Minta Doa pada Jamaah Haji yang Baru Pulang dari Tanah Suci
Sudah menjadi tradisi di Indonesia, jamaah yang telah melaksanakan ibadah haji di tanah suci mengadakan tasyakuran. Dalam momentum tersebut masyarakat mendatangi mereka, baik untuk berbagi cerita, mengambil oleh-oleh khas dari tanah Arab hingga meminta doa dari jamaah haji. Tradisi meminta doa dari jamaah haji diyakini memiliki perbedaan dari doa-doa lainnya, dari sisi diterima atau tidaknya di sisi Allah. Sehingga muncul ungkapan bahwa doa dari seseorang yang melaksanakan haji akan dikabulkan dalam rentang waktu 40 hari pasca kembalinya dari tanah suci. Tentunya sebuah tradisi yang hidup di masyarakat memiliki asal usul dan latar belakang yang menjadi pondasi awal lahirnya kebiasaan tersebut. Asal usul tersebut mewujud dalam beragam bentuk, salah satunya adalah teks-teks keagamaan, dalam konteks Islam adalah Al-Quran, hadits hingga pendapat para ulama dalam literatur keislaman
Menyinggung soal tradisi meminta doa kepada jamaah yang baru pulang dari tanah suci, setidaknya penulis mendapati beberapa hadits yang berkaitan dengan tradisi ini. Pertama, hadits yang diriwayatkan Abu Musa al-Asy’ari terkait orang yang melaksanakan ibadah haji dapat memberikan syafaat kepada 400 orang keluarganya, teksnya yaitu:
عَن أَبِي مُوسَى الأَشْعَرِيِّ، رَفَعَهُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، قَالَ الْحَاجُّ يَشْفَعُ فِي أَرْبَعِ مِائَةِ أَهْلِ بَيْتٍ، أَوْ قَالَ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ، وَيَخْرُجُ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ ad
Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari yang bersambung kepada Nabi, ia berkata, ‘Seseorang yang berhaji dapat memberikan syafaat kepada 400 orang keluarga atau keluarganya dan ia akan keluar dari dosanya seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya’.” (HR Al-Bazzar) Mengenai kualitas sanad hadits di atas, Al-Haitsami mengomentari bahwa dalam sanad milik al-Bazzar, ada perawi yang tidak disebut namanya. Sayangnya tidak ada pelacakan lebih lanjut mengenai kritik terhadap sanad hadits tersebut (Al-Haitsami, Majma’uz Zawaid wa Manbaul Fawaid, [Beirut: Darul Fikr, 1412], jilid III, hal. 484). Kedua, hadits terkait dengan doa orang yang melaksanakan haji diijabah oleh Allah. Riwayat ini dicantumkan oleh Al-Baihaqi dalam karyanya yang berjudul Ad-Da’awat al-Kabir. Teksnya yaitu: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “خَمْسُ دَعَوَاتٍ يُسْتَجَابُ لَهُنَّ: دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ حَتَّى يُنْتَصَرَ، وَدَعْوَةُ الْحَاجِ حَتَّى يُصْدَرَ، وَدَعْوَةُ الْمُجَاهِدِ حَتَّى يُقَفْلَ، وَدَعْوَةُ الْمَرِيضِ حَتَّى يُبْرَأَ…
Artinya, “Dari Ibnu ‘Abbas ra, dari Nabi saw, beliau bersabda, ‘Ada lima doa yang pasti dikabulkan: doa orang yang dizalimi hingga dia mendapat keadilan, doa orang yang berhaji hingga dia kembali, ………… doa mujahid sampai perjuangannya selesai, doa orang yang sakit hingga dia sembuh..” (HR Al-Baihaqi, Ad-Da’awat al-Kabir, Mengenai kualitas hadits di atas, para perawi yang disebutkan Al-Baihaqi dalam sanadnya merupakan perawi yang shahih (rijalush shahih), terlebih ‘Ali bin ‘Ali ar-Rifa’i dalam sanad Al-Baihaqi merupakan seorang yang kredibel (tsiqah) (Al-Mubarakfuri, Mir’atul Mafatih syarh Misykatil Mashabih, [India: Idaratul Buhuts. 1984], jilid VII, hal. 375).
