Hikmah di Balik Keputusan Rasulullah Memilih Hidup Sederhana

Rasulullah saw adalah makhluk terbaik sepanjang masa yang diciptakan dan diutus oleh Allah ke muka bumi. Perjalanan hidupnya yang penuh perjuangan selalu menyisakan hikmah yang berharga untuk umatnya. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, bahwa Rasulullah adalah suri teladan yang baik. Allah berfirman dalam Surat Al-Ahzab ayat 21:
  لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ  
Artinya: “Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah.”

Salah satu keteladanan Rasulullah yang dapat diikuti ialah beliau memilih hidup dalam kesederhanaan. Dalam sejarahnya, Rasulullah bukan terpaksa hidup sederhana, keputusan itu semata-mata karena pilihan hati dan supaya menjadi teladan bagi umatnya.   Disebutkan dalam sebuah riwayat, Allah swt pernah menawarkan kepada Rasulullah, padang pasir Makkah yang tandus akan diubah menjadi hamparan surga yang berisi emas gemerlapan dan diberikan kepada Rasulullah saw. Tetapi, Rasulullah memutuskan untuk menolak dan memohon agar diberi kecukupan dan hidup sederhana.   Hal ini disampaikan langsung oleh Rasulullah saw dalam hadistnya, diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi:

  عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” ‌عَرَضَ ‌عَلَيَّ ‌رَبِّي ‌لِيَجْعَلَ ‌لِي ‌بَطْحَاءَ مَكَّةَ ذَهَبًا. فَقُلْتُ: لَا. يَا رَبِّ وَلَكِنْ أَشْبَعُ يَوْمًا وَأَجُوعُ يَوْمًا، أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ، فَإِذَا جُعْتُ تَضَرَّعْتُ إِلَيْكَ وَذَكَرْتُكَ، وَإِذَا شَبِعْتُ حَمِدْتُكَ وَشَكَرْتُكَ

Artinya: “Dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda: ‘Tuhanku (Allah) telah menawarkan kepada diriku, bahwa Dia ingin menjadikan padang pasir Makkah sebagai emas. Kemudian aku menjawab: Jangan, wahai Tuhanku. Tetapi, aku hanya ingin kenyang untuk sehari dan lapar sehari di hari yang lain atau semacam keduanya. Apabila aku lapar, aku akan memohon kepadamu dan mengingatmu. Begitu pun ketika aku kenyang, aku akan memujimu dan lalu bersyukur.” (HR. Tirmidzi)  

Baca Juga : Teladan Rosululah dalam Membangun Perekonomian yang Berkeadilan

Syekh Ali bin Sulthon Muhammad dalam kitab Mirqotul Mafatih menjelaskan hadits tersebut, bahwasanya Allah swt mengajak Rasulullah bermusyawarah sekaligus menawarkan pilihan kepadanya untuk memperoleh kemegahan hidup atau menjalani kehidupan yang sederhana dan serba cukup di dunia.   Allah hendak menjadikan padang pasir yang ada di Makkah untuk Rasulullah atau terkhusus bagi umatnya, yakni dengan mengubah batu dan pasirnya menjadi emas. Namun, tawaran tersebut ditolak langsung oleh Rasulullah karena ia memillih untuk kenyang dalam satu waktu, lalu dengan kenyang tersebut ia bisa bersyukur. Kemudian lapar di waktu yang lain, lalu dengan lapar ini ia bisa bersabar.   Selanjutnya, Syekh Ali menjelaskan dan menafsirkan alasan Nabi Muhammad saw memilih hidup cukup dan sederhana dalam haditsnya tersebut, ia mengungkapkan:

  فَإِذَا جُعْتُ تَضَرَّعْتُ إِلَيْكَ) أَيْ: بِعَرْضِ الِافْتِقَارِ عَلَيْكَ (وَذَكَرْتُكَ) أَيْ: بِسَبَبِهِ فَإِنَّ الْفَقْرَ يُورِثُ الذِّكْرَ، كَمَا فِي الْغِنَى يُوجِبُ الْكُفْرَ  وَإِذَا شَبِعْتُ حَمِدْتُكَ) أَيْ: بِمَا أَلْهَمَتْنِي مِنْ ثَنَائِكَ (وَشَكَرْتُكَ) : عَلَى إِشْبَاعِكَ وَسَائِرِ نَعْمَائِكَ

