Triwulan Wali Santri Al-Musri’: Ajang Silaturahmi, Sosialisasi, dan Sinergi

Yayasan Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ kembali menggelar agenda rutin Triwulan Silaturahmi Wali Santri pada Kamis, 07 Agustus 2025 M / 13 Shafar 1447 H bertempat di Gedung Aula Al-Faqih. Acara dimulai sejak pukul 08.00 WIB dan berlangsung khidmat hingga selesai. Kegiatan ini menjadi wadah strategis dalam menjalin komunikasi antara pesantren dan wali santri, serta menyampaikan berbagai informasi penting terkait pembinaan, program kepondokan, dan arah kebijakan pendidikan ke depan.

Dalam pelaksanaannya, acara ini dihadiri oleh seluruh jajaran Dewan Masyaikh Sepuh, serta barisan Dewan Ampuh (Amanat Sepuh) yang merupakan para putra dan menantu dari masing-masing Dewan Masyaikh. Keterlibatan keduanya menjadi cerminan kesinambungan perjuangan dan regenerasi nilai-nilai ke-Almusri-an yang terus dijaga. Dalam sambutannya, P. Eteh Hj. Siti Maryam, selaku Wakil Ketua Yayasan, memperkenalkan satu per satu nama anggota Dewan Masyaikh Sepuh — baik dari kalangan kiai maupun nyai — serta menjelaskan peran penting Dewan AMPUH sebagai generasi penerus yang dipersiapkan untuk menjaga, melanjutkan, dan mengembangkan estafet keilmuan serta pengasuhan pesantren di masa depan.

sambutan yang disampaikan oleh Wakil Ketua Yayasan, P. Eteh Hj. Siti Maryam, yang memaparkan struktur Dewan Masyaikh Sepuh, baik dari unsur masyaikh laki-laki maupun ibu nyai (dewan masyaikh perempuan).

Setelah itu, beliau memperkenalkan pula keberadaan Dewan AMPUH, yang merupakan kepanjangan dari Amanat Sepuh — yaitu barisan kader penerus pesantren yang terdiri dari putra kandung maupun menantu para dewan masyaikh sepuh, baik dari kalangan putra maupun putri.

Mereka adalah generasi yang telah dan sedang dipersiapkan secara langsung untuk meneruskan tongkat estafet perjuangan, pembinaan, dan kealmusri’an di Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’, demi menjaga keberlangsungan nilai-nilai pesantren secara berkelanjutan dan terarah.

“Dewan AMPUH adalah wajah masa depan Al-Musri’. Mereka bukan hanya mewarisi nama besar orang tuanya, tapi juga memikul amanah besar untuk menjaga dan mengembangkan warisan keilmuan, adab, serta tradisi pesantren,” ujar P. Eteh Hj. Siti Maryam dalam sambutannya.

Berikut daftar Dewan Ampuh (Amanat Sepuh) yang telah diumumkan secara resmi:

Dewan Ampuh – Laki-laki (Putra / Mantu Dewan Masyaikh Sepuh):

  1. Ang Arifulkholiq
  2. Ang Agus
  3. Ang Anang Suryana
  4. Ang H. Ilham
  5. Ang Iin Inadi
  6. Ang Dede Lukman
  7. Ang Kamaludin Misbah
  8. Ang Hamzah Singana Gusti
  9. Ang Nurul Arif
  10. Ang Ahmad Fakhrurozi
  11. Ang Alwan Sofiyulloh
  12. Ang Afes
  13. Ang Dzikrul Hakim
  14. Ang Iyus
  15. Ang Abdulloh Hilhay
  16. Ang Ibay
  17. Ang Rif’at Hidayat
  18. Ang Abdul Jabbar
  19. Ang Maksalmina
  20. Ang Mu’ti Alhafidz
  21. Ang Abdurrahman Alfaqih
  22. Ang Muan Habibul Fatah

Dewan Ampuh – Perempuan (Putri / Mantu Dewan Masyaikh Sepuh):

  1. T. Iim
  2. T. Diah
  3. T. Enok
  4. T. Iklima
  5. T. Tarni
  6. T. Siti
  7. T. Solahtie
  8. T. H. Tsalist L
  9. T. Ina Izatul Inayah
  10. T. Lilih Malahat
  11. T. Misdatul Hasanah
  12. T. Musyarrofah
  13. T. Dini
  14. T. Ena
  15. T. Nurhayati
  16. T. Siti Maesaroh
  17. T. Ita
  18. T. Ati
  19. T. Rihanatul Jannah
  20. T. Yusfa Yajliyyah
  21. T. Neng Syifa
  22. T. Gina

“Kehadiran AMPUH bukan hanya simbol regenerasi, tetapi bentuk tanggung jawab moral dan spiritual untuk menjaga nilai-nilai Almusri yang diwariskan para sepuh,” tegas beliau.

