Islam Periode Nabi, Sahabat, Tabi’in & Madzhab Empat

Periode Rasulullah SAW yakni masa hidup beliau, pasti Islam dilaksanakan dengan baik dan benar, tepat sesuai al-Qur’an dan as-Sunnah, dan tidak menyimpang sedikitpun, khususnya oleh pribadi beliau sebagai teladan yang terbimbing langsung oleh bimbingan Ilahi. Juga para Sahabat yang terbimbing dan terkontrol langsung olehnya.

Amaliah Rasulullah SAW, mustahil menyimpang dari petunjuk al-Qur’an, karena amaliahnya inilah yang diteladani oleh para Sahabat dan umat berikutnya. Mustahil pula jika Rasul teledor dalam membimbing dan mengontrol amaliah para sahabatnya.

Amalliah lahir batin Rasulullah SAW yang diteladankan kepada para sahabat secara langsung serta kepada para pengikutnya sepanjang zaman secara tidak langsung, inilah yang disebut-sebut sebagai as-Sunnah. Amaliahnya yang diteladani secara langsung oleh para Sahabat, yang kemudian menjadi jalan hidup mereka itulah yang kemudian disebut sebagai thariqah Sahabat SAW, khususnya yang secara langsung melazimi Sunnah Rasul sehari-harinya, terlebih lagi sahabat empat yang pada gilirannya disebut al-Khulafa’ ar-Rasyidun praktis sesuai benar dengan petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah. Inilah substansi makna as-Sunnah dalam term Ahlussunnah wal Jama’ah.

Islam Periode Sahabat

Perbedaan pendapat pertama yang kemudian menjadi problematika umat Islam mulai muncul sejak Rasulullah SAW wafat. Lalu semenjak terbunuhnya khalifah ketiga, Ustman bin ‘Affan problematika politik semakin menjadi, berlanjut pada masa Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat. Pada masa ini, perbedaan pendapat yang pada awalnya beerorientasi pada politik, berujung pada persoalan akidah.

Nabi Muhammad SAW wafat pada 02 Rabi’ul Awwal 11 H/ 08 Juni 632 M. Pada hari wafatnya, sekelompok kaum Anshar di bawah pimpinan Sa’ad bin Ubadah dari suku Khazraj berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah untuk memilih Khalifah, pemimpin pengganti Nabi SAW. Mendengar hal ini kaum Muhajirin datang ke Saqifah di bawah pimpinan Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar bin Khatthab.

Setelah melewati peerdebatan cukup sengit, di mana kaum Anshar mengajukan Sa’ad bin Ubadah sebagai calon dan kaum Muhajirin mengajukan Abu Bakar as-Shiddiq atau Umar bin Khatthab, akhirnya semua sepakat mengangkat sahabat yang paling utama, yaitu Abu Bakar sebagai Khalifah pengganti Nabi SAW.

Sampai masa kekhalifahan sahabat Umar bin Khatthab perpecahan belum begitu tampak. Tetapi sejak kekhalifan Ustman bin ‘Affan, fenomenanya mulai jelas. Lalu pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib perpecahan menjadi nyata. Dampaknya menjadi sumber perbedaan paham di tengah umat Islam dalam memedomani ajaran agamanya.

Sejak Abu Bakar di baiat menjadi Khalifah, muncul gerakan pembangkang zakat yang menjadi sendi (rukun) Islam. Di ruang lain muncul pula gerakan anti-Islam di bawah komando nabi-nabi palsu seperti Musailamah al-Kadzdzab, Aswad al-Ansi, dan Thulaihah bin Khuwailid.

Meluasnya wilayah pemerintahan Islam di masa kepemimpinan Umar pun tak urung menimbulkan dendam terpendam dari penguasa ditaklukkan. Timbul gerakan bawah tanah untuk menyusupkan ajaran agama mereka ke dalam ajaran Islam dengan target menghancurkan Islam dari dalam. Indikasinya sangat jelas, yakni terungkapnya kisah-kisah israiliyyat di dalam beberapa disiplin keilmuan. Lebih nyata lagi pada kasus pembunuhan Umar sendiri. Sejarah mencatat, pembunuhnya adalah Abu Lu’luah, Hurmuzan (keduanya asal Persia/Yahudi) dan Jufainah (Nasrani). Inilah indikasi nyata dendam kesumat dari negeri-negeri taklukan sahabat Umar.

Di masa pemerintahan Ustman (23-35 H) wilayah kekuasaan Islam meluas, namun juga muncul banyak perpecahan. Abdullah bin Saba’ mulai berhasil mempengaruhi dan meracuni elit politik. Perasaan tidak puas pada kepemimpinan Ustman semakin menjadi. Kontra politik sengaja dibesar-besarkan, dan pemberontakan demi pemberontakan terjadi di Kufah, Basrah, Mesir, dan tempat lain yang bertujuan menjatuhkan kepemimpinannya. Pada masa kepemimpinan Ali, umat Islam mulai lebih jelas terpetakan dalam madzhab politik dan akidah.

Madzhab Politik

Pasca Rasulullah SAW wafat, umat Islam dalam ranah siyasah (politik) terbagi menjadi tiga golongan.

Pertama Jumhur Muslimin, yaitu mayoritas umat Islam. Mereka menyepakati Abu Bakar menjadi Khalifah Nabi SAW dalam melaksanakan tugas-tugas dakwah Islam dan kenegaraan.

Kedua Syiah, yang muncul pada 30 H dipelopori Abdullah bin Saba’ pendeta Yahudi Yaman yang masuk Islam dan beroposisi terhadap Khalifah Ustman bin ‘Affan. Saat datang ke Madinah ia tidak terlalu mendapat penghargaan dari Khalifah dan umat Islam lain, sehingga menyimpan kemarahan.

Syiah adalah sebagian kecil umat Islam yang mengdeklarasikan Ali bin abi Thalib menjadi Khalifah Nabi SAW. Syiah mempunyai doktrin Nabi SAW telah berwasiat secara terang-terangan bahwa Ali bin Abi Thalib merupakan Khalifah penerus kepemimpinannya. Sehingga diserukan kepada khalayak bahwa hanya Ali yang berhak menjabat sebagai Khalifah, sedangkan Abu Bakar, Umar, dan Ustman tidak sah dan telah merampas hak Ali. Padahal sebenarnya beliau justru melarang siapa pun yang mengagung-agungkannya melebihi mereka.

Syiah secara umum (selain Zaidiyah) dalam hal imamah (kepemimpinan) meyakini:

  1. Imamah (kepemimpinan) hanya milik keturunan Rasulullah SAW sedangkan bagi selain keturunannya adalah kezaliman.
  2. Imamah bukan merupakan urusan terkait kemaslahatan yang didasarkan pada proses pemilihan dan pengankatan umat Islam secara umum, tapi merupakan dasar agama Islam yang Rasulullah SAW dan para Rasul lainnya tidak mungkin menyianyiakannya dengan menyerahkan kepada umatnya.
  3. Para Imam bersifat ma’shum (terjaga dari dosa besar dan kecil) sebagaimana Rasulullah SAW dan para Rasul lainnya.

Penyimpangan yang dilakukan Syiah dengan berbagai golongan itu, antara lain (1) berani memasukkan kepercayaan Yahudi dan Nasrani serta Hindu Samani dan Majusi tentang paham inkarnasi (al-hulul) dan paham reinkarnasi (al-tanasukh) ke dalam ajaran Islam, (2) mengkultuskan sahabat Ali, serta mengafirkan tiga Khalifah sebelumnya, (3) menolak pendapat Ijma’ dan Qiyas, serta membolehkan kawin kontrak (mut’ah).

Ketiga Khawarij. Pasca perang Siffin, perang saudara sesama Islam antara tentara Khalifah Ali bin Abi Thalib dan tentara Mu’awiyah bin Abu Sufyan (Gubernur Syria) pada 37 H muncul pula Khawarij, yaitu orang-orang yang keluar dari Sayyidina Ali dan Mu’awiyah.

Khawarij merupakan sekelompok minoritas yang:

  1. Keluar dari Jama’ah (persatuan umat Islam) di bawah pimpinan Ustman bin ‘Affan, dan menobatkan diri sebagai oposisi.
  2. Menolak kebijakan Ali bin Abi Thalib yang menerima tahkim (perjanjian damai) dengan Mu’awiyah. Mereka menyatakan keluar dari Jama’ah di bawah pimpinan Ali bin Abi Thalib, dan menjadi oposisi.

Tiga madzhab dalam bidang siyasah (politik) tidak secara langsung mempengaruhi terbentuknya madzhab-madzhab dalam bidang fikih seperti madzhab-madzhab dalam bidang akidah.

