Kekuasaan dan jabatan adalah amanat besar yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Seorang pemimpin dituntut untuk menegakkan keadilan dan menghadirkan kemaslahatan bagi rakyat sesuai tuntunan syariat. Pemimpin yang baik yaitu pemimpin yang memiliki integritas, komunikasi yang jelas, kemampuan mengambil keputusan yang tepat, dan dapat memberdayakan orang lain. Mereka juga mampu beradaptasi dengan situasi yang berbeda, menunjukkan empati, dan menjadi panutan dengan memberikan contoh yang baik. Dalam Islam, kepemimpinan bukan sekadar urusan dunia, tetapi amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:
Artinya, “Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin,” (HR. Bukhari).
Dalam Islam, ulama berperan sebagai penuntun moral bagi penguasa. Mereka memberi nasihat agar kekuasaan tidak menyimpang dari nilai-nilai agama. Nasihat ulama ibarat cahaya yang menjaga seorang pemimpin agar keputusannya tidak hanya dilandasi kepentingan politik, melainkan berpijak pada kebenaran dan kebijaksanaan. Salah satu ulama besar yang banyak menasihati para penguasa adalah Imam Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505 H). Nasihat beliau kepada para pemimpin terangkum dalam kitab At-Tibrul Masbuk fi Nashihatil Muluk (Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988).
Dalam karya ini, Al-Ghazali menekankan bahwa kepemimpinan adalah nikmat sekaligus ujian besar yang harus dijalankan dengan adil dan sesuai syariat. Berikut 10 nasihat Imam Al-Ghazali bagi para pejabat agar dapat menunaikan amanat kepemimpinan dengan sebaik-baiknya:
Adil dalam memimpin Pemimpin yang menunaikannya dengan adil akan memperoleh kebahagiaan abadi, sedangkan yang mengkhianatinya akan terjerumus dalam kesengsaraan, bahkan bisa mengarah pada kekufuran.
Mendengarkan nasihat ulama yang saleh Seorang pejabat harus senantiasa membuka telinga terhadap nasihat ulama yang lurus dan tidak cinta dunia. Ulama yang benar berfungsi sebagai penasihat yang tulus, bukan sebagai “ulama su’” yang hanya mendekati kekuasaan demi keuntungan pribadi.
Memilih dan mengawasi jajaran Kebijakan pejabat akan tercermin dalam kinerja bawahannya. Oleh karena itu, ia harus selektif dalam memilih serta tegas dalam mengawasi aparatnya, sebab kelalaian mereka tetap menjadi tanggung jawab pemimpin.
Menjauhi kesombongan dan kesewenang-wenangan Jabatan bukan untuk disombongkan, apalagi dijadikan alat menindas rakyat. Seorang pejabat wajib rendah hati, menyadari bahwa kedudukannya adalah amanat rakyat, bukan hak istimewa pribadi.
Memposisikan diri sebagai wakil rakyat Pemimpin yang baik adalah perpanjangan tangan rakyat. Jika ia benar-benar menempatkan dirinya sebagai bagian dari rakyat, ia tidak akan rela rakyatnya menderita, sebagaimana ia tidak rela dirinya sendiri mendapat penderitaan.
Merespons kebutuhan rakyat dengan baik Kebutuhan rakyat harus menjadi prioritas utama, bahkan lebih utama dari ibadah sunnah. Mengabaikan rakyat demi urusan pribadi atau perkara kecil adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanat.
Tidak pamer kekayaan Pemimpin hendaknya hidup sederhana dan tidak memamerkan kemewahan. Menurut Al-Ghazali, keadilan tidak akan lahir tanpa kesederhanaan. Pakaian mewah dan makanan mahal tidak boleh menjadi kesibukan seorang pejabat.