Salah satu sesi penting dalam acara kali ini adalah sosialisasi sistem Dompet Digital Santri, yang dibawakan oleh P. Ang Abdurrahman Alfaqih. Program ini merupakan inovasi pesantren dalam pengelolaan keuangan santri secara transparan dan efisien.

Melalui sistem ini, wali santri dapat:

  • Memantau pengeluaran santri secara real-time,
  • Mengirim uang secara terkontrol,
  • Mengetahui kebutuhan harian anak secara lebih terukur.

Antusiasme wali santri terhadap program ini terlihat dari berbagai pertanyaan dalam sesi diskusi.

Acara juga diisi dengan berbagai sesi penguatan nilai:

  • Pembacaan Tawasul oleh P. Ang Nurul Arif
  • Sosialisasi KBIHU Al-Musri’ oleh Ust. Aep Baihaqi dan Ust. Ilham
  • Sesi Tanya Jawab dipandu oleh P. Ang Faiz Muhammadi
  • Kajian Kitab Ihya Ulumuddin Juz 3 oleh P. Akang Acep Sanusi
  • Do’a penutup oleh P. KH. Mahmud Munawwar

Khusus kajian kitab Ihya Ulumuddin, suasana berubah menjadi sangat khusyuk dan penuh hikmah. Para wali santri turut menyimak pembahasan yang sarat dengan nilai-nilai tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), sebagai bekal mendidik anak-anak di lingkungan rumah masing-masing. Triwulan Silaturahmi kali ini kembali menjadi bukti bahwa keterlibatan wali santri adalah elemen vital dalam ekosistem pendidikan pesantren. Melalui forum ini, bukan hanya laporan dan program yang disampaikan, tapi juga tumbuh rasa saling percaya, keterbukaan, dan komitmen bersama.

“Kami ingin kegiatan ini tidak hanya menjadi rutinitas, tetapi tempat menyatunya cinta orang tua dengan dedikasi pesantren dalam mendidik generasi shalih wa muslih,” ungkap salah satu pengurus dalam penutupan acara.

YPP. Miftahulhuda Al-Musri’ menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas partisipasi aktif seluruh wali santri. Semoga langkah ini terus memperkuat sinergi antara rumah dan pesantren demi tumbuh kembang santri yang paripurna.

Pewarta: M Wildan Musyaffa

Jejak Emas Muslimah Nusantara: Dari Dapur Dakwah Hingga Singgasana Kekuasaan

Perjalanan Islam di Nusantara tak bisa dilepaskan dari peran perempuan. Mereka bukan hanya penjaga rumah tangga, tetapi juga penjaga cahaya ilmu dan iman. Dalam sunyi mereka mendidik, dalam gelap mereka menerangi, dan dalam sejarah mereka menorehkan tinta emas perjuangan yang tak lekang oleh zaman.

Salah satu sosok yang patut dikenang adalah Nyai Ageng Manila, istri dari Sunan Ampel. Dari rahim pendidikannya, lahirlah dua bintang Walisongo: Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Tak hanya menjadi ibu, ia adalah madrasah pertama yang melahirkan mujahid dakwah bagi Nusantara.

Lalu, ada Nyai Ageng Gede Pinatih binti Sayyid Pandhita, keponakan Sunan Ampel, perempuan tangguh yang menjabat sebagai syahbandar pelabuhan Gresik. Ia bukan hanya pelaut dagang, tapi pelaut iman, yang mengangkat Sunan Giri sebagai anak angkatnya. Berkat gemblengan dan kasih sayangnya, Sunan Giri tumbuh menjadi ulama besar, bahkan memimpin majelis Walisongo pasca wafatnya Sunan Ampel. Dakwahnya meluas hingga Nusa Tenggara, Sumatra, dan Sulawesi — meninggalkan jejak lewat para muridnya seperti Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Patimang, dan Datuk Ri Tiro.

