Di antara hal yang sering mengganggu pikiran jamaah haji ketika tawaf adalah soal kesucian dari najis dan hadats baik kecil maupun hadats besar. Tentu saja ini sangat baik sehingga jamaah haji selalu menjaga kesucian baik dari hadats maupun najis. Ulama berbeda pendapat perihal kesucian dari hadats dan najis saat tawaf. Imam An-Nawawi menjelaskan ragam pandangan ulama empat mazhab tentang kesucian dari hadats dan najis saat melaksanakan tawaf. Ulama berbeda pendapat perihal status hukum kesucian, apakah ia masuk dalam syarat sah tawaf atau masuk wajib haji yang dapat dikompensasi dengan pembayaran dam?
قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا اشْتِرَاطُ الطَّهَارَةِ عَنْ الْحَدَثِ وَالنَّجَسِ وَبِهِ قَال مَالِكٌ وَحَكَاهُ الْمَاوَرْدِيُّ عَنْ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ وَحَكَاهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ فِي طَهَارَةِ الْحَدَثِ عَنْ عَامَّةِ الْعُلَمَاءِ وَانْفَرَدَ أَبُو حَنِيفَةَ فَقَالَ الطَّهَارَةُ مِنْ الْحَدَثِ وَالنَّجَسِ لَيْسَتْ بِشَرْطٍ لِلطَّوَافِ فَلَوْ طَافَ وَعَلَيْهِ نَجَاسَةٌ أَوْ مُحْدِثًا أَوْ جُنُبًا صَحَّ طَوَافُهُ
Artinya, “Kami telah menyebutkan, mazhab kami (Syafi’iyah) mensyaratkan suci dari hadits dan najis [ketika tawaf]. Demikian juga pendapat Imam Malik. Al-Mawardi juga menghikayatkan demikian dari jumhur ulama. Demikian juga Ibnul Mundzir dari umumnya ulama tentang kesucian dari hadats. Imam Abu Hanifah ra berbeda sendiri. Ia berpendapat, ‘Suci dari hadats dan najis bukan syarat tawaf. Jadi, seandainya seseorang melakukan tawaf, sementara padanya terdapat najis, dalam keadaan hadats kecil, atau junub, maka tawafnya tetap sah,’” (An-Nawawi, Al-Majmu Syarhul Muhaddzab, [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah: 2010 M], juz VIII, halaman 20).
Imam An-Nawawi melanjutkan diskusi para ulama perihal kategori suci. Apakah suci dari hadats kecil atau besar itu termasuk wajib haji? Artinya, kalau suci saat tawaf itu masuk wajib haji, maka mereka yang bertawaf dalam kondisi berhadats atau najis dan tidak mengulangnya maka akan terkena dam. Ulama berbeda pendapat perihal kewajiban suci bagi orang yang tawaf, tetapi mereka bersepakat bahwa kesucian dari bukan bagian dari syarat sah tawaf. Dua hal ini harus dibedakan betul. Artinya, bisa saja seorang jamaah haji melakukan tawaf dalam kondisi hadats dan tetap sah tawafnya karena kesucian bukan syarat sah tawaf. Ulama yang mewajibkan kesucian saat tawaf berpendapat, seorang jamaah melakukan tawaf dalam kondisi berhadats kecil wajib terkena dam seekor kambing. Tetapi jika hadats besar, maka ia terkena dam unta dan ia wajib mengulangi tawaf dalam kondisi suci selama masih stay di Makkah. Terdapat dua riwayat pendapat dari Imam Ahmad:
Riwayat pertama Imam Ahmad seperti pandangan mazhab Syafi’i perihal kesucian saat tawaf.
Riwayat kedua Imam Ahmad menyebutkan, jika jamaah masih stay di Makkah, ia boleh mengulang tawafnya dalam kondisi suci. Tetapi jika sudah kembali ke Tanah Air, ia wajib menyempurnakannya dengan dam. Adapun Imam Dawud berpendapat, kesucian saat tawaf adalah wajib. Jika ada jamaah yang melakukan tawaf dalam kondisi berhadats kecil, maka itu sudah memadai (sah) kecuali dalam kondisi haidh. Sementara Al-Manshuri, ulama pengikut Imam Dawud berpendapat, kesucian merupakan syarat tawaf, seperti pandangan mazhab Syafi’i. Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Syarah Sahih Bukhari menyebutkan bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama perihal kesucian saat tawaf berangkat dari perbedaan cara memahami hadits Sayyidatina Aisyah ra: افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطَّهَّرِي Artinya, “Rasulullah saw berkata kepada Aisyah ra yang sedang haidh ketika berhaji, ‘Lakukanlah apa yang dilakukan jamaah haji lain selain tawaf di Ka’bah sampai kamu suci,’” (HR Bukhari dan Muslim). Al-Asqalani menerangkan bahwa dari hadits ini dapat dipahami bahwa hadats dapat merusak tawaf sehingga tawaf nanti dilakukan ketika seseorang dalam kondisi suci.