  Artinya: “Sabda Nabi (Apabila aku lapar, aku akan memohon kepadamu) artinya, akan menampakkan kerendahan diriku terhadap-Mu (Allah). (lalu aku akan mengingat-Mu) yaitu, mengingat Allah sebab lapar. Sungguh, karena kefakiran itu bisa mewariskan dzikrullah. Sebagaimana halnya merasa kaya yang mewariskan kepada kufur nikmat. Kemudian sabda Nabi, (Apabila aku kenyang, aku akan memuji-Mu) maksudnya adalah memuji dengan apa yang telah dianugerahkan kepadaku dari kemahakuasaan-Mu, (Maka, aku akan bersyukur kepada-Mu) yakni, dengan kenyang yang Engkau berikan dan seluruh nikmat-Mu yang lain.” (Ali bin Sulthon Muhammad, Mirqotul Mafatih, [Beirut: Darul Fikr, 2003] jilid VIII, halaman 3249-3250)
  Hikmah Rasulullah Pilih Hidup Sederhana Syekh Hasan bin Ali Al-Qahiri dalam kitab Fathul Qarib al-Mujib menjelaskan, ada seseorang bertanya terkait hikmah di balik keputusan Nabi Muhammad saat diberi tawaran kemewahan hidup, sebagaimana penjelasan hadits tersebut. Syekh Hasan menyebutkan beberapa hikmah sekaligus menjawab pertanyaan tersebut, yaitu sebagaimana berikut:   Jika Nabi Muhammad hidup dalam kekayaan dan kemegahan, maka kaumnya akan menuduh bahwa dia adalah orang yang gila harta dan tamak. Untuk itu, Rasulullah memilih tetap hidup sederhana. Allah-lah yang menjadikan Nabi Muhammad memilih tetap dalam kesederhanaan. Supaya hati orang fakir merasa ikut bahagia dengan kesederhanaan hidup (karena merasa senasib). Sebagaimana para orang kaya bergembira dengan harta. Harta adalah benda yang tidak akan terlepas dari ikatan hukum halal dan haram. Keharamannya akan membawa kepada azab (siksaan), sedangkan halalnya akan dihisab (diminta pertanggungjawaban). Sehingga hisabnya akan menyibukkan Rasulullah di hari kiamat nanti. Hal ini bisa menyebabkan waktu beliau terkuras dan terganggu untuk memberikan syafaat kepada umatnya. Karena inilah, Rasulullah memilih hidup sederhana. Kesederhanaan Rasulullah menjadi bukti bahwa kehidupan dunia bagi Allah swt itu tidak ada artinya. Sebagaimana sabda Rasul dalam hadisnya yang lain, “Seandainya dunia ini ditimbang di sisi Allah, niscaya beratnya bagaikan sayap nyamuk. Seakan-akan (dunia) itu hanya menjadi tempat peruntungan hidup orang-orang kafir.” (HR. Ibnu Majah) Kesederhanaan yang dipilih oleh Rasulullah saw menjadi bukti, bahwa sederhana itu lebih berharga dibandingkan dengan kaya. Karena Rasulullah sebagai makhluk terbaik, justru memilih hidup sederhana. (Syekh Hasan bin Ali Al-Qahiri, Fathul Qarib al-Mujib, [Riyadh, Maktabah Darussalam, 2018] halaman 4948, jilid 13)
Demikianlah hikmah di balik pilihan Rasulullah hidup dalam kesederhanaan. Beliau rela memilih makan sehari dan lapar di hari yang lain ketika ditawarkan hidup yang penuh dengan kemewahan. Hal ini menjelaskan bahwa hidup sederhana itu adalah sebuah keistimewaan. Namun yang perlu ditekankan adalah kita perlu bersyukur dan bersabar dalam menjalani dinamika kehidupan ini, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah. Wallahu a’lam.

Sumber: nu.online

Mengenal Ibnu Thufail, Ulama dan Pemikir Produktif dari Maroko



Di antara deretan nama-nama besar para ulama dalam sejarah keilmuan Islam, Ibnu Thufail adalah salah satu dari nama-nama mentereng tersebut. Meski, namanya mungkin tak sepopuler tokoh-tokoh besar lain seperti Ibnu Sina, Imam al-Ghazali, Ibnu Arabi dan lainnya, namun jejak pemikirannya sangat berpengaruh. Ia tidak hanya menggugah dunia Islam, tetapi juga berhasil memantulkan pengaruh yang luas ke Dunia Barat. Sebagaimana dicatat oleh Khairuddin az-Zirikli, sejarawan terkemuka kontemporer berkebangsaan Lebanon, Ibnu Thufail Bernama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Abdul Malik bin Muhammad bin Muhammad bin Thufail al-Qaisi al-Andalusi. Ia dilahirkan di Wadi Asy, sekarang dikenal sebagai Guandix, salah satu kota provinsi Granada, Spanyol, pada tahun 494 H. Ia wafat di Marrakesh, Maroko, pada tahun 581 H, kemudian dimakamkan di tempat tersebut. (Al-A’lam, [Darul Basyair al-Islamiah: tt], jilid VI, halaman 249). Ibnu Thufail lahir dan tumbuh di masa keemasan Andalusia, sebuah masa yang kaya akan ilmu pengetahuan, seni, dan budaya. Andalusia pada masa itu adalah tempat di mana perpaduan peradaban Islam, Kristen, dan Yahudi menciptakan ruang untuk dialog dan kemajuan. Pemandangan kota yang penuh dengan perpustakaan, madrasah, dan majelis ilmu menjadi saksi dari kecintaan masyarakatnya terhadap ilmu. Lahir di tempat yang seperti itu menjadi tantangan tersendiri bagi Ibnu Thufail, di mana peradaban memuncak, dialog antarbudaya hidup dan subur, serta ilmu menjadi bahasa yang mempertemukan berbagai pemikir, baik dari Timur maupun Barat. Di dalam atmosfer inilah, Ibnu Thufail mengasah pikirannya, memadukan filsafat, kedokteran, sains, hingga sastra. Ia kemudian mulai menapaki jalan pengetahuan, berusaha memahami alam, kehidupan, dan Sang Pencipta. Guru-guru Ibnu Thufail Dalam pencarian intelektualnya, Ibnu Thufail menemukan salah satu tokoh besar yang menjadi pembimbing pertamanya, ia adalah Imam Abu Muhammad ar-Rasyati. Sosok yang dihormati di Andalusia ini dikenal luas sebagai seorang ulama hadits dan fiqih yang memiliki pemahaman mendalam tentang nilai-nilai syariat Islam. Melalui bimbingan Ar-Rasyati, Ibnu Tufail memulai langkah pertamanya dalam memahami ilmu agama, dan lebih dari itu, bagaimana etika dan nilai-nilai Islam bisa menjadi fondasi dalam kehidupan sehari-hari. Ar-Rasyati mengajarkannya bahwa ilmu agama bukan sekadar hafalan, tetapi lebih kepada pemahaman dan pengamalan. Nilai-nilai yang dipelajari dari gurunya membentuk pandangan Ibnu Thufail yang kelak akan berkembang menjadi kerangka filosofisnya. Dari Ar-Rasyati, ia belajar untuk melihat agama tidak hanya sebagai kewajiban, tetapi sebagai panduan untuk memahami moralitas, hubungan dengan sesama manusia, dan tujuan yang lebih tinggi dalam kehidupan. Setelah mendapatkan landasan dari Ar-Rasyati, Ibnu Tufail berlanjut menemui Imam Abdul Haq bin Athiyah, seorang mufassir dan ahli tafsir Al-Qur’an yang terkenal dengan kedalaman ilmunya. Dari Abdul Haq, Ibnu Thufail belajar bahwa Al-Qur’an bukan sekadar kitab hukum, melainkan juga sumber hikmah dan refleksi spiritual. Abdul Haq mengajarkan kepadanya bagaimana melihat lebih dalam makna-makna Al-Qur’an, mengupas lapisan demi lapisan hikmah yang tersembunyi dalam setiap ayatnya. Di bawah bimbingan Abdul Haq, Ibnu Tufail memperluas wawasannya, memahami bahwa keimanan dan rasionalitas bisa berjalan bersama. Dua guru penting tersebut sebagaimana dicatat oleh Syekh Lisanuddin Ibnul Khatib dalam kitabnya, ia mengatakan:

مَشِيْخَتُهُ: رَوَى عَنْ أَبِي مُحَمَّدٍ الرَّشَاطِيِّ، وَعَبْدِالْحَقِّ بْنِ عَطِيَّة وَغَيْرِهِمَا

Artinya: “Guru-gurunya (Ibnu Thufail): Ia (belajar dan) meriwayatkan (hadits) dari Abu Muhammad ar-Rasyathi dan Abdul Haq bin Athiyyah dan selain keduanya.” (al-Ihathah ila fi Akhbari Gharnathah, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, tt], jilid I, halaman 309).

Setelah menimba ilmu dari guru-gurunya itu, Ibnu Thufail berkembang menjadi sosok cendekiawan yang luar biasa. Pengetahuan dan pemahaman yang ia peroleh dari Imam Abu Muhammad ar-Rasyathi, Imam Abdul Haq bin Athiyah dan gurunya yang lain, memberinya fondasi yang kukuh dalam ilmu agama, filsafat, serta wawasan yang mendalam tentang dunia. Guru-gurunya telah membentuk pola pikir yang kuat baginya, hingga menjadikan Ibnu Thufail pribadi yang mampu menghubungkan konsep keagamaan, logika, dan akal sehat. Dengan ilmu yang luas dan mendalam, Ibnu Thufail menonjol di berbagai bidang keilmuan, kedokteran, filsafat, astronomi hingga sastra. Keahliannya yang luas membuatnya menjadi pribadi yang dihormati sebagai seorang pemikir besar Andalusia, terutama pada masanya yang merupakan era keemasan bagi ilmu pengetahuan Islam.

كَانَ عَالِمًا، صَدْرًا، حَكِيْمًا، فَيْلَسُوْفًا، عَارِفًا بِالْمَقَالاَتِ وَالْآرَاءِ، كَلِفًا بِالْحِكْمَةِ المْشَرِقِيَّةِ، مُحَقِّقًا، مُتَصَوِّفًا، طَبِيْبًا مَاهِرًا، فَقِيْهًا بَارِعَ الْأَدَبِ، نَاظِمًا، نَاثِرًا، مُشَاركًا فِي جُمْلَةٍ مِنَ الْفُنُوْنِ