Tak kalah mulia, Nyai Ageng Malokah, putri Sunan Ampel yang menggantikan suaminya menjadi Adipati Lasem, tampil sebagai pemimpin dan pendakwah. Ia bersinergi dengan adiknya, Sunan Bonang, menyebarkan Islam lewat Pesantren Bonang-Binangun. Dari lembaga itu, ajaran Islam menyeberang pulau: Madura, Bawean, Kalimantan, hingga Ternate.

Di ujung barat, sejarah mencatat satu kisah agung dari tanah rencong: Kesultanan Aceh Darussalam, yang dipimpin oleh empat sultanah berturut-turut. Dimulai dari Sulthanah Shafiatuddin Syah (1644–1675), putri Sultan Iskandar Muda, yang memerintah selama 34 tahun penuh gemilang. Lalu disusul oleh putrinya, Sulthanah Nurul Alam, kemudian Sulthanah Inayah Zakiyatuddin Syah, dan terakhir Sulthanah Kamalat Syah.

Pada masa mereka, Kesultanan Aceh bersinar bagaikan permata Islam di Asia Tenggara. Turki Utsmani bahkan menganugerahi gelar “Serambi Makkah” karena semarak dakwah dan pusat keilmuan yang tumbuh pesat. Tak hanya ulama laki-laki seperti Syaikh Abdurrauf al-Singkeli atau Syaikh Yusuf al-Maqassari yang bersinar, tetapi juga para perempuan: Si Nyak Bunga, Munabinah, Siti Cahaya, hingga Si Mawar—semuanya menjadi bagian penting pemerintahan.

Perempuan, dalam sejarah Islam Nusantara, bukanlah bayang-bayang lelaki. Mereka adalah cahaya yang bersinar sendiri. Dalam ranah dakwah, kekuasaan, bahkan ilmu pengetahuan, mereka menunjukkan bahwa Islam bukan membelenggu, tapi justru membuka jalan. Islam mengizinkan perempuan memimpin, selama itu tidak melanggar syariat-Nya.

Sayangnya, citra ini sempat buram karena propaganda kaum orientalis seperti Snouck Hurgronje, yang menyebarkan anggapan bahwa perempuan Muslim hanya mencapai baligh setelah menikah. Bahkan RA Kartini, dalam kegelisahan dan pencariannya terhadap ilmu, sempat mempertanyakan batasan ini.

Namun sejarah membantahnya dengan fakta. Bahwa Islam—di tangan para ulama Nusantara—memberikan ruang seluas-luasnya bagi perempuan untuk berkarya. Tidak hanya di dapur atau ruang tamu, tapi juga di singgasana, masjid, pelabuhan, pesantren, dan medan juang.

Warisan mereka tak selesai di situ. Jejak itu diteruskan oleh para tokoh seperti Cut Nyak Dien, Syaikhah Fathimah al-Palimbani, Syaikhah Rahmah El-Yunusiyah, hingga Syaikhah Khairiyah Hasyim. Suara mereka menggema dari kampung halaman hingga Al-Azhar Mesir dan tanah Haramain.

Maka tak layak lagi perempuan dipandang sebelah mata. Karena sejarah telah membuktikan: Islam, di bumi Nusantara, telah lama membesarkan perempuan.

*Artikel redaksi ini bersumber dari buku Amirul Ulum, Nyai Khoiriyah Hasyim Asy’ari Pendiri Madrasah Kuttabul Banat di Haramain



Pewarta: M Wildan Musyaffa 

Ziarah Akbar Ponpes Miftahulhuda Al-Musri’ Banu Mansur ke YPP. Miftahulhuda Al-Musri’ Pusat

Selasa pagi, 1 Juli 2025, keluarga besar Ponpes Miftahulhuda Al-Musri’ Banu Mansur—yang terdiri dari kalangan santri laki-laki dan santri wanita—melaksanakan ziarah akbar bersama ke pondok induk YPP. Miftahulhuda Al-Musri’ Pusat, yang berlokasi di Kertajaya, Ciranjang, Cianjur.