Menanggapi kritik dengan kelembutan Kritik rakyat adalah bagian dari pengawasan. Pemimpin harus menanggapinya dengan bijak, penuh kelembutan, bukan dengan kekerasan. Rasulullah SAW mengingatkan bahwa pemimpin yang tidak lembut terhadap rakyatnya, kelak Allah pun tidak akan lembut kepadanya pada hari kiamat.
Melakukan perbaikan sesuai syariat Kritik harus ditindaklanjuti dengan perbaikan nyata. Setiap pembaruan kebijakan dan tindakan pejabat wajib berlandaskan syariat serta diarahkan untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Tidak menyelisihi syariat dalam kebijakan Seorang pejabat tidak boleh membuat keputusan yang bertentangan dengan syariat, meski hal itu sesuai dengan kehendak sebagian rakyat. Segala yang menyelisihi syariat pasti batil dan akan menjerumuskan kepemimpinan pada kebinasaan. Nasihat ulama kepada pemimpin adalah bentuk kasih sayang sekaligus tanggung jawab moral terhadap umat. Pemimpin yang mau mendengar akan lebih mudah menjaga integritas, menegakkan keadilan, dan mengutamakan kepentingan rakyat. Pada akhirnya, kepemimpinan bukan hanya urusan politik dan kekuasaan, melainkan jalan menuju keberkahan serta pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.
“Tugas pemimpin bukan untuk membuat pengikutnya mengerti, tapi untuk membuat pengikutnya percaya.” – Bong Chandra
Cianjur, 12 November 2025 — Dalam rangka mempersiapkan kegiatan haul para masyayikh, diadakan rapat kerja yang melibatkan panitia, ulama, jajaran dari pesantren dan tokoh masyarakat. Rapat tersebut membahas penyelenggaraan haul, koordinasi, dan penguatan silaturahmi keagamaan. Latar Belakang Haul masyayikh merupakan tradisi keagamaan penting yang dilaksanakan untuk mengenang, mendoakan, serta meneladani ulama-pendahulu (masyayikh) yang berjasa dalam pendidikan dan dakwah umat islam. Contoh di beberapa pesantren, kegiatan ini dihadiri ribuan jamaah dan melibatkan rangkaian acara dzikir, pengajian umum, hingga bazar. Rapat kerja ini digelar sebagai upaya memastikan seluruh aspek penyelenggaraan berjalan lancar, mulai logistik, akomodasi, hingga kegiatan inti pengajian dan tahlil. Agenda Rapat Beberapa poin utama yang dibahas dalam rapat antara lain: Penetapan waktu puncak haul dan rangkaian kegiatan pra-haul (dzikir, sholawat, pengajian, silaturahmi alumni) Koordinasi dengan lembaga lingkungan sekitar, pesantren, dan pemerintahan daerah untuk memastikan fasilitas dan keamanan Penyiapan tempat, akomodasi peserta, khususnya alumni dari luar daerah yang datang lebih awal. di acara haul masyayikh di daerah Cianjur, alumni dari Sumatera, Kalimantan, Malaysa datang sejak sepekan sebelum puncak acara. Penyusunan panitia, pembagian tugas, pengaturan logistik seperti tenda, sound system, tempat parkir, serta konsumsi jamaah Penguatan nuansa keagamaan dan sosial: selain sebagai bentuk penghormatan kepada para masyayikh, kegiatan juga menjadi momentum mempererat tali silaturahmi antar pesantren, tokoh agama, dan masyarakat. Dalam salah satu haul masyayikh di wilayah Cianjur, salah seorang tokoh agama menyampaikan: “Majelis ini … tidak hanya istimewa karena Fiqih, tetapi juga majelis yang kita niatkan untuk membahagiakan para almarhumin, guru-guru kita yang mulia.” Kutipan tersebut menggambarkan bahwa haul masyayikh bukan sekadar acara ritual tahunan, tetapi juga wujud penghormatan dan kesinambungan warisan spiritual. Harapan: Terselenggaranya acara haul dengan tertib, khidmat, dan penuh keberkahan. Meningkatnya kehadiran jamaah dan partisipasi lingkungan pesantren maupun masyarakat. Penguatan ukhuwah keagamaan dan jejaring antar-alumni, pengasuh, dan santri. Tantangan: Logistik dan akomodasi jamaah dari luar daerah (berdasarkan pengalaman di salah satu pesantren). Koordinasi antarinstansi, terutama jika melibatkan peserta massal, keamanan, kebersihan, dan transportasi. Menjaga khidmat ritual keagamaan sekaligus mengakomodasi aspek sosial-masyarakat (bazaar, hiburan ringan, silaturahmi) agar tidak mengaburkan tujuan keagamaan. Penutup Rapat kerja haul masyayikh ini menunjukkan komitmen panitia dan pesantren dalam menyelenggarakan acara yang tidak hanya bersifat memperingati, tetapi juga membangun kembali hubungan rohani dan sosial. Dengan perencanaan matang dan kolaborasi yang baik, diharapkan acara haul dapat berjalan sukses dan memberi manfaat jangka panjang bagi komunitas.
“Perumpamaan orang beriman dalam hal saling mencintai, saling menyayangi, dan saling berempati di antara mereka adalah seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh itu mengeluh sakit, maka seluruh tubuh akan turut meresponsnya dengan tidak bisa tidur dan mengalami demam.”
Demikian salah satu pesan indah Rasulullah dalam riwayat Bukhari dan Muslim ketika menggambarkan betapa ikatan sesama muslim benar dibangun atas dasar yang kuat, kukuh, dan tak tergoyahkan. Ukhwah atau persaudaraan yang tidak hanya dibangun di atas kesamaan organisasi, mazhab, atau kepentingan, melainkan atas dasar keimanan kepada Allah dan kasih sayang di antara sesama. Sebab ketika seorang muslim sudah membawa nama Islam, itu artinya mereka melebur dalam ikatan yang sama dengan identitas mulia yang tidak boleh dinodai oleh kebencian, fanatisme sempit, atau ego kelompok. Maka caci maki, tindakan kekerasan, bentrok, perpecahan, hingga permusuhan harusnya tidak terjadi di antara mereka. Sesama muslim adalah saudara perlu diketahui, bahwa Islam tidak membangun fondasi peradaban di atas ras, warna kulit, garis keturunan, maupun sebuah kelompok dari suatu aliran tertentu, melainkan atas nama persaudaraan. Maka apa pun organisasinya, mereka tetaplah saudara dalam Islam.
Spirit persaudaraan ini sebagaimana Allah tegaskan dalam salah satu firman-Nya, yaitu:
Artinya, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati.” (QS Al-Hujurat, [49]: 10).
Persaudaraan dalam iman tentu saja tidak hanya konsep teoretis di atas kertas, melainkan prinsip yang harus diwujudkan dalam kehidupan nyata. Ia harusnya menjadi akar yang menyatukan setiap manusia, terlepas dari latar belakang, organisasi, ras, warna kulit, keturunan dan lain sebagainya dan inilah salah satu ajaran penting dalam Islam, yaitu sesama muslim adalah saudara. Adapun menurut Imam Abu Abdillah Syamsuddin al-Qurthubi (wafat 671 H), persaudaraan atas dasar agama memiliki posisi yang lebih kukuh dan lebih tinggi daripada persaudaraan nasab, sebab persaudaraan karena nasab bisa terputus karena perbedaan agama, sementara persaudaraan karena agama tidak terputus meski berbeda nasab.