Artinya: “(Ibnu Thufai) adalah seorang ilmuwan, pemimpin, bijaksana, filsuf, memahami berbagai pandangan dan pendapat, memiliki ketertarikan pada hikmah-hikmah wilayah Timur, ahli, sufi, dokter yang terampil, ahli fiqih, unggul dalam dalam berbagai seni, penulis prosa, penyair, dan kompeten dalam berbagai cabang ilmu.” (Lihat, jilid I, halaman 310). Hijrah ke Maghrib (Maroko) Kendati di Spanyol Ibnu Thufail mendapati masa keemasan sebuah studi keilmuan, namun dinamika politik dan konflik yang berkecamuk di wilayah tersebut, tak terkecuali di Andalusia, tempat lahirnya Ibnu Thufail, memaksa banyak cendekiawan Muslim untuk mencari tempat yang lebih aman dan kondusif untuk terus produktif. Dan, Maroko menjadi tujuan Ibnu Thufail mempertahankan dan menyebarluaskan ilmu yang ada dalam dirinya. Negara yang dijuluki terbenamnya matahari ini dinilai lebih stabil dan lebih terbuka bagi para intelektual. Oleh sebab itu, kepindahannya ke Maroko tidak hanya sekadar perpindahan geografis, tetapi juga momen penting dalam hidupnya yang membawa pengaruh besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan di wilayah tersebut. Ibnu Thufail tiba di Maroko bertepatan dengan Dinasti al-Muwahhidun berkuasa. Raja Abu Ya’qub Yusuf, penguasa al-Muwahhidun yang terkenal adil dan pelindung ilmu pengetahuan, serta senang kepada para ilmuwan. Oleh sebab itu, ia kemudian menjadikan Ibnu Thufail sebagai dokter pribadi dan penasihat sang raja. Setelah bertahun-tahun menjadi bagian penting dari kerajaan, akhirnya Ibnu Thufail memiliki hubungan yang sangat dekat dan akrab dengan Raja Abu Ya’qub Yusuf, dengan kedekatan itu, ia bisa memengaruhi kebijakan di bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. Ia juga sering terlibat dalam peran memperkaya turats ilmiah di Maroko, dan memperkuat posisinya sebagai salah satu tokoh berpengaruh di kalangan intelektual Maghrib. Selama di Maroko, Ibnu Thufail tidak hanya berhasil menjadi bagian penting di kerajaan, namun juga berperan aktif dalam membimbing masyarakat untuk mengenal Tuhannya. Termasuk juga sumbangsih pemikirannya dalam menulis sebuah karya penting, yang di antaranya adalah kitab Risalah Hayy ibn Yaqdhan, sebuah buku yang menjadi simbol perpaduan antara filsafat dan spiritual, kitab Arjuzah at-Thibbiyah, dan kitab karyanya yang lain. Hal itu terus ditekuni oleh Ibnu Thufail, hingga ia wafat pada tahun 581 H, kemudian dimakamkan di Marrakesh, sebuah kota yang terletak di barat daya Maroko. Kota ini merupakan salah satu dari empat kota kekaisaran Maroko, Bersama dengan Fez, Rabat dan Meknes. Ibnu Thufail di makamkan di kompleks pemakaman yang juga bersamaan dengan makam para tokoh dan ilmuwan lainnya. (Khairuddin az-Zirikli, Al-A’lam, [Darul Basyair al-Islamiah: tt], jilid VI, halaman 250). Demikian kisah sejarah Ibnu Thufail, seorang filsuf, dokter dan sastrawan besar dari Andalusia yang meninggalkan jejak pemikiran yang abadi. Dalam perjalanan hidupnya, ia menempuh berbagai dinamika intelektual yang mendalam di Andalusia, mulai dari mengembangkan gagasan hingga terlibat aktif dalam diskursus keilmuan. Ketika hijrah ke Maroko, ia menemukan kesempatan untuk berperan luas dalam mengembangkan intelektualnya, mulai dari penasihat raja, mengabdi untuk umat, hingga produktif dalam menulis kitab. Di Maroko, ia terus mengembangkan intelektualnya sebagai sosok seorang ulama yang produktif, salah satunya dengan menulis Hayy bin Yaqdhan, sebuah karya sastra yang menceritakan kisah-kisah indah dan menjelaskan pandangan filsafat melalui cerita simbolik tentang pencarian kebenaran. Ia pun meninggalkan warisan intelektual yang menginspirasi generasi-generasi berikutnya untuk terus mencari hikmah dan kebenaran dalam segala aspek kehidupan. Wallahu a’lam bisshawab. Sunnatullah, Peserta program Kepenulisan Turots Ilmiah, Beasiswa non-Degree Dana Abadi Pesantren berkolaborasi dengan LPDP dan Lembaga Pendidikan di Maroko 2024.

Sumber: https://www.nu.or.id/tokoh/mengenal-ibnu-thufail-ulama-dan-pemikir-produktif-dari-maroko-UhaEJ


Cara Wudhu Pasca Kecelakaan

“Assalamu’alaikum, Ustadz. Saya mau tanya. Saya habis kecelakaan. Sebagian muka dan tangan kanan terluka. Untuk wudhu, saya menggunakan dua cara.   Pertama, membasuh sebagian muka yg tidak luka dengan niat wudhu biasa dan membasuh tangan kiri. Kedua, setelah itu saya mengulang wudhu dengan tayamum untuk membasuh sebagian muka dan tangan kanan yang terluka, lalu melanjutkan membasuh ubun-ubun sampai selesai.   Pertanyaannya, apakah wudhu saya hanya dipakai satu shalat wajib atau bisa untuk shalat wajib lainnya? Terima kasih Ustadz.”  

Jawaban Wa’alaikum salam wr wb. Penanya dan seluruh pembaca yang semoga selalu mendapat limpahan hidayah dan kekuatan dari Allah untuk mengikuti tuntunan-Nya.   Orang luka di sebagian tubuhnya yang mengakibatkan tidak mungkin terkena air karena berbahaya, semisal bisa menyebabkan luka semakin parah atau memperlama proses penyembuhan, memiliki cara khusus dalam bersuci.   Dalam hal ini dibedakan antara luka yang ditutup semisal memakai perban, gip, plester, atau obat oles untuk proses penyembuhan dan yang tidak ditutup. Orang yang lukanya ditutup semisal perban, ketika hendak wudhu harus melepas penutupnya.   Namun bila melepas penutup luka justru membahayakan, maka urutan cara wudhunya sebagai berikut:

Baca juga: Hukum Jamak Ta’khir Beda niat Dengan Imam

Berwudhu seperti biasa sampai pada bagian anggota wudhu yang diperban. Bertayamum sebagai ganti membasuh luka yang tidak bisa terbasuh air. Membasuh bagian anggota yang tidak terluka dengan air. Mengusap penutup luka dengan air bila penutup juga menutupi sebagian anggota yang tak terluka. Melanjutkan wudhu pada anggota wudhu yang sehat sampai selesai.

