Doa Rasulullah Ketika Mati Lampu

Apa yang anda lakukan ketika di malam hari tiba-tiba terjadi mati lampu dan keadaan menjadi gelap gulita? Seketika mungkin ada yang mengeluh kesal. Ada juga yang bersedih karena mungkin pekerjaannya terganggu. Atau bahkan ada yang mengumpat kegelapan dengan penuh kemarahan. Berbeda sekali dengan sebuah kisah Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam beberapa literatur hadits mursal-nya yang juga termaktub dalam Kitab Tafsir Jalalain karya Syekh Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli sebagai berikut:

Pada suatu malam yang syahdu. Rasulullah saat itu sedang berdua dengan istrinya, Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu anha. Saat mereka berdua sedang asyik bercengkrama. Tetiba pelita penerang rumah sederhana namun penuh bahagia itu padam seketika. Keadaan berubah menjadi gelap gulita. Dengan tenang, Sang Nabi lantas berucap penuh wibawa:

إِنَّا للهِ وَ إِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn. Artinya, “Sesungguhnya kita semua adalah kepunyaan Allah, dan hanya kepada-Nyalah kita semua kembali.”

Mendengar ucapan suaminya yang demikian. Sayyidah ‘Aisyah pun mencoba meminta penjelasan dengan berkata, “Sesungguh (yang mati) ini hanyalah lampu penerangan.” Ya, mungkin saat itu sependek pemikiran Sayyidah ‘Aisyah, kalimat tarji’ (bacaan innalillahi) hanya diucapkan ketika terjadi musibah yang luar biasa. Seperti ketika ada saudara muslim meninggal dunia atau terjadi bencana alam yang merenggut banyak korban jiwa.

Tetapi ternyata bagi nabi lain, beliau kemudian menjelaskannya dengan berkata, “Segala sesuatu yang menyusahkan seorang mukmin maka itu adalah musibah.” Demikianlah sudut pandang dan perilaku Rasulullah dalam memaknai musibah. Nabi selalu mengikut sertakan Allah dalam segala sisi kehidupan, dalam setiap perkara. Baik itu dalam hal sesederhana lampu yang padam. Apalagi dalam perkara yang lainnya, sudah barang tentu Rasulullah tak luput untuk mengingat Allah ta’ala. Lewat kisah ini, Rasulullah mengajarkan kita betapa mengingat Allah memberikan dampak yang sangat positif bagi kehidupan kita. Ketika kita waspada dan hati kita senantiasa terikat dengan Allah ta’ala,  saat mengalami hal yang tak sesuai rencana, maka pastinya kita tidak akan mudah merana dan gundah gulana. Dalam keadaan senang pun kita tak akan sombong, lupa diri, terlalu berbangga dan jumawa. Karena kita menyadari, bahwa segala perkara tak lepas dari kuasa Sang Pencipta. Allah pun adalah sebaik-baiknya zat yang mengatur segala takdir kehidupan manusia.

editor Alima sri sutami mukti

Kisah Pengemis dan Kekuatan Kata-kata

Sebuah video singkat tiba-tiba muncul di beranda Media Sosialku. Dari sekian banyak video pendek dari berbagai platform media sosial yang ada, video ini menurutku sangat inspiratif. Alkisah ada seorang pengemis yang ‘mangkal’ di pinggir jalan dengan kotak plastik di depannya. Tentu, semua paham untuk apa kotak itu.   Sekian lama ia menunggu berharap orang-orang yang lewat melintas di depannya merogoh sakunya untuk mengambil uang dan mendonasikan uang itu kepadanya. Untuk meyakinkan semua orang, Ia pun menuliskan sebuah kalimat di karton kardus bekas bertuliskan: “I’m blind. Please help me” (Saya buta. Tolong bantu aku). Ya, pengemis itu memang seorang tunanetra.

Dengan tulisan yang terkesan meminta belas kasihan tersebut, ternyata tak ada orang yang peduli untuk sekedar menyisihkan uang receh dan memasukkannya ke kotak yang ia pegang.   Sampai akhirnya ada seseorang ia rasakan berhenti di depannya. Raut mukanya terlihat sangat senang menunjukkan harapan yang ia tunggu-tunggu lama akhirnya datang juga. Namun sosok yang berhenti itu pun tidak kunjung meletakkan uang di kotak yang sudah ia angkat lebih tinggi dari biasanya. Si pengemis itu pun kemudian memegang sepatu orang yang berhenti di depannya dengan tangannya seolah ingin mengenalnya.

