Tayamum Saat Cuaca Dingin? Boleh atau Tidak?

Wudhu hanya dapat dilakukan dengan air. Namun terkadang seseorang mengalami kesulitan dalam menggunakannya, baik karena tidak menemukannya, sedang melakukan perjalanan jauh, atau ada penyakit yang menghalangi penggunaannya.   Sebagai bentuk kemudahan dan keringanan dalam Islam, disyariatkan tayamum dengan tanah yang suci sebagai pengganti wudhu atau mandi, agar seorang Muslim tidak terhalang untuk beribadah.

Allah swt berfirman:    وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ  

Artinya, “Jika kamu sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu.” (QS Al-Ma’idah: 6).

Lalu bagaimana hukum tayamum yang menggantikan wudhu ketika dingin? Dari penelusuran hukum fiqih terdapat sebab utama yang memperbolehkan tayamum. Sebab pertama karena tidak mendapati air dan sebab kedua adalah khawatir menggunakan air. Dalam kasus ini misalnya, kedinginan dan dingin tersebut dapat membahayakan.


Jika seseorang khawatir sakit akibat cuaca yang sangat dingin, seperti lambatnya kesembuhan, tidak mampu menghangatkan air karena tidak memiliki alat untuk memanaskannya, atau tidak dapat menghangatkan anggota tubuhnya setelah menggunakan air, maka ia boleh bertayamum. Namun, ia tetap harus mengulang shalatnya (qadha).” (Muhammad Zuhri Al-Ghamrawi, Anwarul Masalik Syarhul Umdatis Salik, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 2012], halaman 38). 

Kemudian terkait dengan kewajiban mengulangi atau tidaknya shalat yang telah dikerjakan dengan tayamum sebab cuacanya sangat dingin terdapat tiga pendapat sebagai berikut:

  وَمِنْهَا: التَّيَمُّمُ لِشِدَّةِ الْبَرْدِ، وَالْأَظْهَرُ: أَنَّهُ يُوجِبُ الْإِعَادَةَ. وَالثَّانِي: لَا. وَالثَّالِثُ: يَجِبُ عَلَى الْحَاضِرِ دُونَ الْمُسَافِرِ​​​​​​​

​​​​​​​Artinya, “Di antaranya: tayamum karena cuaca yang sangat dingin. Pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa orang yang bertayamum karena alasan ini wajib mengulang shalatnya.   Pendapat kedua menyatakan tidak wajib mengulang. Pendapat ketiga menyatakan bahwa kewajiban mengulang hanya berlaku bagi orang yang berada di tempat tinggalnya (mukim), sedangkan bagi musafir tidak diwajibkan.” (An-Nawawi, Raudhatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz I halaman 121). 

Namun, ada juga solusi lain, yaitu menghangatkan air yang dingin. Imam as-Syafi’i memperbolehkan air dingin yang dihangatkan untuk berwudhu. Pendapat pendiri mazhab Syafii ini tertera dalam kitab Al-Hawi yang ditulis oleh Al-Mawardi menuturkan bahwa,

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ : وَكُلُّ مَاءٍ مِنْ بَحْرٍ عَذْبٍ أَوْ مَالِحٍ أَوْ بِئْرٍ أَوْ سَمَاءٍ أَوْ بَرَدٍ أَوْ ثَلْجٍ مُسَخَّنٍ وَغَيْرِ مُسَخَّنٍ فَسَوَاءٌ ، وَالتَّطَهُّرُ بِهِ جَائِزٌ

Artinya, Imam Syafi’i RA berkata, “Bahwa setiap dari laut, baik tawar atau asin, dari sumur atau langit (air hujan), atau air yang dingin atau salju, yang dipanaskan atau tidak adalah sama dan boleh untuk bersuci,” ( Al-Mawardi, Al-Hawi fi Fiqhis Syafi’i, Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, cetakan ke-1, 1414 H/1994 M, juz I, halaman 39). Jadi kesimpulannya, dingin bisa jadi alasan untuk mengganti wudhu dengan tayamum, namun dengan syarat dingin tersebut dapat membahayakan tubuh. Namun bisa juga dengan memanaskan atau menghangatkan air dingin tersebut agar tidak terlalu membahayakan.

Baca juga: Cara Wudhu Pasca Kecelakaan

Lebih lanjut mengenai sebab-sebab bertayamum telah dijelaskan para ulama fiqih, di antaranya oleh Syekh Mushthafa al-Khin dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzahib al-Imam al-Syafi‘i (Terbitan Darul Qalam, Cetakan IV, 1992, Jilid 1, hal. 94). Menurutnya, ada empat alasan dibolehkannya bertayamum.

1. Ketiadaan air, baik secara kasat mata maupun secara syara‘. Ketiadaan air secara kasat mata misalnya dalam keadaan bepergian dan benar-benar tidak ada air, sedangkan ketiadaan air secara syara‘ misalnya air yang ada hanya mencukupi untuk kebutuhan minum.

2. Jauhnya air, yang keberadaannya diperkirakan di atas jarak setengah farsakh atau 2,5 kilometer. Artinya, jika dimungkinkan ada air tetapi di atas jarak tersebut, maka diperbolehkan bertayamum mengingat beratnya perjalanan, terlebih ditempuh dengan berjalan kaki. 

3. Sulitnya menggunakan air, baik secara kasat mata maupun secara syara‘. Sulit secara kasat mata contohnya airnya dekat, tetapi tidak bisa dijangkau karena ada musuh, karena binatang buas, karena dipenjara, dan seterusnya. Sementara sulit menggunakan air secara syara‘ misalnya karena khawatir akan datang penyakit, takut penyakitnya semakin kambuh, atau takut lama sembuhnya.

4. Kondisi sangat dingin. Artinya, jika menggunakan air, kita akan kedinginan karena tidak ada sesuatu yang dapat mengembalikan kehangatan tubuh. Diriwayatkan bahwa ‘Amr ibn ‘Ash pernah bertayamum dari junubnya karena kedinginan.  Hal itu lalu disampaikan kepada Rasulullah saw., dan beliau pun mengakui serta menetapkannya, sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud. Namun, dalam keadaan terakhir ini, terlebih jika ada air, seseorang diharuskan mengqadha shalatnya. 

Selanjutnya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat bertayamum. 

1. Tayamum harus dilakukan setelah masuk waktu shalat. 

2. Jika alasannya ketiadaan air, maka ketiadaan itu harus dibuktikan setelah melakukan pencarian dan pencarian itu dikerjakan setelah masuk waktu. 

3. Tanah yang dipergunakan harus yang bersih, lembut, dan berdebu. Artinya, tidak basah, tidak bercampur tepung, kapur, batu, dan kotoran lainnya. 

4. Tayamum hanya sebagai pengganti wudhu dan mandi besar, bukan pengganti menghilangkan najis. Artinya, sebelum bertayamum, najis harus dihilangkan terlebih dahulu. 

5. Tayamum hanya bisa dipergunakan untuk satu kali shalat fardhu. Berbeda halnya jika usai shalat fardhu dilanjutkan dengan shalat sunat, shalat jenazah, atau membaca Al-Quran. Maka rangkaian ibadah itu boleh dengan satu kali tayamum. 

6. Tayamum berbeda dengan wudhu. Jika wudhu setidaknya ada enam rukun, maka tayamum hanya memiliki empat rukun: (1) niat dalam hati, (2) mengusap wajah, (3) mengusap kedua tangan, (4) tertib.  

Adapun tata cara bertayamum adalah sebagai berikut: 

1. Siapkan tanah berdebu atau debu yang bersih. 

2. Menghadap kiblat, ucapkan basmalah lalu letakkan kedua telapak tangan pada debu dengan posisi jari-jari tangan dirapatkan. 

3. Lalu usapkan kedua telapak tangan pada seluruh wajah disertai dengan niat dalam hati, salah satunya dengan redaksi niat berikut:

نَوَيْتُ التَّيَمُّمَ لِاسْتِبَاحَةِ الصَّلَاةِ للهِ تَعَالَى    

Artinya: Aku berniat tayamum agar diperbolehkan shalat karena Allah. 

Berbeda dengan wudhu, dalam tayamum tidak disyaratkan untuk menyampaikan debu pada  bagian-bagian yang ada di bawah rambut atau bulu wajah, baik yang tipis maupun yang tebal. Yang dianjurkan adalah berusaha meratakan debu pada seluruh bagian wajah. Dan itu cukup dengan satu kali menyentuh debu, sebab pada dasarnya lebar wajah tidak melebihi lebar dua telapak tangan. Sehingga “meratakan debu” di sana cukup mengandalkan dugaan yang kuat (ghalibuzhan). 

4. Letakkan kembali telapak tangan pada debu. Kali ini jari-jari direnggangkan serta cincin yang ada pada jari (jika ada) dilepaskan sementara.  

5. Kemudian tempelkan telapak tangan kiri pada punggung tangan kanan, sekiranya ujung-ujung jari dari salah satu tangan tidak melebihi ujung jari telunjuk dari tangan yang lain.    

6. Dari situ usapkan telapak tangan kiri ke punggung lengan kanan sampai ke bagian siku. Lalu, balikkan telapak tangan kiri tersebut ke bagian dalam lengan kanan, kemudan usapkan hingga ke bagian pergelangan. 

7. Sekarang, usapkan bagian dalam jempol kiri ke bagian punggung jempol kanan. Selanjutnya, lakukan hal yang sama pada tangan kiri. 

8. Terakhir, pertemukan kedua telapak tangan dan usap-usapkan di antara jari-jarinya. 

9. Sebagaimana setelah wudhu, setelah tayamum juga dianjurkan oleh sebagian ulama untuk membaca doa bersuci seperti halnya doa berikut ini.     

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِيْنَ، وَاجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ وَاجْعَلْنِي مِنْ عِبَادِكَ الصَّالِحِيْنَ سُبْحَانَكَ اَللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ 

Artinya: Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku sebagai orang-orang yang bertaubat, jadikanlah aku sebagai orang-orang yang bersuci, dan jadikanlah aku sebagai hamba-hamba-Mu yang saleh. Mahasuci Engkau, ya Allah. Dengan kebaikan-Mu, aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau. Dan dengan kebaikan-Mu, aku memohon ampunan dan bertaubat pada-Mu.   

