Cerminan Pemimpin: Bukan Dendam Kekuasaan
Dalam kaitannya dengan kekuasaan dan kekayaan duniawi, seorang ulama bijak memberi nasihat bahwa ada fase-fase godaan ketika manusia melakukan amal perbuatan. Pertama, godaan hendak memimpin ketika dirinya benar-benar didukung rakyat dan seluruh komponen masyarakat. Artinya, apakah sang pemimpin sudah meluruskan niatnya dalam beramal. Bahwa ia akan memimpin dengan cara-cara yang fair dan jujur, ingin menolong dan memberdayakan umat, sebagai tugas pemimpin selaku khalifah di muka bumi? Kedua, kesanggupan untuk istiqomah dalam posisi dan tugas memimpin. Apakah ia akan lanjut secara konsisten, di tengah badai prahara dan kecamuk problem permasalahan umat. Terutama ketika ia menghadapi cobaan dicaci-maki karena kinerja yang dianggap kurang adil oleh sebagian komponen masyarakat, sementara tiap-tiap negara dan bangsa pasti akan menghadapi cobaan-cobaan yang disodorkan Tuhan kepada mereka, dalam ruang dan waktu permasalahan yang berbeda pula. Ketiga, ketika dia lengser atau turun jabatan, apakah disertai dengan keikhlasan, sehingga Allah ridho kepadanya. Ataukah, sang pemimpin masih berambisi untuk mendendam kepada pihak tertentu, bahkan terus terobsesi untuk menunjukkan dirinya orang baik dan kredibel di hadapan umat? Seorang calon presiden yang menyadari kekhilafannya akan senantiasa mengakui bahwa penguasa di era modern hingga post-modern ini tak lebih dari pejabat-pejabat publik yang “mencalonkan diri” selaku pemimpin umat. Sementara tidak ada konsep “mencalonkan” dalam tradisi kepemimpinan Islam. “Sekarang saya mengerti kata-kata hikmah, bahwa ketika saya gagal, berarti Allah sedang melindungi dan menyelamatkan saya. Tetapi, jika saya sukses, hal itu semata-mata Allah sedang mengizinkan saya.” Begitulah kira-kira perkataan cerminan untuk individu pemimpin. Itu artinya, kemenangan dalam politik kekuasaan, hanyalah fase awal dari suatu perjalanan panjang, yang nantinya beban itu akan terasa berat dipikulkan di pundaknya, lantaran ia telah meminta dan menuntut dirinya, seakan telah “memaksa” Tuhan agar mengabulkan permintaannya. Sama halnya dengan bocah yang masih duduk di bangku SD, meminta dengan segala cara agar orang tuanya membelikan sepeda motor, bahkan jikapun orang tuanya tak memberinya, ia akan terus mendesak sampai berani mencuri uang orang tuanya agar terpenuhi kehendak dan keinginannya (meskipun bukan kebutuhan primernya). Mari kita bahas kata-kata hikmah di atas secara lebih mendalam, bahwa hakikatnya kekuasaan duniawi yang hanya terhitung dalam tempo lima atau sepuluh tahun, tidak berarti apa-apa dalam manajemen perhitungan Tuhan. Bahkan, jikapun seorang penguasa berbohong selama puluhan tahun. Misalnya, seseorang naik ke tahta kekuasaan dengan trik-trik dan berbagai siasat, ia merasa dirinya berhak membohongi masyarakat, karena ia merasa khawatir dibohongi lebih dulu di zaman yang (menurutnya) serba edan ini. Hal itu mengindikasikan, sejak ia mengawali kekuasaannya, memang sudah berangkat dengan konsep pemikiran yang salah yang menyimpang. Nabi Muhammad adalah suri tauladan yang cerdas dan mulia, bahwa ia tetap tegar menghadapi bertubi-tubi cobaan dan permasalahan. Ia terlahir sebagai anak yatim di tengah prahara budaya dan tradisi Jahiliyah yang penuh pertikaian suku dan kabilah. Ia pernah dicaci-maki bahkan dilempari anak-anak muda karena dianggap gagal dalam