Bukannya memberi uang, orang tersebut tiba-tiba mengambil spidol di samping pengemis dan menuliskan sebuah kalimat di balik karton kardus yang sebelumnya ditulis “I’m blind. Please help me”. Orang itu pun berlalu pergi dengan tanpa memberikan uang sepeserpun. Nampak raut muka si pengemis murung karena harapannya kembali pupus. Ia tadinya sangat berharap, orang yang berdiri di depannya mau memberinya uang untuk membantunya. Namun ternyata ia hanya menuliskan sesuatu menggantikan kalimat “I’m blind. Please help me” yang ia tak tahu kalimat apa itu.   Tak lama setelah seseorang misterius tersebut berlalu, tiba-tiba berbunyi uang koin masuk ke kotaknya. Ia pun merasa senang. Belum hilang rasa itu, kembali suara koin lebih banyak masuk ke kotak yang ia bawa. Ia pun terkaget-kaget karena tiba-tiba banyak orang yang memberinya uang. Hampir setiap orang yang lewat memberinya uang setelah membaca tulisan baru di karton kardus itu.

tiba-tiba, sebuah langkah berhenti di depannya. Si pengemis pun tertegun dan merasakan bahwa ia mengenal langkah itu. Pelan-pelan si pengemis itu memegang sepatu orang itu dan tahu bahwa ia lah yang menulis kalimat itu. Si pengemis itu pun penasaran dan bertanya kepada sosok misterius itu, apa kalimat yang ia tulis “Aku hanya menuliskan hal sama dengan apa yang kau inginkan. “Today is a beautiful day and I cannot see it”. (Hari ini sangat indah, namun aku tak bisa melihatnya),” jawab sosok misterius itu.    Dari kisah ini, kita bisa ambil hikmah bahwa kata-kata memiliki kekuatan luar biasa untuk membangun dan juga menghancurkan. Kata-kata dan ucapan kita bisa menjadi obat yang menyembuhkan luka atau bisa menjadi pisau yang memperdalam luka. Sebuah komentar negatif dapat dengan mudah merusak reputasi seseorang atau komunitas yang dimilikinya. Sebaliknya, kata-kata pujian dan dukungan dapat menginspirasi dan memberdayakan.

Dalam konteks hubungan interpersonal, kata-kata dan ucapan yang baik dan positif dapat memperkuat ikatan dan membangun kepercayaan. Sebaliknya, kata-kata dan ucapan yang kasar dan negatif dapat merusak hubungan dan menimbulkan konflik.   Sehingga sudah seharusnya kita selalu berusaha untuk hati-hati memilih diksi dan menggunakan kata-kata yang positif, mendukung, dan bersifat membangun. Terlebih di era digital saat ini, di mana setiap orang bisa mengatakan apa yang diinginkan dan meluapkannya melalui media sosial. Jika tidak bisa menahan diri maka setiap kata yang ditulis dapat dengan cepat menyebar luas melalui media sosial.   Sebuah hadits mengingatkan, “Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kalimat tanpa dipikirkan terlebih dahulu, dan karenanya dia terjatuh ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat.” (HR. Muslim no. 2988).   Dalam al-Qur’an pun diingatkan pada Surat Fatir ayat 10 yang artinya: “Siapa yang menghendaki kemuliaan (ketahuilah) kemuliaan itu semuanya milik Allah. Kepada-Nyalah akan naik perkataan-perkataan yang baik dan amal saleh akan diangkat-Nya. Adapun orang-orang yang merencanakan kejahatan akan mendapat azab yang sangat keras dan rencana jahat mereka akan hancur.”   Dari kisah dan panduan Al-Qur’an dan hadits ini kita bisa mengambil pelajaran bahwa kata-kata walaupun itu sederhana namun positif akan mampu merubah dunia. Maka di era digital saat ini, penting bagi siapapun yang memiliki kemampuan menarasikan hal positif untuk tak lelah memproduksi narasi-narasi inspiratif untuk mewujudkan peradaban dunia yang lebih baik penuh dengan cinta dan harmoni. ” Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang dari masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” pramoedyaAnanta Toer.  

editor Alima sri sutami mukti

Seberapa Penting Nasab dalam Fiqih?

Perbincangan tentang nasab kembali melambung setelah acara “Silaturahmi Akbar Keluarga Kesultanan Banten” pada 26 Agustus 2023 lalu. Pondok Pesantren An-Nur II Al-Murtadlo pun ikut membahas tentang nasab dalam Bahtsul Masail se-Malang Raya. Apakah persoalan mengenai nasab ini sepenting itu sampai dibahas dalam forum-forum besar?

Karena itu, mari kita telusuri sebatas mana ilmu fikih membahas tentang nasab ini. Terlepas dari polemik tentang nasab Ba ‘Alawi yang menjadi perbincangan publik, di sini penulis mencoba memaparkan tentang hukum-hukum fikih yang terkait dengan nasab.

Secara bahasa, nasab dapat diartikan sebagai hubungan keturunan atau pertalian keluarga. Imam Al-Qurthubi dalam kitabnya Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an mengatakan, bahwa nasab adalah kata yang digunakan untuk mengungkapkan suatu hubungan dari percampuran sperma laki-laki dan ovum perempuan yang sesuai prosedur syariat (menikah).

Sementara nasab dalam kajian fikih, Imam Al-Baijuri dalam kitab Hasyiyah Fath Al-Qarib-nya menyebutkan,

وَالْعِبْرَةُ فِي الْإِنْتِسَابِ بِالنَّسَبِ إِلَى الْآبَاءِ

Anggapan terhadap hubungan melalui garis keturunan adalah kepada ayah.”

Dengan demikian, nasab dapat dicontohkan seperti, “Rafatar memiliki nasab dengan Raffi Ahmad.” Karena Rafatar merupakan anak kandung dari pernikahan sah secara Islam antara Raffi Ahmad dengan Nagita Slavina.

Nasab dalam Fikih

Dalam pembahasan fikih, terdapat banyak bab yang berkaitan dengan nasab. Ini menunjukkan nasab memiliki kedudukan penting dalam Islam. Karena dengan nasab akan memunculkan perbedaan hukum. Contoh saja permasalahan fikih tentang mahram dalam kitab Fath Al-Qarib Al-Mujib karya Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi berikut:

وَالْمُرَادُ بِالْمَحْرَمِ مَنْ حَرُمَ نِكَاحُهَا لِأَجْلِ ‌نَسَبٍ

Yang dimaksud dengan mahram adalah seseorang yang haram untuk dinikahi karena ada hubungan nasab…”

Dari penggalan kitab ini, dapat kita pahami nasab berperan dalam penentuan mahram atau bukan. Bila memiliki hubungan nasab dalam hal mahram, maka kita tidak boleh menikah dengannya. Beda hukumnya bila kita menyentuhnya saat memiliki wudhu, maka wudhu kita tidak batal sebab ada ikatan mahram ini.

Contoh lagi dalam kitab Minhaj Ath-Thalibin wa ‘Umdah Al-Muftin karya Imam Nawawi berikut:

وَيُقَدَّمُ الأَفْقَهُ وَالْأَقْرَأُ عَلَى الْأَسَنِّ وَالنَّسِيْبِ

Dan pakar fikih dan qori’ lebih didahulukan (untuk menjadi imam) dari orang yang lebih tua dan nasabnya luhur.”

Dalam pembahasan teersebut, orang yang lebih alim dalam memahami fikih dan lebih bagus bacaan al-Qurannya didahulukan untuk menjadi imam shalat daripada orang yang lebih tua dan nasabnya lebih mulia. Di sini, fikih masih mempertimbangkan nasab dalam menetapkan hukum memilih imam.

Sebenarnya masih banyak permasalahan fikih yang bersangkutan dengan nasab. Seperti dalam pembahasan waris, nasab mempengaruhi apakah seseorang bisa mendapat bagian atau tidak; dalam pembahasan nikah, wali yang mengakad harus ayah kandung (memiliki hubungan nasab); dalam pembahasan zakat, keturunan Bani Hasyim dan Bani Muthallib tidak boleh diberi zakat, dan masih banyak lagi.

Karena itu, penting bagi kita untuk menjaga nasab. Caranya dengan tidak memunculkan anak tak bernasab yang berasal dari hubungan zina. Dan ini sesuai dengan salah satu Maqashid Asy-Syari’ah (tujuan adanya hukum Islam) yang disebutkan Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mustashfa, yakni Hifdz An-Nasl wa An-Nasab.

Penulis : M Wildan Musyaffa

Fatwa MUI, Hukum Dukungan Perjuangan Rakyat Palestina

Majelis Ulama Indonesia (MUI) memboikot produk-produk yang berkaitan dengan Israel sebagai bentuk protes terhadap kebijakan Israel terhadap Palestina. Keputusan MUI ini didasarkan pada pandangan moral, kemanusiaan, dan solidaritas terhadap rakyat Palestina yang dianggap terzalimi oleh kebijakan Israel.

  • Pandangan Islam tentang Solidaritas dan Keadilan

Pada dasarnya, ajaran Islam mendorong umatnya untuk berdiri dalam solidaritas terhadap mereka yang terzalimi. Prinsip keadilan, empati terhadap penderitaan orang lain, dan menentang penindasan merupakan nilai-nilai yang sangat dianjurkan dalam Islam.

  • Konteks Konflik Israel-Palestina

Pada konflik Israel-Palestina, pandangan ini menjadi penting karena situasi yang terus berkecamuk di wilayah tersebut. Banyak pihak melihat bahwa tindakan Israel terhadap rakyat Palestina, termasuk pendudukan wilayah, pembangunan pemukiman, dan kekerasan yang mengakibatkan penderitaan bagi warga sipil, sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan prinsip-prinsip kemanusiaan.

  • Boikot Produk Zionis

MUI memboikot produk-produk yang berasal dari Israel atau terkait dengan Zionis sebagai bentuk protes dan dukungan terhadap Palestina. Boikot ini adalah upaya konkret dalam menunjukkan sikap solidaritas terhadap rakyat Palestina yang berjuang dalam konflik yang panjang.

  • Pandangan Lain dalam Islam

Namun, dalam Islam, pandangan terhadap konflik ini dapat beragam. Beberapa orang mungkin memiliki sudut pandang yang berbeda tentang cara terbaik untuk menyelesaikan konflik atau mengatasi masalah tersebut, sementara yang lain akan mendukung tindakan konkret seperti boikot.

  • Kaitan dengan Prinsip Keadilan dan Kemanusiaan

Secara umum, keputusan MUI untuk memboikot produk-produk Zionis Israel didasarkan pada prinsip keadilan, kemanusiaan, dan solidaritas terhadap rakyat Palestina. MUI, sebagai lembaga fatwa dan otoritas keagamaan di Indonesia, berupaya mengedepankan nilai-nilai ini dalam pandangan dan tindakannya terhadap isu-isu internasional yang memiliki dampak besar terhadap kemanusiaan.

Dalam rangka untuk memahami secara lebih komprehensif mengenai boikot ini, penting untuk mencari pemahaman dari berbagai sumber yang dapat memberikan wawasan yang luas dan mendalam mengenai konteks politik, sosial, dan kemanusiaan yang melatarbelakangi tindakan tersebut.

Isi Lengkap Fatwa MUI No. 83 tahun 2023

Penulis : M Wildan Musyaffa

Silaturahmi, Wasilah Mencapai Derajat Birrul Walidain

Orang tua merupakan tumpuan yang paling mendasar bagi seorang anak dalam menjalani kehidupan yang terus berlangsung. Seorang anak tidak akan mendapatkan kebahagian tanpa luapan kasih yang telah diperjuangkan oleh orang tua bertahun-tahun bahkan sampai meninggal. Sama halnya seorang anak yang sudah baligh sebenarnya sudah tidak menjadi tanggungan orang tua -tidak hanya perihal pahala dan dosa, tapi juga seluruh kehidupannya-, akan tetapi dengan dengan sifat loman yang dimiliki orang tua maka seorang anak tetap menjalani kehidupannya berkat tunjangan dari orang tua.

Maka, sangat “biadab” bukan apabila ada seorang anak yang nglarakke –dhahir maupun bathin-orang tuanya? Bagaimana tidak “biadab”? Orang tua tetap menanggung kehidupan anaknya yang sudah baligh, padahal hal itu sudah tidak menjadi kewajiban orang tua.

Oleh karena itu, sudah menjadi barang yang tidak bisa ditawar lagi bahwa berbakti kepada orang tua merupakan hal yang wajib.  Bahkan, dalam hadis Nabi Muhammad Saw. memberikan julukan orang yang berdebu hidungnya (baca: orang yang merugi). Orang yang berdebu hidungnya menjadi kinayah (julukan) bagi orang yang masih memiliki orang tua tapi tidak berbakti kepada orang tua.

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “رَغِمَ أَنفُهُ, ثُمَّ رَغِمَ أَنفُهُ”, قِيلَ: مَن يارسولَ اللهِ؟ قال: “مَن أدرَكَ وَالِدَيهِ عِندَ الكِبَرِ أَو أَحَدَهُمَا ثُمَّ لَم يَدخُلِ الجَنَّةَ”. (رواه مسلم)

Artinya: “Dari Abu Hurairah dari Rasulullah Saw. bersabda: “Sangat rugi, sangat rugi.” Nabi ditanya, “Siapa orang yang rugi itu, ya Rasulullah?” Kemudian Nabi bersabda, “Orang yang rugi adalah orang yang menjumpai kedua orang tuanya atau salah satunya tetapi orang tersebut tidak masuk surga”. (H.R. Muslim).

Sudah sangat gamblang hadis tersebut menyebutkan betapa ruginya orang yang tidak berbakti kepada orang tua, bahkan secara “ekstrim” Nabi mengatakan tidak masuk surga. Orang tua yang sudah jelas di depan mata kita, satu rumah dengan kita, bertemu setiap jam, menit, bahkan detik akan tetapi kita tidak berbuat baik kepadanya, maka kita adalah orang yang sangat rugi dan tidak akan masuk surga.

Maka dari itu, tulisan ini bertujuan untuk mengajak teman-teman semua -tanpa terkecuali diri saya sendiri- menyadari akan pentingnya berbakti kepada orang tua dan betapa meruginya orang yang tidak berbakti kepada orang tua.

Makna dan Kewajiban Birrul Waalidain

Di dalam ajaran Islam ada istilah birrul waalidain yang bisa kita artika sebagai berbuat baik kepada orang tua atau berbakti kepada orang tua. Birrul waalidain dalam Islam menjadi kewajiban dan di beberapa referensi disebutkan birrul waalidain merupakan amal ibadah kepada Allah yang paling utama. Sesuai dengan firman Allah Q.S. Al-An’am ayat 151:

قُل تَعَالَوا اَتلُ مَاحَرَّمَ رَبُّكُم عَلَيكُم اَلَّاتُشرِكُوا بِهٖ شَيأً وَبِالوَالِدَينِ اِحسَانًا

Artinya: “Katakanlah (Muhammad): “Aku akan membacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu, (yaitu) janganlah mempersekutukan-Nya dengan siapapun, berbuat baiklah kepada orang tua”.

Kitab Risalah Akhlak Birrul Waalidain karya KH. Ahmad Mujab Mahalli menyebutkan bahwa birrul waalidain merupakan sebuah sikap yang memenuhi hak-hak orang tua serta memuliakan dengan mengikuti dan menjalankan dhawuh orang tua. Menjalankan segala sesuatu yang menyebabkan hatinya ridha serta menjauhi dari perbuatan yang dapat membuat kecewa dan marah orang tua. Tentu seperti yang kita ketahui, kewajiban taat kepada dhawuh atau perintah orang tua itu perintah-perintah yang baik, bukan kok malah perintah yang tidak baik atau maksiat.

Beberapa hal yang mendasar mengapa kita harus berbakti kepada orang tua di antara yaitu berkat orang tualah kita terlahir di dunia ini; mendidik; orang tua membesarkan sehingga menjadi manusia yang sempurna dan mendapatkan keluhuran. Maka dari itu, sudah menjadi hal yang wajib -tidak bisa ditawar lagi- bahwa birrul waalidain sebuah sikap yang wajib dimiliki setiap orang, dan tidak lain adalah seorang anak yang memiliki kewajiban birrul waalidain.

Birrul Waalidain Setelah Orang Tua Meninggal

Jangan dipahami bahwa berbakti kepada orang tua tidak hanya orang tua yang masih hidup saja, akan tetapi bagi seorang anak yang sudah ditinggal wafat orang tuanya pun masih memiliki kewajiban untuk berbakti kepada orang tuanya.

