Hukum Jamak Ta’khir Beda Niat dengan Imam

Assalamu’alaikum wr wb. Mohon maaf, izin langsung menyampaikan pertanyaan ustadz. Kami saat itu sedang dalam perjalanan yang telah memenuhi syarat-syarat untuk diperbolehkan menjamak dan/atau menqashar shalat fardhu. Kemudian saya berniat untuk menjamak takhir Dhuhur dan Ashar dengan berjamaah.   Saya tahunya bahwa jamak taqdim maupun ta’khir, yang didahulukan adalah shalat yang sesuai dengan urutan (Dhuhur dulu, baru Ashar). Sehingga, saya (makmum) berbeda niat dengan imam. Imam berniat shalat Ashar, saya berniat shalat Dhuhur (majm’uan bi shalatil ‘ashri).
Saya baru mengetahui hal itu saat jeda antara dua shalat yang dijamak tersebut, yaitu ketika teman saya (makmum juga) bilang, “Yuk Dhuhur”. Saya sontak bilang, “Hah?”. Teman saya kemudian bilang, “Kan jamak ta’khir, Ashar dulu baru Dhuhur”. Saya hanya jawab, “Iya”

Baca Juga: Bagaimana hukumnya meinggalkan solat sunnah di tengah pengerjaannya

Akhirnya kami meneruskan shalat tersebut, namun saya berniat shalat Ashar (imam niat shalat Dhuhur jamak). Bagaimana hukum shalat saya, ustadz? Apakah tetap sah? Atau tidak sah dan perlu diqadha’? Karena setelah itu saya tidak mengulangi shalat lagi. (Hamba Allah). Jawaban Wa’alaikum salam wr wb. Penanya dan pembaca NU Online yang dirahmati Allah. Semoga semuanya dimudahkan segala urusannya dan istiqamah dalam beribadah. Amin.   Setelah kami baca dengan seksama, sebenarnya inti pertanyaan adalah bagaimana hukum jamaah shalat jamak ta’khir yang imam dan makmumnya berbeda niat.   Namun sebelum menjelaskan inti pertanyaan, perlu kami sampaikan terlebih dahulu terkait mana shalat yang lebih dahulu dikerjakan dalam pelaksanaan jamak ta’khir, apa shalat yang pertama atau yang kedua?   Memang benar, orang yang sedang menempuh perjalanan panjang (±80 km) diperbolehkan untuk menjamak shalat atau mengqashar shalat yang empat rakaat, atau menjamak sekaligus mengqasharnya di waktu yang dikehendaki, baik di waktu shalat pertama (jamak taqdim) maupun di waktu shalat yang kedua (jamak ta’khir). Masing-masing jamak taqdim dan jamak ta’khir mempunyai syarat tersendiri sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fathul Qarib. Syarat jamak taqdim ada tiga. Bolehkah Menjamak atau Qashar Shalat? Harus tertib, yaitu dimulai dengan shalat Dhuhur sebelum Ashar, dan Maghrib sebelum Isya. Jika terbalik, misalnya dimulai dengan shalat Ashar sebelum Dhuhur, maka tidak sah dan harus mengulanginya jika ingin melakukan jamak. Niat jamak harus ada pada awal shalat pertama, yaitu niat jamak harus bersamaan dengan takbiratul ihram. Tidak cukup jika niat tersebut dihadirkan sebelum takbir atau setelah salam dari shalat pertama. Menurut pendapat yang lebih kuat, diperbolehkan niat jama’ di tengah shalat pertama. Harus ada kesinambungan (muwalah) antara shalat pertama dan shalat kedua. Yaitu tidak boleh ada jeda yang lama di antara keduanya. Jika ada jeda yang lama, walaupun disebabkan oleh uzur seperti tertidur, maka wajib menunda shalat kedua sampai waktunya. Namun, tidak masalah jika ada jeda yang sedikit menurut kebiasaan (‘urf). Sedangkan pada jamak ta’khir syaratnya harus ada niat jamak, dan niat ini harus ada pada waktu shalat yang pertama. Diperbolehkan menunda niat sampai sisa waktu shalat pertama yang memungkinkan digunakan untuk shalat tersebut secara tepat waktu (ada’). Tiga syarat yang ada pada jamak taqdim yakni, tertib, muwalah, dan niat jamak pada awal shalat sebagaimana penjelasan di atas tidak menjadi syarat pada jamak ta’khir. (Muhammad bin Qasim, [Beirut, Dar Ibnu Hazm: 2005], halaman 96). Adapun alasantiga syarat jamak taqdim tidak menjadi syarat pada jamak ta’khir adalah sebagaimana penjelasan Syekh Nawawi Al-Bantani:

  ولا يجب في جمع التأخير ترتيب) لأن الوقت هنا للثانية ( ولا موالاة) بينهما لأن النبي صلي الله عليه وسلم تركها (ولا نية جمع) في الصلاة الأولى لتقدم النية في وقت الأولى (على الصحيح في الثلاثة) خلافاً لصاحب المحرر والحاوي نعم، تسن هذه الثلاثة هنا فراراً من خلاف من أوجبها

Artinya, “Dalam jamak ta’khir tidak wajib adanya tertib, karena waktu di sini adalah milik shalat yang kedua; tidak wajib muwalah (kesinambungan) antara keduanya, karena Nabi saw meninggalkannya; dan tidak wajib niat jamak pada shalat pertama, karena niat sudah didahulukan di waktu shalat pertama. Demikian menurut pendapat yang sahih dalam tiga hal ini. Ini berbeda dengan pendapat penulis kitab Al-Muharrar dan Al-Hawi. Ya, disunnahkan tiga hal ini (tertib, muwalah, dan niat) di sini untuk menghindari perbedaan pendapat ulama yang mewajibkannya.” (Tausyikh ‘ala Ibni Qasim, [Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah: t.t], halaman 150).

Syekh Ibrahim Al-Bajuri lebih lugas menjelaskan:

قوله (ولا يجب في جميع التأخير الخ) لكن يسن فيه الترتيب والموالاة، وإنما لم يجب ما ذكر لأن الوقت صالح للأولى ولو من غير تبعية بخلافه في جمع التقديم، فلا يصلح الوقت للثانية إلا على وجه التبعية

Artinya, “Ungkapan mushanif: “(Dan tidak wajib dalam jamak ta’khir dan seterusnya). Namun disunnahkan tertib dan muwalah dalam jamak ta’khir. Hal ini tidak diwajibkan karena waktu ini (waktu shalat kedua) layak dan sesuai (pantas) untuk shalat pertama, meskipun tidak mengikuti (dikerjakan dengan menjamak shalat). Berbeda dengan jamak taqdim, yang mana waktunya tidak layak untuk shalat kedua kecuali dengan mengikuti (dikerjakan dengan menjamak shalat).”  (Hasyiyah Al-Baijuri, [Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah: t.t], juz I, halaman 400)
Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa dalam jamak ta’khir tidak disyaratkan harus dikerjakan secara tertib atau berurutan. Namun, hal itu disunahkan karena untuk menyesuaikan diri dengan pendapat ulama yang mewajibkannya. Dalam kaidah disebutkan:   الخروج من الخلاف مستحب   Artinya, “Keluar dari perbedaan pendapat adalah disunahkan”.   Alasan logisnya, dalam jamak taqdim harus tertib sebab waktu shalat yang pertama memang waktu untuk mengerjakan shalat yang pertama (shalat Dhuhur), bukan untuk shalat kedua (shalat Ashar). Kebolehan mengerjakan shalat Ashar di waktu pertama karena adanya niat jamak taqdim (tabiah).   Berbeda dengan waktu shalat kedua untuk mengerjakan shalat pertama (shalat Dzuhur) tetaplah diperbolehkan meskipun tanpa niat jamak, yang berarti qadha’ shalat Dzuhur karena waktunya telah terlewatkan.
Setelah jelas bahwa dalam pelaksanaan shalat jamak ta’khir tidak disyaratkan tertib, boleh shalat Ashar atau Dhuhur dulu, lantas bagaimana hukum jamaah shalat jamak ta’khir yang imam dan makmumnya berbeda niat, seperti imam niat shalat Ashar sedangkan makmumnya niat shalat Dhuhur atau sebaliknya?   Dalam mazhab Syafi’i terdapat syarat keabsahan jamaah yakni adanya keselarasan gerakan shalat antara imam dan makmum dalam gerakan-gerakan yang tampak mencolok. Karenanya, tidak sah mengikuti imam yang berbeda gerakan shalatnya secara mencolok, seperti antara shalat wajib dengan shalat kusuf (gerhana) atau shalat jenazah. Karena hal itu menjadikan makmum tidak tidak memungkinkan untuk mengikuti gerakan imam. Namun, jika gerakan shalat yang dikerjakan Imam masih selaras dengan makmum meskipun ada perbedaan niat, maka jamaahnya tetap dihukumi sah.
Berikut penjelasan Syekh Nawawi Banten terkait hal tersebut:

وَيصِح اقْتِدَاء مؤد بقاض ومفترض بمتنفل وَفِي طَوِيلَة بقصيرة كَظهر بصبح وبالعكوس وَلَا يضر اخْتِلَاف نِيَّة الإِمَام وَالْمَأْمُوم بِمثل ذَلِك
Artinya, “Sah makmum orang yang melaksanakan shalat ada’ kepada imam yang sedang mengqadha; orang yang melaksanakan shalat fardhu bermakmum kepada orang yang melaksanakan shalat sunnah; dan sah juga orang yang mengerjakan shalat yang panjang bermakmum kepada shalat yang pendek, seperti shalat Zhuhur pada Imam shalat Subuh, begitu juga sebaliknya. Tidak masalah terdapat perbedaan niat antara imam dan makmum dalam hal tersebut.” (Nihayatuz Zain, [Beirut, Darul Fikr: t.t], halaman 129).     Walhasil, hukum jamaah shalat jamak ta’khir yang imam dan makmumnya berbeda niat, imamnya niat shalat Ashar sedangkan makmumnya niat shalat Dhuhur atau sebaliknya adalah sah.   Sebab  kedua shalat tersebut dalam gerakan-gerakannya masih sama persis dan selaras, sehingga memungkinkan makmum untuk mengikuti gerakan imam. Adapun perbedaan niat antara keduanya tidak mempengaruhi keabsahan shalat masing-masing. Demikian semoga dapat dipahami dengan baik dan bermanfaat. Wallahu a’lam.

Sumber: nu.online

Bagaimana hukumnya meninggalkan Solat Sunnah ditengah pengerjaannya?

Sumber foto : https://id.pinterest.com/pin/313070611611460400/

Bagaimana hukumnya meninggalkan Solat Sunnah ditengah pengerjaannya?

Nah, simak baik-baik penjelasan berikut.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti tidak lepas dari yang namanya Solat. Dan Solat terbagi menjadi dua, ada Solat Fardu dan ada Solat Sunnah.
Berbicara tentang Sunnah, Sunnah adalah bagian dari Mandub (مندوب). Apa pengertian dari Mandub?. Pengertiannya adalah:

مَا يُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ وَلاَ يُعَاقَبُ عَلَى تَرْكِهِ

Artinya:” Perkara yang bernilai pahala ketika dikerjakan dan tidak mendapatkan siksaan ketika di tinggalkan

Dan lafadz Mandub mempunyai persamaan (مُتَّرَدِف), antara lain: Sunnah, Mustahab, Tathowu’. Namun lafadz Mandub mempunya ma’na yang lebih umum. Menurut Imam Al-Qodi Husein dan ulama yang lain, istilah Sunnah, Mustahab, Tathowu’ itu bukanlah kata yang muttarodif, dan juga memiliki definisi yang berbeda-beda, antara lain:
Sunnah : Adalah perbuatan nabi yang dilakukan secara terus-menerus.
Mustahab : Adalah perbuatan nabi yang jarang dilakukan.
Tathowu’ : Adalah perbuatan para sahabat dan para ulama’ yang di perbolehkan oleh nabi.
Contoh seperti perbuatan yang sering dilakukan oleh masyarakat di indonesia, khususnya : peringatan Maulid Nabi, peringatan Isra’ Mi’raj, tahlil dan lain sebagainya.

Baca juga : “Hukum solat memakai cadar”

Dan Bagaimana hukumnya jika kita meninggalkan Solat Sunnah ditengah pengerjaanya?
Jawabannya adalah, menurut Imam Syafi’i diperbolehkan. Contoh seperti si A sedang melaksanakan solat Dhuha dirumahnya, namun orangtua si A tersebut memanggilnya untuk membelikan suatu barang atau makanan, maka si A diperbolehkan untuk memutuskan solat Dhuha tersebut.

