Bolehkah Menggabungkan Niat Kurban dan Aqiqah dengan Seekor Hewan?

Kata aqiqah secara harfiah adalah sebutan bagi rambut di kepala bayi. Sedangkan menurut ahli fiqih, aqiqah ialah hewan sembelihan yang dimasak  kemudian disedekahkan kepada orang fakir dan miskin. Hukum awal aqiqah adalah sunnah muakkad. Namun, bisa menjadi wajib jika sebelumnya telah dinadzarkan. Ada perbedaan jumlah hewan antara bayi lelaki dengan bayi perempuan. Untuk bayi lelaki minimal dua ekor kambing, sedangkan untuk bayi perempuan satu ekor kambing. Biasanya pelaksanaan aqiqah dilaksanakan di hari ketujuh dari kelahiran si bayi.

Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam hadisnya: “Dari Samurah, ia berkata, Nabi bersabda: Seorang bayi itu digadaikan dengan (jaminan) aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh (dari hari kelahiran), (pada hari itu pula) si bayi diberi nama dan dipotong rambutnya”. (HR Tirmidzi)

Namun, sering kali kita menemukan orang yang melakukan aqiqah di bulan Dzulhijjah dan dibarengkan dengan pelaksanaan kurban di mushalla maupun masjid yang ada di sekitar kita. Pertanyaannya adalah “Apakah kita diperbolehkan untuk menggabungkan aqiqah kita dan kurban dengan satu hewan yang sama?”

Mengenai hal ini, para ulama Syafi’iyah ada perbedaan pandangan. Hukum Menyembelih Sapi dengan Niat Kurban dan Aqiqah Sekaligus Menurut Imam Ibnu Hajar al-Haitami, orang tersebut hanya berhasil mendapatkan pahala salah satunya saja. Sedangkan menurut Imam Romli, ia bisa mendapatkan pahala kedua-duanya. Maksudnya bagaimana? Andaikan ada seseorang yang pada 10-13 Dzulhijjah berniat untuk berkurban sekaligus beraqiqah dengan hewan yang sama berupa satu kambing (untuk perempuan) atau dua kambing (untuk lelaki), maka ia bisa mendapatkan pahala kurban dan aqiqah. Ini merupakan pandangan dari Imam Romli. Pahalanya bisa berlipat ganda. Tentunya orang yang berkurban itu harus berniat dulu. Apabila tidak diniati, tidak akan mendapat pahala kedua-duanya.

“Jika ada orang berniat melakukan aqiqah dan kurban (secara bersamaan) tidak berbuah pahala kecuali hanya salah satunya saja menurut Imam Ibnu Hajar (al Haitami) dan berbuah pahala kedua-duanya menurut Imam Romli.” (Ibnu Hajar al Haitami, Itsmidil Ain, [Darul Fikr], h: 127). Sedangkan menurut pendapat yang diutarakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dari para tabi’in dalam kitab Fathul Bari, orang yang belum diaqiqahi oleh orang tuanya, kemudian ia menjalankan ibadah kurban, maka kurbannya itu saja sudah cukup baginya tanpa perlu beraqiqah. “Menurut Abdur Razzaq, dari Ma’mar dari Qatadah mengatakan ‘Barangsiapa yang belum diaqiqahi maka cukup baginya berkurban’. Menurut Ibnu Abi Syaibah dari Muhammad ibn Sirin dan al-Hasan mengatakan ‘Cukup bagi seorang anak kurban dari aqiqah’,” tulis al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari juz 15 hlm 397. Kesimpulannya, ada dua pendapat antara Imam Romli yang memperbolehkan menggabung niat kurban dan aqiqah dengan satu hewan saja. Sedangkan menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, apabila penyembelihan bertepatan waktu kurban maka cukup diniatkan kurban saja. Ini akan mencukupi tuntutan sunnah aqiqah pada seseorang.