mendidik umat (di daerah Thaif). Berkali-kali ia ditinggal mati orang-orang yang dicintai dan mencintainya, dari ibunya sendiri, kakek dan paman yang mengasuhnya, istri dan anak-anak yang sangat dicintainya. Barangkali dalam logika absurditas, nasib hidup yang nelangsa semacam itu, setidaknya ia bisa menjadi anak jalanan, atau gelandangan yang terseok-seok diperdagangkan di pasar-pasar budak. Ketika para kepala suku dan kabilah sibuk menunjukkan taring kekuasaannya, hingga saling memperebutkan posisinya, bahwa kelompok merekalah yang paling berhak memindahkan Hajar Aswad setelah pemugaran Ka’bah, justru Nabi Muhammad muda tak terpengaruh dengan kesibukan mereka yang saling menonjolkan diri di depan publik. Saat itu, Nabi Muhammad hanya membentangkan sorban, dan silakan saja para kepala kabilah memegang ujung-ujung sorban, lalu meletakkan batu hitam yang dianggap sakti dan keramat itu. Dari kacamata rohani dan spiritualitas Nabi Muhammad, pengaruh dan kekuasaan duniawi tak layak diperebutkan, meskipun tidak sedikit orang-orang di zamannya, betapa mereka saling sikut kiri dan kanan, hanya semata memperebutkan posisi jabatan dan kedudukan, yang kewenangan dan hak sepenuhnya berada di tangan Allah semata. Sesungguhnya, pemberian Tuhan yang bersifat istidraj, hanyalah mementingkan kegembiraan dan kesenangan sesaat yang bersifat nisbi dan semu belaka. Sedangkan, yang layak diperjuangkan adalah kebahagiaan sejati yang berpangkal dari anugerah yang bukan semata mendapat izin Allah melainkan juga ridho dari-Nya. Itu hanya mungkin diraih oleh orang-orang yang ikhlas dalam beramal, karena telah mengawali perbuatannya dengan niat-niat baik dan jujur, lalu ia terus istiqomah dalam menjalankan tugasnya, sampai kemudian berakhir dengan husnul khatimah. Pemberian kekuasaan yang berupa istidraj, boleh saja dipegang para penguasa negeri selama beberapa dinasti, bahkan hingga 309 tahun sekalipun. Tapi bagi orang-orang yang kualitas kesalehannya teruji, waktu sepanjang itu tak lebih dari sekali tidur dan terlelap di dalam gua, seperti yang pernah dialami para pemuda kekasih Allah (ashabul kahfi). Jadi, para politisi dan penguasa bisa saja bersiasat secanggih apapun, serta melakukan makar dengan segala dusta dan kefasikan, namun ketika mata-hatinya telah ditutup oleh Allah, maka tertutuplah ia dari jalan hidayah yang memungkinkan ia dapat terlindungi dan terselamatkan. Lalu, siapa lagi yang akan dia harapkan, jika Allah sudah berpaling darinya? Apakah ia akan meminta pertolongan dari orang-orang kaya dan berpengaruh, padahal mereka yang dimintai pertolongan itu pun sedang kewalahan mencari jalan untuk mendapat perlindungan dan keselamatan dari Allah? Mungkinkah orang-orang sakit yang kesibukannya hanya mementingkan kegembiraan dan kesenangan sekejap mata itu, dapat memberi pertolongan? Di dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa Allah tak akan memberi petunjuk dan hidayah bagi orang-orang yang fasik dan zalim. Di sini tak berlaku lagi garis dikotomi antara pemimpin berlabel agamis, sosialis, humanis ataukah nasionalis. Walaupun pemimpin itu mengawali kekuasaannya dengan mendendam pada kemiskinannya di masa lalu, atau pernah menjadi pesakitan yang terkorbankan oleh penguasa-penguasa sebelumnya, tetap jalan “mendendam” karena penderitaan masa lalu, tak bisa dibenarkan dalam logika ketuhanan. Bahkan, jikapun dendam itu