Seberapa Penting Nasab dalam Fiqih?

Perbincangan tentang nasab kembali melambung setelah acara “Silaturahmi Akbar Keluarga Kesultanan Banten” pada 26 Agustus 2023 lalu. Pondok Pesantren An-Nur II Al-Murtadlo pun ikut membahas tentang nasab dalam Bahtsul Masail se-Malang Raya. Apakah persoalan mengenai nasab ini sepenting itu sampai dibahas dalam forum-forum besar?

Karena itu, mari kita telusuri sebatas mana ilmu fikih membahas tentang nasab ini. Terlepas dari polemik tentang nasab Ba ‘Alawi yang menjadi perbincangan publik, di sini penulis mencoba memaparkan tentang hukum-hukum fikih yang terkait dengan nasab.

Secara bahasa, nasab dapat diartikan sebagai hubungan keturunan atau pertalian keluarga. Imam Al-Qurthubi dalam kitabnya Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an mengatakan, bahwa nasab adalah kata yang digunakan untuk mengungkapkan suatu hubungan dari percampuran sperma laki-laki dan ovum perempuan yang sesuai prosedur syariat (menikah).

Sementara nasab dalam kajian fikih, Imam Al-Baijuri dalam kitab Hasyiyah Fath Al-Qarib-nya menyebutkan,

وَالْعِبْرَةُ فِي الْإِنْتِسَابِ بِالنَّسَبِ إِلَى الْآبَاءِ

Anggapan terhadap hubungan melalui garis keturunan adalah kepada ayah.”

Dengan demikian, nasab dapat dicontohkan seperti, “Rafatar memiliki nasab dengan Raffi Ahmad.” Karena Rafatar merupakan anak kandung dari pernikahan sah secara Islam antara Raffi Ahmad dengan Nagita Slavina.

Nasab dalam Fikih

Dalam pembahasan fikih, terdapat banyak bab yang berkaitan dengan nasab. Ini menunjukkan nasab memiliki kedudukan penting dalam Islam. Karena dengan nasab akan memunculkan perbedaan hukum. Contoh saja permasalahan fikih tentang mahram dalam kitab Fath Al-Qarib Al-Mujib karya Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi berikut:

وَالْمُرَادُ بِالْمَحْرَمِ مَنْ حَرُمَ نِكَاحُهَا لِأَجْلِ ‌نَسَبٍ

Yang dimaksud dengan mahram adalah seseorang yang haram untuk dinikahi karena ada hubungan nasab…”

Dari penggalan kitab ini, dapat kita pahami nasab berperan dalam penentuan mahram atau bukan. Bila memiliki hubungan nasab dalam hal mahram, maka kita tidak boleh menikah dengannya. Beda hukumnya bila kita menyentuhnya saat memiliki wudhu, maka wudhu kita tidak batal sebab ada ikatan mahram ini.

Contoh lagi dalam kitab Minhaj Ath-Thalibin wa ‘Umdah Al-Muftin karya Imam Nawawi berikut:

وَيُقَدَّمُ الأَفْقَهُ وَالْأَقْرَأُ عَلَى الْأَسَنِّ وَالنَّسِيْبِ

Dan pakar fikih dan qori’ lebih didahulukan (untuk menjadi imam) dari orang yang lebih tua dan nasabnya luhur.”

Dalam pembahasan teersebut, orang yang lebih alim dalam memahami fikih dan lebih bagus bacaan al-Qurannya didahulukan untuk menjadi imam shalat daripada orang yang lebih tua dan nasabnya lebih mulia. Di sini, fikih masih mempertimbangkan nasab dalam menetapkan hukum memilih imam.

Sebenarnya masih banyak permasalahan fikih yang bersangkutan dengan nasab. Seperti dalam pembahasan waris, nasab mempengaruhi apakah seseorang bisa mendapat bagian atau tidak; dalam pembahasan nikah, wali yang mengakad harus ayah kandung (memiliki hubungan nasab); dalam pembahasan zakat, keturunan Bani Hasyim dan Bani Muthallib tidak boleh diberi zakat, dan masih banyak lagi.

Karena itu, penting bagi kita untuk menjaga nasab. Caranya dengan tidak memunculkan anak tak bernasab yang berasal dari hubungan zina. Dan ini sesuai dengan salah satu Maqashid Asy-Syari’ah (tujuan adanya hukum Islam) yang disebutkan Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mustashfa, yakni Hifdz An-Nasl wa An-Nasab.

Penulis : M Wildan Musyaffa