Demikian sebab-sebab dan tata cara bertayamum dan penjelasan tentang bertayamum saat cuaca dingin. Semoga bermanfaat.

Editor: Siti Lidiana

Bagaimana hukum memakai jaringan internet (WIFI) orang lain tanpa ada izin dari pemiliknya?

Bagaimana Hukum Memakai Jaringan Internet ( Wifi ) Orang Lain Tanpa Izin?

Sumber Gambar : https://www.freepik.com/

Berbicara tentang Wifi ( jaringan ), jaringan adalah kumpulan perangkat yang saling terhubung untuk berbagi data, sumber daya, atau layanan. Misalnya, komputer, smartphone, server, dan perangkat lainnya yang terhubung melalui kabel (jaringan kabel) atau sinyal nirkabel (Wi-Fi). Dan di zaman sekarang, kita pasti tidak lepas dari yang namanya jaringan, baik itu jaringan WIFI ataupun jaringan seluler. Dulu, orang-orang berkomunikasi menggunakan surat atau tatap muka. Namun, dengan kemajuan teknologi, manusia mulai menemukan cara untuk menghubungkan perangkat agar bisa berbagi informasi secara cepat. Awalnya, jaringan komputer hanya digunakan di tempat tertentu, seperti di laboratorium riset. Seiring waktu, jaringan berkembang menjadi lebih kompleks. Dengan hadirnya kabel, router, dan teknologi nirkabel seperti Wi-Fi, komputer, smartphone, dan perangkat lain bisa saling terhubung, tidak peduli seberapa jauh jaraknya. Teknologi ini membuat komunikasi dan kerja sama menjadi lebih mudah. Hari ini, jaringan menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Internet, yang merupakan jaringan global, menghubungkan miliaran perangkat di seluruh dunia, memungkinkan orang untuk bekerja, belajar, dan bersosialisasi tanpa batas waktu dan tempat. Dari sebuah kantor kecil, rumah tetangga, rumah saudara hingga perusahaan besar, jaringan adalah tulang punggung dari sistem informasi modern.

Berhubung kita termasuk dari masyarakat Islam, dalam islam pasti semua perbuatan akan terkait dengan hukum, seperti halnya wajib, haram, sunnah, makruh, mubah, jaiz dan bathil. Seperti wajibnya sholat lima waktu, haramnya berzina, dan masih banyak contoh hukum-hukum lainnya.

Lantas dalam sudut pandang fiqih, bagaimana hukumnya memakai jaringan internet ( Wifi ) orang lain tanpa izin?. MARKIBA… ( mari kita bahas )

Dalam kitab Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menyampaikan keterangan sebagai berikut:

(وَسُئِلَ) بِمَا لَفْظُهُ هَلْ جَوَازُ الْأَخْذ بِعِلْمِ الرِّضَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ أَمْ مَخْصُوصٌ بِطَعَامِ الضِّيَافَةِ؟ (فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ الَّذِي دَلَّ عَلَيْهِ كَلَامُهُمْ أَنَّهُ غَيْر مَخْصُوصٍ بِذَلِكَ وَصَرَّحُوا بِأَنَّ غَلَبَةَ الظَّنِّ كَالْعِلْمِ فِي ذَلِكَ وَحِينَئِذٍ فَمَتَى غَلَبَ ظَنُّهُ أَنَّ الْمَالِكَ يَسْمَحُ لَهُ بِأَخْذِ شَيْءٍ مُعَيَّنٍ مِنْ مَالِهِ جَازَ لَهُ أَخْذُهُ ثُمَّ إنْ بَانَ خِلَافُ ظَنّه لَزِمَهُ ضَمَانُهُ وَإِلَّا فَلَا

Artinya: “Imam Ibnu Hajar ditanya: apakah kebolehan mengambil sesuatu dengan keyakinan adanya kerelaan pemilik itu tertentu dalam hal hidangan atau yang lainnya? Maka beliau menjawab: masalah tersebut tidak terkhusus dalam hal hidangan saja. Para ulama menjelaskan bahwa prasangka kuat itu kapasitasnya sama dengan keyakinan. Untuk itu, apabila seseorang memiliki prasangka kuat bahwa pemilik barang memberikan keluasan untuk untuk mengambil barang miliknya, maka ia boleh mengambilnya. Namun jika sebaliknya, maka ia wajib mengganti rugi.” (Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, 4/116).