Oleh karena itu, persaudaraan yang dibangun di atas dasar Islam dan iman inilah yang seharusnya menjadi tali pengikat kaum muslimin. Sebab ia lebih kukuh dari persaudaraan karena darah dan nasab. Maka sudah saatnya umat ini berhenti saling menyudutkan, mencaci, saling bentrok, atau bahkan saling bermusuhan. Sesama muslim adalah saudara, dan saudara tidak sepatutnya berpecah belah. Jangan berpecah belah dan bermusuhan kemudian setelah kita paham betapa ikatan persaudaraan dalam Islam sangat kuat dan kukuh, maka mari kita wujudkan salah satu pilar dari persaudaraan itu sendiri. Dan tidak saling berpecah belah serta saling bermusuhan merupakan salah satu pilar utama dari persaudaraan tersebut. Bahkan, Al-Qur’an tidak hanya sekali memberikan peringatan agar menjauhi yang namanya pecah belah.
Artinya, “Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara.” (QS Ali ‘Imran [3]: 103).
Dalam ayat yang lain, Allah juga berfirman perihal larangan berpecah belah,
Artinya, “Janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat.” (QS Ali ‘Imran [3]: 105).
Pada prinsipnya, dua ayat di atas memerintahkan umat Islam untuk tidak berpecah belah. Ayat yang pertama dengan tegas melarang berpecah belah, sedangkan ayat kedua melarang untuk menyerupai umat-umat terdahulu yang telah bercerai-berai dan berselisih setelah datang kepada mereka petunjuk yang terang dari Allah. Merujuk penjelasan Imam Fakhruddin ar-Razi, motif yang bisa menjadikan umat terpecah belah dalam ayat di atas sangat banyak dan beragam, yaitu:
(1) berpecah dan berselisih karena mengikuti hawa nafsu, menuruti dorongan jiwa, dan karena sifat hasad; (2) berpecah belah hingga masing-masing kelompok dari mereka hanya membenarkan sebagian nabi dan mendustakan sebagian yang lain; dan (3) berpecah belah karena permusuhan dan perselisihan.
Ketika dua kelompok Muslim saling mengklaim kebenaran mutlak, maka tentu saja hal ini sama halnya dengan membuka pintu-pintu perpecahan yang akan membawa dampak besar, yaitu umat kehilangan kekuatan kolektifnya. Oleh sebab itu, Rasulullah sangat mewanti-wanti kepada umat Islam agar menghindari segala perbuatan yang bisa berefek pada perpecahan dan permusuhan. Dalam salah satu haditsnya, Nabi bersabda:
Artinya, “Janganlah kalian saling dengki, jangan saling menipu dalam jual beli, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi, dan janganlah sebagian kalian menjual di atas penjualan orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain: ia tidak menzaliminya, tidak merendahkannya, dan tidak mengecewakannya.” (HR Al-Baihaqi).
Karena kita bersaudara, maka sudah semestinya kita saling menguatkan, saling mendoakan, dan saling menjaga. Jika ada perbedaan, maka duduklah bersama dalam musyawarah yang tenang, bukan saling bermusuhan. Sudah saatnya kita kembali merajut ukhuwah, saling menguatkan, dan bersama-sama membangun peradaban Islam yang damai, dewasa, dan penuh kasih sayang.
Sejarah pendidikan dan peradaban Islam menunjukkan bahwa tradisi literasi senantiasa memainkan peran sentral dalam membentuk arah perkembangan masyarakat. Para tokoh Islam memberikan teladan bahwa aktivitas dakwah tidak hanya dilakukan melalui lisan (bil qaul) melainkan juga melalui tulisan (bil qolam) yang keduanya memiliki kekuatan dalam menyebarkan ajaran Islam. Ragam karya ilmiah para ulama dan intelektual muslim menjadi bukti nyata bahwa budaya literasi berkembang pesat dan menjadi fondasi penting dalam sistem pendidikan dan kebudayaan Islam. Bahkan sejak masa Rasulullah SAW, antara tahun 611–632 M atau 12 SH–11 H, praktik literasi telah dikenal dan diaplikasikan secara aktif.
