Keistimewaan Ali bin Abi Thalib dalam Sabda Nabi

Alkisah, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: انا باب العلم و علي مفتاحه “Aku adalah pintunya ilmu, dan Ali adalah kuncinya”. Ya, sahabat Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah menantu Baginda Nabi. Dikisahkan, Nabi merupakan pintu ilmu yang sangat luas. Ia sebagai bekal dunia akhirat sebagaimana pernah disabdakan, kunci ilmu dimiliki oleh sahabat Ali. Hati mana yang tak penasaran mendengar sabda Rasul tersebut. Pun dengan gerombolan orang-orang Khawarij. Mereka gusar tiada tara tatkala mendengar kabar hadits ini. Kemudian mendorong mereka berniat menguji kebenaran hadis kepada Rasulullah secara langsung. Dikumpulkanlah tujuh orang dari golongan mereka. “Jika Ali sebagai kunci ilmu, maka ketika kita beri pertanyaan yang sama tentu jawabannya juga sama”. Salah seorang dari mereka mengawali pembicaraan. “Ya, benar kamu. Tidak mungkin seseorang yang dianggap kuncinya ilmu akan menjawab dengan jawaban yang berbeda-beda. Jika memang benar ia kuncinya ilmu” yang lain menimpali. Disusunlah strategi, rencana matang disusun, “mari kita uji dengan memberikan pertanyaan yang sama, namun dari orang yang berbeda-beda,” usul salah seorang dari ketujuh khawarij tersebut dan mereka berakhir pada kata sepakat. Pertanyaan yang akan diajukan, antara ilmu dan harta, manakah yang lebih utama?  Setelah mereka memberikan pertanyaan yang sama. Mereka mendapat jawaban yang sama pula. Antara ilmu dan harta, yang lebih utama adalah ilmu. “Tapi tunggu dulu, apakah Ali juga memberikan alasan tentang jawabannya?” tanya salah seorang dari mereka. “ya, benar” timpal mereka bersama-sama. “Apa itu?”.  “Kalau ilmu menjagamu. Namun, harta, engkau yang harus menjaganya,” orang pertama dari kelompok khawarij menyampaikan alasan yang dikemukakan sahabat Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah. “Jika ilmu adalah warisan nabi, harta adalah warisan Qorun yang terkutuk”. Orang kedua menambahi kemudia “ilmu jika ditasarufkan, akan bertambah. Sedang harta, jika ditasarufkan akan berkurang,” tambah orang ketiga menyampaikan kutipan argumentasi yang ia terima.  Mereka mulai heran akan jawaban yang berbeda-beda. “Andai kau memilih ilmu, kau akan mendapat julukan yang baik, namun jika harta, julukan buruk yang kau dapat,” demikian orang keempat menjelaskan. Mereka semakin ragu akan alasan yang berbeda-beda.  “Ilmu itu menerangi hati, sedangkan harta mengeraskan hati,” “Ilmu jika dibiarkan tidak apa-apa, namun harta jika dibiarkan akan rusak”, “ilmu ketika di hari kiamat akan menolongmu, namun harta akan menjadi penyebab lamanya hisab di hari kiamat.” Demikian mereka bergantian menyampaikan.  Sejenak, mereka tertegun akan alasan yang berbeda-beda. Bagaimana mungkin, pertanyaan yang diberikan kepada orang satu, menghasilkan jawaban yang memiliki alasan-alasan tersendiri.  Namun, dengan cepat mereka tersadar akan keutamaan ilmu yang dimiliki sahabat Ali bin Abi Thalib. Alasan demi alasan yang diutarakan sahabat Ali bin Abi Thalib berbeda, namun antara satu dan lainnya saling menguatkan, antara ilmu dan harta lebih utama ilmu. Subhanallahil ‘adzim wa shodaqo rasuluhu nabiyyul karim.

Penulis: Alima Sri Sutami Mukti

Ketika Rasulullah Menjelaskan Kepada SahabatPersamaan Kerja dan Jihad

Dengan wasilah bekerja, aneka kebutuhan hidup manusia dapat terpenuhi dan siklus kehidupan pun bisa berjalan dengan normal. Selain itu, bekerja pun bisa bernilai ibadah jika memiliki tujuan atau niat yang baik, misalnya untuk menafkahi keluarga. Islam tidak melarang umatnya untuk bekerja, adapun yang dilarang adalah hubbud dunya atau mencintai dunia. Masalah hubbud dunya sendiri tidak bisa diukur dengan materi karena hubbud dunya masuk kategori penyakit hati yang sulit dideteksi dengan pandangan lahir. Orang yang rajin bekerja, belum tentu hatinya hubbud dunya. Rasulullah sendiri pernah menegaskan tentang pentingnya bekerja Dikisahkan, suatu pagi Rasulullah sedang duduk bersama beberapa sahabat. Tidak lama kemudian melintas seorang pemuda gagah yang terlihat prima, dari atribut dan pakaian yang digunakan, diketahui pemuda itu akan pergi bekerja. “Alangkah baiknya jika pemuda yang masih memiliki energi dan stamina kuat itu dipakai untuk berjihad di jalan Allah (fi sabilillah),” ucap sahabat. Mendengar hal itu, Rasulullah pun langsung menegur dan meluruskan pemikiran sahabat tersebut. “Jangan berkata seperti itu wahai sahabat, andai saja seseorang itu bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri sehingga tidak sampai meminta-minta kepada orang lain, maka sesungguhnya dia sedang berjalan di jalan Allah,” jelas Rasulullah. Rasulullah kemudian melanjutkan sabdanya, andai saja seseorang itu bekerja untuk kedua orang tuanya, keluarga atau keturunannya, sehingga kebutuhan mereka bisa terpenuhi dan tidak sampai meminta-minta pada orang lain, maka dia juga sedang berjalan di jalan Allah. “Namun jika seseorang bekerja untuk membanggakan diri dan hanya untuk mengumpulkan harta, maka pemuda tersebut sedang berada fi sabilis syaithan (jalan setan),” terang Rasulullah. Dengan demikian, bekerja bisa bernilai ibadah fi sabilillah ketika tujuannya adalah untuk kemandirian ekonomi pribadi dan keluarga. Dalam konteks lebih besar lagi untuk kemandirian kelompok, organisasi, bangsa, dan negara sehingga tidak bergantung pada pemberian dari orang atau pihak lain. 

 Sebaliknya, bekerja juga bisa bernilai maksiat ketika tujuan bekerja untuk menyombongkan diri atau bertujuan untuk takatsur (memperbanyak harta) supaya mendapatkan kesenangan duniawi. Wallahu a’lam

 Makna Hadits ‘Bekerjalah untuk Duniamu seolah Kau hidup Selamanya’

 yang diriwayatkan dari Ibnu Umar radiallahu ‘anhu berbunyi sebagai berikut:

اعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأنَّك تَعِيشُ أبَدًا، وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًArtinya: “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok pagi.” Penggalan pertama dari hadits di atas, yakni:

 اعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأنَّك تَعِيشُ أبَدًا dipahami secara berbeda oleh berbagai orang. Ada sebagian orang yang memahaminya sebagai perintah supaya dalam bekerja untuk mencari dunia kita hendaknya melakukannya sebaik dan sekeras mungkin supaya mendapatkan hasil sebanyak-banyaknya sehingga mencukupi seluruh kebutuhan karena akan hidup selamanya.  Pemaknaan seperti itu sesungguhnya tidak tepat meskipun dengan dalih sebagai perimbangan terhadap penggalan kedua dari hadits tersebut, yakni:

 وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا. Di antara kaum Muslimin tidak ada perbedaan pendapat tentang makna penggalan kedua ini. Mereka sepakat bahwa bekerja untuk kepentingan akhirat harus dilakukan sesegera mungkin dan sebaik-baiknya karena kita dianjurkan berpikir seolah-olah besok kita akan mati.  Pemaknaan yang benar terhadap penggalan pertama dari hadits di atas adalah sebagaimana dijelaskan Muhammad Mutawalli asy-Sy’rawi dalam Tafsir asy-Sya’rawi (Akhbarul Yaum, 1991, jilid 3 hal. 1752) terkait dengan tafsir surat Ali Imran ayat 133 sebagai berikut:

 الناس تفهمها فهماً يؤدي مطلوباتهم النفسية بمعنى: اعمل لدنياك كأنك تعيش أبداً: يعني اجمع الكثير من الدنيا كي يَكفيك حتى يوم القيامة، وليس هذا فهماً صحيحاً لكن الصحيح هو أن ما فاتك من أمر الدنيا اليوم فاعتبر أنك ستعيش طويلاً وتأخذه غداً، أمَّا أمر الآخرة فعليك أن تعجل به  Artinya: “Manusia memahami penggalan hadits yang berbunyi “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya” dengan pemahaman yang menuntut terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang bersifat psikologis, yakni pemahaman supaya mendapatkan sebanyak-banyaknya dari dunia ini untuk mencukupi kebutuhan hidup hingga hari kiamat. Pemahaman seperti itu tidak benar, akan tetapi yang benar adalah bahwa jika engkau tidak bisa meraih sesuatu dari dunia ini pada hari ini, maka berpikirlah sesungguhnya engkau akan hidup lama dan akan dapat meraihnya esok hari. Sedangkan terhadap apa yang terkait dengan akhirat, engkau hendaknya bersegera meraihnya.”  Jadi berdasarkan penjelasan dari Imam asy-Sy’rawi di atas, pemaknaan yang benar adalah bahwa kita bekerja untuk mendapatkan hal-hal duniawi cukup seperlunya saja. Hal ini karena kita dianjurkan untuk berpikir bahwa kita akan hidup selamanya sehingga hari esok masih ada dan masih banyak waktu untuk melakukannya.  Dalam kaitan ini ada pepatah Jawa yang sejalan dengan pemaknaan seperti itu, yakni: “Ana dina ana upa (ada hari ada nasi).” Artinya selama masih ada kehidupan, rejeki selalu tersedia setiap hari sehingga tidak perlu bekerja mencari dunia secara “ngaya” atau bekerja terlalu keras hingga lupa ibadah dan lupa waktu untuk istirahat.  Allah subhanu wata’ala telah mengingatkan di dalam Al-Qur’an, surat an-Naba’ bahwa kehidupan ini telah diatur sedemikian rupa; ada siang dan ada malam. Masing-masing memiliki fungsinya sendiri-sendiri. Kedua ayat itu berbunyi sebagai berikut:  وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا (١٠) وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا (١١) ـ Artinya: ”Dan Kami menjadikan malam sebagai pakaian (10), dan Kami menjadikan siang untuk mencari penghidupan. (11)

Ibnu Katsir menafsirkan ayat 10 di atas sebagai berikut:

  أي يغشى الناس بظلامه وسواده، كما قال: {والليل إذا يغشاها}  Artinya: “ Allah menjadikan malam untuk menutupi semua manusia dengan kegelapannya. seperti yang disebutkan-Nya dalam ayat lain:

 وَاللَّيْلِ إِذا يَغْشاها Artinya: “Dan malam apabila menutupinya.” (Asy-Syams: 4). Selanjutnya beliau menambahkan keterangan dengan mengutip pendapat Qatadah sebagai berikut:

  وقال قتادة: { وجعلنا الليل لباساً} أي سكناً. Artinya: “Qatadah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “pakaian” adalah ketenangan Jadi intinya adalah Allah menjadikan malam sebagai saat yang gelap agar manusia istirahat dengan tenang. 

 Mengenai ayat 11 di atas, Ibnu Katsir menafsirkannya pada halaman yang sama sebagai berikut:

 أي جعلناه مشرقاً نيراً مضيئاً ليتمكن الناس من التصرف فيه والذهاب والمجيء للمعايش والتكسب والتجارات وغير ذلك Artinya: “Allah menjadikan siang terang benderang supaya manusia dapat melakukan aktivitasnya untuk mencari upaya penghidupan dengan bekerja, berniaga, dan melakukan urusan lainnya.”   Memperhatikan kedua ayat di atas, kita diharapkan dapat bekerja untuk dunia secara logis. Oleh karena kita dianjurkan untuk berpikir bahwa seolah-olah kita akan hidup selamanya, maka sesungguhnya kita harus pula berpikir bahwa terdapat banyak sekali kesempatan dalam hidup ini untuk mendapatkan apa yang kita butuhkan.  Jika hari ini kita belum mendapatkan apa yang kita butuhkan, esok hari masih ada kesempatan untuk mendapatkannya sehingga kita tidak perlu bekerja memforsir diri dengan melupakan perlunya istirahat. Cara seperti ini justru bisa merugikan diri sendiri karena riskan jatuh sakit akibat kelelahan.  Allah menjadikan malam sebagai saat yang tenang agar kita semua bisa istirahat dengan tenang sekaligus memulihkan kembali stamina kita agar esok hari bisa melanjutkan bekerja sebagaimana lazimnya manusia bekerja. Saat malam juga sangat baik untuk melakukan qiyamul lail dengan terlebih dahulu tidur secukupnya.  Mengisi malam dengan berbagai ibadah di malam hari hendaknya tidak sengaja kita lewatkan begitu saja sebab justru dalam konteks inilah penggalan kedua dari hadits di atas menemukan relevansinya, yakni pada saat ada kesempatan beramal untuk akhirat, maka kesempatan itu tidak boleh disia-siakan dan supaya dikerjakan dengan sebaik-baiknya karena bisa jadi esok hari kita telah mati.  Kesimpulannya, penggalan hadits “Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selamanya” mengandung makna bahwa kita tidak boleh bekerja mencari dunia secara “ngaya” atau bekerja terlalu keras hingga lupa ibadah dan lupa waktu untuk istirahat karena sesungguhnya selama Allah masih memberi kita kesempatan untuk hidup, selama itu pula Allah menjamin ketersediaan rezeki bagi kita. “Ana dina ana upa

