Bagaimana hukum memakai jaringan internet (WIFI) orang lain tanpa ada izin dari pemiliknya?

Bagaimana Hukum Memakai Jaringan Internet ( Wifi ) Orang Lain Tanpa Izin?

Sumber Gambar : https://www.freepik.com/

Berbicara tentang Wifi ( jaringan ), jaringan adalah kumpulan perangkat yang saling terhubung untuk berbagi data, sumber daya, atau layanan. Misalnya, komputer, smartphone, server, dan perangkat lainnya yang terhubung melalui kabel (jaringan kabel) atau sinyal nirkabel (Wi-Fi). Dan di zaman sekarang, kita pasti tidak lepas dari yang namanya jaringan, baik itu jaringan WIFI ataupun jaringan seluler. Dulu, orang-orang berkomunikasi menggunakan surat atau tatap muka. Namun, dengan kemajuan teknologi, manusia mulai menemukan cara untuk menghubungkan perangkat agar bisa berbagi informasi secara cepat. Awalnya, jaringan komputer hanya digunakan di tempat tertentu, seperti di laboratorium riset. Seiring waktu, jaringan berkembang menjadi lebih kompleks. Dengan hadirnya kabel, router, dan teknologi nirkabel seperti Wi-Fi, komputer, smartphone, dan perangkat lain bisa saling terhubung, tidak peduli seberapa jauh jaraknya. Teknologi ini membuat komunikasi dan kerja sama menjadi lebih mudah. Hari ini, jaringan menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Internet, yang merupakan jaringan global, menghubungkan miliaran perangkat di seluruh dunia, memungkinkan orang untuk bekerja, belajar, dan bersosialisasi tanpa batas waktu dan tempat. Dari sebuah kantor kecil, rumah tetangga, rumah saudara hingga perusahaan besar, jaringan adalah tulang punggung dari sistem informasi modern.

Berhubung kita termasuk dari masyarakat Islam, dalam islam pasti semua perbuatan akan terkait dengan hukum, seperti halnya wajib, haram, sunnah, makruh, mubah, jaiz dan bathil. Seperti wajibnya sholat lima waktu, haramnya berzina, dan masih banyak contoh hukum-hukum lainnya.

Lantas dalam sudut pandang fiqih, bagaimana hukumnya memakai jaringan internet ( Wifi ) orang lain tanpa izin?. MARKIBA… ( mari kita bahas )

Dalam kitab Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menyampaikan keterangan sebagai berikut:

(وَسُئِلَ) بِمَا لَفْظُهُ هَلْ جَوَازُ الْأَخْذ بِعِلْمِ الرِّضَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ أَمْ مَخْصُوصٌ بِطَعَامِ الضِّيَافَةِ؟ (فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ الَّذِي دَلَّ عَلَيْهِ كَلَامُهُمْ أَنَّهُ غَيْر مَخْصُوصٍ بِذَلِكَ وَصَرَّحُوا بِأَنَّ غَلَبَةَ الظَّنِّ كَالْعِلْمِ فِي ذَلِكَ وَحِينَئِذٍ فَمَتَى غَلَبَ ظَنُّهُ أَنَّ الْمَالِكَ يَسْمَحُ لَهُ بِأَخْذِ شَيْءٍ مُعَيَّنٍ مِنْ مَالِهِ جَازَ لَهُ أَخْذُهُ ثُمَّ إنْ بَانَ خِلَافُ ظَنّه لَزِمَهُ ضَمَانُهُ وَإِلَّا فَلَا

Artinya: “Imam Ibnu Hajar ditanya: apakah kebolehan mengambil sesuatu dengan keyakinan adanya kerelaan pemilik itu tertentu dalam hal hidangan atau yang lainnya? Maka beliau menjawab: masalah tersebut tidak terkhusus dalam hal hidangan saja. Para ulama menjelaskan bahwa prasangka kuat itu kapasitasnya sama dengan keyakinan. Untuk itu, apabila seseorang memiliki prasangka kuat bahwa pemilik barang memberikan keluasan untuk untuk mengambil barang miliknya, maka ia boleh mengambilnya. Namun jika sebaliknya, maka ia wajib mengganti rugi.” (Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, 4/116).

