MAKESTA X MAPAG Pertama kali dilakukan di Al-Musri’

Pimpinan Komisariat (PK) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) dan Pimpinan Komisariat (PK) Pagar Nusa (PN), Srikandi  Miftahulhuda Al-Musri’ Cianjur menggelar acara Makesta X Mapag yang bertempat di gedung aula Al-faqih, Pondok Pesantren Miftahuhuda Al-Musri’.

Sebanyak 300 santri putra maupun putri mengikuti acara makesta X mapag tersebut. Acara yang biasanya dilakukan secara terpisah, untuk pertama kalinya acara makesta disatukan dengan acara mapag.

Makesta X Mapag adalah pintu gerbang awal yang harus dilalui oleh calon kader-kader NU. Karna dengan mengikuti makesta x mapag adalah salah satu cara untuk menghidupkan Nahdlatul Ulama (NU).

Adapun isi acara ini terdiri dari sambutan-sambutan dari:

  1. Ketua Panitia
  2. Rais ‘am
  3. Ketua Banom(Badan otonom)
  4. Perwakilan PC (Pimpinan Cabang) IPNU IPPNU Cianjur
  5. Ketua PC Pagar Nusa

Lalu pemberian materi berupa

  • Ke-NU an
  • Ke-Bangsaan
  • Ke- IPNU an
  • Ke- IPPNU an
  • Ke- Organisasian & Ke-pemimpinan
  • Ke- Aswajaan
  • Materi jurus SD A+B (Pagar Nusa)

Juga dilakukan inagurasi malam dan pembai’atan atau erjanjian sebagai kaderisasi yang sah menjadi anggota IPNU, IPPNU, Pagar Nusa dan Srikandi.

“Diharapkan kepada seluruh kader IPNU IPPNU ataupun Pagar Nusa Srikandi untuk selalu aktif di Nahdlatul Ulama (NU), karena menghidupkan Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu amanat Mama Syaikhuna KH Ahmad Faqih” tutur salah satu Ampuh (Amanat Sepuh) Pondok Pesantren Almusri’. 