Namun menurut Imam Malik & Imam Abu Hanifah tidak diperbolehkan . Karena ada dalil AL-Qur’an yang berbunyi : ” يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوٓا۟ أَعْمَٰلَكُمْ
“QS Muhammad ayat 33”

Jadi hasil dari pertanyaan “Bagaimana hukumnya meninggalkan Solat Sunnah ditengah pengerjaannya?” adalah diperbolehkan. Dan semoga dengan adanya penjelasan ini, menjadi ilmu yang bermanfa’at, dan pembaca dapat memahami penjelasan tersebut. Wallahu A’lam

Editor : M Rifqi Fathurrohman

Referensi : Kitab An-Nafahat

Hukum Bersedekah bagi Orang yang Punya Hutang

Penanya yang budiman, semoga kita selalu dalam lindungan Allah swt. Bersedekah merupakan salah satu perbuatan terpuji yang sangat dianjurkan dalam Islam. Selain mendapatkan pahala yang besar, orang yang bersedekah juga akan memperoleh kebajikan, serta bisa menolong orang lain yang sedang membutuhkan bantuan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Ali ‘Imran, Allah swt berfirman:

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Artinya: “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan tentang hal itu, sungguh, Allah Maha Mengetahui.” (QS Ali ‘Imran, [3]: 92). Dalam ayat yang lain, Allah swt bahkan menjanjikan pahala yang sangat besar bagi orang-orang yang bersedekah

إِنَّ الْمُصَّدِّقِينَ وَالْمُصَّدِّقَاتِ وَأَقْرَضُوا اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً يُضَاعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, akan dilipatgandakan (balasannya) bagi mereka; dan mereka akan mendapatkan pahala yang mulia.” (QS Al-Hadid, [57]: 18).

