Keutamaan Puasa Tarwiyah dan Arafah

Dua hari sebelum Idul Adha, umat Islam disunnahkan melaksanakan puasa. Namanya puasa tarwiyah pada tanggal 8 Dzulhijjah sedangkan di tanggal 9 Dzulhijjah disebut puasa Arafah. Hari Raya Idul Adha sendiri di tahun 2024 ini jatuh pada senin , 17 Juni (10 Dzulhijjah 1445 Hijriyah).  Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul (LBM PBNU) Alhafiz Kurniawan dalam tuisuannya berjudul ‘Keutamaan Puasa Tarwiyah 8 Dzulhijjah’ menjelaskan bahwa motivasi dalam melaksanan puasa tarwiyah didasarkan pada sebuah hadits yang menyebutkan keutamaan puasa sunnah tarwiyah. 

صوم يوم التروية كفارة سنة وصوم يوم عرفة كفارة سنتين

Artinya, “Puasa hari Tarwiyah dapat menghapus dosa setahun. Puasa hari Arafah dapat menghapus dosa dua tahun,” (HR Abus Syekh Al-Ishfahani dan Ibnun Najar). Menurut keterangan Alhafiz, riwayat hadits ini oleh sebagian ahli hadits dipermasalahkan, karena memuat seorang perawi yang bermasalah. “Karena itu, mereka menyimpulkan hadits ini tidak dapat dijadikan sandaran atau hujjah syar’iyyah,”

Kendati demikian, Alhafiz kemudian mengemukakan bahwa terdapat dalil lain yang menguatkan tentang dianjurkannya beramal saleh, terutama pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah. Termasuk amal saleh adalah melaksanakan puasa sunnah.  Di antara dalil itu adalah hadits riwayat Ibnu ‘Abbas ra dalam Sunan At-Tirmidzi:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله من هذه الأيام العشر

Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Tiada ada hari lain yang disukai Allah swt untuk diisi dengan ibadah sebagaimana (kesukaan-Nya pada) sepuluh hari ini,’” (HR At-Tirmidzi). Hadits lain memperkuat anjuran amal saleh pada 10 hari pertama Dzulhijjah. Hadits berikut ini menunjukkan keutamaan amal saleh yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. 

عن ابن عباس مرفوعا: “ما من أيام العمل الصالح أحب إلى الله فيهن من هذه الأيام” -يعني عشر ذي الحجة -قالوا: ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: “ولا الجهاد في سبيل الله، إلا رجلا خرج بنفسه وماله، ثم لم يرجع من ذلك بشيء

Artinya, “Dari Ibnu Abbas dengan kualitas hadits marfu’. ‘Tidak ada hari-hari di mana amal saleh lebih disukai Allah pada hari itu dari pada hari-hari ini, maksudnya sepuluh hari Dzulhijjah.’ Kemudian para sahabat bertanya, ‘Bukan pula jihad, ya Rasulullah?’ Rasul menjawab, ‘Tidak pula jihad di jalan Allah kecuali seorang lelaki yang keluar membawa diri dan hartanya kemudian ia pulang tanpa membawa apa-apa lagi,’” (HR Bukhari). Keutamaan puasa Arafah Puasa Arafah adalah puasa sunnah yang dilaksanakan pada hari Arafah, yakni tanggal 9 Dzulhijah. Puasa ini sangat dianjurkan bagi orang-orang yang tidak menjalankan ibadah haji.  Dalam tulisan Khoirul Anam berjudul ‘Puasa Tarwiyah dan Arafah’ dijelaskan bahwa teknis pelaksanaan puasa sunnah Arafah sama dengan puasa-puasa lainnya. Adapun keutamaan puasa ini dapat ditemukan dalam hadits yang diriwayatkan Abu Qatadah rahimahullah, Rasulullah bersabda:

صوم يوم عرفة يكفر سنتين ماضية ومستقبلة وصوم يوم عاشوراء يكفر سنة ماضية 

Artinya, “Puasa hari Arafah dapat menghapuskan dosa dua tahun yang telah lepas dan akan datang, dan puasa Asyura (tanggal 10 Muharram) menghapuskan dosa setahun yang lepas” (HR Muslim).