Editor : Alima sri sutami mukti

Ibu: Manifestasi Tuhan yang Nyata

Hakikat Tuhan di dunia ini adalah kasat mata. Tidak bisa dilihat oleh mata bagi para hamba-Nya. Semua agama, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha, maupun lainnya memiliki keyakinan yang sama berkaitan dengan eksistensi Tuhan. Tentu saja hal ini tidak menjadikan keyakinan para pemeluk agama menjadi berkurang. Karena dari awal telah meyakini bahwa keberadaan Sang Pencipta, meskipun tidak bisa dilihat secara panca indera. Tetapi dalam hati nurani telah terpatri sebuah keyakinan bahwa Tuhan itu ada, namun tidak bisa dilihat. Keberadaan cukup diyakini keberadaanya. Namun ada satu sosok Tuhan di dunia ini yang bisa dilihat dengan panca indera kita, yaitu Ibu. Sekilas ungkapan ini memang terkesan aneh, bahkan mengarah pada pandangan ekstrim. Namun, penulis menyejajarkan posisi Ibu seperti Tuhan bukan karena tidak meyakini adanya Tuhan. Tetapi berdasarkan sudut pandang lain yang masih berada dalam koridor agama dan tidak lari dari prinsip-prinsip tauhid.

Berdasarkan perspektif agama Islam, Ibu adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang memiliki keistimewaan, baik dihadapan-Nya maupun kontribusi terhadap peradaban dunia. Satu-satunya sosok yang rela mempertaruhkan nyawanya demi kelahiran sang buah hati ke alam dunia. Seorang Ibu dengan penuh kesabaran merawat sang buah hati ketika di dalam kandungan selama 9 bulan genap hingga besar menjadi sosok manusia yang berbudi luhur. Dilansir dari salah satu laman Republika.com, bahwa Ibu dalam kacamata Islam dimaknai sebagai poros dan sumber kehidupan. Dari rahim seorang Ibu, akan lahir berbagai warna warni kehidupan untuk meramaikan dunia seisinya.

Sebelum membahas lebih spesifik terkait alasan menyejajarkan kedudukan Ibu dengan Tuhan, akan lebih bijak jika kita bersama-sama menyimak salah satu hadist Rasulullah SAW berikut ini. “Dari Abu Hurairah R.A beliau berkata “Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali? Nabi menjawab, “Ibumu”. Pertanyaan ini diulangi hingga tiga kali sampai pada pertanyaan terakhir Rasululllah menjawab “Kemudian adalah ayahmu”. (HR Bukhari Muslim).

Mungkin kita sempat merasa bingung kenapa dalam teks hadist ini kata Ibu diulangi sebanyak tiga kali. Tentu saja Rasulullah SAW mempunyai alasan dan maksud tujuan di luar kemampuan kita sebagai umatnya. Syaikh Fadhlullah Al Jilani, ulama India mengatakan bahwa alasan Rasulullah SAW mengulangi perkataan Ibu adalah karena kesulitan yang dirasakan ibu ketika hamil. Seorang Ibu rela mempertaruhkan nyawa demi keselamatan anaknya. Tidak sampai di sini, perjuangan Ibu berlanjut ketika setelah melahirkan. Ibu dengan ikhlas dan sabar selalu merawat anaknya hingga besar sampai mereka sukses. Separuh hidup Ibu semata-mata hanya untuk mengurus, merawat, dan mendidik anak-anaknya. Dari sinilah muncul sebuah ungkapan yang dipopulerkan oleh penyair Hafizh Ibrahim sebagai berikut : “Al-Ummu Madrasatul Ula.” Artinya Ibu adalah madrasah pertama bagi anak. Maksudnya adalah Ibu menjadi gerbang pertama yang memberikan dasar-dasar pengetahuan kepada anak. Beliau mengenalkan tentang makna kehidupan sehingga anak memahami tentang etika sosial kemasyarakatan yang berlaku di tempat ia tinggal.

Besarnya perjuangan seorang Ibu kepada anaknya ini menjadikan setiap do’a yang keluar dari lisan Ibu dijamin mustajab. Telah banyak dijanjijkan oleh Allah SWT melalui hadist dan firman-Nya yang menjelaskan tentang do’a Ibu. Begitu pula dengan ridlanya. Ridla kedua orang tua terutama Ibu sangat penting bagi seorang anak. Do’a dan ridla orang tua adalah dua hal yang tidak bisa dianggap remeh, khususnya bagi seorang anak. Apapun keinginan anak, harus mendapat ridla beserta do’a orang tua, khususnya Ibu. Hal itu sangat penting karena berkaitan dengan ridla Allah SWT kepada keinginan anak tersebut. Hakikatnya adalah ridla Allah SWT terletak pada ridla kedua orang tuanya, terutama ibu. Jika seorang Ibu ridla kepada anaknya, maka bisa dipastikan bahwa ridla Allah SWT telah bersamaan dengan ridla seorang Ibu. Dan sebaliknya, ketika ibu enggan memberikan ridla, maka Allah SWT juga enggan memberikan ridla kepadanya.

Itulah mengapa pada narasi awal berani menyampaikan seorang Ibu sejajar dengan Tuhan. Bukan semata-mata karena ia adalah dzat yang wajib disembah apalagi diagungkan. Melainkan adalah karena mulianya sosok Ibu, ditambah setiap perkataan dan ridla yang keluar dari lisannya adalah setara dengan ridla Allah SWT. Seakan-akan apapun yang ada di dalam hati seorang Ibu bisa dengan mudah dilaksanakan jika ia meminta kepada Allah SWT. Ketika seorang Ibu ridla, maka Allah SWT akan ridla, begitu juga dengan do’a Ibu. Apapun do’a yang Ibu panjatkan entah baik atau buruk dan itu untuk anaknya, niscaya tidak ada penghalang bagi Allah SWT untuk menolaknya permintaan do’a itu. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Rasulullah SAW bersabda: “Ada tiga doa yang tidak tertolak: [1] doa orang tua (kepada anaknya) [2] orang-orang yang berpuasa [3] doa orang yang sedang safar” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan-nya no. 6619, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah).

Juga tidak lupa dalam keindahan Al-Quran, termaktub kisah-kisah mengharukan dan menginspirasi tentang perjuangan empat ibu mulia. Hajar, Milyanah, Hanah, dan Maryam, keempat perempuan ini melukis cerita tentang keimanan, kesabaran, dan keteguhan hati dalam menghadapi ujian kehidupan. Masing-masing membawa pesan mendalam tentang kasih ibu, keberanian, dan ketulusan yang menggetarkan hati.

Hajar Ibunda Nabi Ismail

Salah satu kisah yang mengharukan adalah kisah Hajar, ibunda Ismail. Ketika Nabi Ibrahim berdoa dan meninggalkannya bersama Ismail di gurun tandus, ia berucap, “Ya Tuhan Kami, sesungguhnya diriku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Ka’bah) yang dihormati. Ya Allah, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan sholat. Jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berikanlah rizki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim ayat 37).

Keteguhan dan kesabaran Hajar diuji oleh Allah ketika Ismail membutuhkan air. Dalam pencarian air, Hajar berlari bolak-balik antara Bukit Shafa dan Bukit Marwah. Al-Quran menjelaskan, “Sesungguhnya Shafa dan Marwah merupakan sebagian syiar (agama) Allah. Maka, siapa beribadah haji ke Baitullah atau berumroh, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri, lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Baqarah ayat 158).

Dalam kisah ini, para ibu diajarkan tentang ketekunan, kesabaran, dan kepasrahan kepada kehendak Allah. Hajar barangkali tidak memikirkan keadaan dirinya yang sedang lemah tak ada tenaga, namun ia tetap berusaha melakukan ikhtiar untuk mendapatkan air. Beginilah sosok ibu yang senantiasa tidak rela bila mendapati anaknya berada dalam kelaparan, kehausan, dan kepayahan.

Milyanah Ibunda Nabi Musa

Selain kisah Hajar, Al-Quran menuturkan kisah ibu yang luar biasa, yakni ibunda Musa, yang oleh sejarawan disebut Milyanah. Dalam masa pemerintahan Fir’aun yang kejam, di mana penguasa tersebut memerintahkan pembunuhan terhadap bayi laki-laki Bani Israil, Milyanah menghadapi ujian besar. Fir’aun melaksanakan kebijakan yang mengerikan: “Sungguh, Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dia menindas segolongan dari mereka (Bani Israil), dia menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak perempuan mereka. Sungguh, dia (Fir’aun) termasuk orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash ayat 4).

Milyanah, ibu Musa, hidup dalam keadaan bingung dan terpukul dengan kebijakan diskriminatif Fir’aun. Di tengah keputusasaan itu, Allah memberi ilham ke dalam hatinya untuk mengambil langkah yang benar: “Letakkanlah ia (Nabi Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Firaun) musuh-Ku dan musuhnya. Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku.” (QS. Thaha ayat 39).

Sebelum peti itu terlempar ke sungai Nil, sang ibu menyusui Musa. Al-Quran mencatat, “Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; ‘Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya. Maka jatuhkanlah Dia ke sungai (Nil), dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari Para Rasul.” (QS. Al-Qashash ayat 7).

Kisah Milyanah menggambarkan keharuan seorang ibu yang tegar dalam menghadapi ujian berat. Kesetiaan dan keberanian yang ditunjukkan oleh ibu Musa menjadi inspirasi abadi bagi setiap ibu yang menghadapi tantangan dalam perjalanan hidupnya.

Hanah Ibunda Maryam

Dalam Al-Quran, kita mendapati kisah Hanad, ibunda Maryam, dan istri dari Imran. Hanad terkenal karena melakukan nazar sebelum kelahiran Maryam, menghadiahkan anaknya untuk berbakti di Baitul Maqdis. “(Ingatlah), ketika isteri ‘Imran berkata: ‘Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu, terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ali Imran ayat 35).

Namun, ketika saat kelahiran tiba, kenyataan tak sesuai dengan prasangka ibunda Maryam. Hanad, dengan tulus dan rendah hati, menerima anak perempuannya sebagai anugerah dari Allah dan tetap setia pada nazarnya. “Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: ‘Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai Dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk (QS. Ali Imran ayat 36).

Kisah Hanad memancarkan ketulusan dan keikhlasan seorang ibu yang setia pada janji dan nazar yang telah diucapkannya. Sebagai teladan bagi umat, Hanad mengajarkan kita untuk selalu berserah diri pada kebijaksanaan Allah meski rencana kita tak selalu sejalan dengan takdir-Nya.

Maryam Ibunda Nabi Isa

Maryam bin Imran mengukir kisah yang mempesona dalam lembaran Al-Quran. Ia bukan hanya seorang perempuan biasa, tetapi teladan bagi setiap muslimah di berbagai pelosok dunia. Keimanan dan ketakwaannya kepada Allah membawa berkah luar biasa, menciptakan keajaiban yang mengejutkan orang-orang di sekitarnya.

Al-Quran mencitrakan Maryam sebagai figur perempuan yang mulia, suci, dan penuh kesabaran. “Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: ‘Hai Maryam, Sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu, dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu). Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (QS. Ali Imran ayat 42-43).

Dengan kasih sayang Ilahi yang melimpah, Maryam membuktikan bahwa seorang perempuan dapat menjadi teladan yang memancarkan cahaya keimanan dan ketakwaan, menginspirasi generasi setelahnya. Melalui kisahnya, Al-Quran mengajarkan bahwa kepatuhan kepada Allah dan kesucian hati adalah pondasi yang kokoh untuk memperoleh keberkahan-Nya.

Empat Kisah tentang Ibu di dalam Al Quran di atas memberikan nilai-nilai keteguhan, kesabaran, keikhlasan, dan ketakwaan yang melekat dalam peran seorang ibu. Kisah Hajar, Milyanah, Hanah, dan Maryam merupakan panduan hidup bagi setiap ibu dan perempuan muslimah. Keberanian, kepasrahan, dan keikhlasan mereka di hadapan ujian hidup menggambarkan kebesaran peran seorang ibu dalam membentuk karakter, menghadapi cobaan, dan mendidik generasi penerus.

Semoga bisa meneladani ketulusan dan dedikasi para ibu yang terabadikan dalam Al Quran, sehingga peran suci sebagai ibu dapat terus dijaga dan diperjuangkan sebagai fondasi keluarga yang kokoh. Dengan demikian, semoga kita dapat meraih keberkahan dunia dan akhirat, serta menerima peran ibu dengan penuh kebermaknaan dan kesuksesan.

Penulis: Raisya Audyra

Resolusi Jihad: Upaya mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia

Pertempuran 10 November di Surabaya menjadi salah satu pertempuran terhebat dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia.

Namun, siapa sangka di balik peristiwa hebat itu ada peran penting yang dimaikan oleh kaum santri.

Pertempuran dahsyat di Surabaya itu tak lepas dari resolusi jihad yang dicetuskan oleh Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945.

Resolusi jihad itu dicetuskan merespons kedatangan tantara Inggris kembali ke Indonesia. Mereka datang dengan bantuan Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

Resolusi Jihad bermula saat Presiden RI Pertama, Soekarno, mengirim utusan kepada K.H. Hasyim Asyari untuk menanyakan hukum dalam agama Islam mengenai membela tanah air dari ancaman penjajah.

Pada tanggal 21-22 Oktober 1945, KH Hasyim Asyari mengumpulkan wakil-wakil dari cabang Nahdlatul Ulama (NU) di seluruh Jawa dan Madura di Surabaya untuk membahas hukum membela tanah air dalam Islam.

Hasil dari pertemuan tersebut adalah lahirnya Resolusi Jihad yang berisi kewajiban dalam membela tanah air melawan NICA.

Resolusi Jihad inilah yang memotivasi kiai dan kaum santri untuk mulai melawan penjajah. Mereka membawa semangat perlawanan ini hingga puncaknya pada 10 November di Surabaya.

Ratusan santri dari Pulau Jawa dan Madura berkumpul dan bertempur di Surabaya. Mereka datang dari berbagai daerah seperti Cirebon di bawah pimpinan Kiai Abas Buntet hingga para santri Kediri yang dipimpin oleh Kiai Mahrus Ali Lirboyo.

Meski berbekal peralatan sederhana seperti bambu runcing dan benda tajam lainnya, semangat untuk membela bangsa dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia begitu kuat dalam hati mereka.