Tradisi ini kemudian diteruskan oleh para sahabat Nabi selama masa Khulafa al-Rasyidin (632–661 M / 12–41 H), yang melanjutkan pengembangan literasi dan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari misi keislaman. Perkembangan literasi semakin signifikan pada masa Dinasti Umayyah (661–750 M / 41–132 H), ketika masjid tidak hanya difungsikan sebagai tempat ibadah, tetapi juga dikembangkan menjadi pusat kegiatan ilmiah yang menyerupai perguruan tinggi. Konsep masjid sebagai lembaga keilmuan ini menunjukkan komitmen masyarakat Islam terhadap pendidikan yang terstruktur dan berkelanjutan.
Dengan adanya penekanan terhadap fungsi ilmiah masjid, berbagai disiplin ilmu mulai diajarkan di lingkungan tersebut, meliputi puisi (syair), sastra, kisah-kisah historis bangsa terdahulu, serta ilmu kalam (teologi). Metode pengajaran yang digunakan pun menunjukkan dinamika intelektual yang tinggi, salah satunya dengan mengadopsi teknik debat sebagai sarana pengembangan pemikiran kritis. Semua ini menegaskan bahwa tradisi literasi dalam Islam bukan sekadar aktivitas membaca dan menulis, tetapi merupakan bagian integral dari proses transformasi intelektual dan spiritual umat.[1]
Menulis merupakan salah satu sarana utama bagi manusia untuk mengekspresikan pemikirannya. Karakter seseorang tak hanya tampak dari cara ia berbicara tetapi juga dari bagaimana ia merangkai kata dalam tulisan. Bahkan menulis membawa manfaat yang lebih mendalam dibandingkan sekadar membiasakan diri berbicara. Sebuah karya tulis yang bermutu tak hanya bisa dinikmati oleh orang-orang sezaman tetapi juga dapat menjembatani pemikiran penulis kepada generasi setelahnya bahkan setelah ia tiada. Para ulama misalnya mampu menyampaikan gagasan-gagasan besar mereka melalui tulisan yang tidak hanya menginspirasi tetapi juga mampu menggerakkan orang lain untuk bertindak tanpa harus berkomunikasi langsung. Inilah mengapa menulis menjadi media penyampaian yang sangat efektif. Dalam perspektif sejarah, kata-kata dalam tulisan mampu merekam dan menjelaskan peristiwa yang terjadi pada masa lalu secara lebih utuh. Meskipun peninggalan peradaban sering hadir dalam bentuk benda atau warisan budaya pemahaman yang lebih mendalam kerap hadir melalui teks. Seperti halnya para intelektual muslim di Indonesia untuk mengenal pikiran dan jati diri mereka, bacalah karya-karya tulis mereka.[2]
Di masa lalu kebiasaan menulis telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan para ulama dalam berbagai bidang keilmuan Islam. Ribuan karya yang mereka hasilkan melalui tradisi ini telah memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Islam sendiri sangat menekankan pentingnya ilmu sebagaimana terlihat dari wahyu pertama yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang memerintahkan untuk membaca. Dari perintah inilah tradisi menulis pun tumbuh. Selain itu menulis juga dianggap sebagai amal yang bernilai tinggi karena ilmu yang dituliskan dapat diwariskan dan memberikan manfaat bagi generasi-generasi setelahnya.[3]
Dalam ranah dunia Islam, kita mengenal tokoh besar Al-Ghazali yang memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Ia lahir di kota Thus, salah satu wilayah di Khurasan (sekarang bagian dari Persia), pada pertengahan abad ke-5 Hijriyah (sekitar tahun 450 H/1058 M). Al-Ghazali dikenal sebagai salah satu pemikir besar dalam Islam dan mendapatkan gelar Hujjatul Islam (argumen kebenaran Islam) serta Zain ad-Din (hiasan agama).[4]
Sebagai salah satu ulama paling terkemuka dalam sejarah Islam Al-Ghazali tidak hanya dikenal sebagai sosok cendekiawan yang mumpuni dalam berbagai bidang keilmuan tetapi juga sebagai figur sentral dalam pengembangan dan pematangan ajaran tasawuf di mana ia berhasil menggabungkan kedalaman spiritual dengan ketajaman intelektual. Hal ini tercermin dari beragam karyanya yang meliputi berbagai disiplin ilmu, mulai dari filsafat, teologi, hingga etika dan tasawuf, dengan mahakaryanya yang paling monumental yaitu Ihya’ Ulumuddin, yang hingga saat ini tetap menjadi rujukan utama dalam kajian keislaman serta dianggap sebagai warisan pemikiran yang terus relevan dan hidup di kalangan umat Islam lintas zaman dan generasi.