Dari keterangan di atas, dapat diqiyaskan ( disamakan ) bahwa perilaku menyambung atau memanfaatkan jaringan internet milik orang lain secara diam-diam atau tanpa izin ini sama halnya seperti mengambil hidangan milik orang lain tanpa sepengetahuan si pemilik. Sehingga, dalam tinjauan sudut pandang fiqih, hukum perilaku menyambung atau memanfaatkan jaringan internet milik orang lain secara diam-diam atau tanpa izin tersebut, berdasarkan keterangan di atas, dapat diperinci sebagai berikut:

  • Apabila seseorang memiliki keyakian bahwa si pemilik jaringan tersebut hanya digunakan secara pribadi (tidak digunakan secara umum) dan pemilik tidak rela jika jaringan internet nya digunakan oleh orang lain, maka hukumnya menyambung atau memakai jaringan tersebut adalah haram.
  • Dan apabila seseorang memiliki keyakinan atau sangkaan kuat bahwa pemiliknya rela jika jaringan internetnya dimanfaatkan olehnya, maka hukum memanfaatkan jaringat internet tersebut diperbolehkan, meski tanpa sepengetahuan pemiliknya.

Dan demikianlah penjelasan mengenai “Bagaimana hukum memakai jaringan internet ( WIFI ) orang lain tanpa ada izin pemiliknya” sudah dijelaskan di atas, semoga pembaca dapat memahami penjelasan yang dapat saya berikan. Wallahu A’lam

Sumber : https://tebuireng.online/

Editor : M Rifqi Fathurrohman

Bagaimana hukumnya meninggalkan Solat Sunnah ditengah pengerjaannya?

Sumber foto : https://id.pinterest.com/pin/313070611611460400/

Bagaimana hukumnya meninggalkan Solat Sunnah ditengah pengerjaannya?

Nah, simak baik-baik penjelasan berikut.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti tidak lepas dari yang namanya Solat. Dan Solat terbagi menjadi dua, ada Solat Fardu dan ada Solat Sunnah.
Berbicara tentang Sunnah, Sunnah adalah bagian dari Mandub (مندوب). Apa pengertian dari Mandub?. Pengertiannya adalah:

مَا يُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ وَلاَ يُعَاقَبُ عَلَى تَرْكِهِ

Artinya:” Perkara yang bernilai pahala ketika dikerjakan dan tidak mendapatkan siksaan ketika di tinggalkan

Dan lafadz Mandub mempunyai persamaan (مُتَّرَدِف), antara lain: Sunnah, Mustahab, Tathowu’. Namun lafadz Mandub mempunya ma’na yang lebih umum. Menurut Imam Al-Qodi Husein dan ulama yang lain, istilah Sunnah, Mustahab, Tathowu’ itu bukanlah kata yang muttarodif, dan juga memiliki definisi yang berbeda-beda, antara lain:
Sunnah : Adalah perbuatan nabi yang dilakukan secara terus-menerus.
Mustahab : Adalah perbuatan nabi yang jarang dilakukan.
Tathowu’ : Adalah perbuatan para sahabat dan para ulama’ yang di perbolehkan oleh nabi.
Contoh seperti perbuatan yang sering dilakukan oleh masyarakat di indonesia, khususnya : peringatan Maulid Nabi, peringatan Isra’ Mi’raj, tahlil dan lain sebagainya.

Baca juga : “Hukum solat memakai cadar”

Dan Bagaimana hukumnya jika kita meninggalkan Solat Sunnah ditengah pengerjaanya?
Jawabannya adalah, menurut Imam Syafi’i diperbolehkan. Contoh seperti si A sedang melaksanakan solat Dhuha dirumahnya, namun orangtua si A tersebut memanggilnya untuk membelikan suatu barang atau makanan, maka si A diperbolehkan untuk memutuskan solat Dhuha tersebut.

Namun menurut Imam Malik & Imam Abu Hanifah tidak diperbolehkan . Karena ada dalil AL-Qur’an yang berbunyi : ” يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوٓا۟ أَعْمَٰلَكُمْ
“QS Muhammad ayat 33”

Jadi hasil dari pertanyaan “Bagaimana hukumnya meninggalkan Solat Sunnah ditengah pengerjaannya?” adalah diperbolehkan. Dan semoga dengan adanya penjelasan ini, menjadi ilmu yang bermanfa’at, dan pembaca dapat memahami penjelasan tersebut. Wallahu A’lam

Editor : M Rifqi Fathurrohman

Referensi : Kitab An-Nafahat

Minta Doa pada Jamaah Haji yang Baru Pulang dari Tanah Suci

Sudah menjadi tradisi di Indonesia, jamaah yang telah melaksanakan ibadah haji di tanah suci mengadakan tasyakuran. Dalam momentum tersebut masyarakat mendatangi mereka, baik untuk berbagi cerita, mengambil oleh-oleh khas dari tanah Arab hingga meminta doa dari jamaah haji. Tradisi meminta doa dari jamaah haji diyakini memiliki perbedaan dari doa-doa lainnya, dari sisi diterima atau tidaknya di sisi Allah. Sehingga muncul ungkapan bahwa doa dari seseorang yang melaksanakan haji akan dikabulkan dalam rentang waktu 40 hari pasca kembalinya dari tanah suci. Tentunya sebuah tradisi yang hidup di masyarakat memiliki asal usul dan latar belakang yang menjadi pondasi awal lahirnya kebiasaan tersebut. Asal usul tersebut mewujud dalam beragam bentuk, salah satunya adalah teks-teks keagamaan, dalam konteks Islam adalah Al-Quran, hadits hingga pendapat para ulama dalam literatur keislaman

