Bagaimana hukumnya meninggalkan Solat Sunnah ditengah pengerjaannya?

Sumber foto : https://id.pinterest.com/pin/313070611611460400/

Bagaimana hukumnya meninggalkan Solat Sunnah ditengah pengerjaannya?

Nah, simak baik-baik penjelasan berikut.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti tidak lepas dari yang namanya Solat. Dan Solat terbagi menjadi dua, ada Solat Fardu dan ada Solat Sunnah.
Berbicara tentang Sunnah, Sunnah adalah bagian dari Mandub (مندوب). Apa pengertian dari Mandub?. Pengertiannya adalah:

مَا يُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ وَلاَ يُعَاقَبُ عَلَى تَرْكِهِ

Artinya:” Perkara yang bernilai pahala ketika dikerjakan dan tidak mendapatkan siksaan ketika di tinggalkan

Dan lafadz Mandub mempunyai persamaan (مُتَّرَدِف), antara lain: Sunnah, Mustahab, Tathowu’. Namun lafadz Mandub mempunya ma’na yang lebih umum. Menurut Imam Al-Qodi Husein dan ulama yang lain, istilah Sunnah, Mustahab, Tathowu’ itu bukanlah kata yang muttarodif, dan juga memiliki definisi yang berbeda-beda, antara lain:
Sunnah : Adalah perbuatan nabi yang dilakukan secara terus-menerus.
Mustahab : Adalah perbuatan nabi yang jarang dilakukan.
Tathowu’ : Adalah perbuatan para sahabat dan para ulama’ yang di perbolehkan oleh nabi.
Contoh seperti perbuatan yang sering dilakukan oleh masyarakat di indonesia, khususnya : peringatan Maulid Nabi, peringatan Isra’ Mi’raj, tahlil dan lain sebagainya.

Baca juga : “Hukum solat memakai cadar”

Dan Bagaimana hukumnya jika kita meninggalkan Solat Sunnah ditengah pengerjaanya?
Jawabannya adalah, menurut Imam Syafi’i diperbolehkan. Contoh seperti si A sedang melaksanakan solat Dhuha dirumahnya, namun orangtua si A tersebut memanggilnya untuk membelikan suatu barang atau makanan, maka si A diperbolehkan untuk memutuskan solat Dhuha tersebut.

Namun menurut Imam Malik & Imam Abu Hanifah tidak diperbolehkan . Karena ada dalil AL-Qur’an yang berbunyi : ” يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوٓا۟ أَعْمَٰلَكُمْ
“QS Muhammad ayat 33”

Jadi hasil dari pertanyaan “Bagaimana hukumnya meninggalkan Solat Sunnah ditengah pengerjaannya?” adalah diperbolehkan. Dan semoga dengan adanya penjelasan ini, menjadi ilmu yang bermanfa’at, dan pembaca dapat memahami penjelasan tersebut. Wallahu A’lam

Editor : M Rifqi Fathurrohman

Referensi : Kitab An-Nafahat

Hukum Bersedekah bagi Orang yang Punya Hutang

Penanya yang budiman, semoga kita selalu dalam lindungan Allah swt. Bersedekah merupakan salah satu perbuatan terpuji yang sangat dianjurkan dalam Islam. Selain mendapatkan pahala yang besar, orang yang bersedekah juga akan memperoleh kebajikan, serta bisa menolong orang lain yang sedang membutuhkan bantuan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Ali ‘Imran, Allah swt berfirman:

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Artinya: “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan tentang hal itu, sungguh, Allah Maha Mengetahui.” (QS Ali ‘Imran, [3]: 92). Dalam ayat yang lain, Allah swt bahkan menjanjikan pahala yang sangat besar bagi orang-orang yang bersedekah

إِنَّ الْمُصَّدِّقِينَ وَالْمُصَّدِّقَاتِ وَأَقْرَضُوا اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً يُضَاعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, akan dilipatgandakan (balasannya) bagi mereka; dan mereka akan mendapatkan pahala yang mulia.” (QS Al-Hadid, [57]: 18).

