Foto asli milik almusri' pada saat pelantikan banom
5 Nilai Aswaja dalam Mencintai Negara

Cinta tanah air merupakan salah satu nilai yang penting dalam membentuk kesatuan dan kestabilan suatu negara. Di Indonesia, nilai-nilai Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja) memiliki peran yang kuat dalam membangun rasa cinta dan kesetiaan terhadap negara. Melalui pengamalan nilai-nilai Aswaja, individu diajarkan untuk mencintai, menghormati, dan berkontribusi secara positif kepada negara, serta menjaga persatuan dan kerukunan antar umat beragama.

Aswaja, yang mengacu pada paham keagamaan Islam yang dijalankan oleh mayoritas masyarakat Indonesia, memiliki prinsip-prinsip yang mendukung cinta terhadap negara. Berikut adalah beberapa data yang menunjukkan bagaimana nilai-nilai Aswaja dapat memperkuat rasa cinta terhadap negara.

Pertama, ketauhidan dan Ketuhanan yang Maha Esa. Nilai asasi dalam Aswaja adalah kepercayaan dan pengabdian kepada Allah SWT yang Maha Esa. Dalam konteks kecintaan terhadap negara, nilai ini mengajarkan bahwa negara adalah anugerah dari Allah dan merupakan wadah yang harus dijaga, dirawat, dan diperjuangkan demi kebaikan bersama.

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak (Al Isra: 23). Ayat ini menunjukkan pentingnya ketauhidan dan berbakti kepada orang tua, yang juga mencakup rasa cinta terhadap tanah air karena negara adalah hasil dari usaha dan pengorbanan para leluhur dan orang tua.

Kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Aswaja menekankan pentingnya menghormati dan memperlakukan setiap individu dengan adil dan beradab. Dalam konteks kecintaan terhadap negara, nilai ini membangun rasa persaudaraan antar warga negara, menghargai keragaman budaya, serta mendorong partisipasi aktif dalam membangun masyarakat yang adil dan harmonis.

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat (Q.S. Al-Hujurat: 10).

Ayat ini menegaskan persaudaraan dalam Islam dan pentingnya memelihara hubungan yang baik antara sesama muslim. Nilai persaudaraan dan solidaritas menuntun kita untuk saling mendukung, tolong-menolong.

Ketiga, moderat dan toleransi: Salah satu ciri khas aswaja adalah sikap moderat dan toleran terhadap perbedaan. Nilai-nilai ini mempromosikan sikap saling menghormati, saling memahami, dan hidup berdampingan dalam keberagaman. Dalam konteks kecintaan terhadap negara, nilai ini berarti mencintai negara dengan menghargai perbedaan suku, agama, ras, dan adat istiadat yang ada di Indonesia.

Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat yang moderat, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu (Al-Baqarah: 143).

Ayat ini menunjukkan pentingnya bersikap moderat dan toleran dalam hubungan antar manusia, yang juga mencakup sikap toleransi terhadap perbedaan dalam masyarakat dan negara.

Keempat, keadilan dan kesejahteraan. Aswaja mengajarkan pentingnya keadilan sosial dan upaya mencapai kesejahteraan bagi semua warga negara. Nilai-nilai ini mendorong cinta terhadap negara dengan mengambil peran aktif dalam pembangunan sosial, mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi, serta mengupayakan kesejahteraan bersama.

Allah tidak menghendaki kesulitan bagimu, tetapi Dia menghendaki kemudahan bagimu

(Al-Baqarah: 185).

Ayat ini menekankan pentingnya menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, yang juga mencakup kontribusi positif dalam membangun negara yang adil dan sejahtera.

Kelima, kebangsaan dan nasionalisme. Aswaja juga membangun rasa kebangsaan dan nasionalisme yang kuat. Nilai-nilai ini mendorong cinta terhadap negara dengan menanamkan kecintaan terhadap tanah air, bahasa, budaya, serta semangat bela negara. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan ayah-bapak dan saudara-saudaramu sebagai pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih menyukai kekafiran daripada iman (At-Taubah: 23).