Menyinggung soal tradisi meminta doa kepada jamaah yang baru pulang dari tanah suci, setidaknya penulis mendapati beberapa hadits yang berkaitan dengan tradisi ini. Pertama, hadits yang diriwayatkan Abu Musa al-Asy’ari terkait orang yang melaksanakan ibadah haji dapat memberikan syafaat kepada 400 orang keluarganya, teksnya yaitu:

عَن أَبِي مُوسَى الأَشْعَرِيِّ، رَفَعَهُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، قَالَ الْحَاجُّ يَشْفَعُ فِي أَرْبَعِ مِائَةِ أَهْلِ بَيْتٍ، أَوْ قَالَ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ، وَيَخْرُجُ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ  ad

Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari yang bersambung kepada Nabi, ia berkata, ‘Seseorang yang berhaji dapat memberikan syafaat kepada 400 orang keluarga atau keluarganya dan ia akan keluar dari dosanya seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya’.” (HR Al-Bazzar) Mengenai kualitas sanad hadits di atas, Al-Haitsami mengomentari bahwa dalam sanad milik al-Bazzar, ada perawi yang tidak disebut namanya. Sayangnya tidak ada pelacakan lebih lanjut mengenai kritik terhadap sanad hadits tersebut (Al-Haitsami, Majma’uz Zawaid wa Manbaul Fawaid, [Beirut: Darul Fikr, 1412], jilid III, hal. 484). Kedua, hadits terkait dengan doa orang yang melaksanakan haji diijabah oleh Allah. Riwayat ini dicantumkan oleh Al-Baihaqi dalam karyanya yang berjudul Ad-Da’awat al-Kabir. Teksnya yaitu: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “خَمْسُ دَعَوَاتٍ يُسْتَجَابُ لَهُنَّ: دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ حَتَّى يُنْتَصَرَ، وَدَعْوَةُ الْحَاجِ حَتَّى يُصْدَرَ، وَدَعْوَةُ الْمُجَاهِدِ حَتَّى يُقَفْلَ، وَدَعْوَةُ الْمَرِيضِ حَتَّى يُبْرَأَ…

Artinya, “Dari Ibnu ‘Abbas ra, dari Nabi saw, beliau bersabda, ‘Ada lima doa yang pasti dikabulkan: doa orang yang dizalimi hingga dia mendapat keadilan, doa orang yang berhaji hingga dia kembali, ………… doa mujahid sampai perjuangannya selesai, doa orang yang sakit hingga dia sembuh..” (HR Al-Baihaqi, Ad-Da’awat al-Kabir, Mengenai kualitas hadits di atas, para perawi yang disebutkan Al-Baihaqi dalam sanadnya merupakan perawi yang shahih (rijalush shahih), terlebih ‘Ali bin ‘Ali ar-Rifa’i dalam sanad Al-Baihaqi merupakan seorang yang kredibel (tsiqah) (Al-Mubarakfuri, Mir’atul Mafatih syarh Misykatil Mashabih, [India: Idaratul Buhuts. 1984],  jilid VII, hal. 375).

Kemudian Al-Haitsami juga melampirkan riwayat mengenai meminta doa dari orang yang melaksanakan haji. Hadits ini disebutkan oleh Al-Haitsami bersumber dari riwayat Imam Ahmad, dan memiliki kualitas yang dhaif.  Menurut al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaid, riwayat di atas lemah disebabkan adanya perawi dalam sanad riwayat Imam Ahmad yang bernama al-Baylamani. Teks hadits tersebut adalah