وَالْحَدِيثُ ظَاهِرٌ فِي نَهْيِ الْحَائِضِ عَنِ الطَّوَافِ حَتَّى يَنْقَطِعَ دَمُهَا وَتَغْتَسِلَ لِأَنَّ النَّهْيَ فِي الْعِبَادَاتِ يَقْتَضِي الْفَسَادَ وَذَلِكَ يَقْتَضِي بُطْلَانَ الطَّوَافِ لَوْ فَعَلَتْهُ وَفِي مَعْنَى الْحَائِضِ الْجُنُب وَالْمُحْدِث وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ وَذَهَبَ جَمْعٌ مِنَ الْكُوفِيِّينَ إِلَى عَدَمِ الِاشْتِرَاطِ قَالَ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ: حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ سَأَلْتُ الْحَكَمَ، وَحَمَّادًا، وَمَنْصُورًا، وَسُلَيْمَانَ عَنِ الرَّجُلِ يَطُوفُ بِالْبَيْتِ عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ فَلَمْ يَرَوْا بِهِ بَأْسًا. وَرُوِيَ عَنْ عَطَاءٍ: إِذَا طَافَتِ الْمَرْأَةُ ثَلَاثَةَ أَطْوَافٍ فَصَاعِدًا ثُمَّ حَاضَتْ أَجْزَأَ عَنْهَا Artinya, “Hadits ini jelas tentang larangan perempuan haidh untuk tawaf sampai darahnya terhenti dan ia mandi karena kaidah larangan dalam ibadah berkonsekuensi kerusakan (ibadah). Artinya larangan ini menuntut batalnya tawaf seandainya perempuan haidh tetap melakukan tawaf. Semakna dengan perempuan haidh ialah (status tawaf) orang junub dan berhadats kecil. Ini pandangan jumhur ulama. Tetapi sekelompok ulama Kufah tidak menganggap suci sebagai syarat tawaf. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ghundar, dari Syu’bah, ‘Aku bertanya pada Imam Hakam, Hammad, Manshur, dan Sulaiman tentang jamaah yang bertawaf tanpa bersuci. Mereka tidak menganggapnya masalah.’ Diriwayatkan dari Imam Atha ra, ‘Jika seorang perempuan bertawaf 3 kali atau lebih putaran, lalu datang haidh, maka tawafnya memadai (sah).’” (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari, [Kairo, Darul Hadits: 2004 M/1424 H], juz III, halaman 571-572). Imam Syamsuddin Muhammad Ar-Ramli memberikan catatan tambahan atas keterangan Majmuk karya Imam Nawawi, “Hanya Imam Abu Hanifah sendiri yang berpendapat bahwa kesucian bukan syarat sah tawaf. Sementara ulama pengikutnya berbeda pendapat perihal wajib suci dan wajib dam jika seorang jamaah melakukan tawaf dalam kondisi hadats.” Menurut Ar-Ramli, sejatinya mereka tidak sendiri. Mereka hanya sendiri di tengah tiga mazhab lainnya. Tetapi sebenarnya, satu riwayat Imam Ahmad menyebutkan bahwa kesucian saat tawaf merupakan wajib haji yang dapat diganti dengan dam. Demikian juga riwayat ulama-ulama bermazhab Maliki yang memiliki pendapat serupa riwayat pendapat Imam Ahmad.