  Sedangkan bila luka tidak tertutupi apapun, namun akan beresiko bila terkena air, urutan cara wudhunya seperti di atas, hanya saja ia tidak wajib mengusap luka dengan air sebagaimana mengusap anggota wudhu bila ada perban. (Al-Kaf, 152-154).   Tayamum sebagai ganti dari membasuh luka harus dilakukan dengan sempurna sehingga bila luka berada di anggota tayamum, yaitu wajah atau tangan, maka luka tersebut juga harus tetap diusap dengan debu.   Ini selama tidak membahayakan. Bila membahayakan, maka tak perlu dilakukan dan cukup mengusap debu pada anggota tayamum yang tidak luka saja yang diusap debu.   Karena itu, bila luka berada di wajah atau tangan dan berbahaya bila terkena debu, dianjurkan agar menutup luka tersebut.Tayamum juga dilakukan sesuai jumlah anggota yang luka. (Said bin Muhammad Ba’asyun, Busyral Karim, [Surabaya, Al-Haramain: tt.], juz I, halaman 47).   Baca Juga Cara Wudhu di Toilet agar Tidak Makruh Dari keterangan di atas dapat dipahami, karena luka yang Anda alami berada di dua tempat, yaitu wajah dan tangan, mestinya tayamum dilakukan dua kali.   Jadi membasuh wajah yang tidak luka dan bertayamum sebagai ganti membasuh bagian wajah yang luka, kemudian membasuh tangan yang tidak luka dan bertayamum sebagai ganti membasuh bagian tangan yang luka. Selanjutnya meneruskan wudhu seperti biasa dengan mengusap kepala dan seterusnya.    Ketentuan di atas bila kalau kita konsisten dengan pendapat yang terkuat dalam mazhab Syafi’i.   Cara Wudhu Pasca Kecelakaan yang Lebih Praktis Namun demikian ada satu pendapat alternatif dalam mazhab Syafi’i yang bisa diikuti sebagai berikut:  

 والثاني يتيمم متى شاء كالجنب لأن التيمم عبادة مستقلة، والترتيب إنما يراعى في العبادة الواحدة. (فإن جرح عضواه) أي المحدث (فتيممان) على الأصح المذكور، وعلى الثاني تيمم واحد
 
Artinya, “Menurut pendapat kedua, boleh bertayamum kapan saja seperti orang junub, karena tayamum adalah ibadah tersendiri (bukan bagian dari wudhu), sedangkan berurutan hanya diwajibkan dalam satu ibadah.   Bila yang terluka ada dua anggota badan, maka wajib dua tayamum berpijak pada pendapat yang lebih sahih yang telah disebutkan. Namun bila berpijak pada pendapat kedua maka cukup satu tayamum.” (Al-Mahalli, Syarhul Mahalli ‘alal Minhaj, [Beirut, Darul Fikr:1995], juz I, halaman 96).

  Dengan demikian wudhu dan tayamum yang disebutkan dalam pertanyaan hukumnya sah menurut pendapat kedua. Lebih baik lagi–dengan mengikuti pendapat kedua–, hendaknya Anda bertayamum dulu satu kali, kemudian melakukan wudhu dengan membasuh wajah dan tangan semampunya.   Bisakah Wudhu Kondisi Darurat Digunakan untuk Dua Shalat Fardhu atau Lebih?  Kemudian apakah wudhu tersebut hanya berlaku untuk satu kali shalat fardhu atau bisa untuk beberapa shalat fardhu?   Perlu diketahui bahwa wudhu biasa bisa untuk beberapa shalat wajib selama belum batal. Sementara tayamum hanya bisa untuk satu shalat wajib.   Karena wudhu dengan cara di atas mengandung basuhan wudhu dan tayamum, maka bila telah masuk waktu shalat wajib selanjutnya dan Anda belum batal, maka dalam hal ini ada dua pendapat. Menurut Imam An-Nawawi, cukup mengulangi tayamum saja, tanpa perlu mengulangi wudhu dari awal. Menurut Imam Ar-Rafi’i harus mengulangi tayamum, lalu melanjutkan basuhan wudhu setelah letak tayamumnya.
  Dalam kitab Taqrirat Sadidah disebutkan:

  الحكم إذا أراد أن يصلي فرضا آخر وهو على طهر من قبل: (1) في الوضوء عليه أن يتيمم فقط عند النووي وهو المعتمد وعند الرافعي يتيمم ويعيد غسل الأعضاء التي من بعد العضو الذي عليه الساتر

  Artinya, “Hukum bila orang hendak melakukan shalat fardhu lagi sementara ia masih dalam kondisi suci. (1) Bila dalam wudhu maka wajib bertayamum saja menurut Imam An-Nawawi. Pendapat ini yang menjadi pegangan fatwa. Sementara menurut Imam Ar-Rafi’i, ia harus bertayammum dan mengulangi membasuh anggota setelah anggota yang berpenutup luka.” (Al-Kaf, 152 ).
  Tayamum yang dilakukan bila hendak melakukan shalat fardhu ini sejumlah tayamum pada wudhu sebelumnya bila mengikuti pendapat yang kuat. Sedangkan bila mengikuti pendapat kedua cukup satu kali.   Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.  

Sumber: nu.online

Hikmah di Balik Keputusan Rasulullah Memilih Hidup Sederhana

Rasulullah saw adalah makhluk terbaik sepanjang masa yang diciptakan dan diutus oleh Allah ke muka bumi. Perjalanan hidupnya yang penuh perjuangan selalu menyisakan hikmah yang berharga untuk umatnya. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, bahwa Rasulullah adalah suri teladan yang baik. Allah berfirman dalam Surat Al-Ahzab ayat 21:

  لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ  

Artinya: “Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah.” Salah satu keteladanan Rasulullah yang dapat diikuti ialah beliau memilih hidup dalam kesederhanaan. Dalam sejarahnya, Rasulullah bukan terpaksa hidup sederhana, keputusan itu semata-mata karena pilihan hati dan supaya menjadi teladan bagi umatnya.   Disebutkan dalam sebuah riwayat, Allah swt pernah menawarkan kepada Rasulullah, padang pasir Makkah yang tandus akan diubah menjadi hamparan surga yang berisi emas gemerlapan dan diberikan kepada Rasulullah saw. Tetapi, Rasulullah memutuskan untuk menolak dan memohon agar diberi kecukupan dan hidup sederhana.   Hal ini disampaikan langsung oleh Rasulullah saw dalam hadistnya, diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi,   عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” ‌عَرَضَ ‌عَلَيَّ ‌رَبِّي ‌لِيَجْعَلَ ‌لِي ‌بَطْحَاءَ مَكَّةَ ذَهَبًا. فَقُلْتُ: لَا. يَا رَبِّ وَلَكِنْ أَشْبَعُ يَوْمًا وَأَجُوعُ يَوْمًا، أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ، فَإِذَا جُعْتُ تَضَرَّعْتُ إِلَيْكَ وَذَكَرْتُكَ، وَإِذَا شَبِعْتُ حَمِدْتُكَ وَشَكَرْتُكَ