Rombongan besar ini dipimpin langsung oleh Sesepuh Pondok Pesantren, Pangersa Umi Hj. Yayah Rukoyah dan Pangersa Ang Ariful Kholiq Zaelani, bersama para asatidz dan masyaikh pendamping. Sementara itu, ziarah secara spiritual dipimpin oleh, Pangersa Ang Ariful Kholiq Zaelani.

Ziarah ini bukan hanya menjadi ajang silaturahmi dan muhasabah ruhani, tetapi juga mempererat keterikatan sejarah dan sanad keilmuan antara dua pondok pesantren yang bersaudara. Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ Banu Mansur sendiri merupakan bagian dari keluarga besar Al-Musri’ Pusat, melalui garis keturunan Dewan Sepuh Alm. Apa. K.H. Ade Muhammad Mansur, putra ke-4 dari Mama Syaikhuna KH. Ahmad Faqih Bin K.H. Qurdi (pendiri YPP. Miftahulhuda Al-Musri’ Pusat.)

Turut hadir dalam ziarah ini para masyaikh utama Yayasan Pondok Pesantren Banu Manshur, yang juga masih bagian dari keluarga besar YPP. Miftahulhuda Al-Musri’ Pusat, di antaranya:

  • Pangersa Umi Hj. Yayah Rukoyah
  • Pangersa Ang Maxsalmina
  • Pangersa Ang Ariful Kholiq Zaelani
  • Pangersa Ang Muslih
  • Pangersa Ang Darwis Munawarul Haq
  • Serta seluruh para masyaikh lainnya, baik dari kalangan laki-laki maupun wanita, yang hadir dengan penuh kekhidmatan dan rasa hormat.

Rombongan berangkat sejak pagi hari menggunakan pick-up terbuka, yang mencerminkan semangat kesederhanaan khas santri serta kekompakan dalam langkah perjuangan. Suasana selama perjalanan berlangsung dengan penuh semangat, tertib, dan ceria.

Setibanya di komplek YPP. Miftahulhuda Al-Musri’ Pusat, rombongan langsung menuju area makam untuk melaksanakan rangkaian ziarah dan doa bersama. Adapun susunan kegiatan spiritual tersebut adalah sebagai berikut:

  • Salam pembuka disampaikan oleh Pangersa Ang Maxsalmina
  • Pembacaan Tahlil dipimpin oleh Pangersa Ang Ariful Kholiq Zaelani
  • Pemandu Surat Yasin dipimpin oleh Pangersa Ang Muan Habibul Falah
  • Doa penutup dipimpin oleh Pangersa Ang Darwis Munawarul Haq

Ziarah ini juga dilaksanakan sebagai rangkaian awal dalam menyambut Haul Akbar Apa. K.H. Ade Muhammad Manshur Bin Mama K.H. Ahmad Faqih yang ke-5 (pendiri Pondok Pesantren Banu Mansur). Haul tersebut insyaAllah akan dilaksanakan pada hari Kamis, dengan puncak peringatan pada malam Jum’at.

Semoga kegiatan ini membawa keberkahan yang melimpah, memperkuat ukhuwah Islamiyah antar keluarga besar Al-Musri’, serta menjadi wasilah kemudahan dalam meneruskan perjuangan dakwah dan pendidikan Islam yang luhur di kedua lembaga yang saling bersinergi ini.

Dengan segala hormat, kami mengundang seluruh mukimin, jamaah, alumni, dan simpatisan untuk hadir dalam rangkaian acara haul ini yang insyaAllah akan diselenggarakan pada:

Hari Kamis, 3 Juli 2025
Puncak acara: Malam Jum’at
Tempat: Komplek Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ Banu Mansur

Mari bersama-sama menyambung sanad ruhani, memupuk cinta kepada ulama, dan memohon keberkahan dari para pewaris ilmu Rasulullah ﷺ.

Lebih dari sekadar tradisi tahunan, haul ini adalah majelis cinta dan doa, tempat ruh-ruh rindu berkumpul, dan harapan-harapan diangkat bersama ke langit.

Semoga langkah-langkah menuju ziarah ini dan haul akbar nanti menjadi wasilah turunnya rahmat, keberkahan, dan penguatan ikatan antar sesama Akwan (makhluk) dan pencinta ilmu.

Pewarta: M Wildan Musyaffa

Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat: Termasuk Pesantren?

Di sebuah desa yang tak tampak di peta wisata, berdiri bangunan bersahaja. Tak bertembok semen, hanya kayu tua yang menguap aroma tanah. Lantainya bukan ubin berkilau, melainkan bumi yang selalu jujur menampung telapak kaki. Atapnya seng berkarat yang bersuara saat hujan tiba. Tapi dari ruangan sederhana itulah—ilmu mengalir, adab ditanam, dan peradaban ditumbuhkan dalam diam.

Anak-anak duduk bersila, berselimut angin pagi yang mengigau. Di pangkuan mereka, kitab-kitab yang lebih berat dari tubuh mungil mereka. Di hadapan mereka, seorang guru berbaju lusuh tapi berhati luas, mengajarkan huruf demi huruf dengan suara yang lembut, meski mungkin perutnya belum sempat diisi sejak subuh.

Tempat sederhana itu dikenal orang sebagai madrasah—sebuah pesantren kecil yang menjadi pelita dalam sunyi, tempat ilmu dan adab disemai di antara dinding kayu dan lantai tanah, jauh dari gemerlap, namun dekat dengan langit.

Saya menulis ini bukan karena saya ahli dalam merumuskan keadilan, tapi karena saya resah. Resah yang lama bersembunyi di balik halaman-halaman laporan negara, tapi selalu terbangun

setiap kali mendengar kisah tentang guru madrasah yang digaji tak lebih dari harga satu kali makan siang di restoran ibu kota.

Resah karena negeri ini belum adil pada mereka yang diam-diam menjaga nyala moral bangsa.

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA, dalam rapat Komisi VIII DPR RI, pernah berkata dengan nada getir yang tenang:

“Lebih dari 90% sekolah di bawah Kementerian Agama adalah swasta. Negara tidak membeli tanahnya, tidak menggaji penuh gurunya. Bahkan banyak guru madrasah hanya menerima Rp100.000 per bulan.”

Saya membaca pernyataan itu perlahan. Bukan karena saya sulit memahami, tapi karena dada saya sesak menahannya. Saya bayangkan, apa jadinya bangsa ini jika para penjaga akhlaknya hanya dibayar sekadar sedekah?

Di sekolah negeri, guru berdiri di ruang berpendingin, berpapan tulis digital, dan digaji dengan nominal yang masuk akal. Tapi di madrasah? Mereka mengajar dengan suara yang dikalahkan hujan, dengan spidol yang telah kering separuh, dan penghasilan yang tak cukup untuk membeli tinta printer. Mereka tidak berteriak, tapi mereka tetap hadir. Setiap hari.

Apakah negara tidak melihat?

Apakah negara benar-benar buta, atau hanya rabun terhadap cahaya yang berasal dari ruang-ruang sunyi?

Anak-anak terbaik bangsa—yang menjadi sarjana teladan di kampus negeri ternama, yang hafal 30 juz Al-Qur’an sambil memegang gelar doktor—banyak lahir dari gubuk ilmu bernama madrasah. Bukan dari sekolah internasional, bukan dari gedung bertingkat, tapi dari bangku kayu dan tikar yang telah bertahun- tahun menyerap ilmu dan doa.

Saya merasa marah. Tapi ini bukan amarah yang membakar, melainkan cinta yang terlalu lama dipendam dalam ketimpangan. Karena saya tahu, madrasah tidak pernah meminta disanjung. Mereka hanya ingin diperlakukan adil.

Jauh sebelum Indonesia punya kementerian, pondok pesantren telah mengajarkan etika. Saat bangsa ini masih mengeja makna merdeka, pesantren telah selesai mengajarkan makna kemanusiaan. Kini, ketika negeri ini sudah mampu membangun gedung-gedung pencakar langit, mereka masih berdiri di pinggir, mengajarkan langit akhlak dari tanah yang tak pernah dilirik.

Jika negara ini jujur, maka ia akan mencium tangan guru madrasah seperti seorang santri mencium tangan kiainya. Tapi sayang, kenyataan tak seindah pidato. Negara lebih sibuk menyusun dokumen perencanaan, ketimbang menengok ruangan tanpa kipas di pelosok desa.