Sumber: NuOnline

Editor: Rifky Aulia

Hukum Sholat Memakai Cadar

 

Pada zaman sekarang banyak wanita yang mulai memeperbaiki akhlaknya, salahsatunya membiasakan memakai cadar atau niqob. Alasannya, ya demi menjaga dari syahwat laki-laki, karena wajah termasuk area yang sensitif dalam memancing hasrat laki-laki. Karena terlalu terbiasa memakai cadar ketika sholat pun tetap memakai cadar.

PERTANYAAN :

Bagaimana hukumnya sholat memakai cadar ? sedangkan wajah tidak termasuk aurat.

JAWABAN :

Hukumnya sholatnya sah, asalkan keningnya terbuka (tidak tertutup). Singkatnya cadar boleh, kalau nikob (ninja) tidak boleh karena menutupi kening. Akan tetapi jika memakai cadar, tidak mendapat pahala sunah. Karena, hidung tidak menempel langsung (terhalang) pada tempat sujud.

REFERENSI :

Syekh Salim Ibn Sumair Al-Hadrami dalam karangannya

Kitab Safinatunnaja halaman 62, baris ke 9 dari bawah.

Lafadnya :…  وان تكون جبحته مكشو فة

Sedangkan Syekh Muhammad Kamil Al-Uwaidah dalam kitab ‘Al-Jami’fi Fiqh al-Nisa’ Menjelaskan para ulama memakruhkan seorang muslimah menggenakan cadar saat melaksanakan shalat. Menurut Syekh Kamil para ulama telah sepakat bahwa wanita muslimah harus membuka penutup wajahnya di dalam shalat dan pada saat beribadah.

Sholat memakai cadar bagi perempuan hukumnya makruh tapi tidak sampai pada derajat haram atau membatalkan sholat. Imam Al-Buhuti dalam kitab kassaf al-Qona di jelaskan:

ويكره أن تصلي في نقاب وبرقع بلا حاجة

Makruh bagi wanita, untuk sholat memakai cadar dan burqo’ tanpa kebutuhan.

Dalam Al – Majmu’, Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, bahwa makna makruh dalam hal ini adalah makruh tanzih, bukan makruh tahrim,

أنها كراهة تنزيهية لا تمنع صحة الصلاة

Yang menghalangi dimaksud makruh bagi wanita sholat mengenakan cadar, adalah makruh tanzih, tidak sampai keabsahan sholat.

Makruh tanzih adalah makruh yang kita kenal. Yaitu suatu hukum yang dampaknya jika dikerjakan tidak berdosa, jika ditinggalkan karena Allah berpahala.

Makruh tahrim adalah, makruh yang bermakna haram. Atau hukum haram yang kita kenal. Dikerjakan berdosa, ditinggalkan karena Allah berpahala.

Sehingga jika dikatakan harus melepas cadar ketika sholat, maka tidak tepat. Karena hukum makruh bandingannya adalah mustahab/sunah, bukan wajib. Jika sholat memakai cadar bagi wanita adalah makruh, maka melepasnya saat sholat hukumnya sunah.

Kesimpulan ini senada dengan keterangan dari Manshur bin yunus al-Hanbali, Kasyaf al-Qina, juz 1, hal. 268,

أجمعوا على أن على المرأة أن تكشف وجهها في الصلاة والإحرام ولأن ستر الوجه يخل بمباشرة المصلي بالجبهة والأنف ويغطي الفم، وقد نهى النبي صلى الله عليه وسلم الرجل عنه، فإن كان لحاجة كحضور أجانب فلا كراهة

“Para ulama sepakat bahwa bagi wanita diperintahkan untuk membuka tutup wajahnya ketika sholat dan ihram. Karena menutup wajah dapat menghalangi tersentuhnya jidat dan hidung dengan tempat sujud, demikian pula menutupi mulut. Nabi shalallahu alaihi wa sallam pernah melarang sahabatnya yang sholat dengan menutupi mulutnya. Adapun jika dibutuhkan, seperti kehadiran laki-laki yang bukan mahram, maka tidak dimakruhkan”. Wallahu a’lam 

 

Hukum Mengulang Shalat karena Menemani Orang Lain

Apakah boleh seseorang menemani jamaah shalat Zhuhur orang lain, padahal sebenarnya ia sudah shalat pada waktu sebelumnya secara berjamaah. Kasus persisnya, saya belum shalat Zhuhur, sementara teman saya sudah melakukannya secara berjamaah. Jadi teman saya shalat dua kali. Terima kasih.

