Strategi Dakwah Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’
  1. Deskripsi Umum Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’

Pondok pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ yang berada di kampung Ciendog

RT 03 RW 07, Desa Kertajaya, Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur adalah satu-satunya pesantren salafiyah di Cianjur yang memiliki lebih dari 2000 santri. Pesantren ini pertama kali di dirikan oleh almarhum KH. Ahmad Faqih pada tahun 1957 di Kampung Pasirnangka, Desa Kertajaya , Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur. KH. Ahmad Faqih adalah seorang alumni Pesantren Sukamanah Tasikmalaya , yang pada waktu itu dipimpin langsung oleh KH. Zaenal Mustofa yang dikenal sebagai pahlawan Nasional

             KH. Ahmad Faqih pindah ke Cianjur karena terdorong oleh situasi Negara Republik Indonesia yang pada masa awal kemerdekaan belum sepenuhnya aman. Kepergian beliau konon kabarnya disebabkan oleh pertikaian antara TRI dengan DI/TII. Oleh pihak DI/TII, beliau dicurigai sebagai mata-mata TRI. Sebaliknya, oleh TRI pun dicurigai berkomplot dengan DI/TII yang memang pada saat itu berpusat di Tasikmalaya. Beliau pindah ke Desa Gunung Halu Yang kini dimekarkan menjadi empat Desa , yaitu Desa Sindangsari, Desa Sindangjaya, Desa Kertajaya dan Desa Gunungsari. Beliau memilih Desa Kertajaya sebagai tempat mendirikan pesantrennya karena Desa ini berdekatan dengan basis Kristenisasi di Jawa Barat. Maka dari itu, salah satu tujuan utrama dari pendirian pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ ini adalah untuk membendung Kristenisasi.

            Nama Al-Musri’ adalah nama sebuah metode pelajaran yang diterapkan di Pesantren ini. Al-musri’ berarti “yang dipercepat”, dari kata سريعة (sari’ah / cepat). Metode yang dimulai diterapkan pada tahun 1970 ini merupakan suatu program belajar cepat dan efektif dan efisien (cepat dan padat). Dengan metode ini, ilmu yang ditanamkan kepada para santri adalah ilmu pilihan yang penting dan sangat mendasar saja dan dapat mereka tempuh selama 5,5 tahun saja. Istilah Al-Musri’ kemudian disematkan kepada nama Pesantren ini untuk membedakan dengan pesantren Miftahulhuda Yang di dirikan di Manonjaya, Tasikmalaya. Hal ini karena banyak orang menganggap bahwa Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ merupakan cabang dari pesantren Miftahulhuda Manonjaya. Padahal sebenarnya yang lebih dahulu berdiri adalah Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’.

            Pada awalnya, Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ hanya memiliki satu bangunan yang terdiri 10 santri, itupun berdiri dilahan yang ada dipinggir selokan irigasi dan di atas ladang ilalang, tetapi seiring bertambahnya santri yang belajar di Pesantren hingga sekarang Miftahulhuda Al-Musri’ sudah memiliki lahan seluas 40 ribu meter persegi dan memiliki bangunan pondok, masjid, beberapa ruang belajar, perpustakaan, laboraturium, lapangan dan sarana lainnya, santri yang belajar disini pun sudah lebih dari 2200 orang yang terdiri dari santri putra dan santri putri.

Santri yang saat ini belajar di pondok pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ berasal dari berbagai daerah di indonesia, mulai dari Nangroe Aceh Darussalam, Pulau Jawa hingga  Kalimantan. Alumninya pun terhitung ada lebih dari 4000 orang dan sudah tersebar di berbagai wilayah. Adapula sebagian yang sudah membuka cabang atau pondok pesantren lagi di tempat tinggalnya sekarang. Bahkan ada yang mukim di pedalaman pulau Kalimantan untuk membantu penduduk Dayak dalam belajar ilmu agama. Saat ini, sudah ada pula beberapa orang santri yang bermukim di Malaysia dan berdakwah disana.

            Dalam ilmu akidah, Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ mengajarkan akidah Asy’ariyah, sedangkan ilmu fikih, mereka mennganut madzhab Imam Syafi’i. Kyai dan santri di pesantren ini menghormati pemahaman lain yang berbeda asalkan sifat atau levelnya masih pada tataran furu’iyah atau cabang. Di dekat pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ juga berdiri sekolah dari Persatuan Islam (PERSIS), dan mereka dapat hidup rukun berdampingan.

Bagaimana hukum memakai jaringan internet (WIFI) orang lain tanpa ada izin dari pemiliknya?

