Orang tua merupakan tumpuan yang paling mendasar bagi seorang anak dalam menjalani kehidupan yang terus berlangsung. Seorang anak tidak akan mendapatkan kebahagian tanpa luapan kasih yang telah diperjuangkan oleh orang tua bertahun-tahun bahkan sampai meninggal. Sama halnya seorang anak yang sudah baligh sebenarnya sudah tidak menjadi tanggungan orang tua -tidak hanya perihal pahala dan dosa, tapi juga seluruh kehidupannya-, akan tetapi dengan dengan sifat loman yang dimiliki orang tua maka seorang anak tetap menjalani kehidupannya berkat tunjangan dari orang tua.
Maka, sangat “biadab” bukan apabila ada seorang anak yang nglarakke –dhahir maupun bathin-orang tuanya? Bagaimana tidak “biadab”? Orang tua tetap menanggung kehidupan anaknya yang sudah baligh, padahal hal itu sudah tidak menjadi kewajiban orang tua.
Oleh karena itu, sudah menjadi barang yang tidak bisa ditawar lagi bahwa berbakti kepada orang tua merupakan hal yang wajib. Bahkan, dalam hadis Nabi Muhammad Saw. memberikan julukan orang yang berdebu hidungnya (baca: orang yang merugi). Orang yang berdebu hidungnya menjadi kinayah (julukan) bagi orang yang masih memiliki orang tua tapi tidak berbakti kepada orang tua.
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “رَغِمَ أَنفُهُ, ثُمَّ رَغِمَ أَنفُهُ”, قِيلَ: مَن يارسولَ اللهِ؟ قال: “مَن أدرَكَ وَالِدَيهِ عِندَ الكِبَرِ أَو أَحَدَهُمَا ثُمَّ لَم يَدخُلِ الجَنَّةَ”. (رواه مسلم)
Artinya: “Dari Abu Hurairah dari Rasulullah Saw. bersabda: “Sangat rugi, sangat rugi.” Nabi ditanya, “Siapa orang yang rugi itu, ya Rasulullah?” Kemudian Nabi bersabda, “Orang yang rugi adalah orang yang menjumpai kedua orang tuanya atau salah satunya tetapi orang tersebut tidak masuk surga”. (H.R. Muslim).
Sudah sangat gamblang hadis tersebut menyebutkan betapa ruginya orang yang tidak berbakti kepada orang tua, bahkan secara “ekstrim” Nabi mengatakan tidak masuk surga. Orang tua yang sudah jelas di depan mata kita, satu rumah dengan kita, bertemu setiap jam, menit, bahkan detik akan tetapi kita tidak berbuat baik kepadanya, maka kita adalah orang yang sangat rugi dan tidak akan masuk surga.
Maka dari itu, tulisan ini bertujuan untuk mengajak teman-teman semua -tanpa terkecuali diri saya sendiri- menyadari akan pentingnya berbakti kepada orang tua dan betapa meruginya orang yang tidak berbakti kepada orang tua.
Makna dan Kewajiban Birrul Waalidain
Di dalam ajaran Islam ada istilah birrul waalidain yang bisa kita artika sebagai berbuat baik kepada orang tua atau berbakti kepada orang tua. Birrul waalidain dalam Islam menjadi kewajiban dan di beberapa referensi disebutkan birrul waalidain merupakan amal ibadah kepada Allah yang paling utama. Sesuai dengan firman Allah Q.S. Al-An’am ayat 151:
قُل تَعَالَوا اَتلُ مَاحَرَّمَ رَبُّكُم عَلَيكُم اَلَّاتُشرِكُوا بِهٖ شَيأً وَبِالوَالِدَينِ اِحسَانًا
Artinya: “Katakanlah (Muhammad): “Aku akan membacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu, (yaitu) janganlah mempersekutukan-Nya dengan siapapun, berbuat baiklah kepada orang tua”.
Kitab Risalah Akhlak Birrul Waalidain karya KH. Ahmad Mujab Mahalli menyebutkan bahwa birrul waalidain merupakan sebuah sikap yang memenuhi hak-hak orang tua serta memuliakan dengan mengikuti dan menjalankan dhawuh orang tua. Menjalankan segala sesuatu yang menyebabkan hatinya ridha serta menjauhi dari perbuatan yang dapat membuat kecewa dan marah orang tua. Tentu seperti yang kita ketahui, kewajiban taat kepada dhawuh atau perintah orang tua itu perintah-perintah yang baik, bukan kok malah perintah yang tidak baik atau maksiat.
Beberapa hal yang mendasar mengapa kita harus berbakti kepada orang tua di antara yaitu berkat orang tualah kita terlahir di dunia ini; mendidik; orang tua membesarkan sehingga menjadi manusia yang sempurna dan mendapatkan keluhuran. Maka dari itu, sudah menjadi hal yang wajib -tidak bisa ditawar lagi- bahwa birrul waalidain sebuah sikap yang wajib dimiliki setiap orang, dan tidak lain adalah seorang anak yang memiliki kewajiban birrul waalidain.