Dari keterangan di atas, dapat diqiyaskan ( disamakan ) bahwa perilaku menyambung atau memanfaatkan jaringan internet milik orang lain secara diam-diam atau tanpa izin ini sama halnya seperti mengambil hidangan milik orang lain tanpa sepengetahuan si pemilik. Sehingga, dalam tinjauan sudut pandang fiqih, hukum perilaku menyambung atau memanfaatkan jaringan internet milik orang lain secara diam-diam atau tanpa izin tersebut, berdasarkan keterangan di atas, dapat diperinci sebagai berikut:

  • Apabila seseorang memiliki keyakian bahwa si pemilik jaringan tersebut hanya digunakan secara pribadi (tidak digunakan secara umum) dan pemilik tidak rela jika jaringan internet nya digunakan oleh orang lain, maka hukumnya menyambung atau memakai jaringan tersebut adalah haram.
  • Dan apabila seseorang memiliki keyakinan atau sangkaan kuat bahwa pemiliknya rela jika jaringan internetnya dimanfaatkan olehnya, maka hukum memanfaatkan jaringat internet tersebut diperbolehkan, meski tanpa sepengetahuan pemiliknya.

Dan demikianlah penjelasan mengenai “Bagaimana hukum memakai jaringan internet ( WIFI ) orang lain tanpa ada izin pemiliknya” sudah dijelaskan di atas, semoga pembaca dapat memahami penjelasan yang dapat saya berikan. Wallahu A’lam

Sumber : https://tebuireng.online/

Editor : M Rifqi Fathurrohman

Bagaimana hukumnya meninggalkan Solat Sunnah ditengah pengerjaannya?

Sumber foto : https://id.pinterest.com/pin/313070611611460400/

Bagaimana hukumnya meninggalkan Solat Sunnah ditengah pengerjaannya?

Nah, simak baik-baik penjelasan berikut.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti tidak lepas dari yang namanya Solat. Dan Solat terbagi menjadi dua, ada Solat Fardu dan ada Solat Sunnah.
Berbicara tentang Sunnah, Sunnah adalah bagian dari Mandub (مندوب). Apa pengertian dari Mandub?. Pengertiannya adalah:

مَا يُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ وَلاَ يُعَاقَبُ عَلَى تَرْكِهِ

Artinya:” Perkara yang bernilai pahala ketika dikerjakan dan tidak mendapatkan siksaan ketika di tinggalkan

Dan lafadz Mandub mempunyai persamaan (مُتَّرَدِف), antara lain: Sunnah, Mustahab, Tathowu’. Namun lafadz Mandub mempunya ma’na yang lebih umum. Menurut Imam Al-Qodi Husein dan ulama yang lain, istilah Sunnah, Mustahab, Tathowu’ itu bukanlah kata yang muttarodif, dan juga memiliki definisi yang berbeda-beda, antara lain:
Sunnah : Adalah perbuatan nabi yang dilakukan secara terus-menerus.
Mustahab : Adalah perbuatan nabi yang jarang dilakukan.
Tathowu’ : Adalah perbuatan para sahabat dan para ulama’ yang di perbolehkan oleh nabi.
Contoh seperti perbuatan yang sering dilakukan oleh masyarakat di indonesia, khususnya : peringatan Maulid Nabi, peringatan Isra’ Mi’raj, tahlil dan lain sebagainya.

Baca juga : “Hukum solat memakai cadar”

Dan Bagaimana hukumnya jika kita meninggalkan Solat Sunnah ditengah pengerjaanya?
Jawabannya adalah, menurut Imam Syafi’i diperbolehkan. Contoh seperti si A sedang melaksanakan solat Dhuha dirumahnya, namun orangtua si A tersebut memanggilnya untuk membelikan suatu barang atau makanan, maka si A diperbolehkan untuk memutuskan solat Dhuha tersebut.