Bagaimana Hukum Memakai Jaringan Internet ( Wifi ) Orang Lain Tanpa Izin?

Sumber Gambar : https://www.freepik.com/

Berbicara tentang Wifi ( jaringan ), jaringan adalah kumpulan perangkat yang saling terhubung untuk berbagi data, sumber daya, atau layanan. Misalnya, komputer, smartphone, server, dan perangkat lainnya yang terhubung melalui kabel (jaringan kabel) atau sinyal nirkabel (Wi-Fi). Dan di zaman sekarang, kita pasti tidak lepas dari yang namanya jaringan, baik itu jaringan WIFI ataupun jaringan seluler. Dulu, orang-orang berkomunikasi menggunakan surat atau tatap muka. Namun, dengan kemajuan teknologi, manusia mulai menemukan cara untuk menghubungkan perangkat agar bisa berbagi informasi secara cepat. Awalnya, jaringan komputer hanya digunakan di tempat tertentu, seperti di laboratorium riset. Seiring waktu, jaringan berkembang menjadi lebih kompleks. Dengan hadirnya kabel, router, dan teknologi nirkabel seperti Wi-Fi, komputer, smartphone, dan perangkat lain bisa saling terhubung, tidak peduli seberapa jauh jaraknya. Teknologi ini membuat komunikasi dan kerja sama menjadi lebih mudah. Hari ini, jaringan menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Internet, yang merupakan jaringan global, menghubungkan miliaran perangkat di seluruh dunia, memungkinkan orang untuk bekerja, belajar, dan bersosialisasi tanpa batas waktu dan tempat. Dari sebuah kantor kecil, rumah tetangga, rumah saudara hingga perusahaan besar, jaringan adalah tulang punggung dari sistem informasi modern.

Berhubung kita termasuk dari masyarakat Islam, dalam islam pasti semua perbuatan akan terkait dengan hukum, seperti halnya wajib, haram, sunnah, makruh, mubah, jaiz dan bathil. Seperti wajibnya sholat lima waktu, haramnya berzina, dan masih banyak contoh hukum-hukum lainnya.

Lantas dalam sudut pandang fiqih, bagaimana hukumnya memakai jaringan internet ( Wifi ) orang lain tanpa izin?. MARKIBA… ( mari kita bahas )

Dalam kitab Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menyampaikan keterangan sebagai berikut:

(وَسُئِلَ) بِمَا لَفْظُهُ هَلْ جَوَازُ الْأَخْذ بِعِلْمِ الرِّضَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ أَمْ مَخْصُوصٌ بِطَعَامِ الضِّيَافَةِ؟ (فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ الَّذِي دَلَّ عَلَيْهِ كَلَامُهُمْ أَنَّهُ غَيْر مَخْصُوصٍ بِذَلِكَ وَصَرَّحُوا بِأَنَّ غَلَبَةَ الظَّنِّ كَالْعِلْمِ فِي ذَلِكَ وَحِينَئِذٍ فَمَتَى غَلَبَ ظَنُّهُ أَنَّ الْمَالِكَ يَسْمَحُ لَهُ بِأَخْذِ شَيْءٍ مُعَيَّنٍ مِنْ مَالِهِ جَازَ لَهُ أَخْذُهُ ثُمَّ إنْ بَانَ خِلَافُ ظَنّه لَزِمَهُ ضَمَانُهُ وَإِلَّا فَلَا

Artinya: “Imam Ibnu Hajar ditanya: apakah kebolehan mengambil sesuatu dengan keyakinan adanya kerelaan pemilik itu tertentu dalam hal hidangan atau yang lainnya? Maka beliau menjawab: masalah tersebut tidak terkhusus dalam hal hidangan saja. Para ulama menjelaskan bahwa prasangka kuat itu kapasitasnya sama dengan keyakinan. Untuk itu, apabila seseorang memiliki prasangka kuat bahwa pemilik barang memberikan keluasan untuk untuk mengambil barang miliknya, maka ia boleh mengambilnya. Namun jika sebaliknya, maka ia wajib mengganti rugi.” (Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, 4/116).