عن عبد الله بن عمر رحمه الله قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا لقيت الحاج فسلم عليه وصافحه ومره أن يستغفر لك قبل أن يدخل بيته فإنه مغفور له Artinya, “Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Umar ra, menceritakan bahwa Rasulullah saw bersabda, ‘Apabila kamu bertemu dengan seorang yang telah melaksanakan haji, ucapkanlah salam kepadanya, berjabat tangan dengannya, dan mintalah agar ia memohonkan ampunan bagimu sebelum masuk ke rumahnya, karena sesungguhnya dia telah diampuni.” (HR Ahmad). Dengan adanya teks-teks hadits di atas, jamaah haji di Indonesia selepas pulang dari tanah suci kerap dimintai doa, terkhusus doa supaya diberikan kesempatan dan rejeki juga untuk melaksanakan ibadah haji. Tradisi ini tidak ada salahnya apabila dipraktikkan, selama di dalamnya tidak ada unsur atau faktor eksternal yang menyebabkan suatu perbuatan dinilai haram atau dilarang dalam aturan agama Islam. Mengutip Hasyiyah al-Qalyubi, tradisi ini termasuk yang dianjurkan. Berikut keterangannya: وَيُنْدَبُ لِلْحَاجِّ الدُّعَاءُ لِغَيْرِهِ بِالْمَغْفِرَةِ وَإِنْ لَمْ يَسْأَلْ وَلِغَيْرِهِ سُؤَالُ الدُّعَاءِ مِنْهُ بِهَا وَذَكَرُوا أَنَّهُ أَيْ الدُّعَاءَ يَمْتَدُّ أَرْبَعِينَ يَوْمًا مِنْ قُدُومِهِ  Artinya, “Disunnahkan bagi orang yang berhaji untuk mendoakan kepada orang (yang tidak berhaji) dengan ampunan meskipun orang tersebut tidak meminta. Dan bagi orang yang tidak berhaji hendaknya meminta didoakan oleh dia. Para ulama menyebut bahwa doa tersebut sampai empat puluh hari dari kedatangannya [pulang dari tanah suci].” (Syihabuddin al-Qalyubi, Hasyiyah Qalyubi, Beirut: Darul-Fikr, 1419 H/1998 M, jilid II, hal. 190). Selanjutnya, apabila sebagian hadits di atas dinilai dhaif, sudah tentu tetap dapat diamalkan. Para ulama membolehkan mengamalkan hadits dhaif dalam fadha’ilul ‘amal (amalan-amalan utama) dengan beberapa syarat yakni: tidak meyakini keshahihannya, tidak meyakini betul bahwa itu murni dari lisan dan tindakan Nabi, dan menjelaskan hukum haditsnya serta persyaratan lain yang telah ditetapkan ulama. Kesimpulannya, tradisi meminta doa kepada seseorang yang baru pulang dari tanah suci selepas menunaikan ibadah haji dianjurkan. Kita dapat meminta agar didoakan hal-hal yang baik, hingga didoakan supaya sampai juga ke tanah suci. Tentunya permintaan untuk didoakan tidak dengan memaksa, atau meyakini bahwa kuasa mengabulkan doa ada pada dirinya.

Sumber: https://islam.nu.

Editor: Alima sri sutami mukti___

Syarat Suci saat Tawaf dalam Ragam Pandangan Ulama

Di antara hal yang sering mengganggu pikiran jamaah haji ketika tawaf adalah soal kesucian dari najis dan hadats baik kecil maupun hadats besar. Tentu saja ini sangat baik sehingga jamaah haji selalu menjaga kesucian baik dari hadats maupun najis.   Ulama berbeda pendapat perihal kesucian dari hadats dan najis saat tawaf. Imam An-Nawawi menjelaskan ragam pandangan ulama empat mazhab tentang kesucian dari hadats dan najis saat melaksanakan tawaf.   Ulama berbeda pendapat perihal status hukum kesucian, apakah ia masuk dalam syarat sah tawaf atau masuk wajib haji yang dapat dikompensasi dengan pembayaran dam?  

قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا اشْتِرَاطُ الطَّهَارَةِ عَنْ الْحَدَثِ وَالنَّجَسِ وَبِهِ قَال مَالِكٌ وَحَكَاهُ الْمَاوَرْدِيُّ عَنْ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ وَحَكَاهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ فِي طَهَارَةِ الْحَدَثِ عَنْ عَامَّةِ الْعُلَمَاءِ وَانْفَرَدَ أَبُو حَنِيفَةَ فَقَالَ الطَّهَارَةُ مِنْ الْحَدَثِ وَالنَّجَسِ لَيْسَتْ بِشَرْطٍ لِلطَّوَافِ فَلَوْ طَافَ وَعَلَيْهِ نَجَاسَةٌ أَوْ مُحْدِثًا أَوْ جُنُبًا صَحَّ طَوَافُهُ  

Artinya, “Kami telah menyebutkan, mazhab kami (Syafi’iyah) mensyaratkan suci dari hadits dan najis [ketika tawaf]. Demikian juga pendapat Imam Malik. Al-Mawardi juga menghikayatkan demikian dari jumhur ulama. Demikian juga Ibnul Mundzir dari umumnya ulama tentang kesucian dari hadats. Imam Abu Hanifah ra berbeda sendiri. Ia berpendapat, ‘Suci dari hadats dan najis bukan syarat tawaf. Jadi, seandainya seseorang melakukan tawaf, sementara padanya terdapat najis, dalam keadaan hadats kecil, atau junub, maka tawafnya tetap sah,’” (An-Nawawi, Al-Majmu Syarhul Muhaddzab, [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah: 2010 M], juz VIII, halaman 20).  

Imam An-Nawawi melanjutkan diskusi para ulama perihal kategori suci. Apakah suci dari hadats kecil atau besar itu termasuk wajib haji? Artinya, kalau suci saat tawaf itu masuk wajib haji, maka mereka yang bertawaf dalam kondisi berhadats atau najis dan tidak mengulangnya maka akan terkena dam.   Ulama berbeda pendapat perihal kewajiban suci bagi orang yang tawaf, tetapi mereka bersepakat bahwa kesucian dari bukan bagian dari syarat sah tawaf. Dua hal ini harus dibedakan betul. Artinya, bisa saja seorang jamaah haji melakukan tawaf dalam kondisi hadats dan tetap sah tawafnya karena kesucian bukan syarat sah tawaf.   Ulama yang mewajibkan kesucian saat tawaf berpendapat, seorang jamaah melakukan tawaf dalam kondisi berhadats kecil wajib terkena dam seekor kambing. Tetapi jika hadats besar, maka ia terkena dam unta dan ia wajib mengulangi tawaf dalam kondisi suci selama masih stay di Makkah.   Terdapat dua riwayat pendapat dari Imam Ahmad:

Riwayat pertama Imam Ahmad seperti pandangan mazhab Syafi’i perihal kesucian saat tawaf.

