Aqiqah Muhammad Faahim Ilman

Yang dilaksanakan pada tanggal 24 Juli tahun 2024 di Majelis kediaman sang kakek Kh. Mukhtar Gojali , acara tersebut diisi oleh pembacaan maulid ad-diba’i dan dipimpin langsung oleh santri Ypp. Miftahulhuda Al-Musri’, dan juga do’a langsung di pimpin oleh Kh. Burhan Rosyidi Salah satu Dewan kyai Ypp. Miftahulhuda Al-Musri’.

Pada acara tersebut di hadiri oleh para dewan kyai Al-Musri’ dan segenap keluarga Al-Musri’ yang meliputi dewan ampuh dan sebagian pengurus osma . Halnya dilaksanakan nya acara tersebut guna untuk terlaksananya silaturahmi dan untuk mendo’akan buah hati Ang Abdul Jabbar Al-Barri yang telah lahir  , yang diberi nama Muhammad Faahim Ilman.

Aqiqah adalah peristiwa agama berupa penyembelihan kambing bagi bayi yang baru lahir, satu ekor kambing untuk perempuan dan dua ekor kambing untuk laki-laki, yang disedekahkan kepada kerabat dan handaitolan. Di Indonesia, ritual aqiqah tersebut dipandu dengan tradisi dan kearifan lokal sehingga menjadi sebuah peristiwa yang menarik dan penuh makna.

Lebih Utama Menjadi Orang Kaya Bersyukur atau Miskin Bersabar?

Umat Islam tampaknya terbagi kepada dua bagian dalam memandang sosok Nabi Muhammad saw dari segi kondisi finansialnya. Ada yang memandang Nabi saw merupakan orang yang miskin, hingga tak ayal apabila beliau berdoa, “Ya Allah hidupkan aku dalam keadaan miskin, wafatkan aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku bersama-sama orang-orang miskin.” Secara literal, doa Nabi saw di atas memang seolah meminta kemiskinan di dunia dan di akhirat, akan tetapi apabila kita melihat penjelasan para ulama, makna miskin tersebut adalah tawadhu atau rendah hati, bukan miskin harta.   Kemudian di sisi lain, sebagian umat Islam memandang Nabi saw bukan sebagai orang miskin, sebab beberapa sabdanya mendorong kaum muslimin untuk bekerja dan menghindari kefakiran. Kefakiran dianggap sebagai jalan menuju pegadaian iman dikarenakan kondisi yang memaksa untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Mayoritas teks-teks hadits secara sekilas memang secara literal lebih dominan menganjurkan orang menjadi menjadi fakir. Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda:   يَدْخُلُ فُقَرَاءُ الْمُؤْمِنِينَ الْجَنَّةَ قَبْلَ الأَغْنِيَاءِ بِنِصْفِ يَوْمٍ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ 

  Artinya, “Orang-orang beriman yang fakir kelak akan masuk surga terlebih dahulu setengah hari yang setara 500 tahun lamanya daripada orang kaya.” (HR Ibnu Majah).   Setelah membaca hadits di atas, barangkali sebagian di antara kita merasa aneh mengapa Islam menganjurkan umatnya menjadi miskin sekaligus menakut-nakuti untuk menjadi kaya. Tentunya kita harus membaca penjelasan para ulama mengapa Rasulullah saw mengatakan demikian.  An-Nawawi menyebut alasannya karena orang-orang miskin bahkan tidak mampu untuk melakukan kemaksiatan sebesar dan separah orang-orang kaya. Orang kaya apabila ingin bermaksiat maka dengan mudah mendapatkan fasilitas untuk kemaksiatan yang akan dilakukan. (An-Nawawi, Fatawal Imam An-Nawawi, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2018 M], halaman 63).   Namun apabila melihat penjelasan an-Nawawi di atas, apakah benar fakta di tengah masyarakat kita saat ini bahwa orang-orang miskin lebih terjaga dari perbuatan maksiat dibanding orang-orang kaya? Tentunya perlu penelitian lapangan yang akurat terkait pertanyaan ini.   Narasi antara anjuran menjadi kaya atau menjadi miskin dalam hadits perlu penjelasan yang proporsional. Jangan sampai ajaran agama membawa kepada kemiskinan dan memperburuk kondisi finansial karena mendapat legitimasi untuk tidak memperbaiki kualitas ekonomi. Nabi saw secara proporsional pernah bersabda:   عن عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يدعو بهذه الكلمات: اللهم إني أعوذ بك من فتنة النار، وعذاب النار، ومن شر الغنى والفقر. (رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه

  Artinya, “Dari Aisyah ra, bahwasanya Nabi saw pernah berdoa dengan ungkapan ini, ‘Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari fitnah neraka dan azab neraka juga dari fitnah kekayaan dan kefakiran’.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).   Dalam hadits di atas secara jelas Rasulullah saw memohon perlindungan dari keburukan yang ada pada kedua kondisi finansial, baik kaya maupun miskin. Artinya, kedua kondisi finansial tersebut sama-sama memiliki sisi baik dan sisi buruk. Persoalannya terletak pada karakter individu yang mengalami kondisi tersebut.   Menurut Al-Munawi, maksud berlindung dari ‘fitnah’ kekayaan adalah kesombongan, kelalaian, pamer, dan menggunakan harta dalam kemaksiatan. Adapun berlindung dari ‘fitnah’ kemiskinan adalah iri kepada orang kaya, tamak terhadap harta mereka, dan merendahkan diri di hadapan orang-orang kaya dengan cara mengotori kehormatan serta menyerahkan keimanan. Perilaku seperti ini juga menjadi penyebab ketidakpuasan atas takdir yang telah ditetapkan oleh Allah kepadanya, sehingga hidup isinya hanya keluhan-keluhan saja, sebagaimana disebut oleh Al-Baidhawi. Kemudian ath-Thibi menegaskan juga sebagaimana dikutip al-Munawi, bahwa fitnah dalam doa Nabi saw di atas artinya adalah ujian. Kondisi kaya maupun miskin menjadi ujian, apakah orang kaya dapat bersyukur dengan hartanya, dan si miskin dapat bersabar dengan kefakirannya. (Al-Munawi, Faydhul Qadir, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415], jilid II, hal. 161).  Dengan demikian, baik kekayaan maupun kemiskinan, keduanya memiliki sisi baik dan sisi buruk. Semuanya kembali kepada masing-masing individu. Apabila seseorang menjadi pribadi yang baik dan bertakwa, maka baik kaya maupun miskin tidak menjadi masalah yang cukup serius selama tidak merugikan dan membebani orang lain.   Kaya bersyukur atau miskin bersabar? Sub judul ini bersumber dari judul sub-bab kitab al-Fatawal Haditsiyyah karya Ibnu Hajar al-Haitami. Dalam karyanya, secara spesifik terdapat seseorang yang bertanya, mana yang lebih baik antara orang kaya yang bersyukur atau orang miskin yang bersabar? Ibnu Hajar al-Haitami menjawab:   وقد استدل ابن عبد السلام على تفضيل الغني الشاكر على الفقير الصابر بأن الله تعالى لا يختار لنبيه إلا الأفضل، وأفضل أحواله صلى الله عليه وسلم الحالة التي توفاه الله عليها وكانت تلك الحالة على غاية من غناه صلى الله عليه وسلم 

  Artinya, “Ibnu Abdus Salam berpendapat bahwa orang kaya yang bersyukur lebih utama daripada orang miskin yang bersabar dengan landasan bahwa Allah Ta’ala tidak memilihkan kondisi bagi nabi-Nya kecuali yang terbaik. Kondisi terbaik bagi Nabi saw adalah kondisi di masa-masa akhir yang ditetapkan oleh Allah, yaitu puncak kekayaan.” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawal Haditsiyyah, [Libanon: Darul Ma’rifah, t.t.], hal. 91).   Puncak kekayaan Nabi saw pada hadits tersebut memang tidak sebagaimana kehidupan glamour bak raja yang memiliki singgasana megah dengan limpahan berlian dan permata di dalamnya. Kaya bagi Nabi saw dapat dimaknai dengan kecukupan harta yang membuat seseorang terhindar dari meminta-minta dan membebani orang lain.   Harta yang cukup akhirnya dapat disalurkan kepada orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya seperti anak dan istri. Dengan harta tersebut ia juga dapat menyalurkan hartanya kepada ibadah-ibadah sosial seperti bersedekah dan mendermakan hartanya kepada orang yang membutuhkan.   Ibnu Hajar al-Haitami dalam al-Fatawal Haditsiyyah juga mengutip nasihat Luqman al-Hakim kepada anaknya, secara substansial nasihat tersebut berkaitan dengan motivasi untuk bekerja mencari nafkah yang halal untuk memperbaiki kondisi ekonomi. Luqman berkata:

  استغن بالكسب الحلال عن الفقر فإن ما افتقر أحد قط إلا أصابه ثلاث خصال: رقة في دينه وذهاب في عقله وذهاب مروءته، وأعظم من هذه الثلاث: استخفاف الناس به  

Artinya, “Cukupkan dirimu dengan usaha yang halal untuk menghindar dari kemiskinan, karena tidak ada seorangpun yang menjadi miskin kecuali ia akan mengalami tiga hal: kelemahan dalam agamanya, hilangnya akal, dan hilangnya harga dirinya. Dan yang lebih besar dari ketiga hal tersebut adalah direndahkan oleh orang-orang.” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawal Haditsiyyah, hal. 91).   Konon, beberapa tabi’in pernah ditanya mana yang lebih baik, pengusaha yang jujur atau orang yang hanya menghabiskan waktunya untuk beribadah?   Para tabi’in menjawab, “Pengusaha yang jujur lebih disukai karena secara tidak langsung mereka sebenarnya sedang jihad. Setan yang datang kepadanya menyerang melalui godaan untuk mencurangi timbangan dan takaran, dan si pengusaha melawannya dengan tidak menuruti godaan yang mengajak pada sesuatu yang haram.” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawal Haditsiyyah, hal. 91).   Selanjutnya, pernyataan Ibnu Hajar al-Haitami bahwa orang kaya yang bersyukur lebih baik dari orang miskin yang penyabar tidak didasarkan pada asumsi belaka. Faktanya, ada hadits yang dinilai oleh para ulama memiliki nilai-nilai motivasi agar menjadi orang kaya supaya dapat bersyukur dan menyalurkan hartanya kepada kebaikan. Hadits tersebut tercatat dalam Shahih al-Bukhari, yaitu:

  عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ الْفُقَرَاءُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ مِنْ الْأَمْوَالِ بِالدَّرَجَاتِ الْعُلَا وَالنَّعِيمِ الْمُقِيمِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَلَهُمْ فَضْلٌ مِنْ أَمْوَالٍ يَحُجُّونَ بِهَا وَيَعْتَمِرُونَ وَيُجَاهِدُونَ وَيَتَصَدَّقُونَ ..

  Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, ‘Pernah datang para fuqara kepada Nabi saw seraya berkata, ‘Orang-orang kaya, dengan harta benda mereka itu, mereka mendapatkan kedudukan yang tinggi, juga kenikmatan yang abadi. Karena mereka melaksanakan shalat seperti juga kami melaksanakan shalat. Mereka puasa sebagaimana kami juga berpuasa. Namun mereka memiliki kelebihan disebabkan harta mereka, sehingga mereka dapat menunaikan ibadah haji dengan harta tersebut, juga dapat melaksanakan umrah bahkan dapat berjihad dan bersedekah…’.” (HR Al-Bukhari)   Berdasarkan hadits ini, Ibnu Daqiq al-‘Id berpendapat bahwa orang kaya tentu lebih utama karena selain dapat melaksanakan ibadah-ibadah individual, mereka juga dapat menambah pahala dan berupaya mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan ibadah sosial. (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid XI, hal. 275).   Lebih lanjut lagi, Ibnu Daqiq memberikan paparan yang spesifik bahwa baik-buruknya kepemilikan harta tergantung bagaimana pemakaiannya. Boleh jadi si pemilik menggunakannya untuk taat kepada Allah, atau mungkin juga dalam kemaksiatan. Ia berkata:  

فكم من غني لم يشغله غناه عن الله، وكم من فقير شغله فقره عن الله.

  Artinya, “Berapa banyak orang kaya, yang kekayaannya tidak menghalangi mereka dari Allah, dan berapa banyak orang miskin yang kemiskinannya justru menghalangi mereka dari Allah.” (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari, jilid XI, hal. 275).   Alhasil, orang kaya atau miskin tergantung kepada diri pribadi masing-masing. Namun demikian, menjadi orang kaya yang bersyukur dan mendayagunakan hartanya untuk beribadah kepada Allah dinilai lebih utama dari orang miskin yang dengan kemiskinannya malah menghalangi ibadah kepada-Nya.   Semoga tulisan ini menjadi motivasi bagi umat Islam untuk lebih giat mencari kekayaan yang halal. Semakin besar harta yang dimiliki, semakin tinggi kemampuan untuk melaksanakan ibadah sosial yang manfaatnya tidak terbatas kepada diri sendiri saja. Wallahu a’lam.