Jawaban, dalam fiqih Islam kasus mengulang shalat karena menemani orang lain yang belum shalat masuk pada pembahasan shalat i’adah atau shalat yang diulang. Adapun hukumnya adalah sunah, berdasarkan riwayat hadits dari Nabi Muhammad saw.

Kasus Mengulang Shalat Jamaah di Masa Nabi saw Suatu ketika di zaman Nabi saw ada orang yang tertinggal jamaah di masjid. Saat ia datang jamaah telah usai. Lalu Nabi saw bertanya kepada jamaah, adakah yang bersedia menemani shalat orang yang terlambat itu? Akhirnya ada salah satu jamaah bersedia dan shalat bersamanya.

Berikut ini riwayat lengkapnya dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri:

أَنَّ رَجُلًا جَاءَ وَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اللهِ صلي الله عليه وسلم، فَقَالَ: مَنْ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا؟ فَقَامَ رَجُلٌ فَصَلَّى مَعَهُ

Artinya, “Sungguh ada seorang lelaki datang (ke masjid), sementara Rasullah saw (dan para jamaah) telah selesai shalat. Lalu Rasulullah saw bertanya: ‘Siapa yang mau bersedekah pada orang ini?’ Lalu ada seorang jamaah yang berdiri dan shalat bersamanya.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Ia berkata: “Ini hadits hasan.”).

Dalam riwayat Imam Al-Baihaqi terdapat informasi, jamaah yang bersedia menemani shalat tersebut adalah sahabat Abu Bakar As-Shiddiq.

وَعَنِ الْحَسَنِ عَنِ النَّبِىِّ صلي الله عليه وسلم مُرْسَلاً فِى هَذَا الْخَبَرِ، فَقَامَ أَبُو بَكْرٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ فَصَلَّى مَعَهُ، وَقَدْ كَانَ صَلَّى مَعَ النَّبِىِّ صلي الله عليه وسلم

Artinya, “Dan diriwayatkan dari Al-Hasan, dari Nabi saw dengan status hadits mursal berkaitan riwayat Abu Sa’id Al-Khudri ini: “Kemudian Abu Bakar ra berdiri lalu shalat bersama orang tersebut, padahal ia telah shalat berjamaah bersama Nabi saw.” (HR Al-Baihaqi).

Hukum Mengulang Shalat Karena Menemani Orang Lain Menjelaskan hadits tersebut secara lugas Imam An-Nawawi mengatakan bahwa dalam hadits itu terdapat petunjuk atas kesunahan mengulangi shalat secara berjamaah bagi orang yang sebenarnya sudah melakukannya secara berjamaah pula.

Meskipun jamaah yang kedua lebih sedikit daripada jamaah yang pertama. (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz IV, halaman 221-222). Dalam hadits disebutkan orang yang menemani jamaahnya sebagai orang yang bersedekah.

Menurut Syekh Muhammad Syamsul Haq karena ia membuat temannya bisa mendapatkan pahala jamaah, seolah-olah ia telah bersedekah kepadanya.

Sementara menurut pakar hadits asal kota Kufah Irak, Syekh Al-Muzhhir, Muzhhiruddin Az-Zaidani (wafat 727 H), karena ia benar-benar telah bersedekah 26 pahala kepada orang yang ditemani shalat tersebut.

Sebab andaikan ia shalat sendirian, maka hanya akan mendapatkan satu pahala. (Muhammad Syamsul Haq Al-‘Azhim, ‘Aunul Ma’bud, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 1415 H], juz II, halaman 198).