Itulah beberapa ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang kemuliaan bersedekah. Orang-orang yang bersedekah akan mendapatkan pahala dan kebajikan yang banyak dari Allah saw, serta akan mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari-Nya. Kendati demikian, hukum bersedekah tidak selamanya dianjurkan sebagaimana penjelasan di atas, justru ada beberapa hukum bersedekah yang makruh dan tidak bernilai pahala apa-apa, bahkan berhukum haram dan berdosa. Semua ini tergantung situasi dan kondisi yang hendak bersedekah.  Lantas, bagaimana hukum bersedekah bagi yang sedang punya utang? Berkaitan dengan hal ini, para ulama ahli fiqih memiliki pandangan yang berbeda-beda perihal hukum bersedekah bagi orang yang memiliki utang, semua itu tergantung pada situasi dan kondisi orang yang hendak bersedekah. Imam Abu Zakaria Muhyiddin an-Nawawi (wafat 676 H) dalam kitabnya menjelaskan bahwa bersedekah bagi orang yang punya utang bukanlah perbuatan yang dianjurkan dan termasuk menyalahi sunnah. Bahkan jika dengan bersedekah tidak mampu melunasi hutangnya, maka hukumnya haram, وَمَنْ عَلَيْهِ دَيْنٌ أَوْلَهُ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ لاَ يَتَصَدَّقَ حَتَّى يُؤَدِّي مَا عَلَيْهِ. قُلْتُ اَلْأَصَحُّ تَحْرِيْمُ صَدَقَتِهِ بِمَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ لِنَفَقَةِ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ أَوْ لِدَيْنٍ لَا يَرْجُو لَهُ وَفَاءً Artinya: “Barangsiapa yang memiliki utang, atau (tidak memiliki utang namun) berkewajiban menafkahi orang lain, maka disunnahkan baginya untuk tidak bersedekah sampai ia melunasi tanggungan yang wajib baginya. Saya berkata: Menurut pendapat yang lebih sahih, haram hukumnya menyedekahkan harta yang ia butuhkan untuk menafkahi orang yang wajib ia nafkahi, atau (harta tersebut ia butuhkan) untuk membayar utang yang tidak dapat dilunasi (seandainya ia bersedekah).” (Imam Nawawi, Minhajut Thalibin wa ‘Umdatul Muftin fil Fiqh, [Beirut, Darul Ma’rifah: tt], halaman 95). Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Imam ar-Ramli dalam kitab Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, juz VI, halaman 174; Imam al-Qulyubi dalam kitab Hasyiyah al-Qulyubi; Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj; Syekh Muhammad az-Zuhri al-Ghumari dalam kitab as-Sirajul Wahhaj ‘ala Matnil Minhaj; Imam Abu Zara’ah al-Iraqi dalam kitab Tahrirul Fatawa; dan beberapa ulama mazhab Syafi’iyah lainnya. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang memiliki utang dan tidak bisa melunasinya kecuali dengan uang yang sedang ia miliki, maka tidak boleh baginya untuk bersedekah. Termasuk juga jika ia sedang membutuhkan uang tersebut, baik untuk dirinya sendiri ataupun orang-0rang yang menjadi tanggungjawabnya. Berbeda dengan orang yang masih memiliki harapan bisa membayar utang melalui jalur yang lain. Contoh: ada orang yang punya utang 100 ribu, dan ia memang hanya memiliki uang 100 ribu, hanya saja ia memiliki penghasilan di luar yang hasilnya bisa digunakan untuk melunasi utangnya, maka hukum bersedekah bagi orang seperti contoh ini diperbolehkan. Hal ini dengan catatan, sepanjang tidak sampai mengakhirkan pembayaran utang dari tempo yang telah ditentukan dan tidak ada tagihan dari orang yang memberi utang. Jika berakibat mengakhirkan pembayaran atau ada tagihan dari pemberi utang, maka dalam hal ini wajib untuk menyegerakan pelunasan utangnya, وأما تقديم الدين فلأن أداءه واجب فيتقدم على المسنون فإن رجاله وفاء من جهة أخرى ظاهرة فلا بأس بالتصدق به إلا إن حصل بذلك تأخير وقد وجب وفاء الدين على الفور بمطالبة أو غيرها فالوجه وجوب المبادرة إلى إيفائه وتحريم الصدقة بما يتوجه إليه دفعه في دينه Artinya: “Adapun kewajiban mendahulukan membayar utang adalah karena merupakan tanggungan wajib, maka harus didahulukan dari yang sunnah (sedekah). Sedangkan jika utangnya bisa lunas melalui harta yang lain, maka tidak masalah bersedekah dengan harta tersebut, kecuali jika berakibat pada diakhirkannya pembayaran. Sedangkan ia wajib untuk segera melunasi utang tersebut karena adanya tagihan atau hal lainnya, maka dalam keadaan ini wajib untuk segera melunasi utangnya, dan haram bersedekah dengan harta yang akan digunakan untuk membayar utang.” (Syekh Khatib as-Sirbini, Mughnil Muhtaj, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz III, halaman 122). Kendati demikian, merujuk penjelasan Imam ar-Ramli dalam kitab Nihayatul Muhtaj, larangan bersedekah bagi orang yang punya utang tidaklah bersifat umum. Hal-hal kecil yang tidak berpengaruh pada adanya utang seperti roti, kue dan makanan ringan lainnya tetap disunnahkan dan dianjurkan. Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bersedekah bagi orang yang memiliki utang tidaklah dianjurkan, bahkan bisa berhukum haram jika utangnya sudah jatuh tempo atau diharapkan tidak adanya harta yang bisa melunasi utangnya jika ia bersedekah. Karena itu, setiap orang harus benar-benar bijak dalam mengelola uangnya. Bersedekah memang bagian dari anjuran syariat Islam dan termasuk perbuatan yang terpuji, namun menjadi kurang baik jika dilakukan oleh orang-orang yang sedang terlilit utang, atau benar-benar butuh untuk menafkahi dirinya sendiri dan keluarganya. Wallahu a’lam.

Sumber: https://www.nu.or.id/

kenapa bacaan sholat dzuhur & ashar tidak bersuara?
  • 3). Pan aya keterangan bahwa solat lohor asar bacaanna kudu di launken jeng magrib isa subuhmah ditarikken tah nha bet kudu di launken bacaan solat lohor jeng asarteh ari magrib isa subuh mah di tarikken hoyong dalilna?

       Jawab :

Dalil as-sunnah referensi kitab sohih bukhori hal  153

Pertama: solat malam di jahr keun

Hadist ti jubair bin muth’im R.A

سمعتُ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يقرأُ بالطورِ في المغربِ

Kuring ngadangu kangjeng rasul eta maca/ngaosken surat at-tur dina solat magrib (HR.bukhori-muslim no. 463).