Dari keterangan di atas, dapat diqiyaskan ( disamakan ) bahwa perilaku menyambung atau memanfaatkan jaringan internet milik orang lain secara diam-diam atau tanpa izin ini sama halnya seperti mengambil hidangan milik orang lain tanpa sepengetahuan si pemilik. Sehingga, dalam tinjauan sudut pandang fiqih, hukum perilaku menyambung atau memanfaatkan jaringan internet milik orang lain secara diam-diam atau tanpa izin tersebut, berdasarkan keterangan di atas, dapat diperinci sebagai berikut:

  • Apabila seseorang memiliki keyakian bahwa si pemilik jaringan tersebut hanya digunakan secara pribadi (tidak digunakan secara umum) dan pemilik tidak rela jika jaringan internet nya digunakan oleh orang lain, maka hukumnya menyambung atau memakai jaringan tersebut adalah haram.
  • Dan apabila seseorang memiliki keyakinan atau sangkaan kuat bahwa pemiliknya rela jika jaringan internetnya dimanfaatkan olehnya, maka hukum memanfaatkan jaringat internet tersebut diperbolehkan, meski tanpa sepengetahuan pemiliknya.

Dan demikianlah penjelasan mengenai “Bagaimana hukum memakai jaringan internet ( WIFI ) orang lain tanpa ada izin pemiliknya” sudah dijelaskan di atas, semoga pembaca dapat memahami penjelasan yang dapat saya berikan. Wallahu A’lam

Sumber : https://tebuireng.online/

Editor : M Rifqi Fathurrohman

Bagaimana hukumnya meninggalkan Solat Sunnah ditengah pengerjaannya?

Sumber foto : https://id.pinterest.com/pin/313070611611460400/

Bagaimana hukumnya meninggalkan Solat Sunnah ditengah pengerjaannya?

Nah, simak baik-baik penjelasan berikut.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti tidak lepas dari yang namanya Solat. Dan Solat terbagi menjadi dua, ada Solat Fardu dan ada Solat Sunnah.
Berbicara tentang Sunnah, Sunnah adalah bagian dari Mandub (مندوب). Apa pengertian dari Mandub?. Pengertiannya adalah:

مَا يُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ وَلاَ يُعَاقَبُ عَلَى تَرْكِهِ

Artinya:” Perkara yang bernilai pahala ketika dikerjakan dan tidak mendapatkan siksaan ketika di tinggalkan

Dan lafadz Mandub mempunyai persamaan (مُتَّرَدِف), antara lain: Sunnah, Mustahab, Tathowu’. Namun lafadz Mandub mempunya ma’na yang lebih umum. Menurut Imam Al-Qodi Husein dan ulama yang lain, istilah Sunnah, Mustahab, Tathowu’ itu bukanlah kata yang muttarodif, dan juga memiliki definisi yang berbeda-beda, antara lain:
Sunnah : Adalah perbuatan nabi yang dilakukan secara terus-menerus.
Mustahab : Adalah perbuatan nabi yang jarang dilakukan.
Tathowu’ : Adalah perbuatan para sahabat dan para ulama’ yang di perbolehkan oleh nabi.
Contoh seperti perbuatan yang sering dilakukan oleh masyarakat di indonesia, khususnya : peringatan Maulid Nabi, peringatan Isra’ Mi’raj, tahlil dan lain sebagainya.

Baca juga : “Hukum solat memakai cadar”

Dan Bagaimana hukumnya jika kita meninggalkan Solat Sunnah ditengah pengerjaanya?
Jawabannya adalah, menurut Imam Syafi’i diperbolehkan. Contoh seperti si A sedang melaksanakan solat Dhuha dirumahnya, namun orangtua si A tersebut memanggilnya untuk membelikan suatu barang atau makanan, maka si A diperbolehkan untuk memutuskan solat Dhuha tersebut.

Namun menurut Imam Malik & Imam Abu Hanifah tidak diperbolehkan . Karena ada dalil AL-Qur’an yang berbunyi : ” يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوٓا۟ أَعْمَٰلَكُمْ
“QS Muhammad ayat 33”

Jadi hasil dari pertanyaan “Bagaimana hukumnya meninggalkan Solat Sunnah ditengah pengerjaannya?” adalah diperbolehkan. Dan semoga dengan adanya penjelasan ini, menjadi ilmu yang bermanfa’at, dan pembaca dapat memahami penjelasan tersebut. Wallahu A’lam

Editor : M Rifqi Fathurrohman

Referensi : Kitab An-Nafahat

PEMBERANGKATAN UMROH MASYAYIKH AL-MUSRI’ & JAMA’AH

Umroh adalah ibadah umat Islam yang dilakukan di tanah suci Mekkah, khususnya di Masjidil Haram. Umroh memiliki beberapa keterangan, di antaranya.

Umroh secara bahasa berarti “berziarah” atau “mengunjungi suatu tempat”. Dalam istilah fikih, umroh berarti melakukan serangkaian ibadah, seperti tawaf, sa’i, dan tahalul. 

Alhamdulillah pada hari selasa tanggal 12 November Tahun 2024, Para Masyayikh Al-Musri’ berangkat ke Tanah suci Makkah dan Madinah guna untuk ziaroh ke maqom kanjeng Nabi Muhammad SAW yang dinamakan ibadah Umroh , pada kesempatan kali ini semuanya jamaah Riyals ( Riyadl Al-Musri’) Tour & Travel berangkat dari YPP. Miftahulhuda Al-Musri’ yang berjumlah 45 orang, Alhamdulillah keluarga besar Al-Musri’ pada kaliini yang berangkat menunaikan ibadah Umroh Sejumlah 9 orang, diantaranya :

  • K.H Mukhtar Gozali
  • Hj. Cucu Nurjanah
  • Hj. Ai Iffah
  • K.H Mahmud Munawwar
  • Hj. Siti Maryam
  • H. Muti’ Al-Hafidz S.pd
  • Ang Ahmad Fakhuroji
  • Teh Siti Maesaroh
  • The Saniyyah nurul maulida

Semoga jamaah semua diberi Kesehatan , kelancaran dalam menjalankan ibadah Umroh.

Teladan Rasulullah dalam Membangun Perekonomian yang Berkeadilan

Allah SWT mengutus para Rasul ketika nilai-nilai kemanusiaan mengalami kemerosotan. Manusia memiliki peran untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat dengan menyembah Allah SWT serta menjaga hubungan baik antarsesama. Salah satu nilai kemanusiaan yang rusak saat itu adalah ketidakadilan dalam transaksi jual beli. Para Rasul diutus untuk memperbaiki akhlak yang merosot ini. Ada di antara umat yang beriman, namun ada juga yang tetap tenggelam dalam kekufuran, sehingga Allah SWT menurunkan azab kepada umat-umat terdahulu.   Contohnya adalah umat Nabi Syu’aib yang mengurangi timbangan dalam berdagang. Perintah untuk berlaku adil dan tidak menzalimi sesama manusia telah dijelaskan dalam Al-Quran, sebagaimana firman Allah SWT:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Al-Quran, Surah An-Nisaa : 29).  Dalam Islam, kesejahteraan merupakan unsur penting dalam meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Kepemilikan harta oleh orang beriman memfasilitasi terciptanya kesejahteraan melalui praktik sedekah dan wakaf. Sedekah dan wakaf ini menjadi salah satu upaya kaum muslimin dalam ihyaul ummah, yakni menghidupkan kesejahteraan di tengah umat Islam.

Dalam sirah Rasulullah, kemerosotan akhlak terjadi pada masyarakat jahiliah. Pada masa itu, kehidupan masyarakat sangat timpang; yang kaya semakin kaya dan menindas yang miskin, sementara yang miskin terus diperlakukan secara tidak manusiawi. Kehadiran Rasulullah SAW bersama para sahabatnya kemudian berhasil memulihkan peradaban dan nilai-nilai kemanusiaan. (Safiyurrahman Al-Mubarakfuri, Rahiqul Makhtum, [Iskandariah: Dar Ibn Khaldun, t.t., hal. 33). Sejak awal kehidupannya di Mekkah, Rasulullah SAW sudah terlibat dalam aktivitas perdagangan. Beliau mengikuti pamannya dalam kafilah dagang ke negeri Syam, dan kemudian menjalin hubungan bisnis dengan Sayyidah Khadijah. (Muhammad Said Ramadan al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah, [Damaskus: Darul Fikri, 2005], hal. 52). Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah cukup memahami seluk-beluk dunia perniagaan. Dalam berniaga, beliau selalu menekankan pentingnya amanah dan kejujuran dalam setiap aktivitas bisnis. Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ أَبِى سَعِيْدٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: التَّاجِرُ الصَّدُوْقُ الأَمِيْنُ مَعَ النَّبِيِّيْنَ وَلصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ Artinya: “Dari Abi Sa’id, dari Nabi saw bersabda: ‘Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para Nabi, orang-orang yang jujur, dan para syuhada’.”  (Al-Munawi, Faidhul Kabir, [Beirut, Darul Ma’rifah, tt], jilid III, halaman 278). Di Madinah, Rasulullah SAW memakmurkan masjid (imaratul masjid) dan memperkuat persaudaraan di antara umat Islam, serta membangun hubungan dengan seluruh elemen suku yang ada di Madinah melalui Piagam Madinah. (Muhammad Said Ramadan al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah, Damaskus, Darul Fikri, 2005, hal. 142). Langkah ini kemudian memudahkan Rasulullah bersama kaum muslimin untuk membangun pasar dengan menguatkan perekonomian umat Islam. Salah satu caranya adalah dengan mendirikan Al-Hisbah, lembaga yang berfungsi untuk mengawasi pasar. Rasulullah SAW juga membentuk Baitul Mal, lembaga yang bertugas mengelola keuangan. Melalui sistem ini, khususnya dengan keberadaan Baitul Mal, tujuan Ihyaul Ummah (mewujudkan kesejahteraan masyarakat) melalui perekonomian Islam dapat tercapai.