Itulah beberapa ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang kemuliaan bersedekah. Orang-orang yang bersedekah akan mendapatkan pahala dan kebajikan yang banyak dari Allah saw, serta akan mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari-Nya. Kendati demikian, hukum bersedekah tidak selamanya dianjurkan sebagaimana penjelasan di atas, justru ada beberapa hukum bersedekah yang makruh dan tidak bernilai pahala apa-apa, bahkan berhukum haram dan berdosa. Semua ini tergantung situasi dan kondisi yang hendak bersedekah.  Lantas, bagaimana hukum bersedekah bagi yang sedang punya utang? Berkaitan dengan hal ini, para ulama ahli fiqih memiliki pandangan yang berbeda-beda perihal hukum bersedekah bagi orang yang memiliki utang, semua itu tergantung pada situasi dan kondisi orang yang hendak bersedekah. Imam Abu Zakaria Muhyiddin an-Nawawi (wafat 676 H) dalam kitabnya menjelaskan bahwa bersedekah bagi orang yang punya utang bukanlah perbuatan yang dianjurkan dan termasuk menyalahi sunnah. Bahkan jika dengan bersedekah tidak mampu melunasi hutangnya, maka hukumnya haram, وَمَنْ عَلَيْهِ دَيْنٌ أَوْلَهُ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ لاَ يَتَصَدَّقَ حَتَّى يُؤَدِّي مَا عَلَيْهِ. قُلْتُ اَلْأَصَحُّ تَحْرِيْمُ صَدَقَتِهِ بِمَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ لِنَفَقَةِ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ أَوْ لِدَيْنٍ لَا يَرْجُو لَهُ وَفَاءً Artinya: “Barangsiapa yang memiliki utang, atau (tidak memiliki utang namun) berkewajiban menafkahi orang lain, maka disunnahkan baginya untuk tidak bersedekah sampai ia melunasi tanggungan yang wajib baginya. Saya berkata: Menurut pendapat yang lebih sahih, haram hukumnya menyedekahkan harta yang ia butuhkan untuk menafkahi orang yang wajib ia nafkahi, atau (harta tersebut ia butuhkan) untuk membayar utang yang tidak dapat dilunasi (seandainya ia bersedekah).” (Imam Nawawi, Minhajut Thalibin wa ‘Umdatul Muftin fil Fiqh, [Beirut, Darul Ma’rifah: tt], halaman 95). Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Imam ar-Ramli dalam kitab Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, juz VI, halaman 174; Imam al-Qulyubi dalam kitab Hasyiyah al-Qulyubi; Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj; Syekh Muhammad az-Zuhri al-Ghumari dalam kitab as-Sirajul Wahhaj ‘ala Matnil Minhaj; Imam Abu Zara’ah al-Iraqi dalam kitab Tahrirul Fatawa; dan beberapa ulama mazhab Syafi’iyah lainnya. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang memiliki utang dan tidak bisa melunasinya kecuali dengan uang yang sedang ia miliki, maka tidak boleh baginya untuk bersedekah. Termasuk juga jika ia sedang membutuhkan uang tersebut, baik untuk dirinya sendiri ataupun orang-0rang yang menjadi tanggungjawabnya. Berbeda dengan orang yang masih memiliki harapan bisa membayar utang melalui jalur yang lain. Contoh: ada orang yang punya utang 100 ribu, dan ia memang hanya memiliki uang 100 ribu, hanya saja ia memiliki penghasilan di luar yang hasilnya bisa digunakan untuk melunasi utangnya, maka hukum bersedekah bagi orang seperti contoh ini diperbolehkan. Hal ini dengan catatan, sepanjang tidak sampai mengakhirkan pembayaran utang dari tempo yang telah ditentukan dan tidak ada tagihan dari orang yang memberi utang. Jika berakibat mengakhirkan pembayaran atau ada tagihan dari pemberi utang, maka dalam hal ini wajib untuk menyegerakan pelunasan utangnya, وأما تقديم الدين فلأن أداءه واجب فيتقدم على المسنون فإن رجاله وفاء من جهة أخرى ظاهرة فلا بأس بالتصدق به إلا إن حصل بذلك تأخير وقد وجب وفاء الدين على الفور بمطالبة أو غيرها فالوجه وجوب المبادرة إلى إيفائه وتحريم الصدقة بما يتوجه إليه دفعه في دينه Artinya: “Adapun kewajiban mendahulukan membayar utang adalah karena merupakan tanggungan wajib, maka harus didahulukan dari yang sunnah (sedekah). Sedangkan jika utangnya bisa lunas melalui harta yang lain, maka tidak masalah bersedekah dengan harta tersebut, kecuali jika berakibat pada diakhirkannya pembayaran. Sedangkan ia wajib untuk segera melunasi utang tersebut karena adanya tagihan atau hal lainnya, maka dalam keadaan ini wajib untuk segera melunasi utangnya, dan haram bersedekah dengan harta yang akan digunakan untuk membayar utang.” (Syekh Khatib as-Sirbini, Mughnil Muhtaj, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz III, halaman 122). Kendati demikian, merujuk penjelasan Imam ar-Ramli dalam kitab Nihayatul Muhtaj, larangan bersedekah bagi orang yang punya utang tidaklah bersifat umum. Hal-hal kecil yang tidak berpengaruh pada adanya utang seperti roti, kue dan makanan ringan lainnya tetap disunnahkan dan dianjurkan. Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bersedekah bagi orang yang memiliki utang tidaklah dianjurkan, bahkan bisa berhukum haram jika utangnya sudah jatuh tempo atau diharapkan tidak adanya harta yang bisa melunasi utangnya jika ia bersedekah. Karena itu, setiap orang harus benar-benar bijak dalam mengelola uangnya. Bersedekah memang bagian dari anjuran syariat Islam dan termasuk perbuatan yang terpuji, namun menjadi kurang baik jika dilakukan oleh orang-orang yang sedang terlilit utang, atau benar-benar butuh untuk menafkahi dirinya sendiri dan keluarganya. Wallahu a’lam.