Editor: Nawal amiroh n

MUWAJAHAH SANTRI BARU

Pada tanggal 21 juli 2024 tepatnya pada malam senin, di Yayasan Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ telah di adakannya Muwajahah Santri Baru , acara ini langsung dipimpin oleh biro sekretaris yang memang acara muwajahah santri baru tersebut adalah salah satu program dari biro sekretaris, seluruh santriyin baru berjumlah 251 pada waktu sekarang hitungan tersebut belum di pastikan karena pada saat-saat ini masih banyak orangtua yang mendaftarkan anaknya ke pesantren.

          Acara tersebut di buka oleh Master Of Ceremony yaitu M. Hilman Setiawan selaku biro sekretaris dalam acara tersebut ada beberapa sambutan dari Rois a’m yaitu Ustadz Kamal Ahmad Satria, lalu diteruskan sambutan oleh pihak biro keamanan yaitu Ustadz M. Jibril Firdaus menjelaskan tentang peraturan-peraturan yang ada di YPP. Miftahulhuda Al-Musri’ dan sambutan yang terakhir oleh ketua biro Pendidikan yaitu Ustadz Ihwan Husnandar menjelaskan program ke Al-Musri’an yang mencakup lima belas pan ilmu.

          Adapun acara tanya jawab santri baru kepada para pengurus yang bersangkutan , diadakan nya acara ini guna untuk mengenalkan semua tentang Ke Al-Musri’an, dan acara tersebut disiapkan sebelumnya oleh biro akomodasi .

Peristiwa-peristiwa penting 10 Muharram dalam sejarah Islam

Tanggal 10 Muharram, yang dikenal sebagai Hari Asyura, memiliki tempat istimewa dalam sejarah Islam.

Banyak peristiwa penting terjadi pada hari tersebut, menjadikannya peristiwa mulia para rasul dan pengingat bagi umat Islam.

Salah satu peristiwa pada 10 Muharram adalah

1. penyelamatan Nabi Musa AS dan Bani Israel dari kejaran Fir’aun.

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT menceritakan bagaimana Nabi Musa AS memimpin Bani Israel keluar dari Mesir, melewati Laut Merah yang terbelah dengan mukjizatnya, sementara Fir’aun dan pasukannya tenggelam saat mengejar.

2. Nabi Nuh AS dan pengikutnya dikatakan selamat dari banjir besar.

Kisah ini menggambarkan kekuatan iman dan ketaatan kepada Allah SWT, serta rahmat-Nya yang menyelamatkan mereka yang taat.

3. Nabi Ibrahim AS selamat dari api yang dinyalakan oleh Raja Namrud untuk membakarnya

Nabi Nuh yang selamat dari dalam perut ikan, diampuni dosa Nabi Adam, dan Nabi Yusuf yang dibebaskan dari penjara karena fitnah.

Bukan hanya mengenang peristiwa para rasul, ada kala awal kisah Nabi Muhammad yang menganjurkan puasa pada hari Asyura atau 10 Muharram.

Ketika Nabi Muhammad sedang pergi ke kota Madinah, beliau bertemu kaum Yahudi sedang berpuasa hingga Rasulullah bertanya alasan mereka berpuasa.

Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa “Nabi Muhammad ketika tiba di Madinah, Beliau mendapatkan mereka (orang Yahudi) melaksanakan puasa hari ‘Asyura (10 Muharam) dan mereka berkata; “Ini adalah hari raya, yaitu hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan Fir’aun. Lalu Nabi Musa As melakukan puasa sebagai wujud syukur kepada Allah”. Maka Beliau bersabda: “Akulah yang lebih utama (dekat) terhadap Musa dibanding kalian”. Maka Beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan umat Beliau untuk mempuasainya.” (HR. Bukhari).

Sebelum diperintahkan wajib melaksanakan puasa Ramadhan, Rasulallah memerintahkan para sahabat untuk mengerjakan puasa Asyura.

Akan tetapii, Nabi Muhammad SAW juga memerintahkan umatnya untuk berpuasa pada hari kesembilan dan kesebelas bulan Muharram yang dikenal dengan puasa Tasu’a. Hal ini untuk membedakan ibadah puasa umat Islam dan Yahudi.

