Kisah Imam Ghazali Berguru kepada Tukang Sol Sepatu

Imam Al-Ghazali (450 – 505 H) merupakan seorang ulama terkemuka yang bergelar Hujjatul Islam, dengan pemikiran yang hingga kini masih terus dikaji dan diikuti oleh umat Islam.   Siapa sangka, di balik kapasitas keilmuannya yang luar biasa, Imam Ghazali tetap bersedia belajar dari seorang tukang sol sepatu. Belakangan diketahui bahwa tukang sol sepatu tersebut adalah seorang ahli ma’rifat yang menyembunyikan keilmuannya di balik profesinya. Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Maraqil Ubudiyah syarah Bidayatul Hidayah (Jakarta, Darul Kutubil Islamiyah, 2010: 161-162) mengisahkan bahwa perjumpaan Imam Ghazali dengan tukang sol sepatu ini berawal dari saudaranya yang bernama Ahmad. Imam Ghazali sering menjadi imam shalat berjamaah di sebuah masjid dekat rumahnya. Namun, saudaranya yang bernama Ahmad tidak pernah terlihat menjadi makmum di masjid tersebut. Suatu hari, Imam Ghazali mengadukan hal ini kepada ibunya. “Ibu, tolong suruh saudaraku, Ahmad, untuk shalat berjamaah bersamaku supaya orang-orang tidak menuduh macam-macam,” ujar Al-Ghazali pada ibunya. Setelah mendapat perintah sang ibu, Ahmad pun menurutinya dan menjadi makmum saat Al-Ghazali menjadi imam shalat di masjid. Beberapa saat kemudian, Ahmad melakukan mufaraqah (berpisah dengan imam) karena melihat darah dalam diri Al-Ghazali. Usai shalat, Al- Ghazali pun mengetahui Ahmad melakukan mufaraqah dan menanyakan alasannya. “Aku melihat kamu dipenuhi dengan darah,” jawab Ahmad Imam Ghazali pun mengakui bahwa saat shalat, ia tidak bisa khusyuk karena pikirannya terganggu dengan masalah darah haid, tepatnya pada persoalan mutahayyirah, yaitu wanita yang sudah pernah mengalami haid dan suci darinya, kemudian mengalami pendarahan kembali. “Dari mana kamu belajar ilmu ini?” tanya Al-Ghazali penasaran. “Aku mempelajarinya dari syekh yang berprofesi sebagai tukang sol sepatu,” jawab Ahmad. Tidak menunggu lama, setelah mengetahui sosok dan alamatnya, Imam Ghazali pun segera berangkat untuk menemui dan belajar kepada syekh yang dimaksud. “Wahai tuanku, aku ingin belajar ilmu kepadamu,” ucap Al-Ghazali usai bertemu dan menyampaikan salam.  “Sepertinya kamu tidak akan sanggup untuk taat pada perintahku,” jawab syekh meragukan keseriusan Imam Ghazali. “Insyaallah aku sanggup,” jawab Imam Ghazali meyakinkan syekh. “Kalau begitu, sekarang coba kamu sapu lantai ini,” ujar syekh pada Al-Ghazali. Ketika Al-Ghazali hendak mengambil sapu, syekh kemudian menyuruh agar lantai itu tidak dibersihkan dengan sapu melainkan dengan tangan. Al-Ghazali pun melakukannya, menyapu lantai tersebut dengan tangannya. Setelah lulus dari ujian pertama, syekh kemudian menguji kembali Al-Ghazali, yaitu memerintahkannya untuk membersihkan kotoran yang ada di sekitarnya. “Sapulah kotoran itu,” perintah syekh. Ketika Al-Ghazali hendak melepas pakaiannya, syekh kemudian memerintahkan agar kotoran itu dibersihkan dengan pakaian itu. “Bersihkan lantai itu dengan baju yang kamu pakai,” perintah syekh. Saat Al-Ghazali hendak membersihkan kotoran tersebut dengan pakaiannya, syekh kemudian mencegahnya karena telah melihat keikhlasan dalam diri muridnya itu.  Selanjutnya, syekh tersebut memerintahkan Al-Ghazali untuk pulang. Setelah kembali dan tiba di madrasahnya, Imam Ghazali merasakan hatinya terbuka dan mendapatkan ilmu yang luar biasa dari Allah melalui wasilah pertemuan tersebut. Perjalanan hidup Imam Ghazali ini mengajarkan pentingnya seorang muslim untuk tidak pernah berhenti belajar. Meski telah bergelar syekh, semangat Imam Ghazali dalam mencari ilmu tidak pernah padam. Selanjutnya, seorang muslim juga perlu memiliki guru spiritual yang dapat membimbing, mengarahkan, serta memperbaiki hati. Dalam dunia tasawuf, hati memiliki peran penting dalam kehidupan manusia karena menjadi pusat dan penentu kualitas spiritual seseorang. Selain itu, kisah ini juga memberikan gambaran sekaligus tantangan bagi para guru agar bisa meningkatkan dimensi batin. Ketika hal tersebut tercapai, murid-murid berkualitas akan lahir dari hasil didikannya yang baik.   Di sisi lain, marak terjadi hubungan tidak wajar antara guru dan murid yang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, bahkan untuk memenuhi syahwatnya dengan dalih mencari ridha guru. Hal ini mungkin terjadi karena adanya kekosongan spiritual dalam diri guru tersebut, sehingga syahwatnya menjadi tidak terkendali. Wallahu a‘lam

Strategi Dakwah Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’
  1. Deskripsi Umum Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’

Pondok pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ yang berada di kampung Ciendog

RT 03 RW 07, Desa Kertajaya, Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur adalah satu-satunya pesantren salafiyah di Cianjur yang memiliki lebih dari 2000 santri. Pesantren ini pertama kali di dirikan oleh almarhum KH. Ahmad Faqih pada tahun 1957 di Kampung Pasirnangka, Desa Kertajaya , Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur. KH. Ahmad Faqih adalah seorang alumni Pesantren Sukamanah Tasikmalaya , yang pada waktu itu dipimpin langsung oleh KH. Zaenal Mustofa yang dikenal sebagai pahlawan Nasional

             KH. Ahmad Faqih pindah ke Cianjur karena terdorong oleh situasi Negara Republik Indonesia yang pada masa awal kemerdekaan belum sepenuhnya aman. Kepergian beliau konon kabarnya disebabkan oleh pertikaian antara TRI dengan DI/TII. Oleh pihak DI/TII, beliau dicurigai sebagai mata-mata TRI. Sebaliknya, oleh TRI pun dicurigai berkomplot dengan DI/TII yang memang pada saat itu berpusat di Tasikmalaya. Beliau pindah ke Desa Gunung Halu Yang kini dimekarkan menjadi empat Desa , yaitu Desa Sindangsari, Desa Sindangjaya, Desa Kertajaya dan Desa Gunungsari. Beliau memilih Desa Kertajaya sebagai tempat mendirikan pesantrennya karena Desa ini berdekatan dengan basis Kristenisasi di Jawa Barat. Maka dari itu, salah satu tujuan utrama dari pendirian pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ ini adalah untuk membendung Kristenisasi.

            Nama Al-Musri’ adalah nama sebuah metode pelajaran yang diterapkan di Pesantren ini. Al-musri’ berarti “yang dipercepat”, dari kata سريعة (sari’ah / cepat). Metode yang dimulai diterapkan pada tahun 1970 ini merupakan suatu program belajar cepat dan efektif dan efisien (cepat dan padat). Dengan metode ini, ilmu yang ditanamkan kepada para santri adalah ilmu pilihan yang penting dan sangat mendasar saja dan dapat mereka tempuh selama 5,5 tahun saja. Istilah Al-Musri’ kemudian disematkan kepada nama Pesantren ini untuk membedakan dengan pesantren Miftahulhuda Yang di dirikan di Manonjaya, Tasikmalaya. Hal ini karena banyak orang menganggap bahwa Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ merupakan cabang dari pesantren Miftahulhuda Manonjaya. Padahal sebenarnya yang lebih dahulu berdiri adalah Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’.

            Pada awalnya, Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ hanya memiliki satu bangunan yang terdiri 10 santri, itupun berdiri dilahan yang ada dipinggir selokan irigasi dan di atas ladang ilalang, tetapi seiring bertambahnya santri yang belajar di Pesantren hingga sekarang Miftahulhuda Al-Musri’ sudah memiliki lahan seluas 40 ribu meter persegi dan memiliki bangunan pondok, masjid, beberapa ruang belajar, perpustakaan, laboraturium, lapangan dan sarana lainnya, santri yang belajar disini pun sudah lebih dari 2200 orang yang terdiri dari santri putra dan santri putri.

Santri yang saat ini belajar di pondok pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ berasal dari berbagai daerah di indonesia, mulai dari Nangroe Aceh Darussalam, Pulau Jawa hingga  Kalimantan. Alumninya pun terhitung ada lebih dari 4000 orang dan sudah tersebar di berbagai wilayah. Adapula sebagian yang sudah membuka cabang atau pondok pesantren lagi di tempat tinggalnya sekarang. Bahkan ada yang mukim di pedalaman pulau Kalimantan untuk membantu penduduk Dayak dalam belajar ilmu agama. Saat ini, sudah ada pula beberapa orang santri yang bermukim di Malaysia dan berdakwah disana.

            Dalam ilmu akidah, Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ mengajarkan akidah Asy’ariyah, sedangkan ilmu fikih, mereka mennganut madzhab Imam Syafi’i. Kyai dan santri di pesantren ini menghormati pemahaman lain yang berbeda asalkan sifat atau levelnya masih pada tataran furu’iyah atau cabang. Di dekat pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ juga berdiri sekolah dari Persatuan Islam (PERSIS), dan mereka dapat hidup rukun berdampingan.

PEMBERANGKATAN UMROH MASYAYIKH AL-MUSRI’ & JAMA’AH

Umroh adalah ibadah umat Islam yang dilakukan di tanah suci Mekkah, khususnya di Masjidil Haram. Umroh memiliki beberapa keterangan, di antaranya.

Umroh secara bahasa berarti “berziarah” atau “mengunjungi suatu tempat”. Dalam istilah fikih, umroh berarti melakukan serangkaian ibadah, seperti tawaf, sa’i, dan tahalul. 

Alhamdulillah pada hari selasa tanggal 12 November Tahun 2024, Para Masyayikh Al-Musri’ berangkat ke Tanah suci Makkah dan Madinah guna untuk ziaroh ke maqom kanjeng Nabi Muhammad SAW yang dinamakan ibadah Umroh , pada kesempatan kali ini semuanya jamaah Riyals ( Riyadl Al-Musri’) Tour & Travel berangkat dari YPP. Miftahulhuda Al-Musri’ yang berjumlah 45 orang, Alhamdulillah keluarga besar Al-Musri’ pada kaliini yang berangkat menunaikan ibadah Umroh Sejumlah 9 orang, diantaranya :

  • K.H Mukhtar Gozali
  • Hj. Cucu Nurjanah
  • Hj. Ai Iffah
  • K.H Mahmud Munawwar
  • Hj. Siti Maryam
  • H. Muti’ Al-Hafidz S.pd
  • Ang Ahmad Fakhuroji
  • Teh Siti Maesaroh
  • The Saniyyah nurul maulida

Semoga jamaah semua diberi Kesehatan , kelancaran dalam menjalankan ibadah Umroh.

Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Kemenag, Basnang Said. (Foto: Kemenag)
Kemenag Dorong Pesantren Masifkan Penggunaan Aksara Pegon

Kemenag mendorong pimpinan pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan memasifkan penggunaan aksara pegon. Hal itu dilakukan agar warisan ulama Nusantara itu tidak hilang. Pasalnya, beberapa aksara daerah hilang karena tidak ada yang melestarikannya.

Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Kemenag, Basnang Said mengatakan upaya pelestarian pegon bisa dilakukan dengan menampilkan aksara itu di gerbang atau papan-papan di depan pesantren.

“Kalau narasi yang terpampang di papan atau gerbang pesantren ditulis dengan aksara pegon, maka kita sedang memperjuangkan kelestarian pegon sebagai warisan khazanah ulama Nusantara,” ujarnya saat memberikan sambutan dalam Koordinasi Penguatan Digitalisasi Aksara Pegon dalam Kitab Kuning di Pesantren, Selasa (27/8/2024) di Jakarta.

Basnang menegaskan bahwa Kemenag pun terus melakukan upaya pelestarian aksara pegon. Salah satunya dengan melakukan digitalisasi aksara pegon.

“Alhamdulillah Kemenag telah meluncurkan papan ketik virtual aksara pegon (pegon virtual keyboard) di awal Januari tahun 2024. Kalau Bapak/Ibu menginstall aplikasi pegon virtual keyboard di smartphone, maka Bapak/Ibu bisa menulis atau berkirim pesan dengan aksara pegon,” lanjutnya.

“Makanya kami sedang menggodog dan menyiapkan perangkat digital berisi kitab kuning yang nantinya bisa diberi makna dengan aksara pegon,” pungkasnya.

Sebelumnya, Kemenag telah meluncurkan aksara pegon dalam format digital, yaitu dalam bentuk papan ketik virtual, pada awal tahun 2024 lalu.

Sebagaimana jamak diketahui, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V, pegon memiliki arti aksara Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa. Aksara ini biasa digunakan masyarakat santri untuk memberikan makna pada teks kitab yang dikajinya.

