Jejak Perempuan dalam Sejarah Islam Nusantara

Perkembangan Islam di Nusantara tidak dapat dipisahkan dari peran perempuan, yang menjadi bagian penting dalam persebaran Islam maupun dalam menyiapkan anak-anaknya sebagai kader mujahid muballigh yang berjuang menegakkan syiar Islam di berbagai wilayah. Sejarah mencatat bahwa kehadiran perempuan bukan hanya sebagai pendamping suami atau pengasuh anak, tetapi juga sebagai pendidik generasi ulama, penggerak dakwah, pemimpin pemerintahan, dan peletak dasar peradaban Islam di tanah air.

Di antara deretan perempuan hebat abad ke-15–16 pada zaman Walisongo adalah Nyai Ageng Manila, istri Sunan Ampel. Dari keberkahan tangan dinginnya dalam mendidik anak-anak, lahirlah dua sunan besar yang kemudian menjadi anggota Walisongo, yaitu Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Nyai Ageng Manila menjadi teladan perempuan salehah yang berperan sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya — sesuai dengan sabda Rasulullah ﷺ: “Al-ummu madrasatul ula” (ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya). Dari rahim dan pendidikan para ibu yang berilmu inilah lahir para ulama dan pemimpin dakwah besar di Nusantara.

Kemudian, ada pula Nyai Ageng Gede Pinatih binti Sayyid Pandhita, keponakan Sunan Ampel, yang dikenal sebagai syahbandar atau kepala pelabuhan Gresik. Ia adalah salah satu perempuan yang memiliki kedudukan strategis di bidang ekonomi dan politik pada masanya. Nyai Ageng Gede Pinatih juga merupakan ibu angkat dari Sunan Giri, yang kelak menjadi tokoh besar penyebaran Islam di Nusantara bagian timur. Dikenal sebagai hartawan yang dermawan, ia menjadikan kekayaan bukan sebagai alat kemegahan, melainkan sarana untuk menegakkan dakwah Islam.
Dari peranannya, kita melihat bagaimana perempuan mampu menjadi penggerak ekonomi umat tanpa meninggalkan nilai-nilai keislaman, bahkan menjadikan aktivitas sosial dan perdagangan sebagai bagian dari dakwah.

Sunan Giri sendiri kemudian dikenal sebagai ulama besar yang memimpin Majelis Walisongo setelah wafatnya Sunan Ampel. Ia mendirikan pusat pendidikan Islam yang melahirkan banyak ulama, dan dakwahnya menjangkau berbagai daerah seperti Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Sulawesi. Beberapa murid terkenalnya seperti Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Patimang, dan Datuk Ri Tiro menyebarkan Islam ke wilayah Sulawesi Selatan dan Sumatra. Semua ini tentu tidak lepas dari pendidikan, kasih sayang, dan bimbingan perempuan-perempuan hebat di sekelilingnya.

Perempuan tangguh lainnya adalah Nyai Ageng Malokah, putri Sunan Ampel yang menjadi Adipati Lasem setelah wafat suaminya, Adipati Wiranegara. Dalam sejarah Lasem, ia dikenal sebagai sosok yang religius, berani, dan memiliki jiwa kepemimpinan tinggi. Ia tidak hanya memimpin pemerintahan dengan bijak, tetapi juga turut membantu dakwah adiknya, Sunan Bonang, di Bonang–Binangun. Melalui santri-santri yang dididik di Pesantren Bonang–Binangun, ajaran Islam menyebar semakin luas hingga ke Madura, Bawean, Kalimantan, Sulawesi, Sumbawa, Ambon, dan Ternate.
Kepemimpinan Nyai Ageng Malokah menjadi bukti nyata bahwa Islam di Nusantara tidak menghalangi perempuan untuk menjadi pemimpin publik, selama mereka memiliki ilmu, akhlak, dan niat yang benar.