Ayat ini mengingatkan pentingnya kesetiaan terhadap agama dan keimanan, yang juga mencakup rasa cinta terhadap negara dan bangsa yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

Kelima nilai tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai Aswaja memiliki peran yang signifikan dalam membentuk cinta terhadap negara. Pengamalan nilai-nilai Aswaja membantu membangun kesetiaan, kebanggaan, dan kontribusi yang positif kepada negara. Dengan memegang teguh nilai-nilai Aswaja, individu akan memiliki komitmen kuat untuk menjaga persatuan dan kesatuan negara, serta berperan aktif dalam membangun masyarakat yang adil, harmonis, dan sejahtera.

Penting bagi setiap individu untuk memahami dan mengamalkan nilai-nilai Aswaja secara benar dan sesuai dengan ajaran Islam yang moderat. Dengan demikian, cinta terhadap negara akan menjadi landasan yang kokoh dalam membangun kesetiaan dan kebanggaan kepada tanah air, serta berkontribusi dalam upaya menciptakan masyarakat yang lebih baik dan harmonis.

Penulis : M Wildan Musyaffa

Foto asli kegiatan shorogan
Sayyidah Aisyah, Tidak Ada Insecure dalam Ilmu

Acap kali diamati, saat berada di ruang-ruang diskusi atau kajian, ada satu kelompok atau beberapa orang yang aktif mengeluarkan pandangan dan tak segan melontarkan pertanyaan pada narasi samar yang melintas dalam forum. Namun juga sebaliknya, selama berlangsung sesi tersebut terdapat pula sekelompok anggota diskusi yang pasif dan cenderung diam. Beberapa memang memilih diam karena menarik diri mungkin sebatas pengamat saja, beberapa lagi diam karena malu untuk bersuara, malu mengeluarkan pendapat dan bertanya.

Sifat malu memang menjadi sifat alami bagi manusia. Bahkan beberapa kali disebutkan dalam hadis Nabi Saw bahwa malu itu bagian dari iman, bermakna bahwa betapa pentingnya sifat malu bagi manusia. Malu yang seperti ini biasa disebut al-haya’. Misal, hadis dari Imam Bukhari no. 9 berikut:

الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ

Iman itu memiliki lebih dari 60 cabang. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.

Namun malu dalam belajar merupakan kerugian. Malu dalam kasus ini mungkin lebih cocok disebut insecure atau merasa kurang percaya diri.

Perasaan malu atau kurang percaya diri dalam belajar biasa dirasakan oleh kaum wanita. Memang tidak semua, akan tetapi cenderung dirasakan oleh mereka. Karena memang mahkota paling berharga seorang wanita adalah rasa malu. Maka dari itu tidak aneh kiranya jika wanita sering merasa malu. Tetapi bagaimana malu-insecure ini dalam ruang belajar?

Mari kita lihat sebuah peristiwa berharga yang terjadi di masa emas, Rasulullah Saw.

Abu Zahwu dalam kitabnya yang berjudul al-Hadits wa al-Muhadditsun menyebutkan, bahkan kaum perempuan menyumbang pengaruh besar dalam ilmu hadis sebab tindakan mereka yang berani dan tidak pernah malu menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan masalah agama kepada Rasulullah Saw. Hal ini terbukti dari satu hadis yang terkenal tentang kasus mandi janabah bagi wanita yang mengalami mimpi basah.

إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحِي مِنَ الْحَقِّ، هَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ غُسْلٌ إِذَا احْتَلَمَتْ؟

Sesungguhnya Allah Swt tidak malu terhadap kebenaran. Apakah perempuan juga mandi ketika ia bermimpi?.

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 6091. Abu Zahwu juga menyatakan bahwa kebanyakan wanita-wanita yang berani bertanya langsung kepada Nabi tersebut dari golongan anshor (wanita Arab penduduk Madinah). Sehingga istri Nabi, Aisyah r.a. memuji keberanian mereka.

نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ الْأَنْصَارِ، لَمْ يَكُنْ يَمْنَعُهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّينِ. 

Sebaik-baik wanita adalah wanita anshor. Tidak ada rasa malu yang menghalangi mereka untuk tafaqquh fiddin, belajar agama.

Pujian ini termaktub dalam kitab Shahih Muslim no. 332.


Oleh karena itu, malu, insecure, atau kurang percaya diri dalam belajar merupakan tindakan yang rugi dan bisa saja berbahaya. Bahkan sejatinya bertindak berani dalam belajar dan menuntut ilmu adalah perbuatan terpuji.