Pewarta: Fachry Syahrul

Keistimewaan Ali bin Abi Thalib dalam Sabda Nabi

Alkisah, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: انا باب العلم و علي مفتاحه “Aku adalah pintunya ilmu, dan Ali adalah kuncinya”. Ya, sahabat Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah menantu Baginda Nabi. Dikisahkan, Nabi merupakan pintu ilmu yang sangat luas. Ia sebagai bekal dunia akhirat sebagaimana pernah disabdakan, kunci ilmu dimiliki oleh sahabat Ali. Hati mana yang tak penasaran mendengar sabda Rasul tersebut. Pun dengan gerombolan orang-orang Khawarij. Mereka gusar tiada tara tatkala mendengar kabar hadits ini. Kemudian mendorong mereka berniat menguji kebenaran hadis kepada Rasulullah secara langsung. Dikumpulkanlah tujuh orang dari golongan mereka. “Jika Ali sebagai kunci ilmu, maka ketika kita beri pertanyaan yang sama tentu jawabannya juga sama”. Salah seorang dari mereka mengawali pembicaraan. “Ya, benar kamu. Tidak mungkin seseorang yang dianggap kuncinya ilmu akan menjawab dengan jawaban yang berbeda-beda. Jika memang benar ia kuncinya ilmu” yang lain menimpali. Disusunlah strategi, rencana matang disusun, “mari kita uji dengan memberikan pertanyaan yang sama, namun dari orang yang berbeda-beda,” usul salah seorang dari ketujuh khawarij tersebut dan mereka berakhir pada kata sepakat. Pertanyaan yang akan diajukan, antara ilmu dan harta, manakah yang lebih utama?  Setelah mereka memberikan pertanyaan yang sama. Mereka mendapat jawaban yang sama pula. Antara ilmu dan harta, yang lebih utama adalah ilmu. “Tapi tunggu dulu, apakah Ali juga memberikan alasan tentang jawabannya?” tanya salah seorang dari mereka. “ya, benar” timpal mereka bersama-sama. “Apa itu?”.  “Kalau ilmu menjagamu. Namun, harta, engkau yang harus menjaganya,” orang pertama dari kelompok khawarij menyampaikan alasan yang dikemukakan sahabat Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah. “Jika ilmu adalah warisan nabi, harta adalah warisan Qorun yang terkutuk”. Orang kedua menambahi kemudia “ilmu jika ditasarufkan, akan bertambah. Sedang harta, jika ditasarufkan akan berkurang,” tambah orang ketiga menyampaikan kutipan argumentasi yang ia terima.  Mereka mulai heran akan jawaban yang berbeda-beda. “Andai kau memilih ilmu, kau akan mendapat julukan yang baik, namun jika harta, julukan buruk yang kau dapat,” demikian orang keempat menjelaskan. Mereka semakin ragu akan alasan yang berbeda-beda.  “Ilmu itu menerangi hati, sedangkan harta mengeraskan hati,” “Ilmu jika dibiarkan tidak apa-apa, namun harta jika dibiarkan akan rusak”, “ilmu ketika di hari kiamat akan menolongmu, namun harta akan menjadi penyebab lamanya hisab di hari kiamat.” Demikian mereka bergantian menyampaikan.  Sejenak, mereka tertegun akan alasan yang berbeda-beda. Bagaimana mungkin, pertanyaan yang diberikan kepada orang satu, menghasilkan jawaban yang memiliki alasan-alasan tersendiri.  Namun, dengan cepat mereka tersadar akan keutamaan ilmu yang dimiliki sahabat Ali bin Abi Thalib. Alasan demi alasan yang diutarakan sahabat Ali bin Abi Thalib berbeda, namun antara satu dan lainnya saling menguatkan, antara ilmu dan harta lebih utama ilmu. Subhanallahil ‘adzim wa shodaqo rasuluhu nabiyyul karim.

Penulis: Alima Sri Sutami Mukti

Ketika Rasulullah Menjelaskan Kepada SahabatPersamaan Kerja dan Jihad

Dengan wasilah bekerja, aneka kebutuhan hidup manusia dapat terpenuhi dan siklus kehidupan pun bisa berjalan dengan normal. Selain itu, bekerja pun bisa bernilai ibadah jika memiliki tujuan atau niat yang baik, misalnya untuk menafkahi keluarga. Islam tidak melarang umatnya untuk bekerja, adapun yang dilarang adalah hubbud dunya atau mencintai dunia. Masalah hubbud dunya sendiri tidak bisa diukur dengan materi karena hubbud dunya masuk kategori penyakit hati yang sulit dideteksi dengan pandangan lahir. Orang yang rajin bekerja, belum tentu hatinya hubbud dunya. Rasulullah sendiri pernah menegaskan tentang pentingnya bekerja Dikisahkan, suatu pagi Rasulullah sedang duduk bersama beberapa sahabat. Tidak lama kemudian melintas seorang pemuda gagah yang terlihat prima, dari atribut dan pakaian yang digunakan, diketahui pemuda itu akan pergi bekerja. “Alangkah baiknya jika pemuda yang masih memiliki energi dan stamina kuat itu dipakai untuk berjihad di jalan Allah (fi sabilillah),” ucap sahabat. Mendengar hal itu, Rasulullah pun langsung menegur dan meluruskan pemikiran sahabat tersebut. “Jangan berkata seperti itu wahai sahabat, andai saja seseorang itu bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri sehingga tidak sampai meminta-minta kepada orang lain, maka sesungguhnya dia sedang berjalan di jalan Allah,” jelas Rasulullah. Rasulullah kemudian melanjutkan sabdanya, andai saja seseorang itu bekerja untuk kedua orang tuanya, keluarga atau keturunannya, sehingga kebutuhan mereka bisa terpenuhi dan tidak sampai meminta-minta pada orang lain, maka dia juga sedang berjalan di jalan Allah. “Namun jika seseorang bekerja untuk membanggakan diri dan hanya untuk mengumpulkan harta, maka pemuda tersebut sedang berada fi sabilis syaithan (jalan setan),” terang Rasulullah. Dengan demikian, bekerja bisa bernilai ibadah fi sabilillah ketika tujuannya adalah untuk kemandirian ekonomi pribadi dan keluarga. Dalam konteks lebih besar lagi untuk kemandirian kelompok, organisasi, bangsa, dan negara sehingga tidak bergantung pada pemberian dari orang atau pihak lain. 

