Misteri Hidayah Alloh

Terbukti betapa banyak ulama, khususnya dari Ahlussunnah wal Jama’ah yang dijebloskan ke pengapnya penjara tanpa melalui proses pengadilan terlebih dahulu. Seperti yang dialami oleh Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri Mazhab Hanbali.

Saat itu, Mu’tazilah memaksakan doktrinnya yang menyebutkan bahwa al-Qur’an adalah makhluk karena itu bersifat baru (hadith), sementara Imam Hanbali berpendapat sebaliknya, bahwa al-Qur’an bersifat qadim (dahulu tanpa diawali ketiadaan) karena Ia merupakan kalamullah (firman Allah).

Syekh Abdullah al-Harari (1910 M.) yang masyhur dengan julukan “al-Habshi”, menulis dalam salah satu karyanya al-Gharat al-Imaniyyah fi Radd Mafasid al-Tahririyyah yang membantah pendapat Imam Taqiyyuddin al-Nabhani (L. 1327 H./1909 M.), pendiri Hizbut Tahrir dalam karyanya al-Shahsiyyah al-Islamiyyah yang menyatakan bahwa semua perbuatan manusia (af’al al-insan) tidak ditentukan kepastian Tuhan (qadla’) dan kepastian Tuhan tidak dapat menjangkau perbuatan manusia karena dengan kemampuan manusia itulah semua perbuatannya bisa dilakukan dengan kehendaknya dan pilihan rasionalnya.

Lebih lanjut al-Nabhani mengkaitkan ”pahala” (al-mathubah) dan ”siksaan” (al-’uqubah) berdasar petunjuk (al-hidayah) dan penyesatan (al-dlalal) Tuhan  mengindikasikan bahwa suatu perbuatan manusia itu dari murni manusia itu sendiri, bukan dari Tuhan. Inilah yang dibantah oleh Syekh Abdullah al-Harari dan seluruh ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Bahwa pandangan al-Nabhani di atas bertentangan (mukhalif) dengan nash al-Qur’an dan Hadis yang sarih (jelas teks dan maknanya).

Di antara firman Allah dalam QS al-Furqan (25): 2, tepatnya di bagian akhir ayat ini, dinyatakan bahwa ”Allah swt menciptakan segala sesuatu, lalu menetapkan ukuran-ukurannya dengan tepat”. Demikian pula dalam QS al-Saffat (37): 96, yang maknanya ”Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. Juga kejelasan makna firman Allah yang langsung bisa didapatkan dari redaksi teks (’ibarat al-nass) QS. al-Qamar (54): 49, yaitu ”Sungguh, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran”.

Al-Harari selanjutnya mengajukan argumen, yakni ”sesuatu” di sini mencakup segala sesuatu yang ada (al-wujud) mencakup hal-hal yang bersifat fisik (al-ajsam), gerak-gerik manusia (harakat al-’ibad), dan diamnya (sukun). Pun demikian dengan perbuatan manusia sehari-hari (ikhtiyari) seperti makan, minum, dan kegiatan lainnya, juga perbuatan yang tidak dapat dihindari (idltirari), seperti sakit, terkena musibah, dan mati.

Perbuatan ikhtiyari manusia dari segi kuantitas tentu jauh lebih banyak daripada yang non-ikhtiyari (idltirari). Oleh karena itu, mengatakan bahwa eksistensi ciptaan manusia dalam wujud perbuatan manusia sehari-hari itu lebih banyak kuantitasnya daripada ciptaan Allah merupakan pernyataan yang keliru dan menyesatkan.

Demikian pula pandangan al-Nabhani di atas bertentangan dengan sejumlah Hadis sarih dan sahih yang dikutip al-Harari, di antaranya hadis riwayat Imam Muslim dan Imam Baihaqi yang artinya bahwa segala sesuatu telah ditentukan takdirnya sampai sifat malas (al-’ajz) dan potensi cerdas (al-kays).