Namun menurut Imam Malik & Imam Abu Hanifah tidak diperbolehkan . Karena ada dalil AL-Qur’an yang berbunyi : ” يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوٓا۟ أَعْمَٰلَكُمْ
“QS Muhammad ayat 33”

Jadi hasil dari pertanyaan “Bagaimana hukumnya meninggalkan Solat Sunnah ditengah pengerjaannya?” adalah diperbolehkan. Dan semoga dengan adanya penjelasan ini, menjadi ilmu yang bermanfa’at, dan pembaca dapat memahami penjelasan tersebut. Wallahu A’lam

Editor : M Rifqi Fathurrohman

Referensi : Kitab An-Nafahat

Minta Doa pada Jamaah Haji yang Baru Pulang dari Tanah Suci

Sudah menjadi tradisi di Indonesia, jamaah yang telah melaksanakan ibadah haji di tanah suci mengadakan tasyakuran. Dalam momentum tersebut masyarakat mendatangi mereka, baik untuk berbagi cerita, mengambil oleh-oleh khas dari tanah Arab hingga meminta doa dari jamaah haji. Tradisi meminta doa dari jamaah haji diyakini memiliki perbedaan dari doa-doa lainnya, dari sisi diterima atau tidaknya di sisi Allah. Sehingga muncul ungkapan bahwa doa dari seseorang yang melaksanakan haji akan dikabulkan dalam rentang waktu 40 hari pasca kembalinya dari tanah suci. Tentunya sebuah tradisi yang hidup di masyarakat memiliki asal usul dan latar belakang yang menjadi pondasi awal lahirnya kebiasaan tersebut. Asal usul tersebut mewujud dalam beragam bentuk, salah satunya adalah teks-teks keagamaan, dalam konteks Islam adalah Al-Quran, hadits hingga pendapat para ulama dalam literatur keislaman

Menyinggung soal tradisi meminta doa kepada jamaah yang baru pulang dari tanah suci, setidaknya penulis mendapati beberapa hadits yang berkaitan dengan tradisi ini. Pertama, hadits yang diriwayatkan Abu Musa al-Asy’ari terkait orang yang melaksanakan ibadah haji dapat memberikan syafaat kepada 400 orang keluarganya, teksnya yaitu:

عَن أَبِي مُوسَى الأَشْعَرِيِّ، رَفَعَهُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، قَالَ الْحَاجُّ يَشْفَعُ فِي أَرْبَعِ مِائَةِ أَهْلِ بَيْتٍ، أَوْ قَالَ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ، وَيَخْرُجُ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ  ad

Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari yang bersambung kepada Nabi, ia berkata, ‘Seseorang yang berhaji dapat memberikan syafaat kepada 400 orang keluarga atau keluarganya dan ia akan keluar dari dosanya seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya’.” (HR Al-Bazzar) Mengenai kualitas sanad hadits di atas, Al-Haitsami mengomentari bahwa dalam sanad milik al-Bazzar, ada perawi yang tidak disebut namanya. Sayangnya tidak ada pelacakan lebih lanjut mengenai kritik terhadap sanad hadits tersebut (Al-Haitsami, Majma’uz Zawaid wa Manbaul Fawaid, [Beirut: Darul Fikr, 1412], jilid III, hal. 484). Kedua, hadits terkait dengan doa orang yang melaksanakan haji diijabah oleh Allah. Riwayat ini dicantumkan oleh Al-Baihaqi dalam karyanya yang berjudul Ad-Da’awat al-Kabir. Teksnya yaitu: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “خَمْسُ دَعَوَاتٍ يُسْتَجَابُ لَهُنَّ: دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ حَتَّى يُنْتَصَرَ، وَدَعْوَةُ الْحَاجِ حَتَّى يُصْدَرَ، وَدَعْوَةُ الْمُجَاهِدِ حَتَّى يُقَفْلَ، وَدَعْوَةُ الْمَرِيضِ حَتَّى يُبْرَأَ…

