Praktek Obsevasi Menggunakan Alat Tradisional (Ilmu Falak)

Selama ini banyak orang beranggapan bahwa mempelajari ilmu falak sangat sulit sehingga minat orang untuk mempelajari ilmu falak menjadi sangat minim. Padahal ilmu falak menjadi pijakan utama dalam praktik ibadah sehari-hari. Ini menyangkut penentuan arah kiblat, waktu shalat, awal puasa Ramadhan, penentuan awal bulan qamariyah, hingga terjadinya gerhana.

“Mempelajari ilmu falak sebenarnya tidak sulit. Ilmu falak sangat penting untuk dipelajari. Karena ini menyangkut ibadah kita sehari-hari, praktik ibadah dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tidak bisa lepas dari ilmu falak. Masih banyak masyarakat yang kurang memahami dan tidak memperhatikan aspek arah kiblat dalam pembangunan tempat ibadah dan dalam hal penentuan waktu shalat.

“Padahal ini berkaitan dengan sah atau tidaknya ibadah kita. Tugas para santri ketika sudah pulang ke rumah masing-masing salah satunya ikut memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya ilmu falak. Pesantren turut bertanggung jawab atas praktik keagamaan masyarakat. ”Sehingga perlu dipersiapkan kader-kader yang mumpuni dalam penguasaan ilmu falak. Dan bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat di sekitarnya.”

Ilmu falak melibatkan banyak disiplin ilmu dari astronomi, fisika, matematika, hingga fikih. Mempelajari ilmu falak harus dimulai dari dasar, kemudian memahami istilah-istilah, sampai proses perhitungan.
Melalui Observasi ini, diharap lahir generasi baru yang akan merawat dan konsen dalam mendalami ilmu falak.

Seperti yang sering dilakukan para santri Yayasan Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’, melakukan observasi satu sampai tiga kali dalam satu semester. kitab tentang ilmu falak yang dikaji di antaranya adalah kitab Takribul Maqsod untuk tingkat satu – dua Ma’had Aly, Tashilul A’mal untuk tingkat 3 Ma’had Aly, Khulashotul Wafiyah untuk tingkat Dirosatul Ulya.

 

pewarta: Dimas pamungkas

Jangan Berlebihan Dalam Urusan Duniawi!

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته  بسم الله والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله سيدنا محمد ابن عبد الله وعلى اله واصحابه ومن تبع سنته وجماعته من يومنا هذا الى يوم النهضة، اما بعد.

Saudara ku sekalian yang di rahmati Allah Swt, Amin.

Mencari rizki untuk memenuhi kebutuhan hidup memang sangatlah penting, demi menunjang segala aktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Namun masih banyak orang yang terlalu berlebihan dalam mencari rizki, sampai meninggalkan urusan yang lebih wajib.

Dalam kesempatan kali ini, Saya akan memberikan suatu penjelasan mengenai “tidak boleh berlebihan dalam urusan duniawi”.

Penjelasan ini diambil ketika Saya sedang melaksanakan kegiatan Balaghan(mengaji) Kitab Al Hikam, karangan Imam Ibnu Athoillah As Sakandary, oleh Pangersa Kyai Acep Sanusi.

تمكن حلاوة الهوى من القلب هو الداء العضال.

“Salah satu penyakit yang sulit disembuhkan, kecuali taufik dan hidayah Allah yang menjadi obatnya adalah hubbu dunya (orang yang gila terhadap urusan Dunia)”.

Seorang Suami yang menafkahi Istrinya memang lah pekerjaan yang baik, namun jika Suami tersebut sampai meninggalkan pekerjaan yang lebih wajib dari pekerjaan tersebut maka pekerjaannya menjadi tidak baik, dengan catatan tidak ada udzur. Contoh sampai meninggalkan Sholat lima waktu, dan contoh yang lainnya.

Juga ada tambahan tentang Orang yang terlalu berlebihan dalam masalah Duniawi, yaitu di Surat At Takatsur.

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ . حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ . كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ . ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ . كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ . لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ . ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ . ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ

Artinya:

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin. kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)”.

Surat At Takatsur diturunkan dengan mengecam orang-orang yang saling berlomba untuk bermegah-megahan serta membangga-banggakan harta. Saling berkompetisi dalam gemerlap duniawi. Mereka lalai dengan nikmat akhirat yang abadi.

Bahkan Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an menjelaskan lebih rinci. “Sungguh kalian akan ditanya tentang nikmat-nikmat itu. Dari mana kalian peroleh? Ke mana kalian belanjakan? Apakah kalian peroleh melalui ketaatan dan kalian gunakan untuk ketaatan? Ataukah kalian peroleh melalui kemaksiatan lalu kalian gunakan untuk kemaksiatan pula? Apakah kalian peroleh secara halal dan kalian gunakan untuk yang halal? Atau kalian peroleh secara haram dan kalian gunakan untuk yang haram? Apakah kalian mensyukurinya? Apakah kalian tunaikan kewajibannya? Lalu, apakah kalian gunakan juga untuk kepentingan masyarakat atau kalian nikmati sendiri?”.

Oleh karena itu Setiap yang kita nikmati adalah nikmat dari Allah yang kelak akan ditanya dan dimintai pertanggung jawaban. Mulai dari kesehatan, waktu, harta hingga anak-anak. Jangan sampai nikmat-nikmat itu justru melalaikan dari akhirat. Melalaikan dari beribadah kepada Allah. Karena jika sampai demikian, nerakalah tempatnya. Semoga kita terhindar dari berbangga-bangga dan bermegah-megahan yang melalaikan dari akhirat dan ketaatan. Wallahu a’lam bish shawab.

 

Penulis: Rifky Aulia

Islam Di Nusantara

Islam (di) Nusantara

Tema Islam Nusantara yang diusung dalam muktamar NU ke-33, di Jombang, pada tanggal 1 agustus 2015, memicu maraknya perdebatan pro dan kontra. Hingga muncul asumsi dan tuduhan sebagai islam yang anti Arab, betentangan dengan syariat Islam, hanya milik satu golongan saja, identk dengan Islam Kejawen, dan bahkan ada yang menuduhnya sebagai kedok untuk merusak tatanan moral agama.

Maka Ketua PBNU K.H. Said Aqil Siradj membantahnya dengan tegas dan mengatakan bahwa Islam Nusantara bukanlah agama baru dan bukan pula aliran baru. Islam Nusantara adalah pemikiran yang berlandaskan pada sejarah Islam yang masuk ke Indonesia yang tidak melalui peperangan, tapi melalui kompromi terhadap budaya.

Demikian pula dengan Maulana Habib Luthfi bin Yahya yang menjabat sebagai ketua mustasyar PBNU, juga ikut angkat suara dan membantah fitnah dan tuduhan miring tersebut. Beliau mengatakan, Islam Nusantara adalah ajaran islam yang dibawa ke Nusantra oleh para ulama dari kalangan ahlulbait, keturuna Baginda Nabi SAW, yang berasal dari ajaran Imam Ahmad Al-Muhajir bin ‘Isa bin Muhammad bin ‘Ali Al-‘Uraidhi bin Ja’far Ash-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Sayyidina Husain r.a..

Imam Ahmad Al-Muhajir, semenjak abad ke tujuh hijriah di Hadramaut Yaman, menganut madzhab syafii. Dalam fiqih, Ahlussunah Waljamaah, dalam akidah mengikuti Imam Asy’ari dan Imam Maturidi, dan akhlak atau ihsan mengikuti ulama-ulama tasawuf mu’tabarah yang bermazhabkan Imam Mazhab yang empat.

Di Hadramaut, akidah dan mazhab Imam Al-Muhajir yang Sunni Syafii, terus berkembang sampai sekarang. Dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal” karena ke-mutawatir-an sanad serta kemurnian agama dan akidahnya. Dari Hadramaut Yaman, anak cucu Imam Al-Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam hingga sampai ke “Ufuk Timur”, seperti ke daratan India, kepulauan Melayu, dan termasuk juga Indonesia. Mereka berdakwah mengenalkan kalimat syahadah dengan pendeketan budaya, seperti pementesan wayang. Mereka berjuang dengan kelembutan tanpa mengangkat senjata, tanpa kekerasan, dan tanpa pasukan. Mereka datang dengan kedamaian dan kebaikan. Ada juga diantara mereka yang menuju daerah Afrika seperti Ethopia hingga kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.

Jadi Islam Nusantara tak lain adalah Ahlussunah Waljamaah yang disingkat dengan Aswaja, yakni ajaran Islam sebagaimana yang dianut oleh Imam ahmad Al-Muhajir yang bermazhab Syafii dan yang dibawa oleh para Walisanga ke Nusantara. Tahlilan, ratiban, mauludan, ziarah kubur, haul, peringatan nisyfu Sya’ban, peringatan nuzulul Qur’an adalah termasuk di antara amaliah Ahlussunah Waljamaah khas Indoseia atau khas Nusantara yang dibawa oleh para habib serta ulama-ulama terdahulu seperti para Walisanga.