Perlu diketahui, pidota Bung Tomo yang membakar semangat arek-arek Suroboyo pada masa itu juga terinspirasi oleh fatwa Resolusi Jihad.

Dan untuk melanjutkan estafet perjuangan para pahlawan kita sebagai anak muda harus mempunyai semangat yang membara untuk membangun negri ini menjadi lebih maju, dan kita harus sadar betapa penting nya peran pemuda dalam kemajuan bangsa

”Sesungguhnya mereka ialah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.” (QS. Al-Kahfi : 13)

 Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa kekuatan sebuah bangsa terletak di tangan para pemudanya, karena merekalah yang kelak akan menunjukkan wajah kehormatan suatu bangsa dalam segala kontes kehidupan. Yang jika para pemuda dalam suatu negara mengalami kerusakan moral dan agama, maka sangat disayangkan nasib bangsa itu nantinya.

Berbicara tentang pemuda berarti berbicara tentang masa depan, sebab pemuda ialah generasi pewaris yang akan menggantikan estafet kepemimpinan sebuah generasi baik dalam keluarga, kelompok, organisasi, bangsa dan dunia. Pemuda merupakan motor penggerak peradaban, mereka merupakan harapan besar bagi kemajuan bangsa, negara dan agama. Oleh karenanya jika kita ingin mengetahui bagaimana suatu negara dimasa yang akan datang, maka lihatlah pemudanya di masa sekarang. Untuk itu amat diperlukannya pendidikan moral, agama, hingga pengembangan wawasan agar suatu negara kelak dapat menghasilkan pemuda-pemuda yang hebat serta taat pada perintah agama. Yang insya allah kelak akan menjadi tonggak kesuksesan suatu negara, juga menjadi inspirasi bagi siapapun yang melihat dan mengenalnya. Dipundak pemudalah harapan dan cita-cita bangsa digantungkan, sehingga pemuda dituntut untuk dapat berperan aktif dalam garda terdepan pembangunan bangsa baik fisik maupun mental.

Dalam sejarah peradaban bangsa sendiri, pemuda merupakan aset bangsa yang sangat mahal dan tak ternilai harganya. Kemajuan atau kehancuran suatu bangsa tergantung pada kaum mudanya sebagai agen of change (agen perubahan), yang mana pada setiap perkembangan serta pergantian peradaban selalu ada darah muda yang memeloporinya. Namun, pemuda indonesia dewasa ini telah banyak kehilangan jati dirinya, terutama dalam hal wawasan kebangsaan dan patriotisme (cinta tanah air) indonesia. Yang oleh sebab itu dibutuhkan adanya re-thinking (pemikiran kembali) dan re-inventing (penemuan kembali), dalam nation character building (pembangunan karakter bangsa) bagi para pemuda yang kurang berwawasan kebangsaan dan patriotisme untuk menemukan kembali jati diri bangsa.

Sepanjang sejarah peradaban dunia, Islam memiliki pemuda-pemuda hebat pada zamannya masing-masing. Yang mana di usianya yang cenderung masih sangat muda, mereka mampu menorehkan karya-karya luar biasa untuk kelangsungan peradaban dunia.

  • Yang pertama, ada Muhammad Al-Fatih. Mehmed dikenal sebagai pemimpin yang cakap serta ahli dalam bidang kemiliteran, ilmu pengetahuan, matematika, dan menguasai enam bahasa saat beranjak 21 tahun. Ia dikenal sebagai pahlawan di Turki, maupun dunia Islam secara luas. Dalam sejarah peradaban Islam sendiri, Mehmed dikenal sebagai salah seorang pemimpin yang hebat, yang mana sebelumnya telah diramalkan oleh Rasulullah SAW kehadirannya.
  • Selanjutnya ada Ibnu Battuta, yang mana ia dikenal sebagai penjelajah dunia paling andal dari Maroko. Gairahnya berpetualang ke dunia luar begitu membara, ia berharap kelak dapat belajar lebih banyak. Dalam perjalanannyalah ia menulis buku berjudul ‘Rihlah’, yang mana di dalamnya ia mengungkapkan alasan mengapa ia meninggalkan kota kelahirannya dan memutuskan menjelajah. Yakni “Tujuanku untuk berziarah ke Kabah (di Makkah), dan untuk mengunjungi makam Nabi”, berbekal tujuan ini Ibnu Battuta mengembara dengan keledainya meninggalkan kota kelahirannya di Tangier, Maroko. Ia pergi seorang diri ke arah timur di sepanjang wilayah Afrika Utara, melewati lembah, sungai, dan daratan-daratan kering yang diapit serangkaian pegunungan.
  • Lalu dari tokoh wanitanya ada Fatimah Al-Fihri, perempuan hebat yang semangat menjadi duta kebaikan dari Kairouan Tunisia. Universitas Al-Qarawiyyin dan pendirinya ‘Fatima al Fihri’ ialah permata mahkota dan simbol kuat aspirasi perempuan serta pemimpin kreatif dalam sejarah peradaban Muslim. Didirikan pada tahun 859 (hampir seratus tahun sebelum pendirian Al Azhar di Kairo) dan terletak di medina tua Fez, Universitas al-Qarawiyyin di Maroko sendiri telah lama diakui dalam Guinness Book of World Records sebagai lembaga tertua di dunia yang beroperasi sebagai universitas pemberi gelar akademik.

juga masih banyak lagi tokoh-tokoh pemuda inspiratif islam lainnya yang memiliki peran penting dalam kelangsungan peradaban dunia.