Imam al-Hakim dan Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Hudzaifah menyebutkan suatu Hadis, yang maknanya, ”Sesungguhnya Allah swt adalah Dzat Yang Maha Mencipta sesuatu yang mengkreasi dan hasil kreasinya.” Imam Turmudzi juga meriwayatkan Hadis sahih dalam kitab Sunan-nya yang menyatakan ”ada 6 (enam) orang di mana Allah swt dan aku (Nabi Muhammad saw), juga setiap Nabi yang mesti diterima (mujab) doanya melaknat orang yang menambah-nambahkan (merubah) al-Qur’an, orang yang mendustakan takdir Allah.”

Dari sini menjadi jelas bahwa pada dasarnya perbuatan manusia (sengaja hanya dibahas global) dan urusan hidayah adalah murni ciptaan Allah sebagaimana yang ditegaskan dalam QS al-Qasas (28): 56 yang menyatakan, ”Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”.

Untuk mendukung uraian di atas, Imam Ahmad Shihab al-Din bin Salamah al-Qalyubi dalam karyanya ”al-Nawadir” (halaman 17) pada hikayah ke-25 menceritakan betapa sekelompok pencuri (al-lusus) yang sudah merajai sejumlah wilayah pada akhirnya bertobat. Hati mereka terketuk dan menjadi sadar akan masa lalu mereka yang kelam setelah kedapatan menyaksikan langsung di hadapan mata kepala mereka sendiri, bahwa anak dari keluarga yang mereka singgahi untuk bermalam, saat itu dalam kondisi lumpuh.

Namun di kesempatan lain, sekelompok penyamun itu menyaksikan sang anak sembuh total dari penyakit lumpuhnya. Mereka penasaran untuk bertanya perihal kesembuhan sang anak. Akhirnya mereka mendapat jawaban, sang anak sembuh karena mendapatkan suatu keberkahan setelah meminum air sisa mereka saat bertamu. Di akhir cerita, Imam al-Qalyubi menulis kelanjutan para pencuri itu setelah bertobat, mereka berbalik 180 derajat, menjadi sekelompok pejuang agama (jumlat al-ghuzat wa al-mujahidin) sampai meninggalnya.

Imam al-Hakim dan Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Hudzaifah menyebutkan suatu Hadis, yang maknanya, ”Sesungguhnya Allah swt adalah Dzat Yang Maha Mencipta sesuatu yang mengkreasi dan hasil kreasinya.” Imam Turmudzi juga meriwayatkan Hadis sahih dalam kitab Sunan-nya yang menyatakan ”ada 6 (enam) orang di mana Allah swt dan aku (Nabi Muhammad saw), juga setiap Nabi yang mesti diterima (mujab) doanya melaknat orang yang menambah-nambahkan (merubah) al-Qur’an, orang yang mendustakan takdir Allah.”

Dari sini menjadi jelas bahwa pada dasarnya perbuatan manusia (sengaja hanya dibahas global) dan urusan hidayah adalah murni ciptaan Allah sebagaimana yang ditegaskan dalam QS al-Qasas (28): 56 yang menyatakan, ”Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”.

Untuk mendukung uraian di atas, Imam Ahmad Shihab al-Din bin Salamah al-Qalyubi dalam karyanya ”al-Nawadir” (halaman 17) pada hikayah ke-25 menceritakan betapa sekelompok pencuri (al-lusus) yang sudah merajai sejumlah wilayah pada akhirnya bertobat. Hati mereka terketuk dan menjadi sadar akan masa lalu mereka yang kelam setelah kedapatan menyaksikan langsung di hadapan mata kepala mereka sendiri, bahwa anak dari keluarga yang mereka singgahi untuk bermalam, saat itu dalam kondisi lumpuh.

Namun di kesempatan lain, sekelompok penyamun itu menyaksikan sang anak sembuh total dari penyakit lumpuhnya. Mereka penasaran untuk bertanya perihal kesembuhan sang anak. Akhirnya mereka mendapat jawaban, sang anak sembuh karena mendapatkan suatu keberkahan setelah meminum air sisa mereka saat bertamu. Di akhir cerita, Imam al-Qalyubi menulis kelanjutan para pencuri itu setelah bertobat, mereka berbalik 180 derajat, menjadi sekelompok pejuang agama (jumlat al-ghuzat wa al-mujahidin) sampai meninggalnya.

Editor : Alima sri sutami mukti

Kurban dan Keteladanan Keluarga Nabi Ibrahim

Idul Adha adalah istilah yang terdiri dari dua kata, yaitu Id dan Adha. Id secara bahasa artinya kembali dan Adha artinya pengorbanan. Artinya pada hari ini, kita harus kembali pada semangat perjuangan dan pengorbanan demi tegaknya agama Allah di muka bumi ini, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim as. Dengan ketegaran dan kesabaran hati, beliau menerima dan menjalankan perintah Allah untuk menyembelih putra tercinta, Ismail yang kelahirannya merupakan penantian panjang. Pengorbanan besar ini diabadikan oleh Allah swt dalam Al-Qur’an pada surat al-Shaffat, ayat 102:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ. 

Artinya: “Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.” Pengorbanan yang dilakukan dalam ibadah kurban tidak sekedar diterima oleh Allah sebagai sebuah ketakwaan yang mendatangkan pahala dan ridha Allah, tetapi juga diterima oleh orang yang tidak mampu sebagai sebuah kegembiraan yang bisa dirasakan satu kali dalam setahun, yaitu pada hari raya Idul Adha. Hal ini tergambar dalam firman Allah pada surat Al-Hajj, ayat 37:

لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ Artinya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kalian supaya kalian mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kalian. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” Imam al-Sya’rawi menjelaskan ayat ini bahwa Allah tidak mengambil daging hewan yang dikurbankan, tetapi orang-orang yang membutuhkan yang akan mengambil dan menerima manfaat tersebut. Syari’at berkurban adalah bentuk respons agama terhadap ketimpangan sosial untuk menciptakan keseimbangan di tengah masyarakat. Cinta, dan Kepedulian pada Sesama Manusia yang hidup dalam kelompok masyarakat bukan seperti robot yang dapat disetting dalam menjalani kehidupannya, sehingga agama memiliki peran untuk mendorong orang kaya memiliki kepedulian kepada orang miskin. Hal ini akan berdampak pada hubungan baik antara mereka. Tidak ada lagi rasa iri dan dengki yang dimiliki orang miskin kepada orang kaya, bahkan orang miskin akan mendoakan kebaikan dan keberkahan untuk orang kaya. Sidang Idul Adha yang Berbahagia Dari sudut pandang yang berbeda, kita melihat bahwa perbuatan baik akan berdampak baik juga kepada pelakunya. Dampak baik ini bisa dilihat dari dua sudut pandang. Pertama dampak baik dalam bentuk kebahagiaan dan keselamatan di dunia. Orang yang berbuat baik kepada orang lain, maka akan mendapatkan penghormatan dari orang lain. Jika ia mengalami musibah, maka orang lain akan berempati kepadanya. Jika musibah itu datang menimpa hartanya, maka orang lain akan merasa sedih dan turut berduka. Imam al-Sya’rawi mengatakan: “Kamu bisa melihat sendiri bahwa orang yang berbagi kenikmatan yang dimiliki, jika tertimpa musibah dari segi materi, maka orang lain akan merasa sedih dan merasa kehilangan.” Selain itu, orang lain juga akan mendoakan kebaikan kepadanya. Apabila orang lain mendoakan kebaikan untuknya, maka hendaknya ia mendoakan kembali dengan doa yang lebih baik agar pahala kebaikannya di akhirat tidak berkurang. Kedua, kebaikan seseorang di dunia akan mendatangkan kebaikan, pahala, dan surga di akhirat. Dalam Kitab Hadaiq al-Auliya’, karya imam Ibn al-Mulaqqin, imam ‘Ali ibn Husain ibn ‘ali ibn Abi Thalib berkata ketika ada orang yang datang untuk meminta sesuatu kepadanya maka ia menyambutnya dan berkata: “Selamat datang kepada orang yang datang membawa bekalku di akhirat nanti”. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Allah swt dalam surat Al-Baqarah, ayat 272:

وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنْفُسِكُمْ وَمَا تُنْفِقُونَ إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ

  Artinya: “Dan apa pun harta yang kalian infakkan di jalan Allah, maka pahalanya itu untuk diri kalian sendiri. Dan janganlah kalian berinfak melainkan karena mencari ridha Allah. Dan apa pun harta yang kalian infakkan, niscaya kalian akan diberi pahala secara penuh dan kalian sedikit pun tidak akan dirugikan.” Sidang Idul Adha yang berbahagia Di sisi lain, Nabi Muhammad saw menggunakan ungkapan yang bernada ancaman kepada orang yang tidak mau kurban:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا.

Artinya: “Dari Abu Hurairah, berkata, Rasulullah saw. bersabda “Barang siapa yang memiliki kelapangan rizki, tetapi tidak berkurban, maka janganlah mendekati tempat shalat kami (turut serta shalat Idul Adha berjamaah).” Hadits ini tidak berarti larangan shalat atau ketidak-absahan shalat orang yang tidak mau kurban. Akan tetapi Nabi mencegah orang yang tidak mau kurban untuk berkumpul bersama-sama orang yang mau berkurban dan beribadah kepada Allah. Suasana salat Idul Adha berjamaah menggambarkan kebersamaan antara mereka yang mampu dan tidak mampu. Seluruh lapisan masyarakat Muslim menyatu dalam suasana kebahagiaan. Yang mampu bahagia karena berbagi kenikmatan dengan berkurban dan yang tidak mampu bahagia karena merasakan kenikmatan menerima daging kurban. Hari raya adalah hari kegembiraan untuk semua kalangan. Idul Adha juga seharusnya menjadi hari kegembiraan bagi setiap umat Islam. Oleh karena itu, Allah mensyariatkan kurban di hari raya Idul Adha agar seluruh lapisan masyarakat Muslim dapat bergembira di hari raya tersebut. Sidang Idul Adha yang Berbahagia Ibadah kurban juga ibadah yang selalu dilakukan oleh Nabi Muhammad saw setiap tahun dalam rangka bersyukur atas nikmat Allah yang telah diberikan dan mengagungkan agama Allah di bumi. Sebagaimana yang diriwayatkan imam al-Tirmidzi dalam kitab Sunan al-Tirmidzi:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: أَقَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالمَدِينَةِ عَشْرَ سِنِينَ، يُضَحِّي كُلَّ سَنَةٍ

Artinya: “Dari Ibn ‘Umar, berkata: Rasulullah saw tinggal di kota Madinah selama 10 tahun. Beliau selalu melaksanakan kurban setiap tahun.” Melaksanakan perintah Allah adalah simbol upaya seorang hamba untuk menjadikan dirinya lebih dekat dengan Allah. Dalam konteks ibadah kurban, Nabi memberikan ilustrasi bagaimana proses kedekatan hamba dengan Allah melalui sabda yang diriwayatkan oleh imam al-Tirmidzi dalam kitab Sunan al-Tirmidzi:

مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنْ الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا 

Artinya: “Tidak ada suatu amalan yang dikerjakan anak Adam (manusia) pada hari raya Idul Adha yang lebih dicintai oleh Allah dari menyembelih hewan. Karena hewan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kuku kakinya. Darah hewan itu akan sampai di sisi Allah sebelum menetes ke tanah. Karenanya, lapangkanlah jiwamu untuk melakukannya.”   Hadits ini dapat memberi gambaran bahwa seorang hamba akan meraih kedekatan dengan Allah melalui hewan yang dikurbankan, meskipun pada hakikatnya Allah tidak memperhitungkan daging dan darah yang dikurbankan oleh hambaNya, tetapi nilai spiritual ketakwaan yang menjadi barometer kedekatan hamba dengan Allah. Jika seorang hamba telah meraih kedekatan kepada Allah melalui ibadah kurban di hari raya Idul Adha ini, maka sesungguhnya ia telah meraih keberhasilan yang sangat tinggi.  Sidang Idul Adha yang beriman Itulah makna sederhana ibadah kurban yang kita jalankan setiap tahun pada tanggal 10 sampai 13 Dzulhijjah sebagai sebuah proses pendekatan diri kita kepada Allah dengan menjalankan perintahnya dengan penuh ketakwaan dan proses harmonisasi kita bersama masyarakat sekitar dengan saling berbagi rizki dan peran dalam tatanan hidup sosial. Semoga kita tergolong orang-orang yang dekat dengan Allah dan seluruh ciptaannya. Semoga kita juga diberikan kesabaran dan keselamatan dalam mengarungi cobaan yang sama-sama kita hadapi ini. Tentunya kebersamaan adalah kunci bagi umat manusia dalam menghadapi ujian berat ini.

Editor: Alima sri sutami mukti

Keutamaan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah, Berpahala Lebihi Jihad

Memasuki 10 hari pertama bulan Dzulhijjah, muslim harus tahu terdapat deretan keutamaan di dalamnya. Pada waktu tersebut, muslim juga dianjurkan memperbanyak amal saleh.
Mengutip buku Misteri Panjang Umur: Mendapatkan Pahala Besar dengan Amalan Ringan dan Singkat karya Muhammad Ibrahim an-Nu’aim, disebutkan bahwa Allah SWT mencintai sepuluh hari pertama pada bulan Dzulhijjah. Hal ini sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbas RA.

Disebutkan dalam riwayat lainnya bahkan Rasulullah SAW bersabda, “Hari-hari di dunia yang paling utama adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” (HR Ahmad dan Bukhari)

Lebih lanjut, Muhammad Ibrahim an-Nu’aim menjelaskan bahwa sesungguhnya melakukan amal saleh, apa saja bentuknya pada hari-hari itu, pahalanya melebihi pahala beberapa bentuk jihad. Setiap muslim perlu bersungguh-sungguh memerangi hawa nafsu dan menahan godaan setan pada sepuluh hari bulan Dzulhijjah agar dapat memanfaatkannya keutamaannya.

5 Keutamaan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah
1. Allah SWT Bersumpah dengan Hari-hari Tersebut
Ali Mustafa Yaqub dalam buku” Kalau Istiqamah Nggak Bakal Takut Nggak Bakal Sedih“, menyebutkan keutamaan yang pertama dari sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, ialah Allah SWT bersumpah pada hari tersebut dan termaktub dalam surah Al Fajr ayat 1-2:

وَالْفَجْرِ . وَلَيَالٍ عَشْرٍ

Artinya: “Demi waktu fajar, demi malam yang sepuluh.”

Para ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sepuluh malam itu adalah sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Selain itu, mengenai keutamaan dasa dina (sepuluh hari) pertama Dzulhijjah serupa dengan sepuluh hari terakhir yang ada di bulan bulan Ramadan.


2. Hari-hari yang Paling Utama
Mengenai keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah selanjutnya, Muhammad Nurani dalam buku “Dahsyatnya Amalan Harian Rasulullah” Cara Jitu Mengaktifkan Kartu Ajaib Anti Api Neraka, menjelaskan bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama daripada hari lainnya di dunia.