Sumber: https://www.nu.or.id

Syarat Suci saat Tawaf dalam Ragam Pandangan Ulama

Di antara hal yang sering mengganggu pikiran jamaah haji ketika tawaf adalah soal kesucian dari najis dan hadats baik kecil maupun hadats besar. Tentu saja ini sangat baik sehingga jamaah haji selalu menjaga kesucian baik dari hadats maupun najis.   Ulama berbeda pendapat perihal kesucian dari hadats dan najis saat tawaf. Imam An-Nawawi menjelaskan ragam pandangan ulama empat mazhab tentang kesucian dari hadats dan najis saat melaksanakan tawaf.   Ulama berbeda pendapat perihal status hukum kesucian, apakah ia masuk dalam syarat sah tawaf atau masuk wajib haji yang dapat dikompensasi dengan pembayaran dam?  

قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا اشْتِرَاطُ الطَّهَارَةِ عَنْ الْحَدَثِ وَالنَّجَسِ وَبِهِ قَال مَالِكٌ وَحَكَاهُ الْمَاوَرْدِيُّ عَنْ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ وَحَكَاهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ فِي طَهَارَةِ الْحَدَثِ عَنْ عَامَّةِ الْعُلَمَاءِ وَانْفَرَدَ أَبُو حَنِيفَةَ فَقَالَ الطَّهَارَةُ مِنْ الْحَدَثِ وَالنَّجَسِ لَيْسَتْ بِشَرْطٍ لِلطَّوَافِ فَلَوْ طَافَ وَعَلَيْهِ نَجَاسَةٌ أَوْ مُحْدِثًا أَوْ جُنُبًا صَحَّ طَوَافُهُ  

Artinya, “Kami telah menyebutkan, mazhab kami (Syafi’iyah) mensyaratkan suci dari hadits dan najis [ketika tawaf]. Demikian juga pendapat Imam Malik. Al-Mawardi juga menghikayatkan demikian dari jumhur ulama. Demikian juga Ibnul Mundzir dari umumnya ulama tentang kesucian dari hadats. Imam Abu Hanifah ra berbeda sendiri. Ia berpendapat, ‘Suci dari hadats dan najis bukan syarat tawaf. Jadi, seandainya seseorang melakukan tawaf, sementara padanya terdapat najis, dalam keadaan hadats kecil, atau junub, maka tawafnya tetap sah,’” (An-Nawawi, Al-Majmu Syarhul Muhaddzab, [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah: 2010 M], juz VIII, halaman 20).  

Imam An-Nawawi melanjutkan diskusi para ulama perihal kategori suci. Apakah suci dari hadats kecil atau besar itu termasuk wajib haji? Artinya, kalau suci saat tawaf itu masuk wajib haji, maka mereka yang bertawaf dalam kondisi berhadats atau najis dan tidak mengulangnya maka akan terkena dam.   Ulama berbeda pendapat perihal kewajiban suci bagi orang yang tawaf, tetapi mereka bersepakat bahwa kesucian dari bukan bagian dari syarat sah tawaf. Dua hal ini harus dibedakan betul. Artinya, bisa saja seorang jamaah haji melakukan tawaf dalam kondisi hadats dan tetap sah tawafnya karena kesucian bukan syarat sah tawaf.   Ulama yang mewajibkan kesucian saat tawaf berpendapat, seorang jamaah melakukan tawaf dalam kondisi berhadats kecil wajib terkena dam seekor kambing. Tetapi jika hadats besar, maka ia terkena dam unta dan ia wajib mengulangi tawaf dalam kondisi suci selama masih stay di Makkah.   Terdapat dua riwayat pendapat dari Imam Ahmad:

Riwayat pertama Imam Ahmad seperti pandangan mazhab Syafi’i perihal kesucian saat tawaf.

Riwayat kedua Imam Ahmad menyebutkan, jika jamaah masih stay di Makkah, ia boleh mengulang tawafnya dalam kondisi suci. Tetapi jika sudah kembali ke Tanah Air, ia wajib menyempurnakannya dengan dam. Adapun Imam Dawud berpendapat, kesucian saat tawaf adalah wajib. Jika ada jamaah yang melakukan tawaf dalam kondisi berhadats kecil, maka itu sudah memadai (sah) kecuali dalam kondisi haidh. Sementara Al-Manshuri, ulama pengikut Imam Dawud berpendapat, kesucian merupakan syarat tawaf, seperti pandangan mazhab Syafi’i.   Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Syarah Sahih Bukhari menyebutkan bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama perihal kesucian saat tawaf berangkat dari perbedaan cara memahami hadits Sayyidatina Aisyah ra:   افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطَّهَّرِي   Artinya, “Rasulullah saw berkata kepada Aisyah ra yang sedang haidh ketika berhaji, ‘Lakukanlah apa yang dilakukan jamaah haji lain selain tawaf di Ka’bah sampai kamu suci,’” (HR Bukhari dan Muslim).   Al-Asqalani menerangkan bahwa dari hadits ini dapat dipahami bahwa hadats dapat merusak tawaf sehingga tawaf nanti dilakukan ketika seseorang dalam kondisi suci.

  وَالْحَدِيثُ ظَاهِرٌ فِي نَهْيِ الْحَائِضِ عَنِ الطَّوَافِ حَتَّى يَنْقَطِعَ دَمُهَا وَتَغْتَسِلَ لِأَنَّ النَّهْيَ فِي الْعِبَادَاتِ يَقْتَضِي الْفَسَادَ وَذَلِكَ يَقْتَضِي بُطْلَانَ الطَّوَافِ لَوْ فَعَلَتْهُ وَفِي مَعْنَى الْحَائِضِ الْجُنُب وَالْمُحْدِث وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ وَذَهَبَ جَمْعٌ مِنَ الْكُوفِيِّينَ إِلَى عَدَمِ الِاشْتِرَاطِ قَالَ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ: حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ سَأَلْتُ الْحَكَمَ، وَحَمَّادًا، وَمَنْصُورًا، وَسُلَيْمَانَ عَنِ الرَّجُلِ يَطُوفُ بِالْبَيْتِ عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ فَلَمْ يَرَوْا بِهِ بَأْسًا. وَرُوِيَ عَنْ عَطَاءٍ: إِذَا طَافَتِ الْمَرْأَةُ ثَلَاثَةَ أَطْوَافٍ فَصَاعِدًا ثُمَّ حَاضَتْ أَجْزَأَ عَنْهَا   Artinya, “Hadits ini jelas tentang larangan perempuan haidh untuk tawaf sampai darahnya terhenti dan ia mandi karena kaidah larangan dalam ibadah berkonsekuensi kerusakan (ibadah). Artinya larangan ini menuntut batalnya tawaf seandainya perempuan haidh tetap melakukan tawaf. Semakna dengan perempuan haidh ialah (status tawaf) orang junub dan berhadats kecil. Ini pandangan jumhur ulama.   Tetapi sekelompok ulama Kufah tidak menganggap suci sebagai syarat tawaf. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ghundar, dari Syu’bah, ‘Aku bertanya pada Imam Hakam, Hammad, Manshur, dan Sulaiman tentang jamaah yang bertawaf tanpa bersuci. Mereka tidak menganggapnya masalah.’ Diriwayatkan dari Imam Atha ra, ‘Jika seorang perempuan bertawaf 3 kali atau lebih putaran, lalu datang haidh, maka tawafnya memadai (sah).’” (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari, [Kairo, Darul Hadits: 2004 M/1424 H], juz III, halaman 571-572).   Imam Syamsuddin Muhammad Ar-Ramli memberikan catatan tambahan atas keterangan Majmuk karya Imam Nawawi, “Hanya Imam Abu Hanifah sendiri yang berpendapat bahwa kesucian bukan syarat sah tawaf. Sementara ulama pengikutnya berbeda pendapat perihal wajib suci dan wajib dam jika seorang jamaah melakukan tawaf dalam kondisi hadats.”   Menurut Ar-Ramli, sejatinya mereka tidak sendiri. Mereka hanya sendiri di tengah tiga mazhab lainnya. Tetapi sebenarnya, satu riwayat Imam Ahmad menyebutkan bahwa kesucian saat tawaf merupakan wajib haji yang dapat diganti dengan dam. Demikian juga riwayat ulama-ulama bermazhab Maliki yang memiliki pendapat serupa riwayat pendapat Imam Ahmad.  

وَبَحَثَ بَعْضُهُمْ أَنَّهَا إنْ كَانَتْ شَافِعِيَّةً تُقَلِّدُ الْإِمَامَ أَبَا حَنِيفَةَ أَوْ أَحْمَدَ عَلَى إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عِنْدَهُ فِي أَنَّهَا تَهْجُمُ وَتَطُوفُ بِالْبَيْتِ وَيَلْزَمُهَا بَدَنَةٌ وَتَأْثَمُ بِدُخُولِهَا الْمَسْجِدَ حَائِضًا، وَيُجْزِيهَا هَذَا الطَّوَافُ عَنْ الْفَرْضِ لِمَا فِي بَقَائِهَا عَلَى الْإِحْرَامِ مِنْ الْمَشَقَّةِ  

Artinya, “Sebagian ulama membahas, kalau ada perempuan haidh bermazhab Syafi’i yang bertaklid kepada Imam Abu Hanifah atau Imam Ahmad pada salah satu dari dua riwayatnya perihal masuk [ke Masjidil Haram] dan bertawaf di Ka’bah, maka ia wajib menyembelih dam unta dan berdosa karena masuk masjid dalam keadaan haidh, tetapi tawaf rukunnya tetap memadai [sah] karena kesulitan bila terlalu lama dalam status ihram,” (Syamsuddin Muhammad Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, [Beirut, Darul Fikr: 2009 M/1429-1430 H], juz III, halaman 366).   Sementara Imam Abu Hanifah berpegangan pada Surat Al-Haji ayat 29:   وَلْيَطَّوَّفُوا۟ بِٱلْبَيْتِ ٱلْعَتِيقِ   Artinya, “Hendaklah mereka tawaf di Baitullah yang tua sejarahnya,” (Surat Al-Hajj ayat 29).   Pada ayat ini, Allah memerintahkan secara mutlak tawaf tanpa mensyaratkan suci di dalamnya. Dengan demikian, orang boleh tawaf dalam kondisi tidak suci dari hadats.   Senada dengan Ar-Ramli, Syekh As-Syarqawi mengatakan bahwa jamaah haji perempuan yang bermazhab Syafi’i dapat bertaqlid kepada mazhab Abu Hanifah perihal suci yang hanya wajib haji dalam tawaf sehingga aktivitas tawafnya dalam kondisi haid tetap sah meski dia akan terkena dam.  

  وَبَحَثَ بَعْضُهُمْ أَنَّهَا إنْ كَانَتْ شَافِعِيَّةً تُقَلِّدُ الْإِمَامَ أَبَا حَنِيفَةَ فَإنَّ الطَّهَارَةَ عِنْدَهُ وَاجِبَةٌ فِي الطَّوَافِ لَيْسَتْ شَرْطًا فَإِذَا فَعَلَتْهُ صَحَّ مَعَ وُجُوْبِ بَدَنَةٍ عَلَى نَحْوِ حَائِضٍ وَشَاةٍ عَلَى مُحْدِثٍ وَلَو بِجَنَابَةٍ أَوْ الْإِمَامَ أَحْمَدَ عَلَى إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ فِي أَنَّهَا تَهْجُمُ وَتَطُوفُ بِالْبَيْتِ وَيَلْزَمُهَا بَدَنَةٌ وَتَأْثَمُ بِدُخُولِهَا الْمَسْجِدَ حَائِضًا، وَيُجْزِئُهَا هَذَا الطَّوَافُ عَنْ الْفَرْضِ لِمَا فِي بَقَائِهَا عَلَى الْإِحْرَامِ مِنْ الْمَشَقَّةِ

  Artinya, “Sebagian ulama membahas, kalau ada perempuan haid bermazhab Syafi’i bertaqlid kepada Imam Abu Hanifah karena suci menurutnya hanya wajib, bukan syarat dalam tawaf, – kalau ia juga bertawaf -, maka sah tawafnya dengan wajib dam unta bagi perempuan haid, dam kambing bagi jamaah tawaf yang berhadats meski dengan junub; atau kepada Imam Ahmad pada salah satu dari dua riwayatnya perihal masuk [ke Masjidil Haram] dan bertawaf di Ka’bah, maka ia wajib menyembelih dam unta dan berdosa karena masuk masjid dalam keadaan haid, tetapi tawaf rukunnya tetap memadai [sah] karena kesulitan bila terlalu lama dalam status ihram,” (Abdullah bin Hijazi As-Syarqawi, Hasyiyatus Syarqawi ‘ala Tuhfatit Thullab, [Beirut, Darul Fikr: 2006 M/1426-1427 H], juz I, halaman 461).   Demikian keterangan yang dapat kami sampaikan. Semoga dapat diterima dengan baik.

Sumber: https://islam.nu.or.id/syariah/syarat-suci-saat-tawaf-dalam-ragam-pandangan-ulama-ebEWr

Editor: Alima sri sutami mukti

Keutamaan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah, Berpahala Lebihi Jihad

Memasuki 10 hari pertama bulan Dzulhijjah, muslim harus tahu terdapat deretan keutamaan di dalamnya. Pada waktu tersebut, muslim juga dianjurkan memperbanyak amal saleh.
Mengutip buku Misteri Panjang Umur: Mendapatkan Pahala Besar dengan Amalan Ringan dan Singkat karya Muhammad Ibrahim an-Nu’aim, disebutkan bahwa Allah SWT mencintai sepuluh hari pertama pada bulan Dzulhijjah. Hal ini sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbas RA.

Disebutkan dalam riwayat lainnya bahkan Rasulullah SAW bersabda, “Hari-hari di dunia yang paling utama adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” (HR Ahmad dan Bukhari)

Lebih lanjut, Muhammad Ibrahim an-Nu’aim menjelaskan bahwa sesungguhnya melakukan amal saleh, apa saja bentuknya pada hari-hari itu, pahalanya melebihi pahala beberapa bentuk jihad. Setiap muslim perlu bersungguh-sungguh memerangi hawa nafsu dan menahan godaan setan pada sepuluh hari bulan Dzulhijjah agar dapat memanfaatkannya keutamaannya.

5 Keutamaan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah
1. Allah SWT Bersumpah dengan Hari-hari Tersebut
Ali Mustafa Yaqub dalam buku” Kalau Istiqamah Nggak Bakal Takut Nggak Bakal Sedih“, menyebutkan keutamaan yang pertama dari sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, ialah Allah SWT bersumpah pada hari tersebut dan termaktub dalam surah Al Fajr ayat 1-2:

وَالْفَجْرِ . وَلَيَالٍ عَشْرٍ

Artinya: “Demi waktu fajar, demi malam yang sepuluh.”

Para ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sepuluh malam itu adalah sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Selain itu, mengenai keutamaan dasa dina (sepuluh hari) pertama Dzulhijjah serupa dengan sepuluh hari terakhir yang ada di bulan bulan Ramadan.


2. Hari-hari yang Paling Utama
Mengenai keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah selanjutnya, Muhammad Nurani dalam buku “Dahsyatnya Amalan Harian Rasulullah” Cara Jitu Mengaktifkan Kartu Ajaib Anti Api Neraka, menjelaskan bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama daripada hari lainnya di dunia.

Rasulullah SAW sendiri yang menerangkan keutamaan tersebut dalam sebuah hadits yang berbunyi, “Hari-hari di dunia yang paling utama adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” (HR Bazzar dari Jabir)

Dalam riwayat lain juga dijelaskan dalam hadits berikut, “Tidak ada hari-hari yang paling agung di sisi Allah SWT dan paling dicintai amalan padanya, selain ayyaamul ‘asyar (sepuluh hari pertama Dzulhijjah), maka perbanyaklah padanya tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir.” (HR Thabrani)

3. Terdapat Hari Arafah
Alexander Zulkarnaen dalam buku” Apakah Amalan Kita Diterima Allah SWT?” menjelaskan bahwa sepuluh hari pertama Dzulhijjah menjadi utama sebab di dalamnya terdapat hari Arafah yang menjadi hari dibebaskan api neraka bagi mereka yang bersungguh-sungguh dalam ibadah.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang berbunyi,

مَا مِنْ يَوْمِ أكثر من أَنْ يُعْتِقَ اللهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِن يَوْمِ عَرَفَةَ، وَإِنَّهُ لَيَدْعُو ثُمَّ يُبَاهِي بِهِمُ الْمَلائِكَةِ فَيَقُولُ : مَا أَرَادَ هؤلاء

Artinya: “Tidak ada suatu hari dimana Allah banyak membebaskan hamba-Nya dari api neraka selain hari Arafah. Pada hari itu Allah mendekati hamba-Nya dan membanggakan mereka di hadapan para malaikat.” (HR Muslim)

4. Hari Berkumpulnya Amal Saleh
Masih merujuk sumber sebelumnya, menurut para ahli tafsir, 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah adalah waktu berkumpulnya semua amal-amal saleh, yaitu salat, zikir, puasa, menyembelih kurban, infak, dan sebagainya.

5. Pahalanya Lebih dari Jihad
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, keutamaan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah yakni, tiap amal saleh pada hari-hari tersebut adalah lebih utama dibandingkan jihad. Hal ini dijelaskan dalam riwayat hadits yang dinukil dari Kitab Shahih Bukhari.

Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “‘Tidak ada hari-hari, di mana amal sholeh (yang dilakukan) pada hari ini lebih Allah cintai.’ Yaitu sepuluh hari. Para sahabat pun bertanya, ‘Rasulullah, walaupun jihad di jalan Allah?’ Rasul menjawab, ‘Bahkan jihad di jalan Allah sekalipun, kecuali seorang laki-laki yang keluar (berperang) dengan sepenuh jiwanya dan hartanya dan tidak (mengharapkan) ada imbalan dari semua itu’.” (HR Abu Dawud)

Adapun amalan lain yang dapat dilakukan pada 10 hari pertama selain memperbanyak tasbih, tahmid, tahlil dan takbir adalah amalan puasa. Puasa sunnah Dzulhijjah dilakukan mulai tanggal 1-9 Dzulhijjah.

Amalan pada 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah
1. Menunaikan Haji dan Umrah
Amalan pertama, yakni ibadah haji dan umrah. Ibadah haji yang hanya dikerjakan pada bulan Dzulhijjah juga termasuk rukun ke-5. Ganjaran bagi mereka yang mendapat haji mabrur adalah surga.

Sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Dari umrah ke umrah lainnya adalah penghapus dosa antara keduanya, dan haji mabrur tidak ada balasan untuknya kecuali surga.” (HR Bukhari)

2. Perbanyak Puasa Sunnah
Mengutip buku Minhajul Muslimah karya Muhammad Syafii Masykur, menerangkan bahwa pada awal bulan itu, disunahkan untuk berpuasa, yaitu dari tanggal 1-9, terutama puasa Arafah. Sementara tanggal 10, diharamkan untuk berpuasa.

Dinukil dari buku Al-Lu’lu’ wal Marjan 2: Hadits-hadits Pilihan yang Disepakati Al-Bukhari-Muslim karya Muhammad Fuad Abdul Baqi terjemahan Taufik Munir, diterangkan keutamaan puasa Arafah, Nabi SAW bersabda:

مَا مْنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْماً فِي سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ بَاعَدَ اللهُ بذلِكَ الْيَوْمِ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفاً

Artinya: “Tidak seorang hamba pun melakukan puasa satu hari di jalan Allah, kecuali dengan (puasa) hari itu Allah menjauhkan wajahnya dari api neraka sejauh (perjalanan) tujuh puluh tahun.” (HR Bukhari-Muslim)


3 Puasa sebelum Idul Adha, Berpahala Hapus Dosa Setahun
Nabi SAW juga bersabda:

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ

Artinya: “Puasa di hari Arafah, aku berharap kepada Allah bisa menghapus dosa satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya.” (HR Bukhari-Muslim)

3. Memperbanyak Dzikir
Muhammad Arifin Rahman dalam buku Berlimpah Harta dengan Beragam Dzikir, Shalat, dan Puasa Khusus, menyebutkan amalan yang utama ketika sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ialah berdzikir.

Seperti anjuran Rasulullah SAW pada sebuah hadits yang berbunyi, “Tidak ada hari-hari yang paling agung di sisi Allah Swt. dan paling dicintai amalan padanya, selain ayyamul ‘asyr (sepuluh hari pertama Dzulhijjah), maka perbanyaklah padanya tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir.” (HR Thabrani)

4. Berkurban
Dikutip dari buku Fikih Madrasah Ibtidaiyah karya Muhaemin Nur Idris dan Nurzaman, dijelaskan bahwa kurban pada Idul Adha merupakan sunnah yang dianjurkan. Tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Allah SWT memerintahkan muslim untuk berkurban dalam Al-Qur’an surah Al Kautsar ayat 2 yang berbunyi,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ ٢

Artinya: “Maka, laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah!”

5. Memperbanyak Sedekah
Memperbanyak sedekah merupakan amalan yang dianjurkan pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah sebab pahalanya dilipatgandakan. Mengenai perintah sedekah, Allah SWT berfirman dalam surah Al Baqarah ayat 254 yang berbunyi,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِمَّا رَزَقۡنَٰكُم مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَ يَوۡمٞ لَّا بَيۡعٞ فِيهِ وَلَا خُلَّةٞ وَلَا شَفَٰعَةٞۗ وَٱلۡكَٰفِرُونَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ٢٥٤

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami anugerahkan kepadamu sebelum datang hari (Kiamat) yang tidak ada (lagi) jual beli padanya (hari itu), tidak ada juga persahabatan yang akrab, dan tidak ada pula syafaat. Orang-orang kafir itulah orang-orang zalim.”

Editor : Alima sri sutami mukti

Amalan yang Dianjurkan pada 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah

Bulan Dzulhijjah merupakan salah satu dari 4 bulan yang mulia (asyhurul hurum). Kemuliaan itu di antaranya terbukti dengan anjuran Nabi Muhammad saw untuk melaksanakan ibadah tertentu di dalamnya. Bahkan, ibadah di bulan terakhir tahun Hijriah ini menyimpan keistimewaan sendiri bagi umat Islam yang dapat menunaikannya. Ibadah di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah ini disebutkan oleh Nabi Muhammad saw lebih mulia daripada jihad fi sabilillah.

Rasulullah bersabda: “Tidak ada hari dimana amal shalih padanya lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yakni 10 hari pertama Dzulhijjah. Para sahabat bertanya: ‘Tidak juga dari jihad fi sabilillah?’ Beliau menjawab: ‘Jihad fi sabilillah juga tidak, kecuali seseorang yang keluar dengan diri dan hartanya lalu ia tidak kembali dengan satu pun dari keduanya.” Selain melaksanakan kurban dan shalat Idul Adha, pada sepuluh awal Dzulhijah juga dianjurkan memperbanyak ibadah sunnah semisal puasa dan zikir. Hal ini sebagaimana dijelaskan Imam An-Nawawi dalam Al-Adzkar an-Nawawiyah, bahwa zikir di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah itu disunnahkan.

“Ketahuilah bahwa disunnahkan memperbanyak zikir pada sepuluh awal Dzulhijjah dibanding hari lainnya. Dan di antara sepuluh awal itu memperbanyak zikir pada hari Arafah sangat disunnahkan,” tulis Hengki Ferdiansyah dalam artikel Amalan di Sepuluh Awal Dzulhijjah sebagaimana dikutip NU Online pada Senin (19/6/2023). Imam Nawawi mendasarkan pandangannya ini pada Al-Qur’an surat al-An’am ayat 28, “Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan…..” Imam An-Nawawi, Ibnu Abbas, As-Syafi’i, dan mayoritas ulama, lanjut Hengki, memahami bahwa kata ayyamam ma’lumat (hari-hari yang telah ditentukan) pada ayat di atas adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. 

Selain itu, Nabi Muhammad saw sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad juga menganjurkan untuk memperbanyak berzikir di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah itu.

“Tidak ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan amal saleh di dalamnya lebih dicintai oleh-Nya daripada hari yang sepuluh (sepuluh hari pertama dari Dzulhijjah), karenanya perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid di dalamnya,” (HR Ahmad). Oleh karena itu, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak zikir pada sepuluh pertama Dzulhijjah, lebih khusus lagi di hari Arafah, yaitu tanggal 9 Dzulhijah. Di antara zikir yang diperbanyak adalah melafalkan tahlil, takbir, dan tahmid. Selain itu, umat Islam juga dianjurkan untuk melaksanakan ibadah puasa dari tanggal 1 sampai 9 Dzulhijjah. Shalat malam di hari-hari tersebut juga memiliki pahala yang lebih dari biasanya. Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, bahwa puasa di hari pertama bulan Dzulhijjah ini setara dengan setahun berpuasa sunnah. Sedangkan shalat malam setara shalat pada malam Lailatul Qadar. “Tidak ada hari-hari yang lebih Allah sukai untuk beribadah selain sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, satu hari berpuasa di dalamnya setara dengan satu tahun berpuasa, satu malam mendirikan shalat malam setara dengan shalat pada malam Lailatul Qadar” (HR At-Trmidzi).

sumber : https://www.nu.or.id

Pengertian Kurban, Hukum dan Keutamaannya

Sebentar lagi umat Islam akan memasuki bulan Dzulhijjah. Dan salah satu yang khas dari bulan tersebut adalah penyembelihan hewan kurban. Dan dalam tulisan ini akan dijelaskan pengertian, hukum dan keutamaan berkurban.  


1. Pengertian
Kata kurban menurut etimologi berasal dari bahasa Arab qariba – yaqrabu – qurban wa qurbanan wa qirbanan, yang artinya dekat (Lihat: Ibn Manzhur: 1992:1: 662; Munawir: 1984: 1185). Maksudnya yaitu mendekatkan diri kepada Allah, dengan mengerjakan sebagian perintah-Nya. 

yang dimaksud dari kata kurban yang digunakan bahasa sehari-hari, dalam istilah agama disebut “udhhiyah” bentuk jamak dari kata “dhahiyyah” yang berasal dari kata “dhaha” (waktu dhuha), yaitu sembelihan di waktu dhuha pada tanggal 10 sampai dengan tanggal 13 bulan Dzulhijjah. Dari sini muncul istilah Idul Adha.   

Dari uraian tersebut, dapat dipahami yang dimaksud dari kata qurban atau udhhiyah dalam pengertian syara, ialah menyembelih hewan dengan tujuan beribadah kepada Allah pada hari raya haji atau Idul Adha dan tiga hari Tasyriq, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 bulan Dzulhijjah.    


2. Hukum Kurban   
 

Ibadah kurban hukumnya adalah sunah muakkad, atau sunah yang dikuatkan. Nabi Muhammad Shallallâhu Alaihi Wasallam tidak pernah meninggalkan ibadah kurban sejak disyariatkannya sampai beliau wafat. Ketentuan kurban sebagai sunah muakkad dikukuhkan oleh Imam Malik dan Imam al-Syafi’i. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa ibadah kurban bagi penduduk yang mampu dan tidak dalam keadaan safar (bepergian), hukumnya adalah wajib. (Ibnu Rusyd al-Hafid: tth: 1/314).   3. Keutamaan Kurban   

Menyembelih kurban adalah suatu sunah Rasul yang sarat dengan hikmah dan keutamaan. Hal ini didasarkan atas beberapa haditst Nabi Shallallâhu Alaihi Wasallam, antara lain:  


عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا

لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنْ الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا

Artinya: Aisyah menuturkan dari Rasulullah Shallallâhu Alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda: Tidak ada suatu amalan yang dikerjakan anak Adam (manusia) pada hari raya Idul Adha yang lebih dicintai oleh Allah dari menyembelih hewan. Karena hewan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kuku kakinya. Darah hewan itu akan sampai di sisi Allah sebelum menetes ke tanah. Karenanya, lapangkanlah jiwamu untuk melakukannya. (Hadits Hasan, riwayat Al-Tirmidzi: 1413 dan Ibn Majah: 3117)   


Menurut Zain al-Arab, ibadah yang paling utama pada hari raya Idul Adha adalah menyembelih hewan untuk kurban karena Allah. Sebab pada hari kiamat nanti, hewan itu akan mendatangi orang yang menyembelihnya dalam keadaan utuh seperti di dunia, setiap anggotanya tidak ada yang kurang sedikit pun dan semuanya akan menjadi nilai pahala baginya. Kemudian hewan itu digambarkan secara metaphoris akan menjadi kendaraanya untuk berjalan melewati shirath. Demikian ini merupakan balasan dan bukti keridhaan Allah kepada orang yang melakukan ibadah kurban tersebut. (Abul Ala al-Mubarakfuri: tt: V/62)   


Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallâhu Alaihi Wasallam bersabda: Siapa yang memiliki kemampuan untuk berkurban, tetapi ia tidak mau berkurban, maka sesekali janganlah ia mendekati tempat shalat kami. (HR Ahmad dan Ibnu Majah).   


Masih banyak lagi sabda Nabi yang lain, menjelaskan tentang keutamaan berkurban. Bahkan pada haditst terakhir, disebutkan bahwa orang yang sudah mampu berkorban, tetapi tidak mau melaksanakannya, maka ia dilarang mendekati tempat shalat Rasulullah atau tempat (majelis) kebaikan lainya.   


Ibadah kurban yang dilaksanakan pada hari raya Idul Adha sampai hari tasyrik, tiada lain bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Disamping itu, kurban juga berarti menghilangkan sikap egoisme, nafsu serakah, dan sifat individual dalam diri seorang muslim. Dengan berkurban, diharapkan seseorang akan memaknai hidupnya untuk mencapai ridha Allah semata. Ia “korbankan” segalanya (jiwa, harta, dan keluarga) hanya untuk-Nya. Oleh karena itu, pada hakikatnya, yang diterima Allah dari ibadah kurban itu bukanlah daging atau darah hewan yang dikurbakan, melainkan ketakwaan dan ketulusan dari orang yang berkurban, itulah yang sampai kepada-Nya.  Demikian penjelasan ini agar menjadi renungan bagi mereka yang diberikan kelebihan harta untuk menjalankan ibadah kurban. Apalagi hewan dan daging tersebut diberikan kepada orang dan kalangan yang memang jarang makan daging. Wallahu a’lam.

sumber : https://jatim.nu.or.id/keislaman/pengertian-kurban-hukum-dan-keutamaannya-79kPn