Hikmah di Balik Keputusan Rasulullah Memilih Hidup Sederhana

Rasulullah saw adalah makhluk terbaik sepanjang masa yang diciptakan dan diutus oleh Allah ke muka bumi. Perjalanan hidupnya yang penuh perjuangan selalu menyisakan hikmah yang berharga untuk umatnya. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, bahwa Rasulullah adalah suri teladan yang baik. Allah berfirman dalam Surat Al-Ahzab ayat 21:

  لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ  

Artinya: “Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah.” Salah satu keteladanan Rasulullah yang dapat diikuti ialah beliau memilih hidup dalam kesederhanaan. Dalam sejarahnya, Rasulullah bukan terpaksa hidup sederhana, keputusan itu semata-mata karena pilihan hati dan supaya menjadi teladan bagi umatnya.   Disebutkan dalam sebuah riwayat, Allah swt pernah menawarkan kepada Rasulullah, padang pasir Makkah yang tandus akan diubah menjadi hamparan surga yang berisi emas gemerlapan dan diberikan kepada Rasulullah saw. Tetapi, Rasulullah memutuskan untuk menolak dan memohon agar diberi kecukupan dan hidup sederhana.   Hal ini disampaikan langsung oleh Rasulullah saw dalam hadistnya, diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi,   عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” ‌عَرَضَ ‌عَلَيَّ ‌رَبِّي ‌لِيَجْعَلَ ‌لِي ‌بَطْحَاءَ مَكَّةَ ذَهَبًا. فَقُلْتُ: لَا. يَا رَبِّ وَلَكِنْ أَشْبَعُ يَوْمًا وَأَجُوعُ يَوْمًا، أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ، فَإِذَا جُعْتُ تَضَرَّعْتُ إِلَيْكَ وَذَكَرْتُكَ، وَإِذَا شَبِعْتُ حَمِدْتُكَ وَشَكَرْتُكَ

  Artinya: “Dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda: ‘Tuhanku (Allah) telah menawarkan kepada diriku, bahwa Dia ingin menjadikan padang pasir Makkah sebagai emas. Kemudian aku menjawab: Jangan, wahai Tuhanku. Tetapi, aku hanya ingin kenyang untuk sehari dan lapar sehari di hari yang lain atau semacam keduanya. Apabila aku lapar, aku akan memohon kepadamu dan mengingatmu. Begitu pun ketika aku kenyang, aku akan memujimu dan lalu bersyukur.” (HR. Tirmidzi)

  Syekh Ali bin Sulthon Muhammad dalam kitab Mirqotul Mafatih menjelaskan hadits tersebut, bahwasanya Allah swt mengajak Rasulullah bermusyawarah sekaligus menawarkan pilihan kepadanya untuk memperoleh kemegahan hidup atau menjalani kehidupan yang sederhana dan serba cukup di dunia.   Allah hendak menjadikan padang pasir yang ada di Makkah untuk Rasulullah atau terkhusus bagi umatnya, yakni dengan mengubah batu dan pasirnya menjadi emas. Namun, tawaran tersebut ditolak langsung oleh Rasulullah karena ia memillih untuk kenyang dalam satu waktu, lalu dengan kenyang tersebut ia bisa bersyukur. Kemudian lapar di waktu yang lain, lalu dengan lapar ini ia bisa bersabar.   Selanjutnya, Syekh Ali menjelaskan dan menafsirkan alasan Nabi Muhammad saw memilih hidup cukup dan sederhana dalam haditsnya tersebut, ia mengungkapkan:  

فَإِذَا جُعْتُ تَضَرَّعْتُ إِلَيْكَ) أَيْ: بِعَرْضِ الِافْتِقَارِ عَلَيْكَ (وَذَكَرْتُكَ) أَيْ: بِسَبَبِهِ فَإِنَّ الْفَقْرَ يُورِثُ الذِّكْرَ، كَمَا فِي الْغِنَى يُوجِبُ الْكُفْرَ  وَإِذَا شَبِعْتُ حَمِدْتُكَ) أَيْ: بِمَا أَلْهَمَتْنِي مِنْ ثَنَائِكَ (وَشَكَرْتُكَ) : عَلَى إِشْبَاعِكَ وَسَائِرِ نَعْمَائِكَ  