Penulis: Raisya Audyra

Rubrik : Renungan Hati
Diam adalah Emas, Pentingnya Memiliki Sikap Diam

Diam adalah salah satu bahasa tubuh yang memiliki seribu arti. Diam bisa berarti marah, lemah, perkasa, dan lain sebagainya. Di sisi lain, diam juga menjadi anjuran daripada berkata yang tidak baik atau tidak benar. Sebagaimana disebutkan dalam hadis,

“…وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ “.

“Dan barangsiapa yang beriman kepada kepada Allah, serta hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau diam.” (Bukhari no. 6018)

Karena itu, penting sekali menjaga lisan kita dari hal-hal dan perkataan yang tidak benar. Lidah bisa menjadi senjata untuk menyakiti orang lain, hingga muncul pepatah, “mulutmu harimaumu”, “lidah lebih tajam dari pedang” dan lain-lain.

Selain itu, tokoh mazhab kita juga memiliki beberapa nasihat tentang sikap diam lewat syair-syairnya yang ditulis dalam kitab diwan asy-Syafi’i.

Pertama, Menjaga lisan

احْفَظْ لِسَانَكَ أَيُّهَا الإِنْسَانُ

لا يلدغَنَّكَ إِنَّهُ ثُعْبَانُ

كم في المَقَابِرِ مِنْ قَتِيلِ لِسَانِهِ

كانت تَهابُ لِقاءَهُ الأَقْرَانُ

Jagalah lidahmu hai manusia,

Jangan sampai mematukmu sebab Ia adalah ular

Betapa banyak orang terbunuh lantaran lidahnya

Teman nan akrab pun takut padanya.

Kedua, Diam adalah kebijaksanaan.

قالوا سَكَتَّ وقد خُوصِمْتَ قُلْتُ لَهُمْ

إِنَّ الْجَوَابَ لِبَابِ الشَّرِّ مفتاحٌ

وَالصَّمْتُ عَنْ جَاهِلٍ أَوْ أَحْمَقٍ شَرَفُ

وَفِيهِ أَيْضاً لِصَوْنِ الْعِرْصِ إِصْلَاحُ

أما تَرَى الْأُسْدَ تُخْشَى وهْي صَامِتَةٌ ؟

والْكَلْبُ يُخْسَى لَعَمْرِي وَهُوَ نَبَّاحُ

Mereka berkata: “Kau hanya diam sedang kau benar-benar dimusuhi.”

Kujawab: “Karena menanggapinya adalah kunci pintu keburukan.”

Diam kepada orang bodoh dan pandir adalah suatu kemuliaan

Pada diam pula menjaga harkat martabat.

Baca Juga: https://almusripusat.com/ketika-shalat-hanyalah-gerakan-tanpa-makna/

Tidaklah engkau lihat singa ditakuti karena diamnya?

Sedangkan anjing dipermainkan karena gonggongnya.

Nasihat-nasihat ini dilontarkan oleh imam mazhab kita, yakni Muhammad bin Idris Asy-syafi’i. Imam Syafi’i selain terkenal sebagai mujtahid, juga memiliki ragam fan keilmuan yang sangat dikuasai.

Hal ini sebagaimana diucapkan oleh Ahmad bin Hanbali (pendiri mazhab hanbali),

“Syafi’i adalah orang yang paling fasih, sampai-sampai raja pun takjub dengan kefasihan Syafi’i dalam berbicara.”

Ahmad bin Abi Suraij juga berpendapat tentang imam merupakan ahli bahasa. “Tidak ada seorang pun yang menyaingi kefasihan dan kepiawaiannya dalam berbicara.”

Lihat diwan asy-syafi’i hal. 3.

Menghadapi akhir zaman yang diliputi banyak fitnah, diam memang diperlukan. Tetapi lebih bijak lagi kita bisa menempatkan ‘diam’ secara proporsional. Karena ketika ada kemaksiatan, tentu kita tidak bisa tinggal diam. Begitu pula ketika menjawab pertanyaan tanpa didasari ilmu, maka kita wajib diam atau mengakui tidak tahu.

Wallahu a’lam