Kedua : solat siang di sirr keun

Hadist katampi ti khabbab bin al-arat R.A aya nu naros ka anjenna

أكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرأ في الظهر والعصر ؟ قال : نعم . قلنا : بمَ كنتم تعرفون ذلك ؟ قال : ” باضطِرَاب لحيته

“Apakah rasululloh saw dina waktos netepan dhuhur sareng ashar eta maca ayat al-quran? Khabbab menjawab : muhun. Jalmi tadi naros dei: kumaha anjeun nganyahoken nana? Khabbab menjawab: tina gerakan jenggot anjena ( kangjeng nabi)” (HR. bukhori no.713)

Hikmahna nyaeta : peting mah tempatna persepenan /sepi karna ngarasa ngenah, ni’mat munajatna hiji hamba ka pangerannana maka sunat di tarikken , jeung karna berang teh tempatna kasibukan, rarecokna jama2x maka sunat dilaunken .

Referensi kitab i’anatuttolibiin juz 1 hal 153

والحكمة في الجهر في موضعه انه لما كا نا الليل محل الخلوة ويطيب فيه السمر شرغ الجهر فيه طلبا للذاة مناجة العبد لربه وخص بالاوليين لنشاة المصلى فيهما , والنهار لما كانا محل الشواغل والاختلاة بالناس طلب فيه الاسرار  لعدم صلاحيته للتفرغ للمناجة , واٌلحق الصبح  بالصلاة الليلة  لان وقته ليس محلا للشواغ                                                                                                            

(Ilustrasi berbuka puasa /Freepik)
Jelang Ramadhan, Ini 3 Hal yang Perlu Dipersiapkan

NU Online  Tidak terasa umat Islam sudah hampir melewati separuh bulan Sya’ban. Artinya, tidak lama lagi bulan suci Ramadhan akan tiba. Agar lebih maksimal menyambut kedatangan bulan kesembilan dalam perhitungan kalender hijriah ini, berikut adalah tiga hal yang perlu dilakukan umat Muslim menjelang Ramadhan.

Pertama, memperbanyak puasa sunnah di bulan Sya’ban. Maksud puasa sunnah di sini adalah sebelum memasuki separuh terakhir Sya’ban. Salah satu manfaat puasa tersebut adalah sebagai latihan sebelum berpuasa Ramadhan satu bulan penuh.

Dasar puasa ini salah satunya hadits berikut yang artinya:  “Rasulullah saw sering berpuasa sehingga kami katakan: ‘Beliau tidak berbuka’; beliau juga sering tidak berpuasa sehingga kami katakan: ‘Beliau tidak berpuasa’; aku tidak pernah melihat Rasulullah saw menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali Ramadlan; dan aku tidak pernah melihat beliau dalam sebulan (selain Ramadhan) berpuasa yang lebih banyak daripada puasa beliau di bulan Sya’ban’.” (Muttafaqun ‘Alaih. Adapun redaksinya adalah riwayat Muslim). 

Jika sudah masuk separuh terakhir Sya’ban, maka ulama berbeda terkait kebolehan berpuasa sunnah mutalk Sya’ban. Tapi mereka sepakat akan kebolehan puasa sunnah bagi orang yang sudah terbiasa melakukannya, seperti puasa Senin Kamis, puasa Daud, puasa dahar, dan lain-lain. Dibolehkan juga puasa bagi orang yang ingin membayar kafarat, qadla puasa, dan orang yang ingin melanjutkan puasa setelah puasa nisfu Sya’ban.

Kedua, menyambut Ramadhan dengan hati yang gembira. Salah satu anjuran bagi Muslim ketika datang bulan suci ini adalah dengan tahni’ah atau perasaan gembira karena bulan tersebut memiliki banyak keutamaan. Rasulullah sendiri menganjurkan demikian sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut yang artinya: 

“Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu. Dalam bulan itu dibukalah pintu-pintu langit, dan ditutuplah pintu-pintu neraka, dan syaitan-syaitan dibelenggu. Pada bulan itu terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Siapa yang tidak memperoleh kebajikan di malam itu, maka ia tidak memperoleh kebajikan apapun.” (Hadits Shahih, Riwayat al-Nasa`i: 2079 dan Ahmad: 8631. dengan redaksi hadits dari al-Nasa’i). 

Ketiga, melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya bulan Ramadhan. Agar umat Muslim bisa semaksimal mungkin mendapat keutamaan bulan suci ini, maka baiknya dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka termotivasi untuk menyambut kehadirannya. Hal ini bisa dilakukan dalam bentuk ceramah di majelis-majelis dan sebagainya. 

Rasulullah sendiri selalu menyampaikan pidato di depan para sahabat jika menjelang bulan Ramadhan agar mereka semangat menyambutnya dan tidak menyia-nyiakan momen penuh rahmat ini.