Sumber: https://www.nu.or.id/

kenapa bacaan sholat dzuhur & ashar tidak bersuara?
  • 3). Pan aya keterangan bahwa solat lohor asar bacaanna kudu di launken jeng magrib isa subuhmah ditarikken tah nha bet kudu di launken bacaan solat lohor jeng asarteh ari magrib isa subuh mah di tarikken hoyong dalilna?

       Jawab :

Dalil as-sunnah referensi kitab sohih bukhori hal  153

Pertama: solat malam di jahr keun

Hadist ti jubair bin muth’im R.A

سمعتُ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يقرأُ بالطورِ في المغربِ

Kuring ngadangu kangjeng rasul eta maca/ngaosken surat at-tur dina solat magrib (HR.bukhori-muslim no. 463).

Kedua : solat siang di sirr keun

Hadist katampi ti khabbab bin al-arat R.A aya nu naros ka anjenna

أكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرأ في الظهر والعصر ؟ قال : نعم . قلنا : بمَ كنتم تعرفون ذلك ؟ قال : ” باضطِرَاب لحيته

“Apakah rasululloh saw dina waktos netepan dhuhur sareng ashar eta maca ayat al-quran? Khabbab menjawab : muhun. Jalmi tadi naros dei: kumaha anjeun nganyahoken nana? Khabbab menjawab: tina gerakan jenggot anjena ( kangjeng nabi)” (HR. bukhori no.713)

Hikmahna nyaeta : peting mah tempatna persepenan /sepi karna ngarasa ngenah, ni’mat munajatna hiji hamba ka pangerannana maka sunat di tarikken , jeung karna berang teh tempatna kasibukan, rarecokna jama2x maka sunat dilaunken .