Rasulullah SAW sendiri yang menerangkan keutamaan tersebut dalam sebuah hadits yang berbunyi, “Hari-hari di dunia yang paling utama adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” (HR Bazzar dari Jabir)

Dalam riwayat lain juga dijelaskan dalam hadits berikut, “Tidak ada hari-hari yang paling agung di sisi Allah SWT dan paling dicintai amalan padanya, selain ayyaamul ‘asyar (sepuluh hari pertama Dzulhijjah), maka perbanyaklah padanya tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir.” (HR Thabrani)

3. Terdapat Hari Arafah
Alexander Zulkarnaen dalam buku” Apakah Amalan Kita Diterima Allah SWT?” menjelaskan bahwa sepuluh hari pertama Dzulhijjah menjadi utama sebab di dalamnya terdapat hari Arafah yang menjadi hari dibebaskan api neraka bagi mereka yang bersungguh-sungguh dalam ibadah.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang berbunyi,

مَا مِنْ يَوْمِ أكثر من أَنْ يُعْتِقَ اللهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِن يَوْمِ عَرَفَةَ، وَإِنَّهُ لَيَدْعُو ثُمَّ يُبَاهِي بِهِمُ الْمَلائِكَةِ فَيَقُولُ : مَا أَرَادَ هؤلاء

Artinya: “Tidak ada suatu hari dimana Allah banyak membebaskan hamba-Nya dari api neraka selain hari Arafah. Pada hari itu Allah mendekati hamba-Nya dan membanggakan mereka di hadapan para malaikat.” (HR Muslim)

4. Hari Berkumpulnya Amal Saleh
Masih merujuk sumber sebelumnya, menurut para ahli tafsir, 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah adalah waktu berkumpulnya semua amal-amal saleh, yaitu salat, zikir, puasa, menyembelih kurban, infak, dan sebagainya.

5. Pahalanya Lebih dari Jihad
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, keutamaan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah yakni, tiap amal saleh pada hari-hari tersebut adalah lebih utama dibandingkan jihad. Hal ini dijelaskan dalam riwayat hadits yang dinukil dari Kitab Shahih Bukhari.

Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “‘Tidak ada hari-hari, di mana amal sholeh (yang dilakukan) pada hari ini lebih Allah cintai.’ Yaitu sepuluh hari. Para sahabat pun bertanya, ‘Rasulullah, walaupun jihad di jalan Allah?’ Rasul menjawab, ‘Bahkan jihad di jalan Allah sekalipun, kecuali seorang laki-laki yang keluar (berperang) dengan sepenuh jiwanya dan hartanya dan tidak (mengharapkan) ada imbalan dari semua itu’.” (HR Abu Dawud)

Adapun amalan lain yang dapat dilakukan pada 10 hari pertama selain memperbanyak tasbih, tahmid, tahlil dan takbir adalah amalan puasa. Puasa sunnah Dzulhijjah dilakukan mulai tanggal 1-9 Dzulhijjah.

Amalan pada 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah
1. Menunaikan Haji dan Umrah
Amalan pertama, yakni ibadah haji dan umrah. Ibadah haji yang hanya dikerjakan pada bulan Dzulhijjah juga termasuk rukun ke-5. Ganjaran bagi mereka yang mendapat haji mabrur adalah surga.

Sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Dari umrah ke umrah lainnya adalah penghapus dosa antara keduanya, dan haji mabrur tidak ada balasan untuknya kecuali surga.” (HR Bukhari)

2. Perbanyak Puasa Sunnah
Mengutip buku Minhajul Muslimah karya Muhammad Syafii Masykur, menerangkan bahwa pada awal bulan itu, disunahkan untuk berpuasa, yaitu dari tanggal 1-9, terutama puasa Arafah. Sementara tanggal 10, diharamkan untuk berpuasa.

Dinukil dari buku Al-Lu’lu’ wal Marjan 2: Hadits-hadits Pilihan yang Disepakati Al-Bukhari-Muslim karya Muhammad Fuad Abdul Baqi terjemahan Taufik Munir, diterangkan keutamaan puasa Arafah, Nabi SAW bersabda:

مَا مْنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْماً فِي سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ بَاعَدَ اللهُ بذلِكَ الْيَوْمِ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفاً

Artinya: “Tidak seorang hamba pun melakukan puasa satu hari di jalan Allah, kecuali dengan (puasa) hari itu Allah menjauhkan wajahnya dari api neraka sejauh (perjalanan) tujuh puluh tahun.” (HR Bukhari-Muslim)