Madzhab Akidah

Sejak Rasulullah SAW wafat, kaum muslimin masih dalam satu manhaj dalam bidang ushuluddin, namun kemudian muncul bid’ah akidah. Tiga madzhab siyasah di atas menjadi titik awal terbentuknya madzhab-madzhab dalam bidang akidah. Madzhab di bidang akidah berlanjut menjadi semakin banyak. Hal ini terjadi pada masa akhir sahabat.

 

Islam Periode Tabi’in

Maksud periode Tabi’in ialah pasca kekhalifahan sahabat Ali bin Abi Thalib yang ditandai dengan munculnya sekte-sekte Islam yang banyak mendapat sorotan ulama dan ahli sejarah, seperti: Qadariyah, Murji’ah, dan Jabbariyah.

Qadariyah dengan pendirinya Ma’bad al-Juhani dan Ghilan ad-Dimasyqi antara lain berpendapat, manusia memiliki qadar (kemampuan) sendiri untuk menciptakan perbuatannya tanpa intervensi Tuhan sama sekali. Sedangkan pendapat yang paling menonjol dari sekte Murji’ah yang dipelopori oleh Hasan bin Bilal al-Muzni, Abu Salah as-Saman, Sauban dan Dirar bin Umar, ialah menangguhkan hukuman duniawi hingga akhir kiamat. Hal ini lebih dilatar belakangi oleh sikap apatis mereka terhadap pertikaian politik sejak masa kekhalifahan Ustman bin ‘Affan. Mereka enggan menyatakan bagaimana hukum kelompok Syiah, Khawarij, Mu’awiyah, atau kelompok Ali sendiri? Hukum masing-masing diserahkan kepada Tuhan kelak pada hari kiamat. Tapi kemudian pendapatnya meluas termasuk meniadakan hukum qishas, diyat atau hukuman bagi pezina. Semua hukuman ditunda sampai hari kiamat.

Sementara itu sekte Jabariyah dengan pendirinya Jahm bin Shafwan, yang sering disebut sekte Jahmiyah, menyatakan bahwa manusia tidak memiliki qadar sama sekali. Semua perbuatan manusia diciptakan secara mutlak oleh qadar Tuhan. Baik-buruknya perbuatan manusia, semata-mata merupakan perwujudan dari baik-buruknya Tuhan. Pendapat ini bertolak belakang dengan pendapat sekte Qadariyah.

Tempat keempat sekte ini, sebagian ulama berpendapat sebenarnya kembali kepada dua sekte. Qadariyah adalah nama lain dari Mu’ta’ilah, dan Murji’ah nama lain dari Jabariyah atau Jahmiyah. Namun yang pengaruhnya sangat kuat karena hingga kini terus mewarnai perbedaan kalam (teologis) umat Islam ialah sekte Mu’tazilah.

Nama Mu’tazilah merupakan nisbat ucapan Syaikh Hasan Basri tatkala mengeluarkan muridnya yang radikal, Wasil bin Atha al-Ghazali (80-131 H). I’tazil ‘anna! (keluarlah dari perguruanku!). Wasil inilah yang dikenal sebagai pendiri sekte Mu’tazilah.

Wasil sendiri menamakan sektenya sendiri dengan sebutan Ahl al-Adl wa at-Tauhid (golongan yang berpaham adil dan meng-Esakan Tuhan) yang sekaligus mengindikasikan pendapat utamanya. Adil menurutnya ialah Tuhan membalas amal perbuatan manusia yang diciptakan sendiri tanpa intervensi qadar-Nya. Sedankan tauhid menurutnya ialah Tuhan Esa tanpa diembel-embeli berbagai sifat dan tidak memiliki sifat-sifat.

Keradikalan Mu’tazilah, meskipun akhirnya terpecah menjadi 22 sekte; semuanya terlalu berlebihan dalam memuja kemampuan akal, dan nyaris mengabaikan petunjuk naqli al-Qur’an dan as-Sunnah. Bahkan menyatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk (ciptaan Tuhan) dan bersifat hadist (baru). Pernyataan terakhir inilah yang kemudian disebut oleh banyak kalangan sebagai al-Mihnah (ujian bagi ulama mayoritas yang tetap beerpendapat bahwa al-Qur’an adalah kalimat Tuhan, dan bersifat qadim).

      Sampai periode tabi’in istilah Ahlussunnah wal Jama’ah masih belum muncul sebagai gerakan bersama. Istilah Ahlussunnah wal Jama’ah memang telah muncul, misalnya dalam tafsir Ibnu Abbas. Namun golongan yang secara substansial ada di dalamnya, yakni tetap berpegang teguh kepada petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah; tetap merupakan mayoritas. Golongan mayoritas ini sering disebut-sebut sebagai golongan as-Salaf as-Shalih.

Islam Periode Imam Madzhab Empat

Periode Imam Madzhab Empat pada dasarnya merupakan periode kemunculan madzhab fikih yang sangat banyak. Namun kemudian tinggal empat madzhab saja yang hingga kini diterima dan diakui mayoritas umat Islam, yaitu:

  1. Pendirinya Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah (80-150 H).
  2. Pendirinya Malik bin Anas (93-170 H).
  3. Syafi’i. Pendirinya Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (150-204 H).
  4. Pendirinya Ahmad bin Hanbal (164-241 H).

Keempat Imam Madzhab tersebut adalah penegak substansi paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang sangat handal. Selain di bidang fikih, mereka pun banyak menyinggung lingkup kalam (akidah) dan akhlak dengan merujuk pada Sunnah Rasul dan thariqah Sahabat Empat, dan senantiasa berpegang teguh pada petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah. Wallahu A’lam Bishawab

Acara Pelatihan Administrasi dan Talkshow di Pondok Pesantren Miftahulhuda Al Musri’

Pimpinan Anak Cabang Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama & Ikatan Pelajar Putri Nahdhatul Ulama mengadakan acara Pelatihan Administrasi dan Talkshow di Pondok Pesantren Miftahulhuda Al Musri’, Kamis, 14 Juli 2022.

Dalam Acara tersebut dihadiri oleh pengurus PAC IPNU & IPPNU Kecamatan Ciranjang, perwakilan dari pengurus Badan Otonom Nahdhatul Ulama Pondok Pesantren Miftahulhuda Al Musri’ dan segenap pengurus PK IPNU & IPPNU Pondok Pesantren Miftahulhuda Al Musri’.

Tujuan dari organisasi adalah meng-organir setiap kepentingan-kepentingan individual manusia dan ini dibingkai dalam satu tujuan, yaitu tujuan bersama.

Sehingga harmoni ini yaitu bagaimana kita mempunyai satu sudut pandang bahwa kita dalam ber-organisasi, harus sesuai dengan tujuan organisasi.

Selama ini tujuan IPNU & IPPNU adalah terbentuknya pelajar bangsa yang bertaqwa kepada allah swt, berilmu, berwawasan ke-bhinekaan juga bertanggung jawab akan tegaknya ajaran syari’at ala Ahlussunnah Waljama’ah.

dalam sambutannya Ketua PAC IPNU Ciranjang, Rekan Muhammad As’ad menjelaskan tentang tujuan diadakannya acara ini.

“Pelatihan Administrasi itu kita dibahas, masalah persuratan, pengarsipan surat maupun laporan, tujuan, perlengkapan, untuk membuat suatu acara. Juga disitu membahas tentang pengertian, fungsi, tujuan dan tata cara kerjanya”, ucapnya.

Acara ke dua yaitu talkshow yang bertemakan “ Harmoni rime Organisasi dalam rangka memperingati Anniversary 1 tahun masa khidmah PAC IPNU & IPPNU Kecamatan Ciranjang.

Membahas bagaimana menjalankan suatu organisasi baik dan benar.

“ Kita sebagai Fa’il atau yang menjalankan organisasi itu harus paham, bahwa kita harus butuh kepada administrasi organisasi khususnya di IPNU & IPPNU, agar terciptanya harmoni ritme organisasi”, tutupnya.

 

Penulis : Rifky Aulia

 

Dahulukan Makan atau Shalat ??

Ada hadist yang menyatakan bahwa menahan buang air kecil dan buang angin tidak ada shalat bila makanan telah siap sedia ( jadi harus makan dulu baru shalat ). Bagaimana maksudnya?

   Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya melalui istri Nabi, ‘Aisyah RA., bahwa dia mendengar Nabi SAW. Bersabda, “Tidak ada shalat dengan hadirnya makanan, dan tidak ada shalat pula bagi orang yang didorong oleh kedua yang buruk ( air kecil dan air besar ).”

Para ulama memasukkan “buang angin” atau kentut di dalam larangan ini. Pengarang kitab Subul as-Salam menyatakan bahwa kalau yang bersangkutan tidak didorong oleh hal-hal itu, dan hanya sekedar merasakan adanya “panggilan” untuk membuangnya, maka ini tidak termasuk dalam larangan diatas. Bahkan, seandainya dorongan itu ada, maka ini hanya dipahami sebagai larangan makruh, bukannya membatalkan shalat.

Akan halnya menyangkut sholat dan tersedianya makanan, hadist yang diriwayatkan Imam Muslim diatas dipahami dalam arti larangan iqamah (mengajak untuk segera melaksanakan shalat ) ketika makanan sudah dihidangkan. Ada sekian banyak hadist serupa. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Nabi SAW. bersabda, “Jika makan malam telah dihidangkan, maka dahulukanlah bersantap malam, sebelum shalat maghrib.”

Ada juga riwayat yang menyebutkan shalat secara mutlak. Ibnu Hazm berpendapat bahwa semua shalat harus ditunda bila makanan telah tersedia, dan tidak sah mengerjakan shalat dalam situasi demikian. Ada juga yang membatasi shalat dalam hal ini sebagai shalat maghrib saja atau ketika sedang berpuasa. Imam Syafi’i memahami larangan ini hanya bagi orang yang sedang lapar saat itu. Sementara itu, Imam al-Ghazali memahaminya dalam konteks kekhawatiran rusaknya makanan yang tersedia itu.

Syarat tambahan lainnya adalah ‘tersedianya waktu yang tersisa sesudah makan untuk melaksanakan shalat diwaktu shalat yang telah ditetapkan oleh agama.” Bagaimanapun juga, mayoritas ulama berpendapat bahwa laranga diatas hanya mengandung arti makruhnyashalat, bukan tidak sahnya shalat. Kemakruhan ini berkaitan dengan terganggunya konsentrasi yang mengakibatkan berkurangnya kekhusyukan. Wallahualam Bisshawab

Bolehkah sebagian daging hewan kurban kita makan ??

Bagaimana hukum berkurban? Bolehkah sebagian daging hewan kurban kita makan, dan kepalanya kita berikan kepada tukang potong sebagai upah, serta kulitnya kita jadikan sebagai rebana?

Berkurban atau mendekatkan diri kepada Allah dengan menyambelih hewan tertentu pada Hari Raya Idu Adha dan dua atau tiga sesudahnya adalah salah satu ajaran agama yang ditegaskan dalam al-Qur’an (QS. Al-Kautsar [108]: 2 dan QS. al-Hajj [22]: 36). Imam Abu Hanifah menilainya wajib bagi setiap orang yang mampu, berdasaarkan sabda Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah: “Barang siapa memiliki kemampuan dan tidak mau berkurban, maka hendaknya dia tidak mendekati tempat shalat kami.”

Menurut penganut paham Abu Hanifah, ancaman ini menunjukkan wajibnya berkurban, sementara madzhab lain menilainya sebagai anjuran yanga amat ditekankan (sunnah mu’akkadah) berdasarkan sekian banyak hadist. Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, “Aku diperintahkan berkurban, sedang itu sunnah untuk kalian.

Ibnu Abbas berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda, “Tiga hal menjadi kewajiban atas diriku, dan ketiganya merupakan anjuran bagi kalian, yakni (shalat) witir, menyembelih kurban, dan shalat dhuha.”

Menurut madzhab Syafi’i, anjuran ini cukup dilaksanakan sekali seumur hidup. Di sisi lain, dianjurkan pula agar setiap kepala keluarga atau salah seorang keluarga hendaknya berkurban untuk dirinya (kalau belum) atau atas nama salah seorang keluarganya. Para ulama juga sepakat bahwa hewan yang boleh dikurbankan haruslah unta atau sapi atau kerbau (maksimal seekor untuk seorang) yang sehat dan sempurna, baik jantan maupun betina.

Ihwal memakan daging kurban yang di sembelih,mayoritas ulama membolehkannya. Jika kurban itu dilakukan untuk memenui nazar,maka Abu Hanifah dan Syafi’i melarang orang bersangkutan dan keluarganya memakan dagingnya. Dalam madzhab Maliki, Hanafi, dan Hanbali, disunnahkan bagi orang yang berkurban untuk menggabungkan antara membagikan dan memakannya. Bahkan, seandainya dia memakan semuanya atau menyimpannya selama tiga hari kemudian, maka yang demikian itu diperbolehkan menurut madzhab Hanafi dan Maliki, walaupun hukumnya tidak dianjurkan (makruh).