Referensi kitab i’anatuttolibiin juz 1 hal 153

والحكمة في الجهر في موضعه انه لما كا نا الليل محل الخلوة ويطيب فيه السمر شرغ الجهر فيه طلبا للذاة مناجة العبد لربه وخص بالاوليين لنشاة المصلى فيهما , والنهار لما كانا محل الشواغل والاختلاة بالناس طلب فيه الاسرار  لعدم صلاحيته للتفرغ للمناجة , واٌلحق الصبح  بالصلاة الليلة  لان وقته ليس محلا للشواغ                                                                                                            

(Ilustrasi berbuka puasa /Freepik)
Jelang Ramadhan, Ini 3 Hal yang Perlu Dipersiapkan

NU Online  Tidak terasa umat Islam sudah hampir melewati separuh bulan Sya’ban. Artinya, tidak lama lagi bulan suci Ramadhan akan tiba. Agar lebih maksimal menyambut kedatangan bulan kesembilan dalam perhitungan kalender hijriah ini, berikut adalah tiga hal yang perlu dilakukan umat Muslim menjelang Ramadhan.

Pertama, memperbanyak puasa sunnah di bulan Sya’ban. Maksud puasa sunnah di sini adalah sebelum memasuki separuh terakhir Sya’ban. Salah satu manfaat puasa tersebut adalah sebagai latihan sebelum berpuasa Ramadhan satu bulan penuh.

Dasar puasa ini salah satunya hadits berikut yang artinya:  “Rasulullah saw sering berpuasa sehingga kami katakan: ‘Beliau tidak berbuka’; beliau juga sering tidak berpuasa sehingga kami katakan: ‘Beliau tidak berpuasa’; aku tidak pernah melihat Rasulullah saw menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali Ramadlan; dan aku tidak pernah melihat beliau dalam sebulan (selain Ramadhan) berpuasa yang lebih banyak daripada puasa beliau di bulan Sya’ban’.” (Muttafaqun ‘Alaih. Adapun redaksinya adalah riwayat Muslim). 

Jika sudah masuk separuh terakhir Sya’ban, maka ulama berbeda terkait kebolehan berpuasa sunnah mutalk Sya’ban. Tapi mereka sepakat akan kebolehan puasa sunnah bagi orang yang sudah terbiasa melakukannya, seperti puasa Senin Kamis, puasa Daud, puasa dahar, dan lain-lain. Dibolehkan juga puasa bagi orang yang ingin membayar kafarat, qadla puasa, dan orang yang ingin melanjutkan puasa setelah puasa nisfu Sya’ban.

Kedua, menyambut Ramadhan dengan hati yang gembira. Salah satu anjuran bagi Muslim ketika datang bulan suci ini adalah dengan tahni’ah atau perasaan gembira karena bulan tersebut memiliki banyak keutamaan. Rasulullah sendiri menganjurkan demikian sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut yang artinya: 

“Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu. Dalam bulan itu dibukalah pintu-pintu langit, dan ditutuplah pintu-pintu neraka, dan syaitan-syaitan dibelenggu. Pada bulan itu terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Siapa yang tidak memperoleh kebajikan di malam itu, maka ia tidak memperoleh kebajikan apapun.” (Hadits Shahih, Riwayat al-Nasa`i: 2079 dan Ahmad: 8631. dengan redaksi hadits dari al-Nasa’i). 

Ketiga, melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya bulan Ramadhan. Agar umat Muslim bisa semaksimal mungkin mendapat keutamaan bulan suci ini, maka baiknya dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka termotivasi untuk menyambut kehadirannya. Hal ini bisa dilakukan dalam bentuk ceramah di majelis-majelis dan sebagainya. 

Rasulullah sendiri selalu menyampaikan pidato di depan para sahabat jika menjelang bulan Ramadhan agar mereka semangat menyambutnya dan tidak menyia-nyiakan momen penuh rahmat ini. 

Niat Puasa Rajab Sekaligus Qadha Ramadhan, Apakah Diperbolehkan?