Di kawasan Nusantara sendiri terdapat banyak ulama besar yang telah menghasilkan karya-karya luar biasa dan masih terus dipelajari hingga hari ini. Salah satu tokoh penting di antaranya adalah Syekh Nawawi al-Bantani, seorang ulama besar yang memiliki nama lengkap Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi al-Jawi al-Bantani. Beliau lahir di Kampung Tanara yang terletak di Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten, wilayah yang dahulu masuk dalam bagian Jawa Barat pada tahun 1230 Hijriyah atau sekitar 1813 Masehi. Syekh Nawawi dikenal sebagai seorang ulama yang sangat produktif dalam menulis dan meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai jumlah pasti karyanya ada yang menyebutkan sebanyak 99 karya sementara pendapat lain menyatakan jumlahnya mencapai 115 buah tidak dapat disangkal bahwa beliau memberikan kontribusi besar dalam khazanah keilmuan Islam terutama dalam bidang akhlak dan tasawuf yang hingga kini tetap dijadikan rujukan oleh para pelajar dan pencari ilmu.[5]
Dalam hadis nabi yang diriwayatkan oleh Abu Darda’ dikatakan;
Artinya: Dari Abu al-Darda’a, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Darah para ulama dan darah para syuhada akan ditimbang pada hari kiamat.”
Kalimat ini mengisyaratkan bahwa kontribusi intelektual dan perjuangan ilmiah yang dilakukan para ulama memiliki nilai yang sebanding dengan pengorbanan nyawa para syuhada yang gugur di medan perang demi membela agama. Ungkapan tersebut mengandung makna mendalam tentang pentingnya ilmu dalam Islam sekaligus menunjukkan bahwa jihad intelektual dalam bentuk pencarian, pengajaran, dan pengamalan ilmu diakui sebagai bentuk perjuangan yang agung. Islam tidak hanya memuliakan orang-orang yang berjuang secara fisik untuk menegakkan kebenaran tetapi juga menghargai mereka yang mendedikasikan hidupnya dalam medan dakwah dan pendidikan. Penimbangan darah para ulama dan syuhada kelak di hari kiamat adalah simbol dari penilaian yang adil terhadap segala bentuk pengorbanan demi kemuliaan Islam. Alhasil pernyataan tersebut bukan sekadar retorika religius saja melainkan sebuah bentuk pengakuan terhadap dimensi spiritual dan sosial dari peran ulama dalam masyarakat Islam.
Dengan menulis juga akan menjaga ilmu tidak akan hilang sebagaimana sabda rarulullah
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: ” قَيِّدُوا الْعِلْمَ بِالْكِتَابِ
Artinya: Dari Abdullah bin Amr ia berkata, “Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda, ” Ikatlah ilmu dengan dengan menulisnya”.
Hadis ini menegaskan pentingnya menulis sebagai sarana untuk menjaga, mengembangkan, dan mewariskan ilmu pengetahuan. artinya menulis bukan hanya tindakan personal untuk mengikat ilmu saja tetapi juga bentuk kontribusi intelektual kepada masyarakat luas dan generasi yang akan datang. karenanya menulis juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses keilmuan dan merupakan upaya konkret dalam memastikan bahwa pengetahuan tetap hidup, terjaga, dan bermanfaat sepanjang zaman.