Meskipun tulisan ini berbicara tentang insecure dari sudut pandang perempuan, namun maksud dan tujuan tulisan ini dan hadits-hadits di atas itu umum, tidak terbatas gender laki-laki atau perempuan. Karena satu kaedah penting dalam ilmu ushul fiqh

العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب

Sebuah argumentasi itu dilihat dari aspek umumnya narasi, bukan karena terkhususnya sebab kejadian. Wallahu’alam

Penulis : M Wildan Musyaffa

Sumber: istockphoto.com
Bagaimana Cara Khusyuk dalam Shalat?

Apa itu khusyuk? Khusyuk adalah menghadirkan hati untuk mengingat Allah di dalam shalat. Allah Swt berfirman:

اِنَّنِىۡۤ اَنَا اللّٰهُ لَاۤ اِلٰهَ اِلَّاۤ اَنَا فَاعۡبُدۡنِىۡ ۙ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ لِذِكۡرِىۡ

 “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.”(Q.S. Thaha: 14)

Dalam artian, salah satu di antara misi dalam shalat ialah mengingat Allah, jadi agak aneh ketika seorang mendirikan shalat untuk menemukan ide-ide yang kreatif, karena tidaklah kita diperintahkan shalat untuk menemukan ide-ide kreatif urusan dunia. Semisal shalat supaya dapat ide, lari dari omelan istri atau pamer kepada orang lain. Jadi, untuk apa kita mendirikan shalat?

Misi dari shalat ialah untuk mengingat Allah sebagaimana keterangan pada ayat di atas. Allah Swt juga berfirman:

وَلَا تَكُن مِّنَ ٱلْغَٰفِلِينَ

janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”(QS.Al-A’raf: 205)                            

Oleh karena itu, jangan sampai kita melamun di dalam shalat, mikirin mantan, pekerjaan, dan hal yang tidak penting. Tetapi shalat itu untuk mengingat Allah Swt di dalam shalat.

Indikasi Khusyuk di dalam Shalat

Hanya ingat Allah saja tidak ada yang lain

Sehingga kita bisa mengetahui shalat khusyuk dengan kita rasakan, apakah kita mengingat Allah atau ingat yang lain.

Berlama-lama saat sujud dan rukuk

Memanjangkan waktu rukuk dan sujud bisa menjadikan kita khusyuk dalam shalat. Sebab, saat kita rukuk dan sujud merupakan keadaan hamba dekat dengan Tuhannya, sehingga kita disunnahkan membaca doa-doa ketika rukuk dan sujud. Sayid Qutb Muhammad Al-Bakri berkata:

إن مما يورث الخشوع إطالة الركوع والسجود

Sesungguhnya hal yang bisa menjadikan kekhusyukan ialah memanjangkan waktu rukuk dan sujud.”

Memahami bacaan shalat yang kita ucapkan

Menurut Imam Zainuddin (pengarang kitab Fathul Mu’in) dengan memahami makna-makna bacaan dalam shalat bisa membantu kita untuk menyempurnakan tujuan kerendahan hati dan kekhusyukan seseorang saat shalat. Allah Swt berfirman:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran ataukah hati mereka terkunci?” (Q.S. Muhammad 24).

Ketika membaca doa iftitah kita mengerti, membaca al-Fatihah kita juga mengerti. Karena ada orang ketika ia shalat sudah sampai surat Al-Ikhlas tiba-tiba ia lupa apakah sudah membaca Al-Fatihah atau belum. Berarti ia tidak khusyuk, karena ia tidak sadar apa yang sedang ia ucapkan. Sehingga orang yang khusyuk ialah تعلموا ما تقولون mengetahui apa yang kalian ucapkan.

Tidak melakukan hal-hal di luar rukun dan sunnah

Jadi, kita shalat tanpa melakukan perbuatan di luar rukun shalat, sehingga kita bermain bermain injak kaki, bercanda atau bermain dengan jamaah sebelahnya. Dengan demikian, sudah pasti kita tidak khusyuk di dalam shalat, dan akhirnya kita tidak bisa merasakan nikmatnya ibadah.