 Sebaliknya, bekerja juga bisa bernilai maksiat ketika tujuan bekerja untuk menyombongkan diri atau bertujuan untuk takatsur (memperbanyak harta) supaya mendapatkan kesenangan duniawi. Wallahu a’lam

 Makna Hadits ‘Bekerjalah untuk Duniamu seolah Kau hidup Selamanya’

 yang diriwayatkan dari Ibnu Umar radiallahu ‘anhu berbunyi sebagai berikut:

اعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأنَّك تَعِيشُ أبَدًا، وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًArtinya: “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok pagi.” Penggalan pertama dari hadits di atas, yakni:

 اعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأنَّك تَعِيشُ أبَدًا dipahami secara berbeda oleh berbagai orang. Ada sebagian orang yang memahaminya sebagai perintah supaya dalam bekerja untuk mencari dunia kita hendaknya melakukannya sebaik dan sekeras mungkin supaya mendapatkan hasil sebanyak-banyaknya sehingga mencukupi seluruh kebutuhan karena akan hidup selamanya.  Pemaknaan seperti itu sesungguhnya tidak tepat meskipun dengan dalih sebagai perimbangan terhadap penggalan kedua dari hadits tersebut, yakni:

 وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا. Di antara kaum Muslimin tidak ada perbedaan pendapat tentang makna penggalan kedua ini. Mereka sepakat bahwa bekerja untuk kepentingan akhirat harus dilakukan sesegera mungkin dan sebaik-baiknya karena kita dianjurkan berpikir seolah-olah besok kita akan mati.  Pemaknaan yang benar terhadap penggalan pertama dari hadits di atas adalah sebagaimana dijelaskan Muhammad Mutawalli asy-Sy’rawi dalam Tafsir asy-Sya’rawi (Akhbarul Yaum, 1991, jilid 3 hal. 1752) terkait dengan tafsir surat Ali Imran ayat 133 sebagai berikut:

 الناس تفهمها فهماً يؤدي مطلوباتهم النفسية بمعنى: اعمل لدنياك كأنك تعيش أبداً: يعني اجمع الكثير من الدنيا كي يَكفيك حتى يوم القيامة، وليس هذا فهماً صحيحاً لكن الصحيح هو أن ما فاتك من أمر الدنيا اليوم فاعتبر أنك ستعيش طويلاً وتأخذه غداً، أمَّا أمر الآخرة فعليك أن تعجل به  Artinya: “Manusia memahami penggalan hadits yang berbunyi “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya” dengan pemahaman yang menuntut terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang bersifat psikologis, yakni pemahaman supaya mendapatkan sebanyak-banyaknya dari dunia ini untuk mencukupi kebutuhan hidup hingga hari kiamat. Pemahaman seperti itu tidak benar, akan tetapi yang benar adalah bahwa jika engkau tidak bisa meraih sesuatu dari dunia ini pada hari ini, maka berpikirlah sesungguhnya engkau akan hidup lama dan akan dapat meraihnya esok hari. Sedangkan terhadap apa yang terkait dengan akhirat, engkau hendaknya bersegera meraihnya.”  Jadi berdasarkan penjelasan dari Imam asy-Sy’rawi di atas, pemaknaan yang benar adalah bahwa kita bekerja untuk mendapatkan hal-hal duniawi cukup seperlunya saja. Hal ini karena kita dianjurkan untuk berpikir bahwa kita akan hidup selamanya sehingga hari esok masih ada dan masih banyak waktu untuk melakukannya.  Dalam kaitan ini ada pepatah Jawa yang sejalan dengan pemaknaan seperti itu, yakni: “Ana dina ana upa (ada hari ada nasi).” Artinya selama masih ada kehidupan, rejeki selalu tersedia setiap hari sehingga tidak perlu bekerja mencari dunia secara “ngaya” atau bekerja terlalu keras hingga lupa ibadah dan lupa waktu untuk istirahat.  Allah subhanu wata’ala telah mengingatkan di dalam Al-Qur’an, surat an-Naba’ bahwa kehidupan ini telah diatur sedemikian rupa; ada siang dan ada malam. Masing-masing memiliki fungsinya sendiri-sendiri. Kedua ayat itu berbunyi sebagai berikut:  وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا (١٠) وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا (١١) ـ Artinya: ”Dan Kami menjadikan malam sebagai pakaian (10), dan Kami menjadikan siang untuk mencari penghidupan. (11)