Riwayat kedua Imam Ahmad menyebutkan, jika jamaah masih stay di Makkah, ia boleh mengulang tawafnya dalam kondisi suci. Tetapi jika sudah kembali ke Tanah Air, ia wajib menyempurnakannya dengan dam. Adapun Imam Dawud berpendapat, kesucian saat tawaf adalah wajib. Jika ada jamaah yang melakukan tawaf dalam kondisi berhadats kecil, maka itu sudah memadai (sah) kecuali dalam kondisi haidh. Sementara Al-Manshuri, ulama pengikut Imam Dawud berpendapat, kesucian merupakan syarat tawaf, seperti pandangan mazhab Syafi’i.   Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Syarah Sahih Bukhari menyebutkan bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama perihal kesucian saat tawaf berangkat dari perbedaan cara memahami hadits Sayyidatina Aisyah ra:   افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطَّهَّرِي   Artinya, “Rasulullah saw berkata kepada Aisyah ra yang sedang haidh ketika berhaji, ‘Lakukanlah apa yang dilakukan jamaah haji lain selain tawaf di Ka’bah sampai kamu suci,’” (HR Bukhari dan Muslim).   Al-Asqalani menerangkan bahwa dari hadits ini dapat dipahami bahwa hadats dapat merusak tawaf sehingga tawaf nanti dilakukan ketika seseorang dalam kondisi suci.

  وَالْحَدِيثُ ظَاهِرٌ فِي نَهْيِ الْحَائِضِ عَنِ الطَّوَافِ حَتَّى يَنْقَطِعَ دَمُهَا وَتَغْتَسِلَ لِأَنَّ النَّهْيَ فِي الْعِبَادَاتِ يَقْتَضِي الْفَسَادَ وَذَلِكَ يَقْتَضِي بُطْلَانَ الطَّوَافِ لَوْ فَعَلَتْهُ وَفِي مَعْنَى الْحَائِضِ الْجُنُب وَالْمُحْدِث وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ وَذَهَبَ جَمْعٌ مِنَ الْكُوفِيِّينَ إِلَى عَدَمِ الِاشْتِرَاطِ قَالَ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ: حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ سَأَلْتُ الْحَكَمَ، وَحَمَّادًا، وَمَنْصُورًا، وَسُلَيْمَانَ عَنِ الرَّجُلِ يَطُوفُ بِالْبَيْتِ عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ فَلَمْ يَرَوْا بِهِ بَأْسًا. وَرُوِيَ عَنْ عَطَاءٍ: إِذَا طَافَتِ الْمَرْأَةُ ثَلَاثَةَ أَطْوَافٍ فَصَاعِدًا ثُمَّ حَاضَتْ أَجْزَأَ عَنْهَا   Artinya, “Hadits ini jelas tentang larangan perempuan haidh untuk tawaf sampai darahnya terhenti dan ia mandi karena kaidah larangan dalam ibadah berkonsekuensi kerusakan (ibadah). Artinya larangan ini menuntut batalnya tawaf seandainya perempuan haidh tetap melakukan tawaf. Semakna dengan perempuan haidh ialah (status tawaf) orang junub dan berhadats kecil. Ini pandangan jumhur ulama.   Tetapi sekelompok ulama Kufah tidak menganggap suci sebagai syarat tawaf. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ghundar, dari Syu’bah, ‘Aku bertanya pada Imam Hakam, Hammad, Manshur, dan Sulaiman tentang jamaah yang bertawaf tanpa bersuci. Mereka tidak menganggapnya masalah.’ Diriwayatkan dari Imam Atha ra, ‘Jika seorang perempuan bertawaf 3 kali atau lebih putaran, lalu datang haidh, maka tawafnya memadai (sah).’” (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari, [Kairo, Darul Hadits: 2004 M/1424 H], juz III, halaman 571-572).   Imam Syamsuddin Muhammad Ar-Ramli memberikan catatan tambahan atas keterangan Majmuk karya Imam Nawawi, “Hanya Imam Abu Hanifah sendiri yang berpendapat bahwa kesucian bukan syarat sah tawaf. Sementara ulama pengikutnya berbeda pendapat perihal wajib suci dan wajib dam jika seorang jamaah melakukan tawaf dalam kondisi hadats.”   Menurut Ar-Ramli, sejatinya mereka tidak sendiri. Mereka hanya sendiri di tengah tiga mazhab lainnya. Tetapi sebenarnya, satu riwayat Imam Ahmad menyebutkan bahwa kesucian saat tawaf merupakan wajib haji yang dapat diganti dengan dam. Demikian juga riwayat ulama-ulama bermazhab Maliki yang memiliki pendapat serupa riwayat pendapat Imam Ahmad.  