Shalat seseorang itu tergantung kualitas khusyuknya, dan hanya dengan khusyuk kita akan merasakan rehatnya jiwa di dalam shalat. Yuk kita belajar shalat khusyuk dengan menata hati kita sedikit demi sedikit untuk meningkatkan kualitas ibadah kita.

Semoga Allah Swt, memberikan kita kekuatan istiqomah dan hati yang khusyuk dalam beribadah. Wallahu a’lam bi as-shawab.


Refrensi:

Kitab Ihya’ Ulumuddin

Kitab Fathul Mu’in

Penulis :

M Wildan Musyaffa

Ilustrasi shalat munfarid. Foto: Unsplash
Shalat Khusyuk atau Berjamaah, Mana yang Lebih Utama?

Khusyuk saat shalat merupakan salah satu kesunahan yang sulit untuk dikerjakan. Karena shalat seseorang baru bisa dianggap khusyuk apabila dia mampu untuk membayangkan sesuatu yang sedang dia kerjakan saja, tanpa membayang sesuatu yang lain. Seperti hanya memikirkan makna bacaan tasbih saat berada di posisi rukuk dan sujud.

Tidak sebatas itu, akan tetapi dia harus mampu juga untuk tidak bermain-main dengan anggota badannya. Seperti menggerak-gerakkan jari dan mengedip-ngedipkan mata tanpa adanya keperluan.

Khusyuk saat shalat disunahkan karena Allah SWT memuji hamba-hambanya yang shalat dengan khusyuk dalam Al-Qur’an berikut:

۩قَد أَفلَحَ ٱلمُؤمِنُونَ ۩ ٱلَّذِينَ هُم فِي صَلَاتِهِم خَٰشِعُونَ 

Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya”. (Q.S. al-Mukminun ayat 1 dan 2).

Cara seseorang untuk bisa khusyuk saat shalat berbeda-beda. Sebagian dari mereka ada yang sampai meninggalkan shalat berjama’ah dan memilih untuk shalat sendiri di rumahnya demi bisa shalat dengan khusyuk, dengan alasan ketika shalat berjama’ah tidak dapat shalat dengan khusyuk karena terganggu dengan jamaah yang lain.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah tindakan seperti di atas dapat dibenarkan, sehingga manakah yang lebih utama antara shalat sendiri dengan khusyuk dan shalat berjama’ah tanpa khusyuk? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu terlebih dahulu untuk mengetahui hukum dari shalat berjamaah.

Perdebatan Ulama Terkait Khusyuk dan Shalat Berjamaah

Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama terkait hukum shalat berjamaah untuk shalat fardhu selain shalat Jum’at. Yang mana terdapat empat pendapat berbeda, yakni fardhu kifayah, sunah mu’akkad (yang sangat dianjurkan),  fardhu ain, dan sebagai syarat sahnya shalat, dalam arti shalat baru dianggap sah apabila dilaksanakan dengan berjamaah. Namun yang berkaitan dengan pembahasan saat ini adalah pendapat yang pertama dan kedua.

Salah satu ulama yang berpendapat bahwa hukum shalat berjama’ah adalah fardhu kifayah adalah imam An-Nawawi. Shalat berjamaah dihukumi fardhu kifayah karena berlandasan pada hadist nabi Muhammad SAW yang berbunyi:

مَا ‌مِنْ ‌ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ أَوْ بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيْهَا الْجَمَاعَةُ إِلَّا اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ

Artinya: “Tidaklah tiga orang berada di suatu kampung atau daerah yang tidak didirikan shalat berjamaah kecuali mereka dikuasai oleh setan”. (Abu Bakar Syata Ad-Dimyati, I’anah At-Talibin, [Jakarta: Darul Kutub Al-Islamiah, 2009], juz 2, halaman 8).

Dalam hadis di atas, terdapat ancaman bagi orang-orang yang meninggalkan shalat berjama’ah. Hal inilah yang menuntut untuk menghukumi shalat berjama’ah dengan fardhu kifayah.

Apabila kita mengikuti pendapat tersebut maka kalangan ulama fikih berpendapat bahwa shalat berjamaah tanpa khusyuk lebih utama dibanding shalat sendiri dengan khusyuk. Dengan alasan karena fardhu kifayah merupakan suatu kewajiban, yang mana kewajiban lebih utama dibanding kesunahan.