Artinya, “Dari Ibnu ‘Abbas ra, dari Nabi saw, beliau bersabda, ‘Ada lima doa yang pasti dikabulkan: doa orang yang dizalimi hingga dia mendapat keadilan, doa orang yang berhaji hingga dia kembali, ………… doa mujahid sampai perjuangannya selesai, doa orang yang sakit hingga dia sembuh..” (HR Al-Baihaqi, Ad-Da’awat al-Kabir, Mengenai kualitas hadits di atas, para perawi yang disebutkan Al-Baihaqi dalam sanadnya merupakan perawi yang shahih (rijalush shahih), terlebih ‘Ali bin ‘Ali ar-Rifa’i dalam sanad Al-Baihaqi merupakan seorang yang kredibel (tsiqah) (Al-Mubarakfuri, Mir’atul Mafatih syarh Misykatil Mashabih, [India: Idaratul Buhuts. 1984],  jilid VII, hal. 375).

Kemudian Al-Haitsami juga melampirkan riwayat mengenai meminta doa dari orang yang melaksanakan haji. Hadits ini disebutkan oleh Al-Haitsami bersumber dari riwayat Imam Ahmad, dan memiliki kualitas yang dhaif.  Menurut al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaid, riwayat di atas lemah disebabkan adanya perawi dalam sanad riwayat Imam Ahmad yang bernama al-Baylamani. Teks hadits tersebut adalah

عن عبد الله بن عمر رحمه الله قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا لقيت الحاج فسلم عليه وصافحه ومره أن يستغفر لك قبل أن يدخل بيته فإنه مغفور له Artinya, “Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Umar ra, menceritakan bahwa Rasulullah saw bersabda, ‘Apabila kamu bertemu dengan seorang yang telah melaksanakan haji, ucapkanlah salam kepadanya, berjabat tangan dengannya, dan mintalah agar ia memohonkan ampunan bagimu sebelum masuk ke rumahnya, karena sesungguhnya dia telah diampuni.” (HR Ahmad). Dengan adanya teks-teks hadits di atas, jamaah haji di Indonesia selepas pulang dari tanah suci kerap dimintai doa, terkhusus doa supaya diberikan kesempatan dan rejeki juga untuk melaksanakan ibadah haji. Tradisi ini tidak ada salahnya apabila dipraktikkan, selama di dalamnya tidak ada unsur atau faktor eksternal yang menyebabkan suatu perbuatan dinilai haram atau dilarang dalam aturan agama Islam. Mengutip Hasyiyah al-Qalyubi, tradisi ini termasuk yang dianjurkan. Berikut keterangannya: وَيُنْدَبُ لِلْحَاجِّ الدُّعَاءُ لِغَيْرِهِ بِالْمَغْفِرَةِ وَإِنْ لَمْ يَسْأَلْ وَلِغَيْرِهِ سُؤَالُ الدُّعَاءِ مِنْهُ بِهَا وَذَكَرُوا أَنَّهُ أَيْ الدُّعَاءَ يَمْتَدُّ أَرْبَعِينَ يَوْمًا مِنْ قُدُومِهِ  Artinya, “Disunnahkan bagi orang yang berhaji untuk mendoakan kepada orang (yang tidak berhaji) dengan ampunan meskipun orang tersebut tidak meminta. Dan bagi orang yang tidak berhaji hendaknya meminta didoakan oleh dia. Para ulama menyebut bahwa doa tersebut sampai empat puluh hari dari kedatangannya [pulang dari tanah suci].” (Syihabuddin al-Qalyubi, Hasyiyah Qalyubi, Beirut: Darul-Fikr, 1419 H/1998 M, jilid II, hal. 190). Selanjutnya, apabila sebagian hadits di atas dinilai dhaif, sudah tentu tetap dapat diamalkan. Para ulama membolehkan mengamalkan hadits dhaif dalam fadha’ilul ‘amal (amalan-amalan utama) dengan beberapa syarat yakni: tidak meyakini keshahihannya, tidak meyakini betul bahwa itu murni dari lisan dan tindakan Nabi, dan menjelaskan hukum haditsnya serta persyaratan lain yang telah ditetapkan ulama. Kesimpulannya, tradisi meminta doa kepada seseorang yang baru pulang dari tanah suci selepas menunaikan ibadah haji dianjurkan. Kita dapat meminta agar didoakan hal-hal yang baik, hingga didoakan supaya sampai juga ke tanah suci. Tentunya permintaan untuk didoakan tidak dengan memaksa, atau meyakini bahwa kuasa mengabulkan doa ada pada dirinya.