Simpulan Hukum Kembali pada pertanyaan awal, apakah boleh seseorang menemani jamaah shalat Zhuhur orang lain, padahal sebenarnya ia sudah shalat pada waktu sebelumnya secara berjamaah? Jawabannya adalah boleh, bahkan sunnah. Hukum seperti ini juga berlaku untuk keempat shalat lainnya, Ashar, Maghrib, Isya, dan Subuh.

Demikian jawaban kami atas pertanyaan saudara. Semoga bermanfaat dan dapat dimengerti secara baik. Kritik dan saran penyempurnaan selalu dinantikan.Wallahu a’lam.

 

sumber : https://islam.nu.or.id

Dahulukan Makan atau Shalat ??

Ada hadist yang menyatakan bahwa menahan buang air kecil dan buang angin tidak ada shalat bila makanan telah siap sedia ( jadi harus makan dulu baru shalat ). Bagaimana maksudnya?

   Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya melalui istri Nabi, ‘Aisyah RA., bahwa dia mendengar Nabi SAW. Bersabda, “Tidak ada shalat dengan hadirnya makanan, dan tidak ada shalat pula bagi orang yang didorong oleh kedua yang buruk ( air kecil dan air besar ).”

Para ulama memasukkan “buang angin” atau kentut di dalam larangan ini. Pengarang kitab Subul as-Salam menyatakan bahwa kalau yang bersangkutan tidak didorong oleh hal-hal itu, dan hanya sekedar merasakan adanya “panggilan” untuk membuangnya, maka ini tidak termasuk dalam larangan diatas. Bahkan, seandainya dorongan itu ada, maka ini hanya dipahami sebagai larangan makruh, bukannya membatalkan shalat.

Akan halnya menyangkut sholat dan tersedianya makanan, hadist yang diriwayatkan Imam Muslim diatas dipahami dalam arti larangan iqamah (mengajak untuk segera melaksanakan shalat ) ketika makanan sudah dihidangkan. Ada sekian banyak hadist serupa. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Nabi SAW. bersabda, “Jika makan malam telah dihidangkan, maka dahulukanlah bersantap malam, sebelum shalat maghrib.”

Ada juga riwayat yang menyebutkan shalat secara mutlak. Ibnu Hazm berpendapat bahwa semua shalat harus ditunda bila makanan telah tersedia, dan tidak sah mengerjakan shalat dalam situasi demikian. Ada juga yang membatasi shalat dalam hal ini sebagai shalat maghrib saja atau ketika sedang berpuasa. Imam Syafi’i memahami larangan ini hanya bagi orang yang sedang lapar saat itu. Sementara itu, Imam al-Ghazali memahaminya dalam konteks kekhawatiran rusaknya makanan yang tersedia itu.

Syarat tambahan lainnya adalah ‘tersedianya waktu yang tersisa sesudah makan untuk melaksanakan shalat diwaktu shalat yang telah ditetapkan oleh agama.” Bagaimanapun juga, mayoritas ulama berpendapat bahwa laranga diatas hanya mengandung arti makruhnyashalat, bukan tidak sahnya shalat. Kemakruhan ini berkaitan dengan terganggunya konsentrasi yang mengakibatkan berkurangnya kekhusyukan. Wallahualam Bisshawab

Bolehkah sebagian daging hewan kurban kita makan ??

Bagaimana hukum berkurban? Bolehkah sebagian daging hewan kurban kita makan, dan kepalanya kita berikan kepada tukang potong sebagai upah, serta kulitnya kita jadikan sebagai rebana?

Berkurban atau mendekatkan diri kepada Allah dengan menyambelih hewan tertentu pada Hari Raya Idu Adha dan dua atau tiga sesudahnya adalah salah satu ajaran agama yang ditegaskan dalam al-Qur’an (QS. Al-Kautsar [108]: 2 dan QS. al-Hajj [22]: 36). Imam Abu Hanifah menilainya wajib bagi setiap orang yang mampu, berdasaarkan sabda Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah: “Barang siapa memiliki kemampuan dan tidak mau berkurban, maka hendaknya dia tidak mendekati tempat shalat kami.”