Birrul Waalidain Setelah Orang Tua Meninggal
Jangan dipahami bahwa berbakti kepada orang tua tidak hanya orang tua yang masih hidup saja, akan tetapi bagi seorang anak yang sudah ditinggal wafat orang tuanya pun masih memiliki kewajiban untuk berbakti kepada orang tuanya.
Ada beberapa hadis yang menjelaskan bagaimana cara untuk berbakti kepada orang tua yang sudah meninggal, di antara hadis yang masyhur bagi kita mengenai birrul waalidain kepada orang tua yang sudah meninggal adalah hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa ketika anak adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya. Saya tidak akan membahas hadis tersebut, karena nampaknya sudah banyak yang mengetahuinya.
Saya tertarik kepada hadis Nabi yang mengatakan bahwa menyambung tali silaturahim kepada orang yang biasa disilaturahimi -termasuk teman-temannya- oleh orang tua itu merupakan berbakti kepada orang tua yang sudah meninggal. Hadis yang berkaitan dengan hal tersebut di antaranya:
اِنَّ اَبَرَّ البِرِّ صِلَةُ الوَلَدِ أَهلَ وُدِّ اَبِيهِ (رواه مسلم).
Artinya: “Sesungguhnya kebaikan yang utama ialah apabila seorang anak melanjutkan hubungan (silaturahim) dengan keluarga sahabat baiknya ayahnya.”
Suatu ketika Abdullah bin Umar menemui Abi Burdah di kota Madinah, kemudian Abdullah bin Umar berkata: “Wahai Abi Burdah, apakah panjenengan tahu mengapa aku menemui panjenengan?” Tentu Abi Burdah menjawab, “Tidak.” Kemudian Abdillah bin Umar berkata: “Sebab aku pernah mendengar bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
مَن اَحَبَّ اَن يَصِلَ اَبَاهُ فِي قَبرِهِ فَليَصِل اِخوَانَ اَبِيهِ مِن بَعدِهِ وَاِنَّهُ كَانَ بَينَ أَبي عُمَرَ وَبَينَ أَبِيكَ اِخَاءٌ وَوُدٌّ فَاحبَبتُ اَن اَصِلَ ذٰلِكَ (رواه عبد الرزاق وابن حبان فى صحيحه).
Artinya: “Barangsiapa yang senang menyambung di kuburan ayahnya maka sebaiknya dia menyambung tali persaudaraan kepada teman-teman ayahnya setelah meninggal. Maka dari itu ayah saya (Umar bin Khatab) dengan ayah kamu terdapat hubungan persahabatan. Kini aku ingin menyambungnya”.
Abu Sayad Maalik bin Raabi’ah as-Sa’idi r.a berkata:
بَينَمَا نَحنُ جُلُوسٌ عِندَ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم اِذ جَاءَ رَجُلٌ مِن بَنِي سَلَمَةَ فقال: يا رسولَ اللهِ هَل بَقِيَ مِن بِرِّ اَبَوَيَّ شَيءٌ اَبَرُّهُمَا بِهِ بَعدَ مَوتِهِمَا؟ قال: نَعَم, الصَّلَاةُ عَلَيهِمَا وَالإِستِغفَارُ لَهُمَا وَاِنفَاذُ عَهدِهِمَا مِن بَعدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا تُوصَلُ اِلَّا بِهِمَا وَاِكرَامُ صَدِيقِهِمَا (رواه أبو داود وابن ماجة, وابن حبان فى صحيحه).
Artinya: “Ketika kami berada di sisi Rasulullah Saw. tiba-tiba dayang seseorang dari bani Salamah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah masih ada bentuk berbakti kepada kedua orang tuaku ketika mereka telah meninggal dunia?” Rasulullah Saw. bersabda: “Iya, mendoakan keduanya, meminta ampun untuk keduanya, memenuhi janji mereka setelah meninggal dunia, menjalin hubungan silaturahim (kekerabatan) dengan keluarga yang dijalin oleh kedua orang tua dan memuliakan teman dekat keduanya.”
Berdasarkan hadis nabi mengenai silaturahim, ada beberapa manfaat dari silaturahim di antaranya yaitu mendekatkan kepada rahmat Allah dan mempermudah rezeki. Berbekal hadis manfaat silaturahim tersebut dan ketiga hadis di atas seharusnya sudah sangat memantapkan hati kita untuk selalu menjaga dan menyambung tali persaudaraan-dalam konteks ini kepada kerabat, teman, dan siapa saja yang punya hubungan dengan orang tua.
Penulis : M Wildan Musyaffa