Sumber: https://islam.nu.

Editor: Alima sri sutami mukti___

Syarat Suci saat Tawaf dalam Ragam Pandangan Ulama

Di antara hal yang sering mengganggu pikiran jamaah haji ketika tawaf adalah soal kesucian dari najis dan hadats baik kecil maupun hadats besar. Tentu saja ini sangat baik sehingga jamaah haji selalu menjaga kesucian baik dari hadats maupun najis.   Ulama berbeda pendapat perihal kesucian dari hadats dan najis saat tawaf. Imam An-Nawawi menjelaskan ragam pandangan ulama empat mazhab tentang kesucian dari hadats dan najis saat melaksanakan tawaf.   Ulama berbeda pendapat perihal status hukum kesucian, apakah ia masuk dalam syarat sah tawaf atau masuk wajib haji yang dapat dikompensasi dengan pembayaran dam?  

قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا اشْتِرَاطُ الطَّهَارَةِ عَنْ الْحَدَثِ وَالنَّجَسِ وَبِهِ قَال مَالِكٌ وَحَكَاهُ الْمَاوَرْدِيُّ عَنْ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ وَحَكَاهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ فِي طَهَارَةِ الْحَدَثِ عَنْ عَامَّةِ الْعُلَمَاءِ وَانْفَرَدَ أَبُو حَنِيفَةَ فَقَالَ الطَّهَارَةُ مِنْ الْحَدَثِ وَالنَّجَسِ لَيْسَتْ بِشَرْطٍ لِلطَّوَافِ فَلَوْ طَافَ وَعَلَيْهِ نَجَاسَةٌ أَوْ مُحْدِثًا أَوْ جُنُبًا صَحَّ طَوَافُهُ  

Artinya, “Kami telah menyebutkan, mazhab kami (Syafi’iyah) mensyaratkan suci dari hadits dan najis [ketika tawaf]. Demikian juga pendapat Imam Malik. Al-Mawardi juga menghikayatkan demikian dari jumhur ulama. Demikian juga Ibnul Mundzir dari umumnya ulama tentang kesucian dari hadats. Imam Abu Hanifah ra berbeda sendiri. Ia berpendapat, ‘Suci dari hadats dan najis bukan syarat tawaf. Jadi, seandainya seseorang melakukan tawaf, sementara padanya terdapat najis, dalam keadaan hadats kecil, atau junub, maka tawafnya tetap sah,’” (An-Nawawi, Al-Majmu Syarhul Muhaddzab, [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah: 2010 M], juz VIII, halaman 20).  

Imam An-Nawawi melanjutkan diskusi para ulama perihal kategori suci. Apakah suci dari hadats kecil atau besar itu termasuk wajib haji? Artinya, kalau suci saat tawaf itu masuk wajib haji, maka mereka yang bertawaf dalam kondisi berhadats atau najis dan tidak mengulangnya maka akan terkena dam.   Ulama berbeda pendapat perihal kewajiban suci bagi orang yang tawaf, tetapi mereka bersepakat bahwa kesucian dari bukan bagian dari syarat sah tawaf. Dua hal ini harus dibedakan betul. Artinya, bisa saja seorang jamaah haji melakukan tawaf dalam kondisi hadats dan tetap sah tawafnya karena kesucian bukan syarat sah tawaf.   Ulama yang mewajibkan kesucian saat tawaf berpendapat, seorang jamaah melakukan tawaf dalam kondisi berhadats kecil wajib terkena dam seekor kambing. Tetapi jika hadats besar, maka ia terkena dam unta dan ia wajib mengulangi tawaf dalam kondisi suci selama masih stay di Makkah.   Terdapat dua riwayat pendapat dari Imam Ahmad:

Riwayat pertama Imam Ahmad seperti pandangan mazhab Syafi’i perihal kesucian saat tawaf.