Namun demikian, ada pula kelompok-kelompok yang tidak menyukai amalan-amalan tersebut dan bahkan mem-bid’ah-kannya dengan dalih pemurnian akidah Islam, seperti di antaranya kelompok Wahabi yang berkembang subur di Arab Saudi, saat dipegang oleh ulama-ulama dan para habib Aswaja, semua amaliahnya sama persis dengan amaliah yang ada di Indonesia, yakni ada ratiban, mauludan, tahlilan, ziarah kubur, dan haul. Dengan dihabisinya para habib dan ulama Aswaja serta dihancurkannya makam-makam para wali dan juga situs-situs peninggalan peradaban Islam di sana, akhirnya amalan-amalan tersebut lama kelamaan terkikis dan akhirnya menjadi asing.

Tak hanya sampai disitu, bahkan makam Nabi SAW pun juga sempat akan dibongkar oleh mereka. Tapi, Alhamdulillah waktu itu ulama-ulama Nusantara yang dimotori oleh K.H. Abdul Wahab  Chasbullah membentuk sebuah komite yang dinamai Komite Hijaz yang tugasnya antara lain adalah melakukan diplomasi dengan Raja Saud atas rencana pembongkaran tersebut. Dan berkat kegigihan dan usaha keras mereka diterima oleh Raja Saud dan makam Nabi pun tidak jadi dibongkar.

Islam Nusantara, sebagaimana spirit Komite Hijaz -yang menjadi cikal bakal terbentuknya organisasi NU-, selalu siap mengawal keberlangsungan tradisi-tradisi Aswaja termasuk diantaranya menjaga makam-makam para Wali Allah dan juga situs-situs peninggalan peradaban Islam yang ada di Nusantara ini supaya tetap terjaga. Oleh karena itu jangan berprasangka buruk bahkan sampai berani memvonis sesat, menyesatkan, murtad, atau kafir terhadap para pendukung Islam Nusantara.

Semoga kita semua dibersihkan hatinya oleh Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang serta tidak ikut-ikutan untuk mengkafir-kafirkan atau menyesat-nyesatkan. [Wallahu a’lam]

Sejarah Singkat Kelahiran Nahdlatul Ulama
  1. Sejarah Singkat Kelahiran Nahdlatul Ulama

Kehadiran NU merupakan salah satu upaya melembagakan wawasan tradisi keagamaan yang dianut jauh sebelumnya, yakni paham Ahlussunnah wal jama’ah. Selain itu, NU sebagaimana organisasi-organisasi pribumi lain baik bersifat sosial, budaya atau keagamaan yang lahir dimasa penjajah, pada dasarnya merupakan perlawanan terhadap penjajah. Hal ini didasarkan berdirinya NU dipengaruhi kondisi politik dalam dan luar negeri, sekaligus merupakan kebangkitan kesadaran politik yang ditampakkan dalam wujud gerakan organisasi dalam menjawab kepentingan nasional dan dunia islam umumnya.

A. Mempertahankan Ahlussunnah Wal Jama’ah

Sejarah dakwah Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kiprah Walisongo. Penyebaran Islam, khususnya di jawa oleh pendakwah, terutama Walisongo sukses besar. Di abad ke-7 dan terutama setelah abad ke-11 dan abad ke-12, Islam menggatikan Hinduisme dan Budhisme yang sebelumnya berjaya. Pengaruh Islam masuk hingga ke pusat kerjaan dan kepemimpinan rakyat. Runtuhnya Majapahit dan berdirinya Kerjaan Demak di akhir tahu jawa 1400 (1478 M), adalah bukti berubahnya kepercayaan masyarakat jawa dari Hinduisme dan Budhisme kepada Islam.

Ajaran Walisongo adalah Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, yang juga disebut Sunni. Sedangkan Sunni di Indonesia dalam ajaran fikih mayoritas mengikuti mazhab Imam as-Syafi’i, dalam bidang tasawuf mengikuti Imam al-Junaidi dan Imam al-Ghazali, serta mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansyur al-Maturidi di dalam bidang akidah. Selain ciri-ciri di atas, muslim Ahlussunnah Wal Jama’ah di Indonesia berpegang teguh pada ulama salaf dengan mengikuti Mazhab tertentu, serta berpegangan pada kitab-kitab mu’tabarah, pecinta ahlul bait, wali dan para shalihin. Muslim Sunni di Indonesia ahli tabarrukan (mencari barokah) baik kepada orang yang masih hidup maupun sudah mati, menyukai ziarah kubur, mentradisikan talqin mayit, sedekah untuk mayit, berkeyakinan adanya syafaat, kemanfaatan doa serta tawassul, dan lain sebagainya.