3 Puasa sebelum Idul Adha, Berpahala Hapus Dosa Setahun
Nabi SAW juga bersabda:

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ

Artinya: “Puasa di hari Arafah, aku berharap kepada Allah bisa menghapus dosa satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya.” (HR Bukhari-Muslim)

3. Memperbanyak Dzikir
Muhammad Arifin Rahman dalam buku Berlimpah Harta dengan Beragam Dzikir, Shalat, dan Puasa Khusus, menyebutkan amalan yang utama ketika sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ialah berdzikir.

Seperti anjuran Rasulullah SAW pada sebuah hadits yang berbunyi, “Tidak ada hari-hari yang paling agung di sisi Allah Swt. dan paling dicintai amalan padanya, selain ayyamul ‘asyr (sepuluh hari pertama Dzulhijjah), maka perbanyaklah padanya tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir.” (HR Thabrani)

4. Berkurban
Dikutip dari buku Fikih Madrasah Ibtidaiyah karya Muhaemin Nur Idris dan Nurzaman, dijelaskan bahwa kurban pada Idul Adha merupakan sunnah yang dianjurkan. Tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Allah SWT memerintahkan muslim untuk berkurban dalam Al-Qur’an surah Al Kautsar ayat 2 yang berbunyi,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ ٢

Artinya: “Maka, laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah!”

5. Memperbanyak Sedekah
Memperbanyak sedekah merupakan amalan yang dianjurkan pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah sebab pahalanya dilipatgandakan. Mengenai perintah sedekah, Allah SWT berfirman dalam surah Al Baqarah ayat 254 yang berbunyi,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِمَّا رَزَقۡنَٰكُم مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَ يَوۡمٞ لَّا بَيۡعٞ فِيهِ وَلَا خُلَّةٞ وَلَا شَفَٰعَةٞۗ وَٱلۡكَٰفِرُونَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ٢٥٤

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami anugerahkan kepadamu sebelum datang hari (Kiamat) yang tidak ada (lagi) jual beli padanya (hari itu), tidak ada juga persahabatan yang akrab, dan tidak ada pula syafaat. Orang-orang kafir itulah orang-orang zalim.”

Editor : Alima sri sutami mukti

PEMBERANGKATAN IBADAH HAJI KYAI BURHAN ROSYIDI & IBU LAILA NURONIYAH ZA

Pada tanggal 01 juni 2024 pangersa akang kyai Burhan Rosyidi & Pangersa ibu Laila Nuroniyah ZA berangkat dari pondok pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ ke Kemenag Kabupaten Cianjur untuk melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah Al-Mukaromah,

Rangkaian prosesi pemberangkatan Haji Pangersa Akang Burhan & Ibu Laila.

Sabtu, 01 Juni 2024 M :

1. Ba’da asar pelepasan di Alhuda

2. Jam 17:00 Wib ( 5 sore ) berangkat dari alhuda menuju Al-musri’

3. Tiba di almusri’ langsung menuju maqbaroh untuk berziaroh.( posisi mobil kembali ke parkiran gedung agri ).

4. Berjama’ah sholat magrib & isya (Jama)

5. Acara pelepasan di depan kantor osma

Di pimpin oleh kyai haji Mukhtar Soleh BA selaku dewan kyai YPP. Miftahulhuda Al-Musri’

6. Lalu menuju mobil ( diparkiran gedung agri ) sambil bermushofahah dengan para santri dewasa / pengurus osma

7. Berangkat menuju kemenag.

Pemberangkatan pangersa kyai Burhan Tersebut dihadiri para dewan kyai serta dewan ampuh YPP. Miftahulhuda Al-Musri’ Dan juga dewan kyai dan Ampuh YPI. Al-Huda Al-Musri’, dan semua santriyin dan santriyat Ypp. Miftahulhuda Al-Musri’ guna mendo’akan kelancaran ibadah haji tersebut.