Riwayat kedua Imam Ahmad menyebutkan, jika jamaah masih stay di Makkah, ia boleh mengulang tawafnya dalam kondisi suci. Tetapi jika sudah kembali ke Tanah Air, ia wajib menyempurnakannya dengan dam. Adapun Imam Dawud berpendapat, kesucian saat tawaf adalah wajib. Jika ada jamaah yang melakukan tawaf dalam kondisi berhadats kecil, maka itu sudah memadai (sah) kecuali dalam kondisi haidh. Sementara Al-Manshuri, ulama pengikut Imam Dawud berpendapat, kesucian merupakan syarat tawaf, seperti pandangan mazhab Syafi’i.   Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Syarah Sahih Bukhari menyebutkan bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama perihal kesucian saat tawaf berangkat dari perbedaan cara memahami hadits Sayyidatina Aisyah ra:   افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطَّهَّرِي   Artinya, “Rasulullah saw berkata kepada Aisyah ra yang sedang haidh ketika berhaji, ‘Lakukanlah apa yang dilakukan jamaah haji lain selain tawaf di Ka’bah sampai kamu suci,’” (HR Bukhari dan Muslim).   Al-Asqalani menerangkan bahwa dari hadits ini dapat dipahami bahwa hadats dapat merusak tawaf sehingga tawaf nanti dilakukan ketika seseorang dalam kondisi suci.

  وَالْحَدِيثُ ظَاهِرٌ فِي نَهْيِ الْحَائِضِ عَنِ الطَّوَافِ حَتَّى يَنْقَطِعَ دَمُهَا وَتَغْتَسِلَ لِأَنَّ النَّهْيَ فِي الْعِبَادَاتِ يَقْتَضِي الْفَسَادَ وَذَلِكَ يَقْتَضِي بُطْلَانَ الطَّوَافِ لَوْ فَعَلَتْهُ وَفِي مَعْنَى الْحَائِضِ الْجُنُب وَالْمُحْدِث وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ وَذَهَبَ جَمْعٌ مِنَ الْكُوفِيِّينَ إِلَى عَدَمِ الِاشْتِرَاطِ قَالَ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ: حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ سَأَلْتُ الْحَكَمَ، وَحَمَّادًا، وَمَنْصُورًا، وَسُلَيْمَانَ عَنِ الرَّجُلِ يَطُوفُ بِالْبَيْتِ عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ فَلَمْ يَرَوْا بِهِ بَأْسًا. وَرُوِيَ عَنْ عَطَاءٍ: إِذَا طَافَتِ الْمَرْأَةُ ثَلَاثَةَ أَطْوَافٍ فَصَاعِدًا ثُمَّ حَاضَتْ أَجْزَأَ عَنْهَا   Artinya, “Hadits ini jelas tentang larangan perempuan haidh untuk tawaf sampai darahnya terhenti dan ia mandi karena kaidah larangan dalam ibadah berkonsekuensi kerusakan (ibadah). Artinya larangan ini menuntut batalnya tawaf seandainya perempuan haidh tetap melakukan tawaf. Semakna dengan perempuan haidh ialah (status tawaf) orang junub dan berhadats kecil. Ini pandangan jumhur ulama.   Tetapi sekelompok ulama Kufah tidak menganggap suci sebagai syarat tawaf. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ghundar, dari Syu’bah, ‘Aku bertanya pada Imam Hakam, Hammad, Manshur, dan Sulaiman tentang jamaah yang bertawaf tanpa bersuci. Mereka tidak menganggapnya masalah.’ Diriwayatkan dari Imam Atha ra, ‘Jika seorang perempuan bertawaf 3 kali atau lebih putaran, lalu datang haidh, maka tawafnya memadai (sah).’” (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari, [Kairo, Darul Hadits: 2004 M/1424 H], juz III, halaman 571-572).   Imam Syamsuddin Muhammad Ar-Ramli memberikan catatan tambahan atas keterangan Majmuk karya Imam Nawawi, “Hanya Imam Abu Hanifah sendiri yang berpendapat bahwa kesucian bukan syarat sah tawaf. Sementara ulama pengikutnya berbeda pendapat perihal wajib suci dan wajib dam jika seorang jamaah melakukan tawaf dalam kondisi hadats.”   Menurut Ar-Ramli, sejatinya mereka tidak sendiri. Mereka hanya sendiri di tengah tiga mazhab lainnya. Tetapi sebenarnya, satu riwayat Imam Ahmad menyebutkan bahwa kesucian saat tawaf merupakan wajib haji yang dapat diganti dengan dam. Demikian juga riwayat ulama-ulama bermazhab Maliki yang memiliki pendapat serupa riwayat pendapat Imam Ahmad.  