  Artinya: “Dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda: ‘Tuhanku (Allah) telah menawarkan kepada diriku, bahwa Dia ingin menjadikan padang pasir Makkah sebagai emas. Kemudian aku menjawab: Jangan, wahai Tuhanku. Tetapi, aku hanya ingin kenyang untuk sehari dan lapar sehari di hari yang lain atau semacam keduanya. Apabila aku lapar, aku akan memohon kepadamu dan mengingatmu. Begitu pun ketika aku kenyang, aku akan memujimu dan lalu bersyukur.” (HR. Tirmidzi)

  Syekh Ali bin Sulthon Muhammad dalam kitab Mirqotul Mafatih menjelaskan hadits tersebut, bahwasanya Allah swt mengajak Rasulullah bermusyawarah sekaligus menawarkan pilihan kepadanya untuk memperoleh kemegahan hidup atau menjalani kehidupan yang sederhana dan serba cukup di dunia.   Allah hendak menjadikan padang pasir yang ada di Makkah untuk Rasulullah atau terkhusus bagi umatnya, yakni dengan mengubah batu dan pasirnya menjadi emas. Namun, tawaran tersebut ditolak langsung oleh Rasulullah karena ia memillih untuk kenyang dalam satu waktu, lalu dengan kenyang tersebut ia bisa bersyukur. Kemudian lapar di waktu yang lain, lalu dengan lapar ini ia bisa bersabar.   Selanjutnya, Syekh Ali menjelaskan dan menafsirkan alasan Nabi Muhammad saw memilih hidup cukup dan sederhana dalam haditsnya tersebut, ia mengungkapkan:  

فَإِذَا جُعْتُ تَضَرَّعْتُ إِلَيْكَ) أَيْ: بِعَرْضِ الِافْتِقَارِ عَلَيْكَ (وَذَكَرْتُكَ) أَيْ: بِسَبَبِهِ فَإِنَّ الْفَقْرَ يُورِثُ الذِّكْرَ، كَمَا فِي الْغِنَى يُوجِبُ الْكُفْرَ  وَإِذَا شَبِعْتُ حَمِدْتُكَ) أَيْ: بِمَا أَلْهَمَتْنِي مِنْ ثَنَائِكَ (وَشَكَرْتُكَ) : عَلَى إِشْبَاعِكَ وَسَائِرِ نَعْمَائِكَ  

Artinya: “Sabda Nabi (Apabila aku lapar, aku akan memohon kepadamu) artinya, akan menampakkan kerendahan diriku terhadap-Mu (Allah). (lalu aku akan mengingat-Mu) yaitu, mengingat Allah sebab lapar. Sungguh, karena kefakiran itu bisa mewariskan dzikrullah. Sebagaimana halnya merasa kaya yang mewariskan kepada kufur nikmat. Kemudian sabda Nabi, (Apabila aku kenyang, aku akan memuji-Mu) maksudnya adalah memuji dengan apa yang telah dianugerahkan kepadaku dari kemahakuasaan-Mu, (Maka, aku akan bersyukur kepada-Mu) yakni, dengan kenyang yang Engkau berikan dan seluruh nikmat-Mu yang lain.” (Ali bin Sulthon Muhammad, Mirqotul Mafatih, [Beirut: Darul Fikr, 2003] jilid VIII, halaman 3249-3250)

  Hikmah Rasulullah Pilih Hidup Sederhana Syekh Hasan bin Ali Al-Qahiri dalam kitab Fathul Qarib al-Mujib menjelaskan, ada seseorang bertanya terkait hikmah di balik keputusan Nabi Muhammad saat diberi tawaran kemewahan hidup, sebagaimana penjelasan hadits tersebut. Syekh Hasan menyebutkan beberapa hikmah sekaligus menjawab pertanyaan tersebut, yaitu sebagaimana berikut:   Jika Nabi Muhammad hidup dalam kekayaan dan kemegahan, maka kaumnya akan menuduh bahwa dia adalah orang yang gila harta dan tamak. Untuk itu, Rasulullah memilih tetap hidup sederhana. Allah-lah yang menjadikan Nabi Muhammad memilih tetap dalam kesederhanaan. Supaya hati orang fakir merasa ikut bahagia dengan kesederhanaan hidup (karena merasa senasib). Sebagaimana para orang kaya bergembira dengan harta. Harta adalah benda yang tidak akan terlepas dari ikatan hukum halal dan haram. Keharamannya akan membawa kepada azab (siksaan), sedangkan halalnya akan dihisab (diminta pertanggungjawaban). Sehingga hisabnya akan menyibukkan Rasulullah di hari kiamat nanti. Hal ini bisa menyebabkan waktu beliau terkuras dan terganggu untuk memberikan syafaat kepada umatnya. Karena inilah, Rasulullah memilih hidup sederhana. Kesederhanaan Rasulullah menjadi bukti bahwa kehidupan dunia bagi Allah swt itu tidak ada artinya. Sebagaimana sabda Rasul dalam hadisnya yang lain, “Seandainya dunia ini ditimbang di sisi Allah, niscaya beratnya bagaikan sayap nyamuk. Seakan-akan (dunia) itu hanya menjadi tempat peruntungan hidup orang-orang kafir.” (HR. Ibnu Majah) Kesederhanaan yang dipilih oleh Rasulullah saw menjadi bukti, bahwa sederhana itu lebih berharga dibandingkan dengan kaya. Karena Rasulullah sebagai makhluk terbaik, justru memilih hidup sederhana. (Syekh Hasan bin Ali Al-Qahiri, Fathul Qarib al-Mujib, [Riyadh, Maktabah Darussalam, 2018] halaman 4948, jilid 13)   Demikianlah hikmah di balik pilihan Rasulullah hidup dalam kesederhanaan. Beliau rela memilih makan sehari dan lapar di hari yang lain ketika ditawarkan hidup yang penuh dengan kemewahan. Hal ini menjelaskan bahwa hidup sederhana itu adalah sebuah keistimewaan. Namun yang perlu ditekankan adalah kita perlu bersyukur dan bersabar dalam menjalani dinamika kehidupan ini, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah. Wallahu a’lam.