وَبَحَثَ بَعْضُهُمْ أَنَّهَا إنْ كَانَتْ شَافِعِيَّةً تُقَلِّدُ الْإِمَامَ أَبَا حَنِيفَةَ أَوْ أَحْمَدَ عَلَى إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عِنْدَهُ فِي أَنَّهَا تَهْجُمُ وَتَطُوفُ بِالْبَيْتِ وَيَلْزَمُهَا بَدَنَةٌ وَتَأْثَمُ بِدُخُولِهَا الْمَسْجِدَ حَائِضًا، وَيُجْزِيهَا هَذَا الطَّوَافُ عَنْ الْفَرْضِ لِمَا فِي بَقَائِهَا عَلَى الْإِحْرَامِ مِنْ الْمَشَقَّةِ  

Artinya, “Sebagian ulama membahas, kalau ada perempuan haidh bermazhab Syafi’i yang bertaklid kepada Imam Abu Hanifah atau Imam Ahmad pada salah satu dari dua riwayatnya perihal masuk [ke Masjidil Haram] dan bertawaf di Ka’bah, maka ia wajib menyembelih dam unta dan berdosa karena masuk masjid dalam keadaan haidh, tetapi tawaf rukunnya tetap memadai [sah] karena kesulitan bila terlalu lama dalam status ihram,” (Syamsuddin Muhammad Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, [Beirut, Darul Fikr: 2009 M/1429-1430 H], juz III, halaman 366).   Sementara Imam Abu Hanifah berpegangan pada Surat Al-Haji ayat 29:   وَلْيَطَّوَّفُوا۟ بِٱلْبَيْتِ ٱلْعَتِيقِ   Artinya, “Hendaklah mereka tawaf di Baitullah yang tua sejarahnya,” (Surat Al-Hajj ayat 29).   Pada ayat ini, Allah memerintahkan secara mutlak tawaf tanpa mensyaratkan suci di dalamnya. Dengan demikian, orang boleh tawaf dalam kondisi tidak suci dari hadats.   Senada dengan Ar-Ramli, Syekh As-Syarqawi mengatakan bahwa jamaah haji perempuan yang bermazhab Syafi’i dapat bertaqlid kepada mazhab Abu Hanifah perihal suci yang hanya wajib haji dalam tawaf sehingga aktivitas tawafnya dalam kondisi haid tetap sah meski dia akan terkena dam.  

  وَبَحَثَ بَعْضُهُمْ أَنَّهَا إنْ كَانَتْ شَافِعِيَّةً تُقَلِّدُ الْإِمَامَ أَبَا حَنِيفَةَ فَإنَّ الطَّهَارَةَ عِنْدَهُ وَاجِبَةٌ فِي الطَّوَافِ لَيْسَتْ شَرْطًا فَإِذَا فَعَلَتْهُ صَحَّ مَعَ وُجُوْبِ بَدَنَةٍ عَلَى نَحْوِ حَائِضٍ وَشَاةٍ عَلَى مُحْدِثٍ وَلَو بِجَنَابَةٍ أَوْ الْإِمَامَ أَحْمَدَ عَلَى إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ فِي أَنَّهَا تَهْجُمُ وَتَطُوفُ بِالْبَيْتِ وَيَلْزَمُهَا بَدَنَةٌ وَتَأْثَمُ بِدُخُولِهَا الْمَسْجِدَ حَائِضًا، وَيُجْزِئُهَا هَذَا الطَّوَافُ عَنْ الْفَرْضِ لِمَا فِي بَقَائِهَا عَلَى الْإِحْرَامِ مِنْ الْمَشَقَّةِ

  Artinya, “Sebagian ulama membahas, kalau ada perempuan haid bermazhab Syafi’i bertaqlid kepada Imam Abu Hanifah karena suci menurutnya hanya wajib, bukan syarat dalam tawaf, – kalau ia juga bertawaf -, maka sah tawafnya dengan wajib dam unta bagi perempuan haid, dam kambing bagi jamaah tawaf yang berhadats meski dengan junub; atau kepada Imam Ahmad pada salah satu dari dua riwayatnya perihal masuk [ke Masjidil Haram] dan bertawaf di Ka’bah, maka ia wajib menyembelih dam unta dan berdosa karena masuk masjid dalam keadaan haid, tetapi tawaf rukunnya tetap memadai [sah] karena kesulitan bila terlalu lama dalam status ihram,” (Abdullah bin Hijazi As-Syarqawi, Hasyiyatus Syarqawi ‘ala Tuhfatit Thullab, [Beirut, Darul Fikr: 2006 M/1426-1427 H], juz I, halaman 461).   Demikian keterangan yang dapat kami sampaikan. Semoga dapat diterima dengan baik.

Sumber: https://islam.nu.or.id/syariah/syarat-suci-saat-tawaf-dalam-ragam-pandangan-ulama-ebEWr

Editor: Alima sri sutami mukti