Huruf Pegon bahasa Jawa pego, yang mempunyai arti menyimpang, sebagaimana dilansir NU Online. Penamaan ini mengingat memang huruf Pegon ini menyimpang dari literatur Arab dan juga menyimpang dari literatur Jawa. Huruf-huruf pegon ini bisa dikatakan sebagai sebuah aksara yang nyleneh karena susunan atau tatanannya yang agak berbeda dengan bahasa aslinya (Arab bukan, Jawa juga bukan).

Menyuarakan Kebenaran di Hadapan Pemimpin Zalim

Pemimpin yang lalim dan tidak adil akan menimbulkan kerusakan di wilayah yang dipimpinnya. Mereka sering kali membuat keputusan yang merugikan dan mengikis hak-hak rakyat.

Lebih ironis lagi, mereka cenderung menggunakan kekuasaan hanya untuk kepentingan pribadi, sementara kebutuhan dan kesejahteraan rakyat diabaikan. Padahal, seorang pemimpin sejatinya hadir untuk membawa kemaslahatan dan melindungi kedaulatan rakyatnya.

Oleh karena itu, rakyat tidak boleh tinggal diam ketika melihat seorang pemimpin berbuat zalim. Mereka memiliki hak dan kewajiban untuk menyuarakan kebenaran dan menentang segala bentuk tindakan yang menyimpang dari keadilan dan kebenaran.

Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah saw menyebutkan, di antara jihad yang paling utama adalah suara keadilan yang diucapkan di hadapan pemimpin yang lalim dan tidak adil. Rasulullah saw bersabda:


أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ


Artinya, “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR Abu Dawud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Merujuk pada pendapat ‘Abdurrahman al-Mubarakfuri, maksud dari “penguasa yang zalim” adalah pemimpin yang berbuat kezaliman menggunakan kekuasaannya. Sementara maksud dari “kalimat” dalam hadits tersebut adalah seruan kepada pemimpin untuk menegakkan kebenaran dan menghentikan tindak kezaliman yang mereka lakukan. Seruan ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, baik ucapan, tulisan, dan lain semacamnya. Al-Mubarakfuri menyebut:

وَالْمُرَادُ بِالْكَلِمَةِ مَا أَفَادَ أَمْرًا بِمَعْرُوفٍ أَوْ نَهْيًا عَنْ مُنْكَرٍ مِنْ لَفْظٍ أَوْ مَا فِي مَعْنَاهُ كَكِتَابَةٍ وَنَحْوِهَا

Artinya, “Yang dimaksud dengan kalimat adalah ucapan yang mengandung perintah melakukan kebenaran atau larangan melakukan kemungkaran, melalui ucapan atau tulisan, dan juga media lainnya yang memiliki fungsi serupa.” (Tuhfatul Ahwadzi, [Beirut: Darul kutub Ilmiyah, t.t.], jilid XI, halaman 330).

Para ulama ahli hadits memiliki interpretasi yang beragam terkait alasan Rasulullah saw menyebut seruan kebenaran di hadapan pemimpin yang zalim dan tidak adil sebagai jihad yang paling utama. Di sini penulis berupaya mengutip beberapa pendapat ulama beserta argumentasinya.

Menurut Imam al-Khattabi, sebagaimana dikutip oleh Imam Suyuthi dalam Mirqatush Shu’ud Ila Sunani Abi Dawud, Rasulullah saw menyebut seruan kebenaran di hadapan pemimpin yang zalim sebagai jihad yang paling utama karena menegakkan kebenaran di hadapan pemimpin yang lalim lebih sulit dan menantang dibandingkan dengan jihad melawan musuh-musuh Islam [dalam konteks perang].

Pemimpin yang zalim biasanya akan mengancam siapa pun yang berani menentang, terutama rakyat yang berada di bawah kekuasaannya. Oleh karena itu, menurut al-Khattabi, seorang rakyat yang berani menyuarakan kebenaran di hadapan pemimpin yang zalim menunjukkan keberanian yang luar biasa dan tidak mengenal rasa takut. Inilah alasan mengapa jihad melawan pemimpin yang zalim dianggap sebagai jihad yang paling utama. Ia menyebutkan:

وصاحب السُّلطان مقهور في يده فهو إذا قال الحق وأمره بالمعروف فقد تعرَّض للتلف وأهدف نفسه للهلاك، فصار ذلك أفضل أنواع الجهاد من أجل غلبة الخوف.

Artinya, “Seseorang yang berada di bawah kekuasaan seorang pemimpin otomatis berada dalam kendali pemimpin tersebut. Maka, jika ia menyampaikan kebenaran dan memerintahkan pemimpinnya untuk berbuat kebaikan, otomatis ia telah menempatkan dirinya dalam bahaya dan menghadapkan dirinya pada kehancuran.