berdasarkan kepentingan agama tertentu, atau berdasarkan mazhab tertentu. Sebab, di dalam iman yang dewasa akan saling terhubung meskipun manusia berbeda agama. Tetapi, dalam iman kepada thagut (syirik), orang-orang akan sulit saling terkoneksi, meskipun dalam satu agama. Jadi, pemimpin bijak dan adil itu sudah selesai dengan masa lalunya, juga selesai dengan ego-ego pribadinya. Apakah dulunya ia anak seorang raja yang makmur secara ekonomi, ataukah anak seorang sudra (kuli), hal tersebut tak boleh menjadi acuan yang membuatnya harus membalas-dendam atas masa lalunya. Seorang pahlawan pembela tanah air, yang berjiwa ksatria, serta berhasil mengadakan perlawanan atas pendudukan kaum penjajah, pada akhirnya juga mesti bersikap rendah hati, bahwa hakikat kemerdekaan terwujud berkat rahmat dan kasih sayang Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Allah berhak melanggengkan kemerdekaan itu bagi suatu bangsa, juga berhak mencabut anugerah kemerdekaan itu kembali, terlepas apakah para penjajahnya adalah dari ras dan suku yang sama. “Allah tidak mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu yang punya kemauan untuk mengubah dirinya sendiri. Jika Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, tak ada yang bisa menolaknya, serta tak ada yang menjadi pelindung kecuali hanya Allah semata,” demikian termaktub jelas dalam surat ar-Ra’d, ayat 11. Alkisah, di masa kepemimpinan Umar bin Khattab, seorang sahabat Nabi, Said bin Amir, sebenarnya tak pernah bercita-cita menjadi seorang pejabat tinggi di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Tiba-tiba, Umar selaku sahabat lamanya, menunjuk Said bin Amir agar menjabat Gubernur di wilayah Damsyik (Damaskus). “Tolong jangan bebani saya dengan tugas seberat ini, wahai Umar,” demikian Said bin Amir menyatakan penolakannya kepada Khalifah Umar. “Sahabatku, Said bin Amir,” balas Umar, “sekarang saya sudah dilantik sebagai Khalifah, karena pilihan kalian. Lalu, kenapa Anda menolak ketika saya punya kewenangan untuk menunjuk orang yang saya pilih?” Baca Juga Kriteria Pemimpin yang Baik Menurut Nabi Said bin Amir memang kurang dikenal di kalangan para sahabat Nabi. Ia seorang yang introvert dan kurang percaya-diri. Namun, Umar mengenal kapasitasnya selaku sahabat dan pengikut jejak perjuangan Nabi, meski karakteristiknya cenderung pasif dan tak suka menonjolkan diri. Umar menilai Said bin Amir sebagai sahabat yang zuhud, tetapi ia memiliki jiwa leadership yang tangguh. Damaskus kala itu termasuk salah satu wilayah yang tergolong makmur dengan pesatnya kemajuan di bidang perdagangan dan jasa. Tetapi, Said bin Amir menolak tunjangan dan fasilitas mewah yang disediakan negara, pada saat ia menjabar Gubernur. Ia juga menolak tunjangan khusus bagi keluarga Gubernur maupun saudara kerabatnya. Ia ingin mendidik istri dan anak-anaknya agar bersikap santun kepada para fakir-miskin, serta mengajarkan orang-orang terdekatnya agar hidup bersahaja. Bagi Said bin Amir, kenikmatan dan kemegahan dunia ini hanyalah sekejap mata, dan merupakan kesenangan yang menipu. Tak ada kenikmatan dalam kefanaan, tetapi kebahagiaan dan kenikmatan abadi justru di negeri akhirat kelak. Sungguh, alangkah bodoh dan dungu, jika seorang penguasa memilih jalan dendam, kemudian tidak ada keberanian untuk berusaha menolak menipu rakyatnya.
Sumber: https://www.nu.or.id
Editor: Alima sri sutami mukti