Editor: Alima sri sutami mukti

Hukum Jamak Ta’khir Beda Niat dengan Imam

Assalamu’alaikum wr wb. Mohon maaf, izin langsung menyampaikan pertanyaan ustadz. Kami saat itu sedang dalam perjalanan yang telah memenuhi syarat-syarat untuk diperbolehkan menjamak dan/atau menqashar shalat fardhu. Kemudian saya berniat untuk menjamak takhir Dhuhur dan Ashar dengan berjamaah.   Saya tahunya bahwa jamak taqdim maupun ta’khir, yang didahulukan adalah shalat yang sesuai dengan urutan (Dhuhur dulu, baru Ashar). Sehingga, saya (makmum) berbeda niat dengan imam. Imam berniat shalat Ashar, saya berniat shalat Dhuhur (majm’uan bi shalatil ‘ashri).
Saya baru mengetahui hal itu saat jeda antara dua shalat yang dijamak tersebut, yaitu ketika teman saya (makmum juga) bilang, “Yuk Dhuhur”. Saya sontak bilang, “Hah?”. Teman saya kemudian bilang, “Kan jamak ta’khir, Ashar dulu baru Dhuhur”. Saya hanya jawab, “Iya”

Baca Juga: Bagaimana hukumnya meinggalkan solat sunnah di tengah pengerjaannya

Akhirnya kami meneruskan shalat tersebut, namun saya berniat shalat Ashar (imam niat shalat Dhuhur jamak). Bagaimana hukum shalat saya, ustadz? Apakah tetap sah? Atau tidak sah dan perlu diqadha’? Karena setelah itu saya tidak mengulangi shalat lagi. (Hamba Allah). Jawaban Wa’alaikum salam wr wb. Penanya dan pembaca NU Online yang dirahmati Allah. Semoga semuanya dimudahkan segala urusannya dan istiqamah dalam beribadah. Amin.   Setelah kami baca dengan seksama, sebenarnya inti pertanyaan adalah bagaimana hukum jamaah shalat jamak ta’khir yang imam dan makmumnya berbeda niat.   Namun sebelum menjelaskan inti pertanyaan, perlu kami sampaikan terlebih dahulu terkait mana shalat yang lebih dahulu dikerjakan dalam pelaksanaan jamak ta’khir, apa shalat yang pertama atau yang kedua?   Memang benar, orang yang sedang menempuh perjalanan panjang (±80 km) diperbolehkan untuk menjamak shalat atau mengqashar shalat yang empat rakaat, atau menjamak sekaligus mengqasharnya di waktu yang dikehendaki, baik di waktu shalat pertama (jamak taqdim) maupun di waktu shalat yang kedua (jamak ta’khir). Masing-masing jamak taqdim dan jamak ta’khir mempunyai syarat tersendiri sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fathul Qarib. Syarat jamak taqdim ada tiga. Bolehkah Menjamak atau Qashar Shalat? Harus tertib, yaitu dimulai dengan shalat Dhuhur sebelum Ashar, dan Maghrib sebelum Isya. Jika terbalik, misalnya dimulai dengan shalat Ashar sebelum Dhuhur, maka tidak sah dan harus mengulanginya jika ingin melakukan jamak. Niat jamak harus ada pada awal shalat pertama, yaitu niat jamak harus bersamaan dengan takbiratul ihram. Tidak cukup jika niat tersebut dihadirkan sebelum takbir atau setelah salam dari shalat pertama. Menurut pendapat yang lebih kuat, diperbolehkan niat jama’ di tengah shalat pertama. Harus ada kesinambungan (muwalah) antara shalat pertama dan shalat kedua. Yaitu tidak boleh ada jeda yang lama di antara keduanya. Jika ada jeda yang lama, walaupun disebabkan oleh uzur seperti tertidur, maka wajib menunda shalat kedua sampai waktunya. Namun, tidak masalah jika ada jeda yang sedikit menurut kebiasaan (‘urf). Sedangkan pada jamak ta’khir syaratnya harus ada niat jamak, dan niat ini harus ada pada waktu shalat yang pertama. Diperbolehkan menunda niat sampai sisa waktu shalat pertama yang memungkinkan digunakan untuk shalat tersebut secara tepat waktu (ada’). Tiga syarat yang ada pada jamak taqdim yakni, tertib, muwalah, dan niat jamak pada awal shalat sebagaimana penjelasan di atas tidak menjadi syarat pada jamak ta’khir. (Muhammad bin Qasim, [Beirut, Dar Ibnu Hazm: 2005], halaman 96). Adapun alasantiga syarat jamak taqdim tidak menjadi syarat pada jamak ta’khir adalah sebagaimana penjelasan Syekh Nawawi Al-Bantani:

  ولا يجب في جمع التأخير ترتيب) لأن الوقت هنا للثانية ( ولا موالاة) بينهما لأن النبي صلي الله عليه وسلم تركها (ولا نية جمع) في الصلاة الأولى لتقدم النية في وقت الأولى (على الصحيح في الثلاثة) خلافاً لصاحب المحرر والحاوي نعم، تسن هذه الثلاثة هنا فراراً من خلاف من أوجبها

Artinya, “Dalam jamak ta’khir tidak wajib adanya tertib, karena waktu di sini adalah milik shalat yang kedua; tidak wajib muwalah (kesinambungan) antara keduanya, karena Nabi saw meninggalkannya; dan tidak wajib niat jamak pada shalat pertama, karena niat sudah didahulukan di waktu shalat pertama. Demikian menurut pendapat yang sahih dalam tiga hal ini. Ini berbeda dengan pendapat penulis kitab Al-Muharrar dan Al-Hawi. Ya, disunnahkan tiga hal ini (tertib, muwalah, dan niat) di sini untuk menghindari perbedaan pendapat ulama yang mewajibkannya.” (Tausyikh ‘ala Ibni Qasim, [Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah: t.t], halaman 150).

Syekh Ibrahim Al-Bajuri lebih lugas menjelaskan:

قوله (ولا يجب في جميع التأخير الخ) لكن يسن فيه الترتيب والموالاة، وإنما لم يجب ما ذكر لأن الوقت صالح للأولى ولو من غير تبعية بخلافه في جمع التقديم، فلا يصلح الوقت للثانية إلا على وجه التبعية

Artinya, “Ungkapan mushanif: “(Dan tidak wajib dalam jamak ta’khir dan seterusnya). Namun disunnahkan tertib dan muwalah dalam jamak ta’khir. Hal ini tidak diwajibkan karena waktu ini (waktu shalat kedua) layak dan sesuai (pantas) untuk shalat pertama, meskipun tidak mengikuti (dikerjakan dengan menjamak shalat). Berbeda dengan jamak taqdim, yang mana waktunya tidak layak untuk shalat kedua kecuali dengan mengikuti (dikerjakan dengan menjamak shalat).”  (Hasyiyah Al-Baijuri, [Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah: t.t], juz I, halaman 400)
Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa dalam jamak ta’khir tidak disyaratkan harus dikerjakan secara tertib atau berurutan. Namun, hal itu disunahkan karena untuk menyesuaikan diri dengan pendapat ulama yang mewajibkannya. Dalam kaidah disebutkan:   الخروج من الخلاف مستحب   Artinya, “Keluar dari perbedaan pendapat adalah disunahkan”.   Alasan logisnya, dalam jamak taqdim harus tertib sebab waktu shalat yang pertama memang waktu untuk mengerjakan shalat yang pertama (shalat Dhuhur), bukan untuk shalat kedua (shalat Ashar). Kebolehan mengerjakan shalat Ashar di waktu pertama karena adanya niat jamak taqdim (tabiah).   Berbeda dengan waktu shalat kedua untuk mengerjakan shalat pertama (shalat Dzuhur) tetaplah diperbolehkan meskipun tanpa niat jamak, yang berarti qadha’ shalat Dzuhur karena waktunya telah terlewatkan.
Setelah jelas bahwa dalam pelaksanaan shalat jamak ta’khir tidak disyaratkan tertib, boleh shalat Ashar atau Dhuhur dulu, lantas bagaimana hukum jamaah shalat jamak ta’khir yang imam dan makmumnya berbeda niat, seperti imam niat shalat Ashar sedangkan makmumnya niat shalat Dhuhur atau sebaliknya?   Dalam mazhab Syafi’i terdapat syarat keabsahan jamaah yakni adanya keselarasan gerakan shalat antara imam dan makmum dalam gerakan-gerakan yang tampak mencolok. Karenanya, tidak sah mengikuti imam yang berbeda gerakan shalatnya secara mencolok, seperti antara shalat wajib dengan shalat kusuf (gerhana) atau shalat jenazah. Karena hal itu menjadikan makmum tidak tidak memungkinkan untuk mengikuti gerakan imam. Namun, jika gerakan shalat yang dikerjakan Imam masih selaras dengan makmum meskipun ada perbedaan niat, maka jamaahnya tetap dihukumi sah.
Berikut penjelasan Syekh Nawawi Banten terkait hal tersebut:

وَيصِح اقْتِدَاء مؤد بقاض ومفترض بمتنفل وَفِي طَوِيلَة بقصيرة كَظهر بصبح وبالعكوس وَلَا يضر اخْتِلَاف نِيَّة الإِمَام وَالْمَأْمُوم بِمثل ذَلِك
Artinya, “Sah makmum orang yang melaksanakan shalat ada’ kepada imam yang sedang mengqadha; orang yang melaksanakan shalat fardhu bermakmum kepada orang yang melaksanakan shalat sunnah; dan sah juga orang yang mengerjakan shalat yang panjang bermakmum kepada shalat yang pendek, seperti shalat Zhuhur pada Imam shalat Subuh, begitu juga sebaliknya. Tidak masalah terdapat perbedaan niat antara imam dan makmum dalam hal tersebut.” (Nihayatuz Zain, [Beirut, Darul Fikr: t.t], halaman 129).     Walhasil, hukum jamaah shalat jamak ta’khir yang imam dan makmumnya berbeda niat, imamnya niat shalat Ashar sedangkan makmumnya niat shalat Dhuhur atau sebaliknya adalah sah.   Sebab  kedua shalat tersebut dalam gerakan-gerakannya masih sama persis dan selaras, sehingga memungkinkan makmum untuk mengikuti gerakan imam. Adapun perbedaan niat antara keduanya tidak mempengaruhi keabsahan shalat masing-masing. Demikian semoga dapat dipahami dengan baik dan bermanfaat. Wallahu a’lam.

Sumber: nu.online