Oleh karena itu, tindakan ini menjadi jenis jihad yang paling utama karena dirinya harus melawan rasa takut yang mendalam.” (Imam Suyuthi, Mirqatush Shu’ud Ila Sunan Abi Dawud, [Beirut: Darul Ibnu Hazm, 2012], jilid III, halaman 106).

Penafsiran lain mengenai alasan menyuarakan kebenaran di hadapan pemimpin yang zalim disebut sebagai jihad yang paling utama, menurut Imam al-Muzhir, adalah karena ketika seorang pemimpin berbuat zalim, seluruh rakyatnya yang akan menderita akibat tindakan dan kebijakannya.  

Oleh karena itu, ketika ada seseorang yang berani menyuarakan kebenaran untuk menghentikan kezaliman tersebut, ia telah berjuang demi kepentingan rakyat. (Mula al-Qari, Mirqatul Mafatih, [Beirut: Darul Fikr, 2002], jilid VI, halaman 412).

Di sisi lain, Syekh Muhammad bin ‘Alan  menegaskan bahwa menyuarakan kebenaran di hadapan pemimpin yang zalim dianggap jihad yang paling utama karena tindakan tersebut mencerminkan kekuatan iman dan keberanian yang luar biasa dari orang yang melakukannya. (Dalilul Falihin, [Beirut, Darul Ma’rifah: 2004], jilid II, halaman 484).

Menyuarakan kebenaran kepada pemimpin yang zalim merupakan kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Artinya, setiap anggota masyarakat berhak dan berkewajiban untuk melakukannya, namun jika sudah ada sebagian yang menunaikannya, maka kewajiban ini gugur bagi yang lainnya.  

Menyuarakan kebenaran kepada pemimpin yang zalim menjadi sangat penting agar mereka menghentikan segala tindakan yang merugikan rakyat dan menyimpang dari prinsip-prinsip kebenaran.

Namun, penting untuk diingat bahwa amar ma’ruf, atau menyuarakan kebenaran kepada pemerintah, harus dilakukan dengan cara yang bijaksana. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menekankan bahwa amar ma’ruf kepada pemerintah sebaiknya dilakukan melalui nasihat yang baik dan penyampaian kebenaran dengan cara yang santun.

Amar ma’ruf kepada pemerintah tidak boleh dilakukan dengan cara pemberontakan (bughat), karena menyampaikan kebenaran melalui pemberontakan hanya akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Imam Al-Ghazali menyatakan:

وَأَمَّا الْمَنْعُ بِالْقَهْرِ ; فَلَيْسَ ذَلِكَ لِآحَادِ الرَّعِيَّةِ ; لِأَنَّ ذَلِكَ يُحَرِّكُ الْفِتْنَةَ، وَيُهَيِّجُ الشَّرَّ، وَيَكُونُ مَا يَتَوَلَّدُ مِنْهُ مِنَ الْمَحْذُورِ أَكْثَرَ

Artinya, “Adapun mencegah (kezaliman) dengan kekerasan, maka hal ini bukanlah kewenangan individu dari rakyat, karena tindakan tersebut dapat memicu fitnah, mengobarkan kejahatan, dan menyebabkan kerusakan yang timbul darinya menjadi lebih besar.” (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Beirut, Darul Ma’rifah: t.t.], jilid II, halaman 343)

Artinya, “Diharamkan untuk memberontak terhadap penguasa dan memeranginya berdasarkan kesepakatan (ijma’) kaum muslimin, karena hal tersebut akan menimbulkan fitnah, pertumpahan darah, dan kerusakan hubungan di antara umat. Kerusakan yang terjadi akibat menggulingkannya lebih besar daripada kerusakan yang ditimbulkan karena tetap mempertahankannya.

Selain itu, ketidakbolehan memberontak dikarenakan kita harus taat pada pemimpin selama perintahnya tidak bertentangan dengan syariat, meskipun penguasa tersebut zalim.” (Syamsuddin ar-Ramli, Ghayatul Bayan, [Beirut: Darul Ma’rifah, t.t.], halaman 15).

Pada kesimpulannya, kita akan sadar betapa pentingnya menyuarakan kebenaran kepada pemimpin yang zalim agar ketidakadilan yang mereka lakukan dapat dihentikan. Terlebih dalam konteks negara demokrasi, menyampaikan aspirasi dan pendapat di muka umum merupakan hak asasi manusia yang legal dan konstitusional.

Meskipun demikian, menyuarakan kebenaran harus dilakukan dengan cara yang baik sesuai norma-norma syariat maupun aturan dalam undang-undang, tujuannya agar tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Wallahu A’lam