Ibu: Manifestasi Tuhan yang Nyata
Hakikat Tuhan di dunia ini adalah kasat mata. Tidak bisa dilihat oleh mata bagi para hamba-Nya. Semua agama, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha, maupun lainnya memiliki keyakinan yang sama berkaitan dengan eksistensi Tuhan. Tentu saja hal ini tidak menjadikan keyakinan para pemeluk agama menjadi berkurang. Karena dari awal telah meyakini bahwa keberadaan Sang Pencipta, meskipun tidak bisa dilihat secara panca indera. Tetapi dalam hati nurani telah terpatri sebuah keyakinan bahwa Tuhan itu ada, namun tidak bisa dilihat. Keberadaan cukup diyakini keberadaanya. Namun ada satu sosok Tuhan di dunia ini yang bisa dilihat dengan panca indera kita, yaitu Ibu. Sekilas ungkapan ini memang terkesan aneh, bahkan mengarah pada pandangan ekstrim. Namun, penulis menyejajarkan posisi Ibu seperti Tuhan bukan karena tidak meyakini adanya Tuhan. Tetapi berdasarkan sudut pandang lain yang masih berada dalam koridor agama dan tidak lari dari prinsip-prinsip tauhid.
Berdasarkan perspektif agama Islam, Ibu adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang memiliki keistimewaan, baik dihadapan-Nya maupun kontribusi terhadap peradaban dunia. Satu-satunya sosok yang rela mempertaruhkan nyawanya demi kelahiran sang buah hati ke alam dunia. Seorang Ibu dengan penuh kesabaran merawat sang buah hati ketika di dalam kandungan selama 9 bulan genap hingga besar menjadi sosok manusia yang berbudi luhur. Dilansir dari salah satu laman Republika.com, bahwa Ibu dalam kacamata Islam dimaknai sebagai poros dan sumber kehidupan. Dari rahim seorang Ibu, akan lahir berbagai warna warni kehidupan untuk meramaikan dunia seisinya.
Sebelum membahas lebih spesifik terkait alasan menyejajarkan kedudukan Ibu dengan Tuhan, akan lebih bijak jika kita bersama-sama menyimak salah satu hadist Rasulullah SAW berikut ini. “Dari Abu Hurairah R.A beliau berkata “Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali? Nabi menjawab, “Ibumu”. Pertanyaan ini diulangi hingga tiga kali sampai pada pertanyaan terakhir Rasululllah menjawab “Kemudian adalah ayahmu”. (HR Bukhari Muslim).
Mungkin kita sempat merasa bingung kenapa dalam teks hadist ini kata Ibu diulangi sebanyak tiga kali. Tentu saja Rasulullah SAW mempunyai alasan dan maksud tujuan di luar kemampuan kita sebagai umatnya. Syaikh Fadhlullah Al Jilani, ulama India mengatakan bahwa alasan Rasulullah SAW mengulangi perkataan Ibu adalah karena kesulitan yang dirasakan ibu ketika hamil. Seorang Ibu rela mempertaruhkan nyawa demi keselamatan anaknya. Tidak sampai di sini, perjuangan Ibu berlanjut ketika setelah melahirkan. Ibu dengan ikhlas dan sabar selalu merawat anaknya hingga besar sampai mereka sukses. Separuh hidup Ibu semata-mata hanya untuk mengurus, merawat, dan mendidik anak-anaknya. Dari sinilah muncul sebuah ungkapan yang dipopulerkan oleh penyair Hafizh Ibrahim sebagai berikut : “Al-Ummu Madrasatul Ula.” Artinya Ibu adalah madrasah pertama bagi anak. Maksudnya adalah Ibu menjadi gerbang pertama yang memberikan dasar-dasar pengetahuan kepada anak. Beliau mengenalkan tentang makna kehidupan sehingga anak memahami tentang etika sosial kemasyarakatan yang berlaku di tempat ia tinggal.
Besarnya perjuangan seorang Ibu kepada anaknya ini menjadikan setiap do’a yang keluar dari lisan Ibu dijamin mustajab. Telah banyak dijanjijkan oleh Allah SWT melalui hadist dan firman-Nya yang menjelaskan tentang do’a Ibu. Begitu pula dengan ridlanya. Ridla kedua orang tua terutama Ibu sangat penting bagi seorang anak. Do’a dan ridla orang tua adalah dua hal yang tidak bisa dianggap remeh, khususnya bagi seorang anak. Apapun keinginan anak, harus mendapat ridla beserta do’a orang tua, khususnya Ibu. Hal itu sangat penting karena berkaitan dengan ridla Allah SWT kepada keinginan anak tersebut. Hakikatnya adalah ridla Allah SWT terletak pada ridla kedua orang tuanya, terutama ibu. Jika seorang Ibu ridla kepada anaknya, maka bisa dipastikan bahwa ridla Allah SWT telah bersamaan dengan ridla seorang Ibu. Dan sebaliknya, ketika ibu enggan memberikan ridla, maka Allah SWT juga enggan memberikan ridla kepadanya.
Itulah mengapa pada narasi awal berani menyampaikan seorang Ibu sejajar dengan Tuhan. Bukan semata-mata karena ia adalah dzat yang wajib disembah apalagi diagungkan. Melainkan adalah karena mulianya sosok Ibu, ditambah setiap perkataan dan ridla yang keluar dari lisannya adalah setara dengan ridla Allah SWT. Seakan-akan apapun yang ada di dalam hati seorang Ibu bisa dengan mudah dilaksanakan jika ia meminta kepada Allah SWT. Ketika seorang Ibu ridla, maka Allah SWT akan ridla, begitu juga dengan do’a Ibu. Apapun do’a yang Ibu panjatkan entah baik atau buruk dan itu untuk anaknya, niscaya tidak ada penghalang bagi Allah SWT untuk menolaknya permintaan do’a itu. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Rasulullah SAW bersabda: “Ada tiga doa yang tidak tertolak: [1] doa orang tua (kepada anaknya) [2] orang-orang yang berpuasa [3] doa orang yang sedang safar” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan-nya no. 6619, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah).
Juga tidak lupa dalam keindahan Al-Quran, termaktub kisah-kisah mengharukan dan menginspirasi tentang perjuangan empat ibu mulia. Hajar, Milyanah, Hanah, dan Maryam, keempat perempuan ini melukis cerita tentang keimanan, kesabaran, dan keteguhan hati dalam menghadapi ujian kehidupan. Masing-masing membawa pesan mendalam tentang kasih ibu, keberanian, dan ketulusan yang menggetarkan hati.
Hajar Ibunda Nabi Ismail
Salah satu kisah yang mengharukan adalah kisah Hajar, ibunda Ismail. Ketika Nabi Ibrahim berdoa dan meninggalkannya bersama Ismail di gurun tandus, ia berucap, “Ya Tuhan Kami, sesungguhnya diriku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Ka’bah) yang dihormati. Ya Allah, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan sholat. Jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berikanlah rizki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim ayat 37).
Keteguhan dan kesabaran Hajar diuji oleh Allah ketika Ismail membutuhkan air. Dalam pencarian air, Hajar berlari bolak-balik antara Bukit Shafa dan Bukit Marwah. Al-Quran menjelaskan, “Sesungguhnya Shafa dan Marwah merupakan sebagian syiar (agama) Allah. Maka, siapa beribadah haji ke Baitullah atau berumroh, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri, lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Baqarah ayat 158).
Dalam kisah ini, para ibu diajarkan tentang ketekunan, kesabaran, dan kepasrahan kepada kehendak Allah. Hajar barangkali tidak memikirkan keadaan dirinya yang sedang lemah tak ada tenaga, namun ia tetap berusaha melakukan ikhtiar untuk mendapatkan air. Beginilah sosok ibu yang senantiasa tidak rela bila mendapati anaknya berada dalam kelaparan, kehausan, dan kepayahan.
Milyanah Ibunda Nabi Musa
Selain kisah Hajar, Al-Quran menuturkan kisah ibu yang luar biasa, yakni ibunda Musa, yang oleh sejarawan disebut Milyanah. Dalam masa pemerintahan Fir’aun yang kejam, di mana penguasa tersebut memerintahkan pembunuhan terhadap bayi laki-laki Bani Israil, Milyanah menghadapi ujian besar. Fir’aun melaksanakan kebijakan yang mengerikan: “Sungguh, Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dia menindas segolongan dari mereka (Bani Israil), dia menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak perempuan mereka. Sungguh, dia (Fir’aun) termasuk orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash ayat 4).
Milyanah, ibu Musa, hidup dalam keadaan bingung dan terpukul dengan kebijakan diskriminatif Fir’aun. Di tengah keputusasaan itu, Allah memberi ilham ke dalam hatinya untuk mengambil langkah yang benar: “Letakkanlah ia (Nabi Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Firaun) musuh-Ku dan musuhnya. Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku.” (QS. Thaha ayat 39).
Sebelum peti itu terlempar ke sungai Nil, sang ibu menyusui Musa. Al-Quran mencatat, “Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; ‘Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya. Maka jatuhkanlah Dia ke sungai (Nil), dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari Para Rasul.” (QS. Al-Qashash ayat 7).
Kisah Milyanah menggambarkan keharuan seorang ibu yang tegar dalam menghadapi ujian berat. Kesetiaan dan keberanian yang ditunjukkan oleh ibu Musa menjadi inspirasi abadi bagi setiap ibu yang menghadapi tantangan dalam perjalanan hidupnya.
Hanah Ibunda Maryam
Dalam Al-Quran, kita mendapati kisah Hanad, ibunda Maryam, dan istri dari Imran. Hanad terkenal karena melakukan nazar sebelum kelahiran Maryam, menghadiahkan anaknya untuk berbakti di Baitul Maqdis. “(Ingatlah), ketika isteri ‘Imran berkata: ‘Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu, terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ali Imran ayat 35).
Namun, ketika saat kelahiran tiba, kenyataan tak sesuai dengan prasangka ibunda Maryam. Hanad, dengan tulus dan rendah hati, menerima anak perempuannya sebagai anugerah dari Allah dan tetap setia pada nazarnya. “Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: ‘Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai Dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk (QS. Ali Imran ayat 36).
Kisah Hanad memancarkan ketulusan dan keikhlasan seorang ibu yang setia pada janji dan nazar yang telah diucapkannya. Sebagai teladan bagi umat, Hanad mengajarkan kita untuk selalu berserah diri pada kebijaksanaan Allah meski rencana kita tak selalu sejalan dengan takdir-Nya.
Maryam Ibunda Nabi Isa
Maryam bin Imran mengukir kisah yang mempesona dalam lembaran Al-Quran. Ia bukan hanya seorang perempuan biasa, tetapi teladan bagi setiap muslimah di berbagai pelosok dunia. Keimanan dan ketakwaannya kepada Allah membawa berkah luar biasa, menciptakan keajaiban yang mengejutkan orang-orang di sekitarnya.
Al-Quran mencitrakan Maryam sebagai figur perempuan yang mulia, suci, dan penuh kesabaran. “Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: ‘Hai Maryam, Sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu, dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu). Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (QS. Ali Imran ayat 42-43).
Dengan kasih sayang Ilahi yang melimpah, Maryam membuktikan bahwa seorang perempuan dapat menjadi teladan yang memancarkan cahaya keimanan dan ketakwaan, menginspirasi generasi setelahnya. Melalui kisahnya, Al-Quran mengajarkan bahwa kepatuhan kepada Allah dan kesucian hati adalah pondasi yang kokoh untuk memperoleh keberkahan-Nya.
Empat Kisah tentang Ibu di dalam Al Quran di atas memberikan nilai-nilai keteguhan, kesabaran, keikhlasan, dan ketakwaan yang melekat dalam peran seorang ibu. Kisah Hajar, Milyanah, Hanah, dan Maryam merupakan panduan hidup bagi setiap ibu dan perempuan muslimah. Keberanian, kepasrahan, dan keikhlasan mereka di hadapan ujian hidup menggambarkan kebesaran peran seorang ibu dalam membentuk karakter, menghadapi cobaan, dan mendidik generasi penerus.
Semoga bisa meneladani ketulusan dan dedikasi para ibu yang terabadikan dalam Al Quran, sehingga peran suci sebagai ibu dapat terus dijaga dan diperjuangkan sebagai fondasi keluarga yang kokoh. Dengan demikian, semoga kita dapat meraih keberkahan dunia dan akhirat, serta menerima peran ibu dengan penuh kebermaknaan dan kesuksesan.
Penulis: Raisya Audyra