Ibnu Katsir menafsirkan ayat 10 di atas sebagai berikut:

  أي يغشى الناس بظلامه وسواده، كما قال: {والليل إذا يغشاها}  Artinya: “ Allah menjadikan malam untuk menutupi semua manusia dengan kegelapannya. seperti yang disebutkan-Nya dalam ayat lain:

 وَاللَّيْلِ إِذا يَغْشاها Artinya: “Dan malam apabila menutupinya.” (Asy-Syams: 4). Selanjutnya beliau menambahkan keterangan dengan mengutip pendapat Qatadah sebagai berikut:

  وقال قتادة: { وجعلنا الليل لباساً} أي سكناً. Artinya: “Qatadah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “pakaian” adalah ketenangan Jadi intinya adalah Allah menjadikan malam sebagai saat yang gelap agar manusia istirahat dengan tenang. 

 Mengenai ayat 11 di atas, Ibnu Katsir menafsirkannya pada halaman yang sama sebagai berikut:

 أي جعلناه مشرقاً نيراً مضيئاً ليتمكن الناس من التصرف فيه والذهاب والمجيء للمعايش والتكسب والتجارات وغير ذلك Artinya: “Allah menjadikan siang terang benderang supaya manusia dapat melakukan aktivitasnya untuk mencari upaya penghidupan dengan bekerja, berniaga, dan melakukan urusan lainnya.”   Memperhatikan kedua ayat di atas, kita diharapkan dapat bekerja untuk dunia secara logis. Oleh karena kita dianjurkan untuk berpikir bahwa seolah-olah kita akan hidup selamanya, maka sesungguhnya kita harus pula berpikir bahwa terdapat banyak sekali kesempatan dalam hidup ini untuk mendapatkan apa yang kita butuhkan.  Jika hari ini kita belum mendapatkan apa yang kita butuhkan, esok hari masih ada kesempatan untuk mendapatkannya sehingga kita tidak perlu bekerja memforsir diri dengan melupakan perlunya istirahat. Cara seperti ini justru bisa merugikan diri sendiri karena riskan jatuh sakit akibat kelelahan.  Allah menjadikan malam sebagai saat yang tenang agar kita semua bisa istirahat dengan tenang sekaligus memulihkan kembali stamina kita agar esok hari bisa melanjutkan bekerja sebagaimana lazimnya manusia bekerja. Saat malam juga sangat baik untuk melakukan qiyamul lail dengan terlebih dahulu tidur secukupnya.  Mengisi malam dengan berbagai ibadah di malam hari hendaknya tidak sengaja kita lewatkan begitu saja sebab justru dalam konteks inilah penggalan kedua dari hadits di atas menemukan relevansinya, yakni pada saat ada kesempatan beramal untuk akhirat, maka kesempatan itu tidak boleh disia-siakan dan supaya dikerjakan dengan sebaik-baiknya karena bisa jadi esok hari kita telah mati.  Kesimpulannya, penggalan hadits “Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selamanya” mengandung makna bahwa kita tidak boleh bekerja mencari dunia secara “ngaya” atau bekerja terlalu keras hingga lupa ibadah dan lupa waktu untuk istirahat karena sesungguhnya selama Allah masih memberi kita kesempatan untuk hidup, selama itu pula Allah menjamin ketersediaan rezeki bagi kita. “Ana dina ana upa