Namun imam Al-Ghazali sedikit berbeda dengan pendapat kalangan ulama’ fikih di atas. Beliau berpendapat bahwa shalat sendiri dengan khusyuk lebih utama bagi seseorang yang ketika shalat berjama’ah sebagian besar dari shalatnya tidak bisa khusyuk.

Di dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj Imam Ibnu Hajar Al-Haitami memberi penjelasan terkait pendapat imam Al-Ghazali di atas, beliau menyatakan bahwa pendapat tersebut hanya berlaku bagi orang-orang yang sudah lama menjalankan riyadhah (kegiatan spiritual) khalwat (meninggalkan keramaian). Yang mana faedah yang didapat oleh orang tersebut lebih banyak ketika melaksanakan shalat dengan sendiri, karena derajat ketaatannya akan menurun ketika dia bergaul dengan orang lain.

Dalam salah satu kitabnya, imam Ibnu Hajar Al-Haitami berpendapat bahwa shalat sendiri dengan khusyuk lebih utama bagi orang yang ketika shalat berjamaah tidak bisa khusyuk sama sekali. Pendapat ini disampaikan oleh muridnya syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam kitabnya Fathul Mu’in, namun penjelasan muridnya tersebut dikomentari oleh syaikh Abu Bakar Syata dalam kitabnya I’anah At-Talibin bahwa pendapat imam Ibnu Hajar di atas tidak ditemukan di antara kitab-kitab karangannya.

Sedangkan di dalam kitabnya Fathul Jawad imam Ibnu Hajar Al-Haitami berpendapat bahwa shalat berjamaah tanpa khusyuk lebih utama dibanding dengan shalat sendiri dengan khusyuk, bahkan bagi orang yang ketika shalat berjama’ah tidak bisa khusyuk sama sekali. Yang mana pendapat ini sekaligus menolak pendapat imam Al-Ghazali di atas.

Alasan imam Ibnu Hajar terkait penolakannya terhadap pendapat imam Al-Ghazali adalah karena mempertimbangkan ulama yang berpendapat bahwa hukum shalat berjamaah adalah fardhu ain dan syarat sahnya shalat. Yang mana dengan adanya dua pendapat di atas menunjukkan bahwa shalat berjamaah sangat diprioritaskan mengungguli khusyuk.

Juga dengan alasan karena shalat berjamaah merupakan salah satu dari bentuk media untuk memperkenalkan agama Islam, maka mempertahankannya menjadi lebih utama. Dan apabila kita mengatakan bahwa shalat sendiri dengan khusyuk lebih utama niscaya banyak orang yang meninggalkan shalat berjamaah, dengan beralasan ketika shalat berjama’ah tidak bisa khusyuk, maka menurut Imam Ibnu Hajar hukum menutup kemungkinan-kemungkinan buruk seperti di atas adalah wajib.

Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa hukum melaksanakan shalat secara berjamaah adalah sunah mu’akkad, mereka berlandasan pada hadist nabi Muhammad SAW yang berbunyi:

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً

Artinya: “Shalat berjama’ah lebih utama dibanding shalat sendiri dengan dua puluh tujuh derajat”. (Zainuddin Al-Malibari, Fathul mu’in, [Jakarta: Darul Kutub Al-Islamiah, 2009], halaman 70).

Hadis di atas menjelaskan adanya keutamaan dalam shalat berjamaah, yang mana para ulama fikih memahami bahwa suatu keutamaan itu hanya menunjukkan hukum kesunahan, tidak sampai pada hukum wajib. Sehingga mereka berpendapat bahwa hukum shalat berjama’ah adalah sunah mu’akkad.

Apabila kita mengikuti pendapat ini maka shalat sendiri dengan khusyuk lebih utama dibanding shalat secara berjamaah tanpa khusyuk. Dan pendapat ini mutlak, dalam arti baik saat shalat secara berjama’ah tidak bisa khusyuk sama sekali ataupun tidak.

Kesimpulan

Dari adanya perbedaan di atas, sebaiknya kita mengikuti pendapat imam Ibnu Hajar Al-Haitami, yang memprioritaskan shalat berjama’ah. Karena dengan mengikuti pendapat tersebut kita bisa menutup kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Dan yang mana kemungkinan buruk tersebut bisa menurunkan tradisi baik orang islam yang telah lama berjalan.

Penulis : M Wildan Musyaffa