وَبَحَثَ بَعْضُهُمْ أَنَّهَا إنْ كَانَتْ شَافِعِيَّةً تُقَلِّدُ الْإِمَامَ أَبَا حَنِيفَةَ أَوْ أَحْمَدَ عَلَى إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عِنْدَهُ فِي أَنَّهَا تَهْجُمُ وَتَطُوفُ بِالْبَيْتِ وَيَلْزَمُهَا بَدَنَةٌ وَتَأْثَمُ بِدُخُولِهَا الْمَسْجِدَ حَائِضًا، وَيُجْزِيهَا هَذَا الطَّوَافُ عَنْ الْفَرْضِ لِمَا فِي بَقَائِهَا عَلَى الْإِحْرَامِ مِنْ الْمَشَقَّةِ
Artinya, “Sebagian ulama membahas, kalau ada perempuan haidh bermazhab Syafi’i yang bertaklid kepada Imam Abu Hanifah atau Imam Ahmad pada salah satu dari dua riwayatnya perihal masuk [ke Masjidil Haram] dan bertawaf di Ka’bah, maka ia wajib menyembelih dam unta dan berdosa karena masuk masjid dalam keadaan haidh, tetapi tawaf rukunnya tetap memadai [sah] karena kesulitan bila terlalu lama dalam status ihram,” (Syamsuddin Muhammad Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, [Beirut, Darul Fikr: 2009 M/1429-1430 H], juz III, halaman 366). Sementara Imam Abu Hanifah berpegangan pada Surat Al-Haji ayat 29: وَلْيَطَّوَّفُوا۟ بِٱلْبَيْتِ ٱلْعَتِيقِ Artinya, “Hendaklah mereka tawaf di Baitullah yang tua sejarahnya,” (Surat Al-Hajj ayat 29). Pada ayat ini, Allah memerintahkan secara mutlak tawaf tanpa mensyaratkan suci di dalamnya. Dengan demikian, orang boleh tawaf dalam kondisi tidak suci dari hadats. Senada dengan Ar-Ramli, Syekh As-Syarqawi mengatakan bahwa jamaah haji perempuan yang bermazhab Syafi’i dapat bertaqlid kepada mazhab Abu Hanifah perihal suci yang hanya wajib haji dalam tawaf sehingga aktivitas tawafnya dalam kondisi haid tetap sah meski dia akan terkena dam.
وَبَحَثَ بَعْضُهُمْ أَنَّهَا إنْ كَانَتْ شَافِعِيَّةً تُقَلِّدُ الْإِمَامَ أَبَا حَنِيفَةَ فَإنَّ الطَّهَارَةَ عِنْدَهُ وَاجِبَةٌ فِي الطَّوَافِ لَيْسَتْ شَرْطًا فَإِذَا فَعَلَتْهُ صَحَّ مَعَ وُجُوْبِ بَدَنَةٍ عَلَى نَحْوِ حَائِضٍ وَشَاةٍ عَلَى مُحْدِثٍ وَلَو بِجَنَابَةٍ أَوْ الْإِمَامَ أَحْمَدَ عَلَى إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ فِي أَنَّهَا تَهْجُمُ وَتَطُوفُ بِالْبَيْتِ وَيَلْزَمُهَا بَدَنَةٌ وَتَأْثَمُ بِدُخُولِهَا الْمَسْجِدَ حَائِضًا، وَيُجْزِئُهَا هَذَا الطَّوَافُ عَنْ الْفَرْضِ لِمَا فِي بَقَائِهَا عَلَى الْإِحْرَامِ مِنْ الْمَشَقَّةِ
Artinya, “Sebagian ulama membahas, kalau ada perempuan haid bermazhab Syafi’i bertaqlid kepada Imam Abu Hanifah karena suci menurutnya hanya wajib, bukan syarat dalam tawaf, – kalau ia juga bertawaf -, maka sah tawafnya dengan wajib dam unta bagi perempuan haid, dam kambing bagi jamaah tawaf yang berhadats meski dengan junub; atau kepada Imam Ahmad pada salah satu dari dua riwayatnya perihal masuk [ke Masjidil Haram] dan bertawaf di Ka’bah, maka ia wajib menyembelih dam unta dan berdosa karena masuk masjid dalam keadaan haid, tetapi tawaf rukunnya tetap memadai [sah] karena kesulitan bila terlalu lama dalam status ihram,” (Abdullah bin Hijazi As-Syarqawi, Hasyiyatus Syarqawi ‘ala Tuhfatit Thullab, [Beirut, Darul Fikr: 2006 M/1426-1427 H], juz I, halaman 461). Demikian keterangan yang dapat kami sampaikan. Semoga dapat diterima dengan baik.
Sumber: https://islam.nu.or.id/syariah/syarat-suci-saat-tawaf-dalam-ragam-pandangan-ulama-ebEWr
Editor: Alima sri sutami mukti