فقد كان النبي يعين أمراء وعمال الأقاليم، وكانت مهمة كل أمير أن يقوم بجمع الصدقات . والجرية وأخماس الغنائم والخراج، وأحيانا كان رسول الله  يرسل عاملاً مختصا بالنواحي المالية، لتحصر مهمته بجمع مستحقات الدولة من الأموال الخراج والجزية، والعشور، والصدقات ويدفعها إلى بيت مال المسلمين، كما فعل رسول الله ٢ مع معاذ بن جبل  حينما بعثه إلى اليمن القبض الصدقات من عمالها، ومع أبي عبيدة بن الجراح : حينما أرسله إلى البحرين ليأتيه بجزيتها

Artinya, “Nabi SAW mengangkat para pemimpin dan pekerja di berbagai wilayah, dan tugas setiap pemimpin adalah mengumpulkan sedekah, pajak, seperlima dari rampasan perang, dan hasil dari pajak tanah. Terkadang, Rasulullah SAW mengutus seorang pekerja yang khusus menangani masalah keuangan, yang tugas utamanya adalah mengumpulkan pendapatan negara dari pajak tanah, upeti, zakat, dan sedekah, lalu menyetorkannya ke Baitul Mal. Seperti yang dilakukan Rasulullah ketika mengutus Muaz bin Jabal ke Yaman untuk mengumpulkan sedekah dari para pekerjanya, dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika beliau mengutusnya ke Bahrain untuk membawa upeti..” (Abi Ubaid Bin Qasim, Kitabul Amwal, [Beirut: Darusy Syuruq, 1989], halaman 41). Setahun setelah berada di Madinah, kaum muslimin berhasil membangun pasar yang kuat dan berperan penting dalam perekonomian kota. Keterkaitan antara iman dan akhlak yang amanah menjadi kunci utama dalam kesuksesan perekonomian umat Islam. Rasulullah SAW bersabda: حدثنا عفان حدثنا حماد حدثنا المغيرة بن زياد الثقفي سمع أنس بن مالك يقول إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لا إيمان لمن لا أمانة له ولا دين لمن لا عهد له   Artinya: “Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki kejujuran, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak memiliki perjanjian.” (Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, [Beirut: Dar Ihya at-Turats Al-Arabiy, 1993], jilid III, halaman 251, No. 13225). Di Madinah, sahabat Abdurrahman bin Auf awalnya tidak memiliki modal untuk berdagang. Namun, melalui strategi yang tepat, ia berhasil kembali menjadi salah satu sahabat terkaya. Selain itu, Sayyidina Utsman bin Affan juga dikenal sebagai salah satu sahabat terkaya di Madinah.   Setelah satu abad wafatnya Rasulullah, Islam hadir dengan perekonomian yang stabil, yang kemudian mencapai puncak kejayaan pada masa Kekhalifahan Turki Utsmani, dengan banyaknya tanah wakaf produktif. Dari sini, pemberdayaan ekonomi melalui konsep ihyaul ummah menjadi teladan yang diwariskan oleh Rasulullah SAW. Sebagai penutup, pemberdayaan ekonomi dalam Islam tidak hanya tentang pengelolaan harta, tetapi juga mencakup nilai-nilai keadilan, amanah, dan kesejahteraan bagi seluruh umat. Rasulullah SAW telah memberikan teladan yang nyata dalam membangun fondasi perekonomian yang berlandaskan keimanan dan akhlak yang mulia.  Dari masa beliau hingga masa kejayaan peradaban Islam, prinsip-prinsip ini terus dijaga dan diterapkan oleh para sahabat dan generasi sesudahnya. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari warisan ini dan menerapkannya dalam kehidupan ekonomi yang berkeadilan dan penuh keberkahan, demi mewujudkan kesejahteraan bersama. Wallahu a’lam

Sumber: https://islam.nu.or.id/hikmah/teladan-rasulullah-dalam-membangun-perekonomian-yang-berkeadilan-ydznI