 Memasuki bulan Rajab, salah satu ibadah yang dianjurkan untuk dikerjakan adalah puasa. Mengingat banyaknya keutamaan di bulan Rajab, tak sedikit umat muslim yang ingin menunaikan puasa Rajab tersebut.
Namun, muncul pertanyaan bagi umat muslim yang masih memiliki hutang puasa Ramadhan. Bolehkah menggabungkan niat puasa Rajab dengan qadha puasa Ramadhan?

menggabungkan puasa Rajab dengan puasa qadha Ramadhan sah dilakukan dengan niat berpuasa. Hal ini karena puasa rajab merupakan puasa sunah yang diperbolehkan untuk dilakukan dengan niat berpuasa secara mutlak tanpa diisyaratkan ta’yin atau menentukan jenis puasanya.

Misalnya, melafalkan niat “Saya niat berpuasa karena Allah,” tidak harus ditambahkan “karena melakukan kesunahan puasa Rajab”.

Sementara itu, puasa qadha Ramadhan merupakan puasa wajib yang sudah ditentukan jenis puasanya. Misalnya dengan melafalkan niat “Saya niat berpuasa qadha Ramadhan fardu karena Allah”.

Untuk itu, menggabungkan niat puasa Rajab dengan puasa qadha Ramadhan hukumnya diperbolehkan dan sah, serta pahala keduanya bisa didapatkan. Sebagaimana menurut Syekh al-Barizi yang mengatakan meski hanya niat qadha puasa Ramadhan, maka secara otomatis pahala berpuasa Rajab pun tetap bisa didapatkan.

Adapun penjelasan di atas berdasarkan keterangan dalam kitab Fathul Mu’in serta hasyiyahnya, I’anatuth Thalibin, sebagai berikut:

وبالتعيين فيه النفل أيضا فيصح ولو مؤقتا بنية مطلقة كما اعتمده غير واحد (وقوله ولو مؤقتا) غاية في صحة الصوم في النفل بنية مطلقة أي لا فرق في ذلك بين أن يكون مؤقتا كصوم الاثنين والخميس وعرفة وعاشوراء وأيام البيض أو لا كأن يكون ذا سبب كصوم الاستسقاء بغير أمر الإمام أو نفلا مطلقا (قوله بنية مطلقة ) متعلق بيصح فيكفي في نية صوم يوم عرفة مثلا أن يقول نويت الصوم ( قوله كما اعتمده غير واحد) أي اعتمد صحة صوم النفل المؤقت بنية مطلقة وفي الكردي ما نصه في الأسنى ونحوه الخطيب الشربيني والجمال الرملي الصوم في الأيام المتأكد صومها منصرف إليها بل لو نوى به غيرها حصلت إلخ زاد في الإيعاب ومن ثم أفتى البارزي بأنه لو صام فيه قضاء أو نحوه حصلا نواه معه أو لا وذكر غيره أن مثل ذلك ما لو اتفق في

يوم راتبان كعرفة ويوم الخميس انتهى

Artinya: Dan dikecualikan dengan pensyaratan ta’yin (menentukan jenis puasa) dalam puasa fardu, yaitu puasa sunah, maka sah berpuasa sunah dengan niat puasa mutlak, meski puasa sunah yang memiliki jangka waktu sebagaimana pendapat yang dipegang oleh lebih dari satu ulama. Ucapan Syekh Zainuddin, meski puasa sunah yang memiliki jangka waktu, ini adalah ghayah (puncak) keabsahan puasa sunah dengan niat puasa mutlak, maksudnya tidak ada perbedaan dalam keabsahan tersebut antara puasa sunah yang berjangka waktu seperti puasa Senin-Kamis, Arafah, Asyura’ dan hari-hari tanggal purnama. Atau selain puasa sunah yang berjangka waktu, seperti puasa yang memiliki sebab, sebagaimana puasa istisqa dengan tanpa perintah imam, atau puasa sunnah mutlak. Ucapan Syekh Zainuddin, dengan niat puasa mutlak, maka cukup dalam niat puasa Arafah dengan niat semisal, saya niat berpuasa. Ucapan Syekh Zainuddin, sebagaimana pendapat yang dipegang oleh lebih dari satu ulama, maksudnya lebih dari satu ulama berpegangan dalam keabsahan puasa sunah dengan niat puasa mutlak. Dalam kitabnya Syekh al-Kurdi disebutkan, dalam kitab Al-Asna demikian pula Syekh Khatib al-Sayarbini dan Syekh al-Jamal al-Ramli, berpuasa di hari-hari yang dianjurkan untuk berpuasa secara otomatis tertuju pada hari-hari tersebut, bahkan apabila seseorang berniat puasa beserta niat puasa lainnya, maka pahala keduanya berhasil didapatkan.