Guru madrasah bukan tidak tahu cara mogok. Mereka hanya terlalu cinta pada ilmu. Mereka tahu hukum, tapi lebih mengenal

adab. Mereka tahu jalan ke istana, tapi lebih memilih jalan menuju surga.

Lantas, mengapa kita diam?

Saya menulis ini bukan karena saya punya kuasa. Saya hanya seorang penulis yang amat sangat amatir, yang tak punya mikrofon, tapi percaya bahwa kata-kata bisa lebih lantang dari pengeras suara parlemen.

Wahai pemimpin, dengarlah.

Madrasah tidak butuh belas kasihanmu. Madrasah butuh pengakuan. Butuh keadilan.

Jangan nilai mereka dari megahnya bangunan. Lihat dari dalamnya pengabdian. Jangan ukur mereka dari jumlah honor, ukur dari keberanian mereka mengajar dalam keterbatasan. Jangan tanya di mana suara mereka, karena mereka tak teriak— mereka bekerja dalam diam.

Kita sering menyuarakan bahwa pendidikan karakter adalah penyelamat bangsa. Tapi karakter macam apa yang kita harapkan jika tempat paling karakteristik dalam mendidik justru ditelantarkan?

Di sana, di madrasah dan pesantren, anak-anak diajarkan berdoa sebelum membaca. Diajar minta maaf sebelum tidur. Diajak menangis dalam doa malam. Mereka tidak sekadar belajar— mereka ditempa.

Negara bangga punya universitas besar dengan anggaran besar. Tapi siapa yang berani menyebut bahwa moral anak negeri akan lahir dari anggaran semata?

Honor guru madrasah hanya sekitar Rp100.000 per bulan. Jauh dari layak. Tapi mereka tak pernah menjadikan angka sebagai alasan untuk absen. Mereka mengajar dengan tekad, bukan dengan tagihan.

Di antara debu, peluh, dan tikar yang sudah tua, mereka berdiri. Karena bagi mereka, mendidik bukan pekerjaan—melainkan jalan hidup. Jalan sunyi yang tak diberitakan, tapi ditulis malaikat. Apakah itu belum cukup jadi alasan bagi negara untuk berpihak? Saya menulis ini sebagai permohonan dan peringatan.

Permohonan:

Berikan madrasah dan pesantren anggaran yang layak. Berikan mereka perlakuan setara.

Berikan mereka kesempatan tumbuh, bukan dengan belas kasihan, tapi dengan keadilan yang jujur.

Peringatan:

Jangan biarkan mereka terus berdiri sendiri. Sebab jika madrasah tumbang,

bangsa ini kehilangan akarnya. Dan bangsa yang kehilangan akar adalah bangsa yang mudah roboh oleh angin.

Penutup

Saya menulis dengan penuh kesadaran bahwa mungkin tulisan ini hanya dibaca sedikit orang. Tapi saya percaya, satu hati yang tergugah lebih berarti daripada seribu yang diam.

Madrasah telah lama memberi tanpa syarat. Maka sudah saatnya negara memberi tanpa pamrih.

Karena keadilan sosial bagi seluruh rakyat—juga berarti untuk pesantren.

Sebagai bagian dari keluarga besar Pondok Pesantren ini, kami bangga mempersembahkan tulisan dari salah satu alumni terbaik kami. Melalui pengalamannya yang berharga selama menuntut ilmu di pondok, ia kini berbagi pemikiran, pengetahuan, dan refleksi dalam bentuk artikel jurnal ini. Semoga apa yang disampaikannya menjadi inspirasi, menambah wawasan, serta menguatkan semangat kita semua untuk terus menebar manfaat, menuntut ilmu, dan meneladani nilai-nilai luhur pesantren. Selamat membaca dan semoga bermanfaat!

Penulis: Munawar Hakimi Ahmad Q

Editor: M Wildan Musyaffa

Saat Langit Cianjur Penuh Dzikir: Sebuah Catatan dari Hari Bersejarah

Cianjur, Masjid Agung Cianjur, 27 Juni 2025 M | 01 Muharram 1447 H
Pagi itu, langit tampak tenang. Udara terasa lebih sejuk dari biasanya. Di tengah pusat kota Cianjur, tepatnya di Masjid Agung Cianjur, Alun-Alun, yang biasanya riuh oleh lalu lalang masyarakat, hari itu berubah menjadi sesuatu yang lain—lebih syahdu, lebih khidmat, lebih hidup.

