- Sejarah Singkat Kelahiran Nahdlatul Ulama
Kehadiran NU merupakan salah satu upaya melembagakan wawasan tradisi keagamaan yang dianut jauh sebelumnya, yakni paham Ahlussunnah wal jama’ah. Selain itu, NU sebagaimana organisasi-organisasi pribumi lain baik bersifat sosial, budaya atau keagamaan yang lahir dimasa penjajah, pada dasarnya merupakan perlawanan terhadap penjajah. Hal ini didasarkan berdirinya NU dipengaruhi kondisi politik dalam dan luar negeri, sekaligus merupakan kebangkitan kesadaran politik yang ditampakkan dalam wujud gerakan organisasi dalam menjawab kepentingan nasional dan dunia islam umumnya.
A. Mempertahankan Ahlussunnah Wal Jama’ah
Sejarah dakwah Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kiprah Walisongo. Penyebaran Islam, khususnya di jawa oleh pendakwah, terutama Walisongo sukses besar. Di abad ke-7 dan terutama setelah abad ke-11 dan abad ke-12, Islam menggatikan Hinduisme dan Budhisme yang sebelumnya berjaya. Pengaruh Islam masuk hingga ke pusat kerjaan dan kepemimpinan rakyat. Runtuhnya Majapahit dan berdirinya Kerjaan Demak di akhir tahu jawa 1400 (1478 M), adalah bukti berubahnya kepercayaan masyarakat jawa dari Hinduisme dan Budhisme kepada Islam.
Ajaran Walisongo adalah Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, yang juga disebut Sunni. Sedangkan Sunni di Indonesia dalam ajaran fikih mayoritas mengikuti mazhab Imam as-Syafi’i, dalam bidang tasawuf mengikuti Imam al-Junaidi dan Imam al-Ghazali, serta mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansyur al-Maturidi di dalam bidang akidah. Selain ciri-ciri di atas, muslim Ahlussunnah Wal Jama’ah di Indonesia berpegang teguh pada ulama salaf dengan mengikuti Mazhab tertentu, serta berpegangan pada kitab-kitab mu’tabarah, pecinta ahlul bait, wali dan para shalihin. Muslim Sunni di Indonesia ahli tabarrukan (mencari barokah) baik kepada orang yang masih hidup maupun sudah mati, menyukai ziarah kubur, mentradisikan talqin mayit, sedekah untuk mayit, berkeyakinan adanya syafaat, kemanfaatan doa serta tawassul, dan lain sebagainya.
Setelah sekian lama Islam ala Ahlussunnah Wal Jama’ah ditanamkan Walisongo sampai mengakar di bumi jawa (Indonesia), pada 1330 H, umat Islam di guncang dengan munculnya berbagai kelompok yang mengusung paham yang saling bertentangan.
Pada kurun tersebut muncul kelompok Islam modernis pengikut Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha, yang mengikuti bid’ah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan pengikut setia ajaran Ibn Taimiyyah dan kedua muridnya, yakni Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dan Ibn Abdul Hadi. Kelompok ini mengklaim sebagai pemurni akidah dan berslogan kembali pada al-Qur’an dan al-Hadist. Mereka sering menuduh bid’ah, khurafat dan tahayul pada ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Selain itu muncul Syiah Rafidhah yang biasa menghujat para shabat Nabi SAW, khususnya Khalifah Abu Bakar, Usman bin Affan, Umar bin Khattab, Siti Aisyah dan shabat lainnya, Rafidhah berlebihan dalam mengkultuskan Sayyidina Ali RA, dan Ahlul Bait.
Kelompok selanjutnya Aliran kebatinan, yang mengajarkan terbebasnya umat Islam dari menjalankan Syariat, serta tidak wajib menghindari larangan syariat bagi umat Islam yang telah beriman dan mencapai puncak mahabbah dan kesuciaan hati. Mereka menggugurkan ibadah lahiriah dengan mencukupkan diri dengan beribadah secara tafakkur dan memperbaiki akhlak batin. Selain golongan tersebut, ada juga kelompok yang meyakini tamasukh (reinkarnasi ruh manusia). Selanjutnya muncul kelompok tasawuf yang berlebihan dengan meyakini hulul dan ittihad.
Tumbuhnya aliran-aliran menyimpang ini menimbulkan keprihatinan Ulama Nusantara penganut Ahlussunnah Waljama’ah, khususnya menyikapi gerakan pemurnian syariat Islam yang dimotori kaum modernis secara massif dan sistematis, baik melalui propaganda dalam forum-forum kajian Islam, media masa, maupun melalui gerakan organisasi. Kekhawatiran para Ulama Nusantara tersebut tidak berlebihan sebab gerakan kaum modernis seringkali menyerang praktek pribadatan pengikut Ahlussunnah Waljama’ah, seperti tahlilan, istighatsah, tawasul, tabarruk, yasinan, talqin, ziarah qubur, peringatan maulid nabi SAW, dan selainnya yang di anggap sesat.
Ulama Nusantara sebagai benteng Ahlussunnah Waljama’ah kebanyakan adalah kyai pengasuh pondok pesantren dan para kyai yang selalu istiqomah berjuang di tengah-tengah masyarakat serta menjadi panutan umat. Dengan adanya seragam kelompok modernis, mereka berupaya melakukan gerakan bersama untuk membendung penyebarannya.
