengan mengikuti (dikerjakan dengan menjamak shalat).” (Hasyiyah Al-Baijuri, [Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah: t.t], juz I, halaman 400)
Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa dalam jamak ta’khir tidak disyaratkan harus dikerjakan secara tertib atau berurutan. Namun, hal itu disunahkan karena untuk menyesuaikan diri dengan pendapat ulama yang mewajibkannya. Dalam kaidah disebutkan: الخروج من الخلاف مستحب Artinya, “Keluar dari perbedaan pendapat adalah disunahkan”. Alasan logisnya, dalam jamak taqdim harus tertib sebab waktu shalat yang pertama memang waktu untuk mengerjakan shalat yang pertama (shalat Dhuhur), bukan untuk shalat kedua (shalat Ashar). Kebolehan mengerjakan shalat Ashar di waktu pertama karena adanya niat jamak taqdim (tabiah). Berbeda dengan waktu shalat kedua untuk mengerjakan shalat pertama (shalat Dzuhur) tetaplah diperbolehkan meskipun tanpa niat jamak, yang berarti qadha’ shalat Dzuhur karena waktunya telah terlewatkan.
Setelah jelas bahwa dalam pelaksanaan shalat jamak ta’khir tidak disyaratkan tertib, boleh shalat Ashar atau Dhuhur dulu, lantas bagaimana hukum jamaah shalat jamak ta’khir yang imam dan makmumnya berbeda niat, seperti imam niat shalat Ashar sedangkan makmumnya niat shalat Dhuhur atau sebaliknya? Dalam mazhab Syafi’i terdapat syarat keabsahan jamaah yakni adanya keselarasan gerakan shalat antara imam dan makmum dalam gerakan-gerakan yang tampak mencolok. Karenanya, tidak sah mengikuti imam yang berbeda gerakan shalatnya secara mencolok, seperti antara shalat wajib dengan shalat kusuf (gerhana) atau shalat jenazah. Karena hal itu menjadikan makmum tidak tidak memungkinkan untuk mengikuti gerakan imam. Namun, jika gerakan shalat yang dikerjakan Imam masih selaras dengan makmum meskipun ada perbedaan niat, maka jamaahnya tetap dihukumi sah.
Berikut penjelasan Syekh Nawawi Banten terkait hal tersebut:
وَيصِح اقْتِدَاء مؤد بقاض ومفترض بمتنفل وَفِي طَوِيلَة بقصيرة كَظهر بصبح وبالعكوس وَلَا يضر اخْتِلَاف نِيَّة الإِمَام وَالْمَأْمُوم بِمثل ذَلِك
Artinya, “Sah makmum orang yang melaksanakan shalat ada’ kepada imam yang sedang mengqadha; orang yang melaksanakan shalat fardhu bermakmum kepada orang yang melaksanakan shalat sunnah; dan sah juga orang yang mengerjakan shalat yang panjang bermakmum kepada shalat yang pendek, seperti shalat Zhuhur pada Imam shalat Subuh, begitu juga sebaliknya. Tidak masalah terdapat perbedaan niat antara imam dan makmum dalam hal tersebut.” (Nihayatuz Zain, [Beirut, Darul Fikr: t.t], halaman 129). Walhasil, hukum jamaah shalat jamak ta’khir yang imam dan makmumnya berbeda niat, imamnya niat shalat Ashar sedangkan makmumnya niat shalat Dhuhur atau sebaliknya adalah sah. Sebab kedua shalat tersebut dalam gerakan-gerakannya masih sama persis dan selaras, sehingga memungkinkan makmum untuk mengikuti gerakan imam. Adapun perbedaan niat antara keduanya tidak mempengaruhi keabsahan shalat masing-masing. Demikian semoga dapat dipahami dengan baik dan bermanfaat. Wallahu a’lam.
Sumber: nu.online