وَبَحَثَ بَعْضُهُمْ أَنَّهَا إنْ كَانَتْ شَافِعِيَّةً تُقَلِّدُ الْإِمَامَ أَبَا حَنِيفَةَ أَوْ أَحْمَدَ عَلَى إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عِنْدَهُ فِي أَنَّهَا تَهْجُمُ وَتَطُوفُ بِالْبَيْتِ وَيَلْزَمُهَا بَدَنَةٌ وَتَأْثَمُ بِدُخُولِهَا الْمَسْجِدَ حَائِضًا، وَيُجْزِيهَا هَذَا الطَّوَافُ عَنْ الْفَرْضِ لِمَا فِي بَقَائِهَا عَلَى الْإِحْرَامِ مِنْ الْمَشَقَّةِ  

Artinya, “Sebagian ulama membahas, kalau ada perempuan haidh bermazhab Syafi’i yang bertaklid kepada Imam Abu Hanifah atau Imam Ahmad pada salah satu dari dua riwayatnya perihal masuk [ke Masjidil Haram] dan bertawaf di Ka’bah, maka ia wajib menyembelih dam unta dan berdosa karena masuk masjid dalam keadaan haidh, tetapi tawaf rukunnya tetap memadai [sah] karena kesulitan bila terlalu lama dalam status ihram,” (Syamsuddin Muhammad Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, [Beirut, Darul Fikr: 2009 M/1429-1430 H], juz III, halaman 366).   Sementara Imam Abu Hanifah berpegangan pada Surat Al-Haji ayat 29:   وَلْيَطَّوَّفُوا۟ بِٱلْبَيْتِ ٱلْعَتِيقِ   Artinya, “Hendaklah mereka tawaf di Baitullah yang tua sejarahnya,” (Surat Al-Hajj ayat 29).   Pada ayat ini, Allah memerintahkan secara mutlak tawaf tanpa mensyaratkan suci di dalamnya. Dengan demikian, orang boleh tawaf dalam kondisi tidak suci dari hadats.   Senada dengan Ar-Ramli, Syekh As-Syarqawi mengatakan bahwa jamaah haji perempuan yang bermazhab Syafi’i dapat bertaqlid kepada mazhab Abu Hanifah perihal suci yang hanya wajib haji dalam tawaf sehingga aktivitas tawafnya dalam kondisi haid tetap sah meski dia akan terkena dam.  

  وَبَحَثَ بَعْضُهُمْ أَنَّهَا إنْ كَانَتْ شَافِعِيَّةً تُقَلِّدُ الْإِمَامَ أَبَا حَنِيفَةَ فَإنَّ الطَّهَارَةَ عِنْدَهُ وَاجِبَةٌ فِي الطَّوَافِ لَيْسَتْ شَرْطًا فَإِذَا فَعَلَتْهُ صَحَّ مَعَ وُجُوْبِ بَدَنَةٍ عَلَى نَحْوِ حَائِضٍ وَشَاةٍ عَلَى مُحْدِثٍ وَلَو بِجَنَابَةٍ أَوْ الْإِمَامَ أَحْمَدَ عَلَى إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ فِي أَنَّهَا تَهْجُمُ وَتَطُوفُ بِالْبَيْتِ وَيَلْزَمُهَا بَدَنَةٌ وَتَأْثَمُ بِدُخُولِهَا الْمَسْجِدَ حَائِضًا، وَيُجْزِئُهَا هَذَا الطَّوَافُ عَنْ الْفَرْضِ لِمَا فِي بَقَائِهَا عَلَى الْإِحْرَامِ مِنْ الْمَشَقَّةِ