Editor : Alima sri sutami mukti

Tauhid dan Perdamaian

Jika Anda ingin melukiskan ajaran Islam dalam satu kata, maka kata itu adalah ‘tauhid’, demikian kesimpulan banyak pakar. Tauhid (keesaan Tuhan) merupakan suatu prinsip lengkap yang menembus seluruh dimensi serta mengatur seluruh aktivitas makhluk. Dari tauhid lahir berbagai ajaran kesatuan yang mengitari prinsip tersebut, misalnya, kesatuan alam raya, kehidupan, agama, ilmu, kebenaran, umat, kepribadian manusia, dan lain-lain. Kemudian dari masing-masing itu lahir pula tuntunan, dan semua beredar pada prinsip tauhid.

Perdamaian misalnya, yang merupakan salah satu tuntunan agama yang terpenting, lahir, antara lain, dari pandangan Islam tentang kesatuan alam raya. Sejak dari bagian yang terkecil sampai dengan wujud yang paling agung merupakan satu kesatuan: benda tak bernyawa, tumbuhan yang layu maupun yang segar, binatang melata, manusia, bahkan malaikat-malaikat kesemuanya berada dalam kesatuan. Semuanya diatur dan mengarah ke satu tujuan, yakni kepada hakikat tauhid.

Alam dengan segala isinya, begerak atas dasar satu sistem yang ditetapkan oleh-Nya. Manusia yang beragam ini berasal dari satu: Adam. Semua makhluk memiliki satu kebutuhan pokok yang sama, dan dari yang satu ini mereka dapat melanjutkan hidupnya. Kami jadikan air segala yang hidup, atau Kami jadikan air kebutuhan pokok semua yang hidup (QS 21:30).

Dalam kesatuannya, seluruh makhluk harus berkerja sama. Nah, dari sinilah perdamaian memperoleh pijakan sehingga menjadi keharusan. Perang tidak dibenarkan, kecuali untuk meraih pedamaian atau dalam bahasa Islam disebut li’la kalimatillah (untuk meninggikan kallimat Allah). Kalimat-Nya adalah kehendak-Nya dan kehendak-Nya tercermin dalam ketetapan-Nya yang mengatur sistem kerja alam raya dan kehidupan ini. Karena itu, tidak dibenarkan peperangan atas dorongan ambisi, fanatisme, ras, dan tidak pula untuk kepentingan satu bangsa dengan menindas bangsa lain. Kalaupun peperangan harus terjadi, maka semua yang tidak terlibat langsung harus dipelihara. Pohon dilarang ditebang, lingkungan jangan dinodai, anak-anak orang tua dan wanita harus dihormati, dan akhirnya, bila ada ajakan damai, maka ajakan itu harus disambut.

Jika mereka condong pada perdamaian, maka condong pulalah kepadanya dan berserah dirilah kepada Allah…. Jika mereka bermaksud menipumu maka cukuplah Allah sebagai pelindungmu (QS 8: 61-62).

Perdamaian dunia adalah dambaan Islam. Ini bermula dari kedamaian jiwa setiap pribadi yang kemudian meningkat kepada kedamaian dalam keluarga kecil, masyarakat, bangsa dan hingga seluruh negara di dunia. Bahkan hal itu diharapkan terus meningkat sampai terwujudnya kedamaian dengan seluruh makhluk yang berpuncak dengan kedamaian di negeri yang kekal atas anugerah Yang Maha Esa. Itulah yang selalu dimohonkan oleh Nabi muhammad SAW. Dan diajarkan kepada umatnya setiap selesai shalat: “Ya Allah Engkaulah Yang Mahadamai, dari-Mu bersumber kedamaian, kepada-Mu kembali kedamaian. Tuhan kami! Hidupkanlah kami dengan penuh kedamain dan masukanlah kami (kelak) di surga-Mu, negeri yang penuh kedamain. Engkau Pemelihara kami, Pemilik keagungan dan kemurahan.” 