Dalam madzhab Hanafi dan Hanbali, dianjurkan untuk membagikan daging kurban sepertiga untuk dirinya dan keluarganya, sepertiga untuk teman-teman, meskipun kaya, dan sepertiga lainnya untuk fakir miskin. Menurut mereka, hal ini berdasarkan firman Allah: … Kemudian jika (hewan yang dikurbankan itu) telah roboh (mati), maka makanlah sebagian darinya, dan berilah makan orang yang rela dengan apa yang ada padanya(yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta, … (QS. al-Hajj [22]: 36).

Imam Malik tidak menetapkan kadar tertentu. Penganut madzhab ini berpegang pada sekian banyak hadist yang menganjurkan agar memakan, memberi makan, dan menyisihkannya untuk disimpan. Hadist-hadist itu dapat dilihat, antara lain, dalam kitab Nayl al-Awthar, jilid kelima. Alasan lain tentang kebolehan menyisihkan adalah hadistyang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Nabi SAW. bersabda, “Aku tadinya melarang kalian menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari karena adanya ‘Addafat’ (orang-orang yang datang dari pegunungan mengharapkan bekal akibat paceklik). Kini, telah datang kelapang dari Allah. Maka, simpanlah sekehendak kalian.” (HR. Muslim).

Menjual sesuatu yang berkaitan dengan hewan kurban tidak dibenarkan, baik kepala, daging, kulit, atau bulunya. “Barang siapa menjual daging hewan kurbannya, maka tidak ada (sah) kurbannya,” begitu sabda Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh al-Hakim dan al-Baihaqi. Tidak juga dibenarkan memberikannya sebagia upah kepada penyembeli. Tetapi memberikannya sebagai hadiah kepadanya atau orang yang wajar menerimanya, maka hal itu dibenarkan.

Di sisi lain, yang berkurban atau yang lainnya dapat memanfaatkan kulit hewan kurbannya untuk rebana atau apa saja. Wallahualam Bisshawab

 

Hukum Lupa Melaksanakan Shalat

Bagaimana pandangan hukum islam tentang seseorang yang tertidur sehingga dia tidak melaksanakann shalat? Apa yang hadur dilakukan bila dia terjaga dari tidurnya?

Dalam kitab hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Jika salah seorang diantara kamu tertidur sehingga tidak melaksanakan shalat atau lupa melaksanakannya, maka hendaklah dia melaksanakannya ketika dia ingat. Allah berfirmman, ‘Laksanakanlah shalat untuk mengingatu-Ku.’

Dalam hadits lain yang diriwayatkan keenam kitab hadits standar disebutkan “barang siapa lupa melaksanakan shalat, maka hendaklah ia melaksanakannya ketika dia ingat. Tidak ada kafarat atasnya, kecuali melaksanakan shalt itu sendiri.”

Tidur sama halnya dengan mati. Ruh manusia ketika itu berada di dalam genggaman Allah sehinga seseorang tidak dituntut bertanggung jawab ihwal apa yang dilakukan atau tidak dilakukan ketika itu.Nabi SAW dan sahabat-sahabat beliau pun pernah ketidutan sehingga tidak shalat pada waktunya.Namun,begitu mereka terjaga,mereka melaksanakan sholat,walaupun waktu sholat telah berlalu.

Sahabat Nabi SAW,Abu Qutadah, menginformasika  bahwa mereka berpergian bersama Rasulullah SAW. Sebagian mengusulkan agar rombongan beristirahat sejenak, tetapi Rasulullah SAW, bersabda, “Aku khawatir kalian akan ketiduran sehingga kalian tidak mengerjakan shalat.”

Bilal menyanggupi untuk membangunkan mereka,tetapi dia sendiri pun ketiduran. Nabi SAW, terbangun ketika matahari telah terbit dan berkata kepada Bilal, “Wahai Bilal, mana yang engkau ucapkan atau janjimu itu?” Bilal menjawab, “Belum pernah sama sekali aku merasakan tidur seperti ini.” Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah menggenggam atau menahan ruh kalian pada saat Dia kehendaki dan mengembalikannya pada saat Dia kehendaki. ‘Wahai Bilal, bangkit dan kumandangkanlah adzan untuk sholat.’”

Rasulullah SAW kemudian berwudhu dn ketika matahari telah terbit dan memutih (cahayanya sangat jelas). Beliau mengerjakan sholat berjamaah bersama rombongan. Shalat yang dilaksanakan setelah berlalu waktunya ini disebut shalat qadha’.

Bagi orang yang terjaga sebelum waktu sholat habis, dia harus segera melaksanakan shalat, dan bila tidak juga mengerjakannya sampai waktunya habis, dia dinilai berdosa.