Setelah sekian lama Islam ala Ahlussunnah Wal Jama’ah ditanamkan Walisongo sampai mengakar di bumi jawa (Indonesia), pada 1330 H, umat Islam di guncang dengan munculnya berbagai kelompok yang mengusung paham yang saling bertentangan.

Pada kurun tersebut muncul kelompok Islam modernis pengikut Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha, yang mengikuti bid’ah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan pengikut setia ajaran Ibn Taimiyyah dan kedua muridnya, yakni Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dan Ibn Abdul Hadi. Kelompok ini mengklaim sebagai pemurni akidah dan berslogan kembali pada al-Qur’an dan al-Hadist. Mereka sering menuduh bid’ah, khurafat dan tahayul pada ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Selain itu muncul Syiah Rafidhah yang biasa menghujat para shabat Nabi SAW, khususnya Khalifah Abu Bakar, Usman bin Affan, Umar bin Khattab, Siti Aisyah dan shabat lainnya, Rafidhah berlebihan dalam mengkultuskan Sayyidina Ali RA, dan Ahlul Bait.

Kelompok selanjutnya Aliran kebatinan, yang mengajarkan terbebasnya umat Islam dari menjalankan Syariat, serta tidak wajib menghindari larangan syariat bagi umat Islam yang telah beriman dan mencapai puncak mahabbah dan kesuciaan hati. Mereka menggugurkan ibadah lahiriah dengan mencukupkan diri dengan beribadah secara tafakkur dan memperbaiki akhlak batin. Selain golongan tersebut, ada juga kelompok yang meyakini tamasukh (reinkarnasi ruh manusia). Selanjutnya muncul kelompok tasawuf yang berlebihan dengan meyakini hulul dan ittihad.

Tumbuhnya aliran-aliran menyimpang ini menimbulkan keprihatinan Ulama Nusantara penganut Ahlussunnah Waljama’ah, khususnya menyikapi gerakan pemurnian syariat Islam yang dimotori kaum modernis secara massif dan sistematis, baik melalui propaganda dalam forum-forum kajian Islam, media masa, maupun melalui gerakan organisasi. Kekhawatiran para Ulama Nusantara tersebut tidak berlebihan sebab gerakan kaum modernis seringkali menyerang praktek pribadatan pengikut Ahlussunnah Waljama’ah, seperti tahlilan, istighatsah, tawasul, tabarruk, yasinan, talqin, ziarah qubur, peringatan maulid nabi SAW, dan selainnya yang di anggap sesat.

Ulama Nusantara sebagai benteng Ahlussunnah Waljama’ah kebanyakan adalah kyai pengasuh pondok pesantren dan para kyai yang selalu istiqomah berjuang di tengah-tengah masyarakat serta menjadi panutan umat. Dengan adanya seragam kelompok modernis, mereka berupaya melakukan gerakan bersama untuk membendung penyebarannya.

Keresahan Ulama pesantren memuncak ketika ada berita Gubernur Hijaz, Sayyid Syarif Husein dikalahkan oleh Abdul Aziz Ibn Saud yang berkerja sama dengan Muhammad Abdul Wahab. Penguasa baru Hijaz ini melakukan pembersihan terhadap praktek keagamaan Madzhab empat, pemaksaan ajaran wahabi kepada umat Islam di Hijaz dan pengusiran Ulama Ahlussunnah Wal jama’ah yang tidak setuju terhadap kebijakan pemerintah baru. Kemenangan Ibn Saud menimbulkan polarisasi orientasi baru Islam di Indonesia, khususnya di jawa. Kalangan pesantren menganggap kemenangan Ibn Saud akan membawa dampak perubahan tradisi keagamaan menurut empat mazhab, sebab Ibn Saud dikenal beraliran Wahabi. Sementara sayap Islam modernis menyambut positif atas kemengan Ibn Saud.

Melalui Kiai Wahab, kalangan pesantren mencemaskan kekhawatiran itu dalam sidang-sidang Komite Khalifah. Sementara kalangan modernis menghendaki agenda lama dipertahankan dibawa ke Makkah. Menurut mereka, penyerbuan Ibn Saud atas Syarif Husain bertujuan baik untuk memperbaiki tata laksana ibadah haji yang sebelumnya kacau, sering terjadi perampokan dan banyak suku Arab yang melarikan diri.