Sumber: Lentera Hati, M.Quraish Shihab

Penulis: Fachry Syahrul      

Cinta dan benci

Ada suatu nasihat yang dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadits Nabi Muhammad SAW.: Cintailah kekasihmu secara wajar saja, siapa tahu suatu ketika ia menjadi seterumu. Dan bencilah seterumu secara wajar juga, siapa tahu suatu saat ia menjadi kekasihmu. Cinta dan benci adalah naluri manusia. Tidak heran jika agama memberikan petunjuk menyangkut hal tersebut sebagaimana petunjuknya menyangkut potensi-potensi manusia lain.

Nasihat diatas ditunjukan kepada manusia, demikian juga kekasih dan seteru yang dimaksud. Manusia memliki kalbu, yang dalam bahasa aslinya berati, “bolak-balik”. Hati manusia dinamai kalbu karena ia sering berubah-ubah, sekali ke kiri dan sekali ke kanan. Apalagi bila ia tidak memiliki peganganhidup dan tolak ukur yang pasti.

Cinta dan benci mengisi suatu waktu, sedangkan waktu itu terus berlalu. Karenanya, cinta dan benci pun dapat berlalu. Sebelum bercinta, seseorang merasa dirinya adalah salah satu yang “ada”. Tetapi, ketika bercinta ia dapat merasa memiliki segala yang “ada” atau tidak menghiraukan yang “ada”. Dan ketika cintanya putus, ia merasa “tidak ada” dan hampa. Demikianlah cinta mempermaikan manusia. Cinta dan persahabatan anak muda menurut sebagia pakar-didorong oleh usaha memperoleh kelezatan. Karenanya, ia serba cepat, yaitu cepat terjalin dan cepat pula putus. Sedangkan cinta dan persahabatan orang dewasa adalah demi memperoleh manfaat, dan ini pun beragam sehingga ia pun bersifat sementara. Abu Hayyan At-Tauhidy menulis: “Perjalanan yang paling panjang adalah perjalan mencari sahabat.” Sahabat, menurut Aristoteles, adalah Anda sendiri, hanya saja dia orang lain.

Dia adalah Anda Sendiri. Dan ingat, Anda memiliki kalbu yang sering kali berubah-ubah. Karenanya, tidak ada persahabatan yang kekal, apalagi dalam dunia kelezatan dan kepentingan. Para sahabat akrab, pada hari kemudian saling bermusuhan kecuali orang-orang yang bertaqwa (QS Az-Zukhruf:67). Karena orang bertaqwa memiliki pegangan hidup dan tolak ukur yang pasti, yang bersumber dari Allah yang Maha kekal.

Nasihat diatas sungguh terasa benarnya. Lihatlah, delapan tahun lamanya terjadi pertumpahan darah antara Irak dan Iran. Selama delapan tahun juga Kuwait memberikan bantuan dana yang tidak sedikit kepada irak demi kelanjutan perang. Tetapi, dengan serta-merta, teman yang dieluk-elukan kemarin, berubah menjadi musuh. Musuh kemarin di rangkul agar menjadi teman, sementara penyesalan dan permohonan maaf pun mengalir dari mereka yang mengutuknya kemarin. Julukan saudara terhadap bekas musuh pun terdengar. Demikianlah kalbu yang didasari oleh “kepentingan sementara” yang senantiasa berubah.

Di sini pula kita menyadari betapa luhur petunjuk Al-Qur’an yang mengingatkan kita: janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk tidak berlaku adil! Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.(QS Al-Maidah:8). Sungguh banyak pelajaran yang dapat dipetik dari berbagai peristiwa masa kini yang dapat menjadikan kita semakin percaya akan kebenaran petunjuk-petunjuk agama. 

Penulis: Fachry Syahrul