Ada beberapa hadis yang menjelaskan bagaimana cara untuk berbakti kepada orang tua yang sudah meninggal, di antara hadis yang masyhur bagi kita mengenai birrul waalidain kepada orang tua yang sudah meninggal adalah hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa ketika anak adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya. Saya tidak akan membahas hadis tersebut, karena nampaknya sudah banyak yang mengetahuinya.

Saya tertarik kepada hadis Nabi yang mengatakan bahwa menyambung tali silaturahim kepada orang yang biasa disilaturahimi -termasuk teman-temannya- oleh orang tua itu merupakan berbakti kepada orang tua yang sudah meninggal. Hadis yang berkaitan dengan hal tersebut di antaranya:

اِنَّ اَبَرَّ البِرِّ صِلَةُ الوَلَدِ أَهلَ وُدِّ اَبِيهِ (رواه مسلم).

Artinya: “Sesungguhnya kebaikan yang utama ialah apabila seorang anak melanjutkan hubungan (silaturahim) dengan keluarga sahabat baiknya ayahnya.

Suatu ketika Abdullah bin Umar menemui Abi Burdah di kota Madinah, kemudian Abdullah bin Umar berkata: “Wahai Abi Burdah, apakah panjenengan tahu mengapa aku menemui panjenengan?” Tentu Abi Burdah menjawab, “Tidak.” Kemudian Abdillah bin Umar berkata: “Sebab aku pernah mendengar bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

مَن اَحَبَّ اَن يَصِلَ اَبَاهُ فِي قَبرِهِ فَليَصِل اِخوَانَ اَبِيهِ مِن بَعدِهِ وَاِنَّهُ كَانَ بَينَ أَبي عُمَرَ وَبَينَ أَبِيكَ اِخَاءٌ وَوُدٌّ فَاحبَبتُ اَن اَصِلَ ذٰلِكَ (رواه عبد الرزاق وابن حبان فى صحيحه).

Artinya: “Barangsiapa yang senang menyambung di kuburan ayahnya maka sebaiknya dia menyambung tali persaudaraan kepada teman-teman ayahnya setelah meninggal. Maka dari itu ayah saya (Umar bin Khatab) dengan ayah kamu terdapat hubungan persahabatan. Kini aku ingin menyambungnya”.

Abu Sayad Maalik bin Raabi’ah as-Sa’idi r.a berkata:

بَينَمَا نَحنُ جُلُوسٌ عِندَ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم اِذ جَاءَ رَجُلٌ مِن بَنِي سَلَمَةَ فقال: يا رسولَ اللهِ هَل بَقِيَ مِن بِرِّ اَبَوَيَّ شَيءٌ اَبَرُّهُمَا بِهِ بَعدَ مَوتِهِمَا؟ قال: نَعَم, الصَّلَاةُ عَلَيهِمَا وَالإِستِغفَارُ لَهُمَا وَاِنفَاذُ عَهدِهِمَا مِن بَعدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا تُوصَلُ اِلَّا بِهِمَا وَاِكرَامُ صَدِيقِهِمَا (رواه أبو داود وابن ماجة, وابن حبان فى صحيحه).

Artinya: “Ketika kami berada di sisi Rasulullah Saw. tiba-tiba dayang seseorang dari bani Salamah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah masih ada bentuk berbakti kepada kedua orang tuaku ketika mereka telah meninggal dunia?” Rasulullah Saw. bersabda: “Iya, mendoakan keduanya, meminta ampun untuk keduanya, memenuhi janji mereka setelah meninggal dunia, menjalin hubungan silaturahim (kekerabatan) dengan keluarga yang dijalin oleh kedua orang tua dan memuliakan teman dekat keduanya.

Berdasarkan hadis nabi mengenai silaturahim, ada beberapa manfaat dari silaturahim di antaranya yaitu mendekatkan kepada rahmat Allah dan mempermudah rezeki. Berbekal hadis manfaat silaturahim tersebut dan ketiga hadis di atas seharusnya sudah sangat memantapkan hati kita untuk selalu menjaga dan menyambung tali persaudaraan-dalam konteks ini kepada kerabat, teman, dan siapa saja yang punya hubungan dengan orang tua.

Penulis : M Wildan Musyaffa