Kekecewaan Ulama pesantren memuncak ketika Konggres Al-Islam di Yogyakarta 1925, pada delegasi pesantren sangat kecewa pada sikap kaum modernis yang menolak usulan KH. Wahab Hasbullah agar Ibn Saud menjamin kebebasan bermazhab untuk semua muslim di Makkah. Bahkan awal Januari 1926 para pimpinan kalangan Islam modernis mengadakan konferensi di cianjur tanpa melibatkan Ulama Pesantren, kemudian mereka memutuskan memilih perwakilan mereka sebagai delegasi ke pertemuan di Makkah. Peristiwa ini meyakinkan para kyai akan perlunya inisiatif-inisiatif sendiri yang terpisah dari kalangan modernis untuk menjamin pandangan dan kepentingan keagamaan mereka bisa terwakili.

Pertengahan Januari 1926, KH. Abdul Wahab Hasbullah dengan restu KH. Hasyim Asy’ari mengundang Ulama Pesantren terkemuka untuk mendukung pendirian panitia yang disebut komite Hijaz yang akan mengutus delegasi ke Makkah untuk mewakili kepentingan kelompok Islam kalangan Pesantren. Akhirnya, 31 Januari 1926 M/ 16 Rajab 1344 H, 15 Ulama berkumpul di rumah KH. Abdul Wahab Hasbullah di surabaya dan mengesahkan bentuk kepanitiaan. Pertemuaan ini selanjutnya memutuskan dua hal penting yakni: pertama, mengirim utusan Indonesia ke Muktamar Dunia Islam di Makkah, dengan tugas memperjuangkan hukum-hukum ibadah empat mazhab, kedua, membentuk suatu organisasi atau jam’iyyah yang akan mengirim utusan tersebut. Atas usul KH. Mas Alwi Abdul Aziz organisasi itu diberi nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.

Struktur Pengurus NU Pertama Kali

Syuriyah

Rais Akbar

KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)

Wakil Rais

KH. Ahmad Dahlan (Surabaya)

Katib Awal

KH. Abdul Wahab Hasbullah (Surabaya)

Katib Tsani

KH. Abdul Halim Leuwimunding (Cirebon)

A’wan

KH. Mas Alwi Abdul Aziz (Surabaya)

KH. Ridwan (Surabaya)

KH. Said (Surabaya)

KH. Bisri Sansuri (Jombang)

KH. Abdullah Ubaid (Surabaya)

KH. Nachrawi (Malang)

KH. Amin (Surabaya)

KH. Masyhuri (Lasem, Rembang)

KH. Nachrawi (Surabaya)

Mutasyar

KH. R. Asnawi (Kudus)

Penasehat

KH. Ridwan (Semarang)
KH. Mas Nawawi (Sidogiri, Pasuruan)
Syeikh Ahmad Ghanaim (Mesir)
KH. R. Hambali (Kudus)

Tanfidziah

Sekretaris

H. Sidiq (Sugeng Judodiwiryo) (Palembang)

Bendahara

H. Burhan (Surabaya)
H. Saleh Syamil ( Surabaya)
H. Ichsan (Surabaya)
H. Djafar Aiwan (Surabaya)
H. Usman (Surabaya)
H. Achzab (Surabaya)
H. Nawawi (Surabaya)
H. Dahlan (Surabaya)
H. Mangun ( Surabaya)

Setelah kepengurusan NU terbentuk, diputuskan mengirim KH. R. Asnawi Kudus sebagai delegasi NU ke muktamar Dunia Islam di Makkah. Namun karena suatu hal, KH. Raden Asnawi  gagal berangkat ke Makkah. Namun kegagalan ini tidak menyurutkan niat para ulama NU untuk mengutus wakilnya menghadap Raja Ibn Saud. Kemudian pada 29 Maret 1928 M/ 7 Syawal 1346 H, NU mewakilkan kepada KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Syeikh Ahmad Ghanaim al-Mishri berangkat ke Makkah untuk menghadap Raja Ibn Saud untuk memperjuangkan kepentingan Islam Ahlussunnah Wa Jama’ah. Hasil pertemuan dengan Raja Ibn Saud, pengajian di Masjidil Haram oleh para guru empat mazhab tidak dilarang. Pertemuan itu juga berhasil mencegah perusakan makam keluarga Nabi SAW dan para Imam mazhab di sekitar area Ka’bah.

Sumber : Khazanah Aswaja

Editor : Hasbi Sayyid