  Artinya, “Sebagian ulama membahas, kalau ada perempuan haid bermazhab Syafi’i bertaqlid kepada Imam Abu Hanifah karena suci menurutnya hanya wajib, bukan syarat dalam tawaf, – kalau ia juga bertawaf -, maka sah tawafnya dengan wajib dam unta bagi perempuan haid, dam kambing bagi jamaah tawaf yang berhadats meski dengan junub; atau kepada Imam Ahmad pada salah satu dari dua riwayatnya perihal masuk [ke Masjidil Haram] dan bertawaf di Ka’bah, maka ia wajib menyembelih dam unta dan berdosa karena masuk masjid dalam keadaan haid, tetapi tawaf rukunnya tetap memadai [sah] karena kesulitan bila terlalu lama dalam status ihram,” (Abdullah bin Hijazi As-Syarqawi, Hasyiyatus Syarqawi ‘ala Tuhfatit Thullab, [Beirut, Darul Fikr: 2006 M/1426-1427 H], juz I, halaman 461).   Demikian keterangan yang dapat kami sampaikan. Semoga dapat diterima dengan baik.

Sumber: https://islam.nu.or.id/syariah/syarat-suci-saat-tawaf-dalam-ragam-pandangan-ulama-ebEWr

Editor: Alima sri sutami mukti

kenapa bacaan sholat dzuhur & ashar tidak bersuara?
  • 3). Pan aya keterangan bahwa solat lohor asar bacaanna kudu di launken jeng magrib isa subuhmah ditarikken tah nha bet kudu di launken bacaan solat lohor jeng asarteh ari magrib isa subuh mah di tarikken hoyong dalilna?

       Jawab :

Dalil as-sunnah referensi kitab sohih bukhori hal  153

Pertama: solat malam di jahr keun

Hadist ti jubair bin muth’im R.A

سمعتُ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يقرأُ بالطورِ في المغربِ

Kuring ngadangu kangjeng rasul eta maca/ngaosken surat at-tur dina solat magrib (HR.bukhori-muslim no. 463).

Kedua : solat siang di sirr keun

Hadist katampi ti khabbab bin al-arat R.A aya nu naros ka anjenna

أكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرأ في الظهر والعصر ؟ قال : نعم . قلنا : بمَ كنتم تعرفون ذلك ؟ قال : ” باضطِرَاب لحيته

“Apakah rasululloh saw dina waktos netepan dhuhur sareng ashar eta maca ayat al-quran? Khabbab menjawab : muhun. Jalmi tadi naros dei: kumaha anjeun nganyahoken nana? Khabbab menjawab: tina gerakan jenggot anjena ( kangjeng nabi)” (HR. bukhori no.713)

Hikmahna nyaeta : peting mah tempatna persepenan /sepi karna ngarasa ngenah, ni’mat munajatna hiji hamba ka pangerannana maka sunat di tarikken , jeung karna berang teh tempatna kasibukan, rarecokna jama2x maka sunat dilaunken .

Referensi kitab i’anatuttolibiin juz 1 hal 153

والحكمة في الجهر في موضعه انه لما كا نا الليل محل الخلوة ويطيب فيه السمر شرغ الجهر فيه طلبا للذاة مناجة العبد لربه وخص بالاوليين لنشاة المصلى فيهما , والنهار لما كانا محل الشواغل والاختلاة بالناس طلب فيه الاسرار  لعدم صلاحيته للتفرغ للمناجة , واٌلحق الصبح  بالصلاة الليلة  لان وقته ليس محلا للشواغ