Imam syafi’I juga memaparkan dalam syair diwannya:
“Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya, Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat. Termasuk kebodohan kalau engkau memburu kijang, Setelah itu kamu tinggalkan terlepas begitu saja.”
Bagi para pencari ilmu dan kalangan akademisi, menulis bukan sekadar aktivitas melainkan sebuah seni dalam mengasah nalar dan menyalurkan gagasan serta kreativitas. Melalui tulisan, ide dan pemikiran tidak hanya tersampaikan tetapi juga diabadikan melampaui batas usia penulisnya. Maka tidak mengherankan jika muncul ungkapan bijak bahwa sejarah adalah milik mereka yang menulis. Para ulama terdahulu juga telah memberikan teladan agung bahwa melalui tulisan nama mereka tetap harum dan dikenang sepanjang zaman. Dalam khazanah keilmuan kita sering mendengar pepatah: “Jika engkau ingin menjelajahi dunia, maka bacalah. Namun jika ingin abadi, maka menulislah.” Menulis adalah warisan luhur yang telah ditanamkan oleh para ulama dan menjadi bagian penting dari tradisi keilmuan Islam yang patut terus dilestarikan.
Kesimpulan
Di era digital sekarang menulis telah menjadi aktivitas yang semakin mudah, cepat, dan dapat dilakukan oleh siapa saja di era komputer dan internet saat ini. Dengan hadirnya teknologi digital siapa pun kini dapat menuangkan ide ke dalam bentuk tulisan melalui perangkat elektronik seperti ponsel, laptop, atau tablet, bahkan hanya dengan koneksi internet. Ini berbeda dengan masa lalu ketika menulis membutuhkan alat tulis fisik dan proses penyebaran yang terbatas. Aplikasi penulisan cloud, media sosial, dan blog memungkinkan setiap orang untuk menyimpan, membagikan, dan mempublikasikan tulisannya secara instan di seluruh dunia. Kemudahan ini tidak hanya mempengaruhi proses penulisan secara teknis tetapi juga membuka pintu ke dunia literasi dan komunikasi yang lebih luas.
[1] Kambali Zutas, “Literacy Tradition in Islamic Education in Colonial Period,” Al-Hayat: Journal of Islamic Education 1, no. 1 (2017): 16–31.
[2] Rasyid Anwar Dalimuthe, Masruroh Lubis, and Ruslan Efendi, “Melacak Tradisi Menulis Ulama Indonesia Abad Ke-19-21 (KH. Hasyim Asy’ari Dan Ramli Abdul Wahid),” Al-Fikru: Jurnal Ilmiah 16, no. 1 (2022): 148–62.
[3] Bahrul Ulum, “Tradisi Menulis Ulama Indonesia (Abad 19-21),” WARAQAT: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman 4, no. 2 (2019): 15–15.
[4] Ahmad Zaini, “Pemikiran Tasawuf Imam Al-Ghazali,” Esoterik: Jurnal Akhlak Dan Tasawuf 2, no. 1 (2016): 150.
[5] M. Azizzullah Ilyas, “Ajaran Syeikh Nawawi Al-Bantani Tentang Pendidikan Akhlak Anak,” AR-RIAYAH: Jurnal Pendidikan Dasar 2, no. 2 (2018): 113–26.
Sinergi Kepemimpinan: Dewan Kyai dan Pengurus Miftahulhuda Al-Musri’ Jamin Mutu Pendidikan Santri
Mengukuhkan Visi Pendidikan: Sosialisasi Rutin Dewan Kyai,Dewan Ampuh dan Pengurus Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’
(Cianjur, 29 Oktober 2025) — Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ (Al-Musri’) yang dikenal sebagai salah satu institusi pendidikan Islam terkemuka, secara rutin mengadakan sosialisasi terpadu yang melibatkan Dewan Kyai, Dewan Ampuh dan jajaran Pengurus Pesantren. Kegiatan ini menjadi kunci dalam menjaga kualitas, disiplin, dan arah pendidikan di tengah dinamika perkembangan zaman.