Ribuan orang mulai berdatangan sejak pagi buta. Mereka datang dari berbagai penjuru Jawa Barat. Dari pesantren, dari kota, dari desa-desa pelosok. Tidak ada batas antara tua dan muda, antara santri dan petani, semua larut dalam satu semangat yang sama: berdzikir bersama dalam cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.


Detik-Detik Awal: Sholat Jum’at dan Ayat Langit

Acara dimulai setelah pelaksanaan sholat jum’at berjamaah. Ribuan jamaah menunaikan sembahyang dengan tertib, langit tetap cerah, angin berhembus lembut, dan bumi Cianjur menjadi sajadah raksasa yang menyatukan hati-hati yang ingin pulang kepada Allah.

Usai sholat, pembacaan Al-Barzanji dan Sholawat Nabi mengisi ruang udara yang panas pelan-pelan menjadi sejuk. Lantunan pujian kepada Rasul ﷺ menggetarkan hati. Lalu mikrofon berpindah ke seorang qari muda yang dengan tartil membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an. Orang-orang menunduk. Beberapa menangis. Entah karena rindu, entah karena merasa pulang ke hati yang lama mereka tinggalkan.


Satu Panggung, Banyak Amanah

Tak hanya itu, bahkan masyaikh Ponpes Miftahulhuda Al-Musri’ pusat, para muqimin sepuh, dan dewan ampuh berdatangan menghadiri acara Ijtima ini. Hadir pula muqoddam-muqoddam dari berbagai daerah yang membawa semangat dan barokah untuk kebersamaan dzikir ini, di antaranya yaitu: 1. K.H. Ikhyan Sibaweh Badruzzaman (Garut), 2. K.H. Abuy Jamhur Badruzzaman(Garut), 3. K.H. Maman Abdurrahman Bz (Padalarang), 4. K.H. Ade Hidayat (Garut), 5. K.H. Asep Saefudin (Garut), 6. K.H. Maman Bin Dadang Bz (Garut), 7. K.H. Salim Hidayat (Garut), 8. K.H. Khoer Hasanul Akhlaq (Garut), 9. Kyai. Asep Sofwan (Garut), 10. K.H. Mahmud Munawwar (Cianjur) Setelah pembukaan resmi, Ketua Panitia, P. Akang K.H. Burhan Rosyidi, S.E., naik ke panggung. Dengan suara yang tenang namun penuh tekad, beliau menyampaikan laporan pelaksanaan. Disusul sambutan dari shohibul bait, perwakilan pemerintah daerah, yang menyambut dengan hangat dan penuh hormat.

Kemudian naiklah para sesepuh Thariqah Tijaniyah. Suasana berubah hening. Setiap kalimat yang mereka ucapkan bukan hanya didengar, tapi dirasakan. Sambutan sesepuh Thariqah Tijaniyah disampaikan oleh Habib Umar Toyyib. “Kita berkumpul bukan untuk dunia, tapi untuk menghidupkan warisan ruhani,” ucap salah satu mursyid. Tepuk tangan tak terdengar. Tapi getaran kalbu itu nyata.

Sambutan terakhir datang dari Bupati Cianjur, Slamet Riyadi, S.STP, M.AP, yang mewakili aspirasi pemerintah dan masyarakat. Dalam pidatonya, ia menyampaikan harapan agar Cianjur tak hanya maju dalam pembangunan fisik, tapi juga menjadi pusat kemajuan ruhani. yang mewakili aspirasi pemerintah dan masyarakat. Dalam pidatonya, ia menyampaikan harapan agar Cianjur tak hanya maju dalam pembangunan fisik, tapi juga menjadi pusat kemajuan ruhani.


Ketika Jamaah Bersujud Bersama

Waktu dzuhur berlalu (Waktu Sholat Jum’at), lalu tibalah sholat Ashar berjamaah. Ribuan orang berbaris rapih. Langit tetap cerah. Angin masih lembut. Dan bumi Cianjur menjadi sajadah raksasa yang menyatukan hati-hati yang ingin pulang kepada Allah.


Puncak Dzikir: Wadzifah dan Haelalah

Setelah istirahat singkat, acara dilanjutkan dengan tausiyah ruhani dari para mursyid Tijaniyah, yang kali ini dibawakan oleh Syekh Ikhyan (Syekh Zawih Samarang). Tak hanya berisi nasihat, tapi juga kisah, sanad, dan ajakan untuk terus berada di jalan dzikir, cinta, dan adab. dari para mursyid Tijaniyah. Tak hanya berisi nasihat, tapi juga kisah, sanad, dan ajakan untuk terus berada di jalan dzikir, cinta, dan adab. Menjelang maghrib, para jamaah duduk rapat. Suara dzikir mulai bergema. Wadzifah—dzikir khas Thariqah Tijaniyah—dilantunkan serentak dipimpin oleh K.H. Maman Abdurrahman. Hati-hati pun tunduk. Beberapa menangis, banyak yang terdiam. Inilah saat yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Setelah itu, Haelalah dipimpin oleh K.H. Maman Abdurrahman (Padalarang KBB) mengguncang langit Cianjur. Kalimat “La ilaha illallah” membahana, menggema dari bibir ribuan manusia menuju langit yang luas. Tak ada suara lain. Tak ada dering ponsel. Hanya kalimat tauhid yang menjadi napas bersama. dipimpin oleh Drs.Syekh.Ikhyan Shibaweh mengguncang langit Cianjur. Kalimat “La ilaha illallah” membahana, menggema dari bibir ribuan manusia menuju langit yang luas.


Di Balik Layar: Mereka yang Diam Tapi Bergerak

Acara sebesar ini tak mungkin berjalan tanpa para pahlawan tanpa nama. Sebanyak 1000 panitia dikerahkan. Mereka bekerja dalam senyap tapi sungguh-sungguh.

  • Ada 100 orang penerima tamu yang berdiri sejak pagi.
  • 110 tim keamanan menjaga jalannya acara dengan tenang.
  • 170 petugas kebersihan memastikan setiap sudut bersih dan nyaman.
  • 25 personil logistik, 9 petugas transportasi, dan 15 tim kesehatan bekerja tanpa henti.
  • Tim publikasi & dokumentasi, konsumsi, acara, hingga humas semua bergerak dalam semangat khidmah.

Mereka berasal dari santri Al-Musri’ pusat, dibantu dari cabang, serta aparat dari Polres, Dishub, dan Satpol PP. Sebuah kolaborasi indah antara pesantren dan negara, antara spiritualitas dan ketertiban.


Saat Langit Mulai Gelap, Dzikir Masih Menyala

Acara pun ditutup menjelang malam. Tidak dengan pesta, tidak dengan sorak-sorai. Tapi dengan doa, dan dzikir pelan yang masih mengalun. Orang-orang mulai kembali ke asal mereka—tapi tidak dengan hati yang sama.

Hari ini, Cianjur menjadi rumah bagi ruh-ruh yang kembali menyala. Dan dari Ijtima ini, semoga lahir generasi yang tak hanya paham dunia, tapi juga paham jalan pulang.

“Bersatu dalam dzikir, bergerak dalam iman –
Wujudkan Cianjur Jaya di Tanah Jawa Barat Istimewa.”

Dokumentasi

Berikut beberapa dokumentasi dari acara ini: potret ribuan jamaah memadati Masjid Agung Cianjur, barisan sholat berjamaah yang rapih, para masyaikh duduk di panggung kehormatan, tangis haru saat dzikir, dan senyum bahagia para panitia yang bekerja sepenuh hati. Semoga setiap momen ini menjadi saksi berkah dan cahaya bagi perjalanan ruhani kita bersama.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kami haturkan, dengan untaian kata yang tak akan pernah cukup menampung syukur dan bangga. Kepada semua yang hadir, semua yang setia mendukung, semua yang menata langkah dan menebar doa. Ijtima Wadzifah dan Haelalah ini tak akan menjadi cahaya di bumi Cianjur tanpa kalian. Semoga berkah melimpah, semoga dzikir terus bersemi, dan semoga cinta kepada Allah dan Rasul-Nya menjadi pelita sepanjang hayat. Teriring salam takzim, untuk kebersamaan, persaudaraan, dan kesuksesan yang kita rajut di bumi Jawa Barat tercinta.

Wallahul Muwaffiq ila Aqwamit Tharieq, Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Pewarta: M Wildan Musyaffa