Cinta dan benci
Ada suatu nasihat yang dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadits Nabi Muhammad SAW.: Cintailah kekasihmu secara wajar saja, siapa tahu suatu ketika ia menjadi seterumu. Dan bencilah seterumu secara wajar juga, siapa tahu suatu saat ia menjadi kekasihmu. Cinta dan benci adalah naluri manusia. Tidak heran jika agama memberikan petunjuk menyangkut hal tersebut sebagaimana petunjuknya menyangkut potensi-potensi manusia lain.
Nasihat diatas ditunjukan kepada manusia, demikian juga kekasih dan seteru yang dimaksud. Manusia memliki kalbu, yang dalam bahasa aslinya berati, “bolak-balik”. Hati manusia dinamai kalbu karena ia sering berubah-ubah, sekali ke kiri dan sekali ke kanan. Apalagi bila ia tidak memiliki peganganhidup dan tolak ukur yang pasti.
Cinta dan benci mengisi suatu waktu, sedangkan waktu itu terus berlalu. Karenanya, cinta dan benci pun dapat berlalu. Sebelum bercinta, seseorang merasa dirinya adalah salah satu yang “ada”. Tetapi, ketika bercinta ia dapat merasa memiliki segala yang “ada” atau tidak menghiraukan yang “ada”. Dan ketika cintanya putus, ia merasa “tidak ada” dan hampa. Demikianlah cinta mempermaikan manusia. Cinta dan persahabatan anak muda menurut sebagia pakar-didorong oleh usaha memperoleh kelezatan. Karenanya, ia serba cepat, yaitu cepat terjalin dan cepat pula putus. Sedangkan cinta dan persahabatan orang dewasa adalah demi memperoleh manfaat, dan ini pun beragam sehingga ia pun bersifat sementara. Abu Hayyan At-Tauhidy menulis: “Perjalanan yang paling panjang adalah perjalan mencari sahabat.” Sahabat, menurut Aristoteles, adalah Anda sendiri, hanya saja dia orang lain.
Dia adalah Anda Sendiri. Dan ingat, Anda memiliki kalbu yang sering kali berubah-ubah. Karenanya, tidak ada persahabatan yang kekal, apalagi dalam dunia kelezatan dan kepentingan. Para sahabat akrab, pada hari kemudian saling bermusuhan kecuali orang-orang yang bertaqwa (QS Az-Zukhruf:67). Karena orang bertaqwa memiliki pegangan hidup dan tolak ukur yang pasti, yang bersumber dari Allah yang Maha kekal.
Nasihat diatas sungguh terasa benarnya. Lihatlah, delapan tahun lamanya terjadi pertumpahan darah antara Irak dan Iran. Selama delapan tahun juga Kuwait memberikan bantuan dana yang tidak sedikit kepada irak demi kelanjutan perang. Tetapi, dengan serta-merta, teman yang dieluk-elukan kemarin, berubah menjadi musuh. Musuh kemarin di rangkul agar menjadi teman, sementara penyesalan dan permohonan maaf pun mengalir dari mereka yang mengutuknya kemarin. Julukan saudara terhadap bekas musuh pun terdengar. Demikianlah kalbu yang didasari oleh “kepentingan sementara” yang senantiasa berubah.
Di sini pula kita menyadari betapa luhur petunjuk Al-Qur’an yang mengingatkan kita: janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk tidak berlaku adil! Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.(QS Al-Maidah:8). Sungguh banyak pelajaran yang dapat dipetik dari berbagai peristiwa masa kini yang dapat menjadikan kita semakin percaya akan kebenaran petunjuk-petunjuk agama.
Penulis: Fachry Syahrul