Dalam kitab Al-I’ab ditambahkan, dari kesimpulan tersebut, Syekh al-Barizi berfatwa bahwa apabila seseorang berpuasa qadha (Ramadhan) atau lainnya di hari-hari yang dianjurkan berpuasa, maka pahala keduanya bisa didapat, baik disertai niat berpuasa sunnah atau tidak. Ulama lain menyebutkan, demikian pula apabila bertepatan bagi seseorang dalam satu hari dua puasa rutin, seperti puasa hari Arafah dan puasa hari Kamis.

Niat Puasa Rajab
Sama halnya dengan cara membaca niat puasa pada umumnya, waktu niat puasa Rajab dilafalkan pada malam hari, yaitu sejak terbenamnya matahari sampai terbit fajar.

Berikut bacaan niat puasa Rajab

نَوَيْتُ صَوْمَ شَهْرِ رَجَبَ سُنَّةً لِلّٰهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma Rajaba sunnatan lillahi ta’ala.

Artinya: Aku berniat puasa Rajab, sunah karena Allah ta’ala.

Niat Puasa Rajab Saat Siang Hari
Bagi umat muslim yang lupa melafalkan niat pada malam hari, diperbolehkan untuk melafalkannya pada siang hari, yaitu dari pagi hari sampai sebelum tergelincirnya matahari (waktu zuhur), dengan syarat tidak melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa. Hal ini karena puasa Rajab adalah puasa sunah.

Berikut ini bacaan niat puasa Rajab yang dilafalkan pada siang hari

Berikut adalah lafal niat ketika siang hari:

نَوَيْتُ صَوْمَ هٰذَا الْيَوْمِ عَنْ أَدَاءِ شَهْرِ رَجَبَ سُنَّةً لِلّٰهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma hadzal yaumi ‘an ada’i syahri rajaba lillahi ta’ala.

Artinya: Saya niat puasa sunnah bulan Rajab hari ini, sunnah karena Allah ta’ala.

Niat Puasa Rajab Sekaligus Qadha Ramadhan
Bagi umat muslim yang ingin menunaikan puasa Rajab sekaligus puasa qadha Ramadhan, berikut bacaan niatnya:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ قَضَاءٍ فَرْضَ رَمَضَانً ِللهِ تَعَالَى

Nawaitu Shouma Ghodin ‘an qadaa’in fardho ramadhoona lillahi ta’alaa.

Artinya: Saya niat puasa esok hari karena mengganti fardhu Ramadan karena Allah ta’ala.

Doa Buka Puasa
Sama halnya dengan puasa-puasa lainnya,berikut ini bacaan doa buka puasa Rajab yang juga bisa dibaca saat puasa qadha Ramadhan.

اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

Allahumma laka shumtu wa bika amantu wa’ala rizqika afthartu. Birrahmatika yaa arhamar roohimin.

Artinya : Ya Allah, untukMu aku berpuasa, dan kepadaMu aku beriman, dan dengan rezekiMu aku berbuka. Dengan rahmatMu wahai yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Demikian bacaan niat puasa Rajab sekaligus puasa qadha Ramadhan lengkap dengan doa buka puasanya.


Editor: Alima sri sutami mukti