Dalam hadist muslim oleh Abdullah bin Abbas, Rasullulah bersabda “Jika aku masih hidup hingga tahun depan, pasti aku akan berpuasa pada hari kesembilan.” (HR. Muslim)

DIjelaskan juga dalam riwayat Imam Ahmad, Rasullulah bersabda “Puasalah pada hari Asyura dan bedakanlah diri kalian dengan kaum Yahudi. Puasalah sehari sebelumnya atau setelahnya.” (HR. Muslim)

Itulah sejarah penting dalam hari Asyura, dengan berbagai peristiwa penting yang terjadi, menjadi hari penuh makna bagi umat Islam.

Editor: Alima sri sutami mukti

Puasa Asyura: Sejarah, Keutamaan dan Amalan Lainnya

Bulan Muharram merupakan salah satu bulan mulia yang memiliki sejarah dan keutamaan yang luar biasa. Umat Islam bahkan diajurkan untuk memperbanyak ibadah kepada Allah sebagai pengingat dan motivasi untuk memulai menjadi pribadi yang lebih baik di tahun baru.

Ustadz Muhammad Ali Fikri dalam tulisannya menjelaskan, Pada bulan Muharram ini—termasuk dalam bulan-bulan yang haram (asyhurul hurum)—Allah memiliki suatu hari, yang merupakan hari mulia dalam Islam. Hari itu adalah hari Asyura. Banyak kejadian, hal-hal penting, yang berhubungan dengan bulan ini. 

“Asyura diambil dari kata Asyirah (kesepuluh) untuk pleonastis (yang dilebih-lebihkan) dan diagungkan. Sedangkan pendapat yang kedua adalah pendapat yang paling banyak yaitu, kata Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram,”

Dari sahabat Abdullah bin Abbas radliyallahu ‘anh beliau berkata: “Tatkala Nabi Muhammad ﷺ datang ke kota Madinah, beliau mendapati kaum Yahudi sedang berpuasa di hari Asyura, lantas beliau bersabda kepada mereka, ‘Hari apa yang kalian sedang berpuasa ini?’   


Mereka menjawab, ‘Hari ini adalah hari yang agung. Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya pada hari ini dan menenggelamkan Fir’aun beserta pasukannya. Maka Musa berpuasa pada hari ini sebagai rasa syukur dan kami turut berpuasa.’   

Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Maka kami dengan Musa lebih berhak dan lebih utama daripada kalian.’ Maka Rasulullah ﷺ berpuasa dan memerintahkan berpuasa.” (HR Bukhari dan Muslim).   


Konon katanya, kaum Quraisy juga berpuasa pada hari Asyura.   


Disebutkan dalam riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim bahwa Sayyidah Aisyah radliyallahu ‘anha berkata: “Dulu kaum Quraisy berpuasa Asyura pada masa jahiliah. Kemudian Rasulullah ﷺ memerintahkan berpuasa Asyura pula, hingga diwajibkan puasa Ramadhan.   

Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Barang siapa yang berkehendak (ingin berpuasa), maka silakan berpuasa. Dan barang siapa yang berkehendak (tak ingin berpuasa), maka tidak berpuasa.”   

Tak hanya puasa Asyura yang dianjurkan, puasa Tasu’a (hari kesembilan dari bulan Muharam) dan hari kesebelas pun juga diperintahkan oleh Nabi Muhammad ﷺ untuk berpuasa juga. Hal ini guna untuk membedakan antara ritual ibadah orang Muslim dan kaum Yahudi.   

Diriwayatkan oleh sahabat Abdullah bin Abbas radliyallahu ‘anh beliau berkata: “Nabi Muhammad ﷺ beliau bersabda, ‘Jika aku masih hidup hingga tahun depan, pasti aku akan berpuasa pada hari kesembilan’” (HR Muslim).   


Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dari sahabat Ibnu Abbas radliyallahu ‘anh, marfu‘ (disandarkan kepada Nabi Muhammad ﷺ) berkata, “Puasalah pada hari Asyura dan bedakanlah diri kalian dengan kaum Yahudi. Puasalah sehari sebelumnya atau setelahnya.”   

Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Um dan al-Imla’ menegaskan bahwa disunahkan berpuasa 3 hari; puasa Asyura, Tasu’a dan puasa hari kesebelas.   

Berdasarkan riwayat tersebut, Ustadz Ali Fikri menyimpulkan  bahwa puasa Asyura itu ada 3 tingkatan: Tingkatan yang paling rendah ialah puasa Asyura saja, kemudian atasnya adalah puasa Asyura dan puasa Tasu’a, dan yang terakhir, tingkatan yang paling tinggi adalah puasa Asyura, Tasu’a dan puasa hari kesebelas (bulan Muharram).