Tanah di atas pusara itu masih merah membasah sekalipun terik matahari di waktu dzuhur menjemur rata di atasnya, hari itu adalah hari yang kedua sejak jenazah yang mulia itu dimakamkan. Beliau itu orang yang sangat mulia, yang taat kepada Allah Subhanahu Wata’la.
Masih banyak peziarah yang berta’ziyah di sekitar makam, ada yang berdoa, bertabaruk, baca qur’an dan lain sebagainya. Kebanyakan dari mereka adalah yang datang dari jauh atau luar daerah untuk menghadiri langsung pemakaman yang mulia Mama KH. Ahmad Faqih. Kecintaan atau mahabbah kepada pribadi beliau selaku orang tua, guru, sekaligus panutan, mengalahkan segalanya termasuk jarak yang jauh sekalipun untuk menghadiri ke makam beliau.
Sehari sebelumnya, tepatnya hari kamis 5 Sya’ban 1422 H yang bertepatan pada tanggal 4 November 2000 M, KH. Ahmad Faqih kembali ke pangkuan illahi, wafat dengan husnul khotimah, diiringi tangis prihatin dari keluarga besar Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-musri’. Bahkan tidak hanya dari pihak keluarga besar yang sangat kehilangan tapi siapapun yang mengenal beliau siapapun yang dalam tubuh nya mengalir darah perjuangan dan solidaritas islam pastilah ikut merasa kehilangan. Bagaimana tidak, beliau merupakan seorang bapak, orang tua, guru dan panutan bagi keluarga, murid-murid dan siapa saja yang dekat serta mengenal beliau. Yang patah akan tumbuh, yang hilang akan berganti, akan tetapi sosok beliau KH. Ahmad Faqih tidak akan tergantikan.
Langit yang mendung sejak ashar diiringi guyuran hujan seakan ikut menjadi pertanda berlalunya seseorang yang sholeh, alunan ayat-ayat suci al-Qur’an tersendat-sendat dengan nada haru dan penuh harap terdengar dari para santri yang dengan khusu’ membacakannya di mesjid Ponpes Miftahulhuda Al-musri, sementara itu di belakang mesjid tepatnya di kediaman Mama KH. Ahmad Faqih, beliau di kelilingi putra putri tercinta, terbaring dalam saat-saat terakhir memenuhi panggilan illahi. Dan tatkala tersiar berita bahwa saat-saat itu semakin dekat, ayat-ayat suci al-Qur’an pun semakin menggema di seputaran mesjid dan irama duka cita, tersayat-sayatlah tiap hati diliputi suasana cemas dan kesedihan. Masing-masing kami berusaha menahan emosi, masing-masing berusaha menekan perasaan dengan ikhlas melepas kepergian beliau. Siap menerima musibah atau takdir dari Allah Subhanahu Wata’ala dengan penuh kesabaran dan ketawakalan.
Namun saat kami semua mengetahui bahwa setelah yang kami ciantai telah berpulang kepangkuan-Nya, tidak seorangpun dari kami yang sanggup menahan air mata yang kian menggenang yang akhirnya pecah berderai di pipi masing-masing orang saat itu.Sementara duka cita meliputi Ponpes Miftahulhuda Al-musri’ kabarpun tersiar cepat kemana-mana, tak berselang lama banjir manusia dimakam beliau untuk berta’ziah, walaupun hujan terus mengguyur bumi Al-musri’.
Ponpes Miftahulhuda Al-musri’ dimana rumah kediaman beliau terletak didalamnya, seketika itu hampir tidak bisa lagi menampung banjir manusia yang mengalir datang untuk berta’ziah, malam yang masih sedikit diguyur hujan tidak membuat surut langkah mereka untuk mencapai Al-musri’, dengan kendaraan apa saja yang bisa diperoleh disertai harapan bisa sampai saat pemakaman. Bisa dimengerti ketika setiap orang hendak mensholatkan jenazah, berebutan orang memasuki masjid Al-musri’ tatkala jenazah mulia itu di gotong dari tangan ketangan orang yang berseret dikediaman beliau sampai kedalam masjid. Tak kurang dari tujuh kali gelombang jama’ah berganti untuk mensholatkan jenazah dengan sikap duka yang mendalam diiringi dengan suara dzikir yang menyayat hati, bertindak sebagai imam pada gelombang pertama adalah putra tertua beliau yakni K. Zaenal Musthofa yang selanjutnya disusul oleh putra-putra beliau pada gelombang selanjut nya.
Jenazahpun segera di berangkatkan ke lokasi pemakaman, sekalipun masing banyak yang hendak mensholatkan, lagi pula Mama sering berpesan apayang di sabdakan oleh Rosullah Sallallohu A’laihi Wasallam tentang keharusan menyegerakan pemakaman terhadap orang yang meninggal, terlebih saat sakaratul maut datang menjemputnya KH. Ahmad Faqih tampak senyum cerah nan ikhlas seakan rindu ingin segera memenuhi panggilan sang kholiq.
Ketika aba-aba di umumkan bahwa jenazah akan segera di makamkan, sepanjang jarak kurang lebih 150 Meter dari mesjid ke makam, pemandanganpun berubah menjadi gelombang tangan-tangan yang terulurkan, berebut hendak memeluk dan mengotong jenazah, 2 orang yang paling di cintai semasa beliau masih hidup adalah KH. Romli (adik kandung beliau) dari Tasikmalaya dan KH. Izudin Tamlikho (Ketua Jam’iyatul Mukimin Miftahulhuda Al-musri’) dari Saguling Bandung Barat, dengan suara tersendat-sendat, terputus-putus seakan tak dapat menyelesaikan tugasnya membaca talkin dan do’a. Semua hati dipenuhi rasa iba, haru nan syahdu. Kesyahduan itu ketika musibah yang besar harus dihadapi dengan kesabaran dan ketawakalan, bagaimanapun juga hati ini harus membisikan suara ikhlas atas segala qodlo dan qodar yang dihendaki oleh Allah a’zza wajalla.
Perjalanan sejarah Al-musri’ masih sangatlah panjang dan perjuangan ini tak akan ada hentinya. Kita masih amat memerlukan pimpinan dan asuhan KH. Ahmad Faqih. Kita masih mengharapkan beliau berusia lebih panjang lagi agar kita bisa memperoleh nasihat-nasihat serta bimbingan beliau. Tetapi Allah lah yang menetapkan segala sesuatu atas hendak-Nya. Semoga apa yang diperjuangkan semasa hidup beliau tercatat amal sholeh, diampuni segala dosanya dan memperoleh husnul khotimah sehingga ditempatkan Allah Subhanahu Wata’ala di Surga Jannatun Na’im dan semoga yang ditinggalkan tetap tabah dalam sabar dan tawakal, Amin yaa robbal ‘alamin.