Kemudian Al-Haitsami juga melampirkan riwayat mengenai meminta doa dari orang yang melaksanakan haji. Hadits ini disebutkan oleh Al-Haitsami bersumber dari riwayat Imam Ahmad, dan memiliki kualitas yang dhaif. Menurut al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaid, riwayat di atas lemah disebabkan adanya perawi dalam sanad riwayat Imam Ahmad yang bernama al-Baylamani. Teks hadits tersebut adalah
عن عبد الله بن عمر رحمه الله قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا لقيت الحاج فسلم عليه وصافحه ومره أن يستغفر لك قبل أن يدخل بيته فإنه مغفور له Artinya, “Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Umar ra, menceritakan bahwa Rasulullah saw bersabda, ‘Apabila kamu bertemu dengan seorang yang telah melaksanakan haji, ucapkanlah salam kepadanya, berjabat tangan dengannya, dan mintalah agar ia memohonkan ampunan bagimu sebelum masuk ke rumahnya, karena sesungguhnya dia telah diampuni.” (HR Ahmad). Dengan adanya teks-teks hadits di atas, jamaah haji di Indonesia selepas pulang dari tanah suci kerap dimintai doa, terkhusus doa supaya diberikan kesempatan dan rejeki juga untuk melaksanakan ibadah haji. Tradisi ini tidak ada salahnya apabila dipraktikkan, selama di dalamnya tidak ada unsur atau faktor eksternal yang menyebabkan suatu perbuatan dinilai haram atau dilarang dalam aturan agama Islam. Mengutip Hasyiyah al-Qalyubi, tradisi ini termasuk yang dianjurkan. Berikut keterangannya: وَيُنْدَبُ لِلْحَاجِّ الدُّعَاءُ لِغَيْرِهِ بِالْمَغْفِرَةِ وَإِنْ لَمْ يَسْأَلْ وَلِغَيْرِهِ سُؤَالُ الدُّعَاءِ مِنْهُ بِهَا وَذَكَرُوا أَنَّهُ أَيْ الدُّعَاءَ يَمْتَدُّ أَرْبَعِينَ يَوْمًا مِنْ قُدُومِهِ Artinya, “Disunnahkan bagi orang yang berhaji untuk mendoakan kepada orang (yang tidak berhaji) dengan ampunan meskipun orang tersebut tidak meminta. Dan bagi orang yang tidak berhaji hendaknya meminta didoakan oleh dia. Para ulama menyebut bahwa doa tersebut sampai empat puluh hari dari kedatangannya [pulang dari tanah suci].” (Syihabuddin al-Qalyubi, Hasyiyah Qalyubi, Beirut: Darul-Fikr, 1419 H/1998 M, jilid II, hal. 190). Selanjutnya, apabila sebagian hadits di atas dinilai dhaif, sudah tentu tetap dapat diamalkan. Para ulama membolehkan mengamalkan hadits dhaif dalam fadha’ilul ‘amal (amalan-amalan utama) dengan beberapa syarat yakni: tidak meyakini keshahihannya, tidak meyakini betul bahwa itu murni dari lisan dan tindakan Nabi, dan menjelaskan hukum haditsnya serta persyaratan lain yang telah ditetapkan ulama. Kesimpulannya, tradisi meminta doa kepada seseorang yang baru pulang dari tanah suci selepas menunaikan ibadah haji dianjurkan. Kita dapat meminta agar didoakan hal-hal yang baik, hingga didoakan supaya sampai juga ke tanah suci. Tentunya permintaan untuk didoakan tidak dengan memaksa, atau meyakini bahwa kuasa mengabulkan doa ada pada dirinya.
Sumber: https://islam.nu.
Editor: Alima sri sutami mukti___