Keresahan Ulama pesantren memuncak ketika ada berita Gubernur Hijaz, Sayyid Syarif Husein dikalahkan oleh Abdul Aziz Ibn Saud yang berkerja sama dengan Muhammad Abdul Wahab. Penguasa baru Hijaz ini melakukan pembersihan terhadap praktek keagamaan Madzhab empat, pemaksaan ajaran wahabi kepada umat Islam di Hijaz dan pengusiran Ulama Ahlussunnah Wal jama’ah yang tidak setuju terhadap kebijakan pemerintah baru. Kemenangan Ibn Saud menimbulkan polarisasi orientasi baru Islam di Indonesia, khususnya di jawa. Kalangan pesantren menganggap kemenangan Ibn Saud akan membawa dampak perubahan tradisi keagamaan menurut empat mazhab, sebab Ibn Saud dikenal beraliran Wahabi. Sementara sayap Islam modernis menyambut positif atas kemengan Ibn Saud.
Melalui Kiai Wahab, kalangan pesantren mencemaskan kekhawatiran itu dalam sidang-sidang Komite Khalifah. Sementara kalangan modernis menghendaki agenda lama dipertahankan dibawa ke Makkah. Menurut mereka, penyerbuan Ibn Saud atas Syarif Husain bertujuan baik untuk memperbaiki tata laksana ibadah haji yang sebelumnya kacau, sering terjadi perampokan dan banyak suku Arab yang melarikan diri.
Kekecewaan Ulama pesantren memuncak ketika Konggres Al-Islam di Yogyakarta 1925, pada delegasi pesantren sangat kecewa pada sikap kaum modernis yang menolak usulan KH. Wahab Hasbullah agar Ibn Saud menjamin kebebasan bermazhab untuk semua muslim di Makkah. Bahkan awal Januari 1926 para pimpinan kalangan Islam modernis mengadakan konferensi di cianjur tanpa melibatkan Ulama Pesantren, kemudian mereka memutuskan memilih perwakilan mereka sebagai delegasi ke pertemuan di Makkah. Peristiwa ini meyakinkan para kyai akan perlunya inisiatif-inisiatif sendiri yang terpisah dari kalangan modernis untuk menjamin pandangan dan kepentingan keagamaan mereka bisa terwakili.
Pertengahan Januari 1926, KH. Abdul Wahab Hasbullah dengan restu KH. Hasyim Asy’ari mengundang Ulama Pesantren terkemuka untuk mendukung pendirian panitia yang disebut komite Hijaz yang akan mengutus delegasi ke Makkah untuk mewakili kepentingan kelompok Islam kalangan Pesantren. Akhirnya, 31 Januari 1926 M/ 16 Rajab 1344 H, 15 Ulama berkumpul di rumah KH. Abdul Wahab Hasbullah di surabaya dan mengesahkan bentuk kepanitiaan. Pertemuaan ini selanjutnya memutuskan dua hal penting yakni: pertama, mengirim utusan Indonesia ke Muktamar Dunia Islam di Makkah, dengan tugas memperjuangkan hukum-hukum ibadah empat mazhab, kedua, membentuk suatu organisasi atau jam’iyyah yang akan mengirim utusan tersebut. Atas usul KH. Mas Alwi Abdul Aziz organisasi itu diberi nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
Struktur Pengurus NU Pertama Kali
Syuriyah
Rais Akbar
KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)
Wakil Rais
KH. Ahmad Dahlan (Surabaya)
Katib Awal
KH. Abdul Wahab Hasbullah (Surabaya)
Katib Tsani
KH. Abdul Halim Leuwimunding (Cirebon)
A’wan
KH. Mas Alwi Abdul Aziz (Surabaya)
KH. Ridwan (Surabaya)
KH. Said (Surabaya)
KH. Bisri Sansuri (Jombang)
KH. Abdullah Ubaid (Surabaya)
KH. Nachrawi (Malang)
KH. Amin (Surabaya)
KH. Masyhuri (Lasem, Rembang)
KH. Nachrawi (Surabaya)
Mutasyar
KH. R. Asnawi (Kudus)
Penasehat
KH. Ridwan (Semarang)
KH. Mas Nawawi (Sidogiri, Pasuruan)
Syeikh Ahmad Ghanaim (Mesir)
KH. R. Hambali (Kudus)
Tanfidziah
Sekretaris
H. Sidiq (Sugeng Judodiwiryo) (Palembang)
Bendahara
H. Burhan (Surabaya)
H. Saleh Syamil ( Surabaya)
H. Ichsan (Surabaya)
H. Djafar Aiwan (Surabaya)
H. Usman (Surabaya)
H. Achzab (Surabaya)
H. Nawawi (Surabaya)
H. Dahlan (Surabaya)
H. Mangun ( Surabaya)
Setelah kepengurusan NU terbentuk, diputuskan mengirim KH. R. Asnawi Kudus sebagai delegasi NU ke muktamar Dunia Islam di Makkah. Namun karena suatu hal, KH. Raden Asnawi gagal berangkat ke Makkah. Namun kegagalan ini tidak menyurutkan niat para ulama NU untuk mengutus wakilnya menghadap Raja Ibn Saud. Kemudian pada 29 Maret 1928 M/ 7 Syawal 1346 H, NU mewakilkan kepada KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Syeikh Ahmad Ghanaim al-Mishri berangkat ke Makkah untuk menghadap Raja Ibn Saud untuk memperjuangkan kepentingan Islam Ahlussunnah Wa Jama’ah. Hasil pertemuan dengan Raja Ibn Saud, pengajian di Masjidil Haram oleh para guru empat mazhab tidak dilarang. Pertemuan itu juga berhasil mencegah perusakan makam keluarga Nabi SAW dan para Imam mazhab di sekitar area Ka’bah.
Sumber : Khazanah Aswaja
Editor : Hasbi Sayyid