Artinya: “Sabda Nabi (Apabila aku lapar, aku akan memohon kepadamu) artinya, akan menampakkan kerendahan diriku terhadap-Mu (Allah). (lalu aku akan mengingat-Mu) yaitu, mengingat Allah sebab lapar. Sungguh, karena kefakiran itu bisa mewariskan dzikrullah. Sebagaimana halnya merasa kaya yang mewariskan kepada kufur nikmat. Kemudian sabda Nabi, (Apabila aku kenyang, aku akan memuji-Mu) maksudnya adalah memuji dengan apa yang telah dianugerahkan kepadaku dari kemahakuasaan-Mu, (Maka, aku akan bersyukur kepada-Mu) yakni, dengan kenyang yang Engkau berikan dan seluruh nikmat-Mu yang lain.” (Ali bin Sulthon Muhammad, Mirqotul Mafatih, [Beirut: Darul Fikr, 2003] jilid VIII, halaman 3249-3250)

  Hikmah Rasulullah Pilih Hidup Sederhana Syekh Hasan bin Ali Al-Qahiri dalam kitab Fathul Qarib al-Mujib menjelaskan, ada seseorang bertanya terkait hikmah di balik keputusan Nabi Muhammad saat diberi tawaran kemewahan hidup, sebagaimana penjelasan hadits tersebut. Syekh Hasan menyebutkan beberapa hikmah sekaligus menjawab pertanyaan tersebut, yaitu sebagaimana berikut:   Jika Nabi Muhammad hidup dalam kekayaan dan kemegahan, maka kaumnya akan menuduh bahwa dia adalah orang yang gila harta dan tamak. Untuk itu, Rasulullah memilih tetap hidup sederhana. Allah-lah yang menjadikan Nabi Muhammad memilih tetap dalam kesederhanaan. Supaya hati orang fakir merasa ikut bahagia dengan kesederhanaan hidup (karena merasa senasib). Sebagaimana para orang kaya bergembira dengan harta. Harta adalah benda yang tidak akan terlepas dari ikatan hukum halal dan haram. Keharamannya akan membawa kepada azab (siksaan), sedangkan halalnya akan dihisab (diminta pertanggungjawaban). Sehingga hisabnya akan menyibukkan Rasulullah di hari kiamat nanti. Hal ini bisa menyebabkan waktu beliau terkuras dan terganggu untuk memberikan syafaat kepada umatnya. Karena inilah, Rasulullah memilih hidup sederhana. Kesederhanaan Rasulullah menjadi bukti bahwa kehidupan dunia bagi Allah swt itu tidak ada artinya. Sebagaimana sabda Rasul dalam hadisnya yang lain, “Seandainya dunia ini ditimbang di sisi Allah, niscaya beratnya bagaikan sayap nyamuk. Seakan-akan (dunia) itu hanya menjadi tempat peruntungan hidup orang-orang kafir.” (HR. Ibnu Majah) Kesederhanaan yang dipilih oleh Rasulullah saw menjadi bukti, bahwa sederhana itu lebih berharga dibandingkan dengan kaya. Karena Rasulullah sebagai makhluk terbaik, justru memilih hidup sederhana. (Syekh Hasan bin Ali Al-Qahiri, Fathul Qarib al-Mujib, [Riyadh, Maktabah Darussalam, 2018] halaman 4948, jilid 13)   Demikianlah hikmah di balik pilihan Rasulullah hidup dalam kesederhanaan. Beliau rela memilih makan sehari dan lapar di hari yang lain ketika ditawarkan hidup yang penuh dengan kemewahan. Hal ini menjelaskan bahwa hidup sederhana itu adalah sebuah keistimewaan. Namun yang perlu ditekankan adalah kita perlu bersyukur dan bersabar dalam menjalani dinamika kehidupan ini, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah. Wallahu a’lam.

Editor: Alima sri sutami mukti

Kisah Imam Ghazali Berguru kepada Tukang Sol Sepatu

Imam Al-Ghazali (450 – 505 H) merupakan seorang ulama terkemuka yang bergelar Hujjatul Islam, dengan pemikiran yang hingga kini masih terus dikaji dan diikuti oleh umat Islam.   Siapa sangka, di balik kapasitas keilmuannya yang luar biasa, Imam Ghazali tetap bersedia belajar dari seorang tukang sol sepatu. Belakangan diketahui bahwa tukang sol sepatu tersebut adalah seorang ahli ma’rifat yang menyembunyikan keilmuannya di balik profesinya. Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Maraqil Ubudiyah syarah Bidayatul Hidayah (Jakarta, Darul Kutubil Islamiyah, 2010: 161-162) mengisahkan bahwa perjumpaan Imam Ghazali dengan tukang sol sepatu ini berawal dari saudaranya yang bernama Ahmad. Imam Ghazali sering menjadi imam shalat berjamaah di sebuah masjid dekat rumahnya. Namun, saudaranya yang bernama Ahmad tidak pernah terlihat menjadi makmum di masjid tersebut. Suatu hari, Imam Ghazali mengadukan hal ini kepada ibunya. “Ibu, tolong suruh saudaraku, Ahmad, untuk shalat berjamaah bersamaku supaya orang-orang tidak menuduh macam-macam,” ujar Al-Ghazali pada ibunya. Setelah mendapat perintah sang ibu, Ahmad pun menurutinya dan menjadi makmum saat Al-Ghazali menjadi imam shalat di masjid. Beberapa saat kemudian, Ahmad melakukan mufaraqah (berpisah dengan imam) karena melihat darah dalam diri Al-Ghazali. Usai shalat, Al- Ghazali pun mengetahui Ahmad melakukan mufaraqah dan menanyakan alasannya. “Aku melihat kamu dipenuhi dengan darah,” jawab Ahmad Imam Ghazali pun mengakui bahwa saat shalat, ia tidak bisa khusyuk karena pikirannya terganggu dengan masalah darah haid, tepatnya pada persoalan mutahayyirah, yaitu wanita yang sudah pernah mengalami haid dan suci darinya, kemudian mengalami pendarahan kembali. “Dari mana kamu belajar ilmu ini?” tanya Al-Ghazali penasaran. “Aku mempelajarinya dari syekh yang berprofesi sebagai tukang sol sepatu,” jawab Ahmad. Tidak menunggu lama, setelah mengetahui sosok dan alamatnya, Imam Ghazali pun segera berangkat untuk menemui dan belajar kepada syekh yang dimaksud. “Wahai tuanku, aku ingin belajar ilmu kepadamu,” ucap Al-Ghazali usai bertemu dan menyampaikan salam.  “Sepertinya kamu tidak akan sanggup untuk taat pada perintahku,” jawab syekh meragukan keseriusan Imam Ghazali. “Insyaallah aku sanggup,” jawab Imam Ghazali meyakinkan syekh. “Kalau begitu, sekarang coba kamu sapu lantai ini,” ujar syekh pada Al-Ghazali. Ketika Al-Ghazali hendak mengambil sapu, syekh kemudian menyuruh agar lantai itu tidak dibersihkan dengan sapu melainkan dengan tangan. Al-Ghazali pun melakukannya, menyapu lantai tersebut dengan tangannya. Setelah lulus dari ujian pertama, syekh kemudian menguji kembali Al-Ghazali, yaitu memerintahkannya untuk membersihkan kotoran yang ada di sekitarnya. “Sapulah kotoran itu,” perintah syekh. Ketika Al-Ghazali hendak melepas pakaiannya, syekh kemudian memerintahkan agar kotoran itu dibersihkan dengan pakaian itu. “Bersihkan lantai itu dengan baju yang kamu pakai,” perintah syekh. Saat Al-Ghazali hendak membersihkan kotoran tersebut dengan pakaiannya, syekh kemudian mencegahnya karena telah melihat keikhlasan dalam diri muridnya itu.  Selanjutnya, syekh tersebut memerintahkan Al-Ghazali untuk pulang. Setelah kembali dan tiba di madrasahnya, Imam Ghazali merasakan hatinya terbuka dan mendapatkan ilmu yang luar biasa dari Allah melalui wasilah pertemuan tersebut. Perjalanan hidup Imam Ghazali ini mengajarkan pentingnya seorang muslim untuk tidak pernah berhenti belajar. Meski telah bergelar syekh, semangat Imam Ghazali dalam mencari ilmu tidak pernah padam. Selanjutnya, seorang muslim juga perlu memiliki guru spiritual yang dapat membimbing, mengarahkan, serta memperbaiki hati. Dalam dunia tasawuf, hati memiliki peran penting dalam kehidupan manusia karena menjadi pusat dan penentu kualitas spiritual seseorang. Selain itu, kisah ini juga memberikan gambaran sekaligus tantangan bagi para guru agar bisa meningkatkan dimensi batin. Ketika hal tersebut tercapai, murid-murid berkualitas akan lahir dari hasil didikannya yang baik.   Di sisi lain, marak terjadi hubungan tidak wajar antara guru dan murid yang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, bahkan untuk memenuhi syahwatnya dengan dalih mencari ridha guru. Hal ini mungkin terjadi karena adanya kekosongan spiritual dalam diri guru tersebut, sehingga syahwatnya menjadi tidak terkendali. Wallahu a‘lam