Menurut penganut paham Abu Hanifah, ancaman ini menunjukkan wajibnya berkurban, sementara madzhab lain menilainya sebagai anjuran yanga amat ditekankan (sunnah mu’akkadah) berdasarkan sekian banyak hadist. Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, “Aku diperintahkan berkurban, sedang itu sunnah untuk kalian.

Ibnu Abbas berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda, “Tiga hal menjadi kewajiban atas diriku, dan ketiganya merupakan anjuran bagi kalian, yakni (shalat) witir, menyembelih kurban, dan shalat dhuha.”

Menurut madzhab Syafi’i, anjuran ini cukup dilaksanakan sekali seumur hidup. Di sisi lain, dianjurkan pula agar setiap kepala keluarga atau salah seorang keluarga hendaknya berkurban untuk dirinya (kalau belum) atau atas nama salah seorang keluarganya. Para ulama juga sepakat bahwa hewan yang boleh dikurbankan haruslah unta atau sapi atau kerbau (maksimal seekor untuk seorang) yang sehat dan sempurna, baik jantan maupun betina.

Ihwal memakan daging kurban yang di sembelih,mayoritas ulama membolehkannya. Jika kurban itu dilakukan untuk memenui nazar,maka Abu Hanifah dan Syafi’i melarang orang bersangkutan dan keluarganya memakan dagingnya. Dalam madzhab Maliki, Hanafi, dan Hanbali, disunnahkan bagi orang yang berkurban untuk menggabungkan antara membagikan dan memakannya. Bahkan, seandainya dia memakan semuanya atau menyimpannya selama tiga hari kemudian, maka yang demikian itu diperbolehkan menurut madzhab Hanafi dan Maliki, walaupun hukumnya tidak dianjurkan (makruh).

Dalam madzhab Hanafi dan Hanbali, dianjurkan untuk membagikan daging kurban sepertiga untuk dirinya dan keluarganya, sepertiga untuk teman-teman, meskipun kaya, dan sepertiga lainnya untuk fakir miskin. Menurut mereka, hal ini berdasarkan firman Allah: … Kemudian jika (hewan yang dikurbankan itu) telah roboh (mati), maka makanlah sebagian darinya, dan berilah makan orang yang rela dengan apa yang ada padanya(yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta, … (QS. al-Hajj [22]: 36).

Imam Malik tidak menetapkan kadar tertentu. Penganut madzhab ini berpegang pada sekian banyak hadist yang menganjurkan agar memakan, memberi makan, dan menyisihkannya untuk disimpan. Hadist-hadist itu dapat dilihat, antara lain, dalam kitab Nayl al-Awthar, jilid kelima. Alasan lain tentang kebolehan menyisihkan adalah hadistyang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Nabi SAW. bersabda, “Aku tadinya melarang kalian menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari karena adanya ‘Addafat’ (orang-orang yang datang dari pegunungan mengharapkan bekal akibat paceklik). Kini, telah datang kelapang dari Allah. Maka, simpanlah sekehendak kalian.” (HR. Muslim).

Menjual sesuatu yang berkaitan dengan hewan kurban tidak dibenarkan, baik kepala, daging, kulit, atau bulunya. “Barang siapa menjual daging hewan kurbannya, maka tidak ada (sah) kurbannya,” begitu sabda Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh al-Hakim dan al-Baihaqi. Tidak juga dibenarkan memberikannya sebagia upah kepada penyembeli. Tetapi memberikannya sebagai hadiah kepadanya atau orang yang wajar menerimanya, maka hal itu dibenarkan.

Di sisi lain, yang berkurban atau yang lainnya dapat memanfaatkan kulit hewan kurbannya untuk rebana atau apa saja. Wallahualam Bisshawab