Sosialisasi ini tidak hanya bersifat internal, tetapi merupakan upaya sistematis untuk memastikan seluruh elemen pesantren—mulai dari Pimpinan, pengurus, hingga santri senior (seperti Organisasi Santri Miftahulhuda Al-Musri’ atau OSMA) memiliki pemahaman yang seragam tentang visi dan misi lembaga.
Dewan Kyai: Penjaga Amanah dan Penentu Filosofi
Dewan Kyai, yang dipimpin langsung oleh Sesepuh Pondok, memiliki peran fundamental sebagai penentu filosofi dan arah pendidikan. Dalam sosialisasi, peran mereka fokus pada:
Penguatan Nilai Tradisi: Dewan Kyai menyampaikan kembali amanah pendiri (Mama Syaikhuna) dan nilai-nilai inti pesantren, seperti prinsip ta’at lahir ta’at batin, sopan, tekun, dan percaya (sebagaimana tercermin dalam mars pesantren). Sosialisasi ini berfungsi sebagai reminder spiritual dan ideologis.
Keputusan Kebijakan Dasar: Kyai menetapkan kebijakan strategis, termasuk pengembangan kurikulum keilmuan agama (kitab kuning) dan integrasinya dengan pendidikan formal. Sosialisasi ini menjadi legitimasi tertinggi bagi setiap perubahan atau program baru.
Sesepuh Pondok Pesantren Miftahulhuda Al Musri, KH. Mamal Mali Mutadlo, Lc., seringkali menekankan bahwa sosialisasi adalah jembatan untuk memastikan santri tidak hanya cerdas ilmu, tetapi juga memiliki adab dan karakter yang sesuai dengan ajaran Islam moderat.
Pengurus: Eksekutor dan Koordinator Lapangan
Jajaran Pengurus Pesantren memainkan peran taktis sebagai pelaksana dan koordinator program harian. Mereka berfungsi sebagai tangan kanan Dewan Kyai, memastikan setiap arahan diimplementasikan dengan baik.
Dalam sosialisasi, fokus Pengurus adalah:
Disiplin dan Tata Tertib: Pengurus, khususnya melalui organisasi santri senior (OSMA), melakukan sosialisasi intensif terkait kedisiplinan harian, persiapan ulangan akhir semester, hingga pelaksanaan program unggulan seperti Tarkiban (forum musyawarah/diskusi keilmuan santri).
Koordinasi Struktur: Di Al-Musri’, struktur kepengurusan melibatkan berbagai elemen, termasuk Dewan Ampuh (Amanat Sepuh, yakni putra-putri Dewan Kyai) dan Rois (perantara santri). Sosialisasi rutin memastikan seluruh jajaran ini bersinergi, berkoordinasi lancar demi kemajuan pesantren dan suksesnya santri.
Perencanaan Program: Pengurus mempresentasikan rencana kerja semester, target capaian, dan evaluasi program sebelumnya kepada Dewan Kyai untuk mendapatkan pertimbangan dan keputusan final. Ini menunjukkan adanya manajemen kepemimpinan kolaboratif.
Dampak Sosialisasi: Kualitas dan Prestasi
Sistem sosialisasi yang terstruktur ini terbukti berdampak positif pada peningkatan mutu santri. Kejelasan peran dan visi yang disosialisasikan membantu santri fokus pada pengembangan diri, baik di bidang keilmuan agama maupun prestasi akademik/non-akademik.
Terakhir, kegiatan sosialisasi ini menegaskan kembali bahwa Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ dikelola dengan sistem yang mengakar pada karisma Kyai, didukung oleh manajemen kepengurusan yang solid, demi melahirkan generasi santri yang berakhlak mulia dan unggul dalam ilmu pengetahuan.