Selain para perempuan pada masa Walisongo, muncul pula tokoh agung lainnya pada abad ke-17, yaitu Sulthanah Shafiatuddin Syah binti Sultan Iskandar Muda, istri Sultan Iskandar Tsani. Ia memerintah Kesultanan Aceh Darussalam selama 34 tahun (1644–1675 M). Pemerintahannya menjadi salah satu babak emas dalam sejarah kerajaan Islam di Asia Tenggara.
Setelah ia wafat, tahtanya diteruskan oleh putrinya, Sulthanah Nurul Alam Naqiyatuddin Syah (1675–1678 M), lalu oleh Sulthanah Inayah Zakiyatuddin Syah / Putri Raja Setia (1678–1688 M), dan terakhir Sulthanah Kamalat Syah (1688–1699 M). Dalam kurun waktu lebih dari setengah abad, Kesultanan Aceh dipimpin oleh empat perempuan berturut-turut — sebuah fakta sejarah yang menegaskan bahwa dalam sistem politik Islam di Nusantara, perempuan dapat menjadi pemimpin tertinggi tanpa menyalahi syariat.

Di bawah pemerintahan Sulthanah Shafiatuddin Syah, Aceh mengalami kemajuan luar biasa dalam bidang keagamaan, ilmu pengetahuan, dan diplomasi internasional. Banyak ulama besar yang datang ke Aceh, seperti Syaikh Abdurrauf as-Singkili, Syaikh Nuruddin ar-Raniri, dan Syaikh Yusuf al-Maqassari, yang menjadikan Aceh sebagai pusat kajian Islam di Asia Tenggara.
Atas kemajuan ini, Kesultanan Turki Utsmani memberikan gelar kehormatan “Serambi Makkah” kepada Aceh. Julukan itu tidak hanya simbol kebanggaan, tetapi juga pengakuan atas peran Aceh dalam menyebarkan Islam dan menegakkan ilmu pengetahuan.

Yang menarik, Sulthanah Shafiatuddin Syah juga memberdayakan perempuan dalam pemerintahan. Ia mengangkat tokoh-tokoh perempuan untuk duduk dalam dewan harian kerajaan, seperti Si Nyak Bunga, Siti Cahaya, Si Mawar, dan Siti Awan. Perempuan-perempuan ini terlibat aktif dalam urusan administrasi, diplomasi, dan sosial keagamaan. Hal ini menunjukkan bahwa Islam, khususnya dalam tradisi Nusantara, memberikan ruang bagi perempuan untuk tampil di ruang publik, berperan dalam pembangunan, dan ikut menentukan arah kebijakan negara.

Dari fakta sejarah di atas, terbukti bahwa Islam tidak mengekang atau membatasi karier perempuan, selama berada dalam koridor syariat. Islam justru memuliakan perempuan dengan memberikan hak untuk belajar, bekerja, berdakwah, bahkan memimpin masyarakat. Pandangan orientalis seperti Snouck Hurgronje, yang menuduh Islam mengekang perempuan, jelas keliru dan bertentangan dengan bukti sejarah Nusantara.
Dalam realitasnya, perempuan justru menjadi pelopor, pendidik, dan penggerak peradaban Islam di berbagai daerah, dari Gresik hingga Aceh, dari Jawa hingga Sumatra.

Pandangan keliru inilah yang kemudian sempat memengaruhi pemikiran Raden Ajeng Kartini. Ia merasa terkungkung oleh aturan sosial yang dikira berasal dari ajaran Islam. Padahal, yang membatasi ruang gerak perempuan pada masa itu lebih bersumber dari budaya feodal dan sistem kolonial Belanda, bukan dari Islam. Dalam Islam, perempuan sangat dianjurkan untuk menuntut ilmu sebagaimana laki-laki, sebagaimana sabda Nabi ﷺ: “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah.”


Dengan demikian, semangat Kartini untuk menuntut ilmu sebenarnya sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya ilmu bagi kemajuan umat. Melalui perjuangan panjang, perempuan Nusantara telah menorehkan tinta emas yang mengangkat nama bangsa. Mereka yang dahulu dianggap hanya sebagai “konco wingking” ternyata mampu menjadi ulama, pendidik, bahkan penguasa yang dihormati. Perjuangan mereka dilanjutkan oleh generasi berikutnya, seperti Cut Nyak Dien, Syaikhah Fathimah al-Palimbani, Syaikhah Fathimah Rokan, Syaikhah Zainab al-Jukjawi, Syaikhah Rahmah el-Yunusiyah, dan Syaikhah Khairiyah Hasyim.

@almusrimedia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *