Di Balik Tuduhan Feodalisme dalam Tubuh Pesantren

Pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisonalis dengan sederet prestasinya telah berperan dalam harmoni kehidupan umat, pesantren dengan jebolannya telah banyak meraih prestasi dalam kehidupan sosial, keagamaan, dan juga politik. Sebut saja presiden keempat Republik Indonesia, yakni KH Abdurrahman Wahid adalah sosok jebolan pesantren yang meraih ketiga prestasi di atas sekaligus.

Namun akhir-akhir ini pesantren mendapatkan klaim yang dapat menyinggung sekelompok kaum sarungan, lontaran kata ‘feodalisme’ dari beberapa pihak yang disandarkan terhadap kehidupan pesantren nampaknya telah memberikan konotasi buruk kepada figur pesantren yang meliputi kiai dan santri. Klaim demikian sangatlah memberikan kesan terhadap khalayak banyak, bahwa sistem pesantren sama halnya dengan sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan atas prestasi kerja.

Seklumit Tentang Feodalisme

Terminologi feodalisme berasal dari era Romawi. Yang Menurut Dictionary, istilah feodalisme menyebar di Eropa pada abad ke delapan, yang mana bawahan dilindungi oleh para tuan yang harus mereka layani dalam perang (Alexanderandi, dan Alifian, 2024).

Pada hari ini feodalisme dihubungkan dengan maknanya yang berkaitan dengan apa pun yang memiliki hubungan vertikal, yang mana bawahan diharamkan diberikan hak memimpin bukan berdasarkan kelemahan prestasi atau etos kerja yang ia miliki, akan tetapi hak kepemimpinan hanya diberikan kepada seseorang atas dasar kekayaan, senioritas dan sebagainya (baca: meritrokasi).

Mirisnya, pesantren menjadi objek istilah ‘feodalisme’ oleh mereka, entah dengan tujuan apa yang diinginkannya. Dengan sosok kiai sebagai pimpinan mutlak pesasntren, mereka dengan entengnya menyematkan istilah feodalisme di dalam tubuh pesantren.

Tradisi Pesantren

Kiai dengan otoritas keagamaannya memiliki kedudukan besar yang telah melahirkan hierarki kekuasaan yang secara eksplisit diamini di dalam lingkungan pesantren. Tetapi, kekuasaan kiai berdiri di atas moralitas dan keunggulan pengetahuan ketuhanan (agama) serta kepribadiannya yang bersahaja dan terbuka. Karena umumnya praktik kehidupan kiai sangatlah sederhana, egaliter, dan mandiri (Muhammad, 2020).

Cita-cita pendidikan pesantren, umumnya adalah dapat berdiri sendiri dan tidak menggantungkan dirinya terhadap pihak lain kecuali kepada Allah. Para kyai selalu memberikan perhatian dan mengembangkan watak pendidikan individual kepada para santrinya, para santri diperhatikan tingkah laku moralnya secara teliti. Mereka diperlakukan secara hormat layaknya titipan Tuhan yang harus disanjung (Dhofier, 2011).

Pengagungan dan penghormatan terhadap kiai bukanlah hal yang tidak berdasar, melainkan dengan kharisma paripurna yang dimiliki kiai, sebagi figur pemimpin di pesantren dengan segala keilmuannya lah yang menjadi alasan dasar penghormatan tersebut. Santri melihat kiai sebagai sosok yang memahami kehendak Tuhan dengan pemahamannya yang luas atas teks-teks keagamaan, di sisi lain kiai memiliki hubungan dekat dengan Tuhan.

Dengan begitu, kepatuhan mutlak santri kepada kiai bukanlah sebagai manifestasi dari penyerahan total kepada kiai yang memiliki otoritas, tetapi karena keyakinan santri terhadap kiai sebagai penyalur kemurahan Tuhan kepada murid-muridnya. Oleh sebab itu peranan kiai sangatlah penting bagi kehidupan santri meliputi banyak aspek.

Zamakhsyari Dhofier dalam Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia (2011), menyampaikan bahwa “kedudukan guru sangatlah penting dalam kehidupan muridnya, sehingga perlu adanya pertimbangan dalam memilih guru. Dalam Ta’lim Al-Muta’allim dijelaskan agar menimbang-nimbang guru yang akan dipilihnya, paling tidak dua bulan sehingga ia yakin bahwa gurunya adalah benar-benar orang yang ‘alim, arif, dan selalu menahan diri dari perbuatan yang dilarang, dimakruhkan, atau yang belum memiliki ketentuan dalam Agama (wira’i).”

Oleh karenanya, tidak semua perintah dan kata-katanya harus diindahkan tanpa adanya pertimbangan syar’i dan rasio. Sebagai contoh, Gus Baha’ (KH. Baha’uddin Nursalim) pernah menjelaskan bahwa “pertanyaan Nabi Musa terhadap gurunya, Nabiyullah Khidir ketika membunuh anak kecil yang tak berdosa, adalah sebagai peneguhan Nabi Musa terhadap syari’atnya”.

Di samping itu, perlunya menimbang guru yang hendak dipilih mengartikan tujuan kepatuhan murid terhadap gurunya agar tidak terjebak dalam lubang kesesatan dan kemaksiatan. Tentu saja dalam kemaksiatan atau dalam tingkah laku yang tidak selaras dengan ajaran Islam kepatuhan haruslah ditidak hadirkan.

Kiranya dapat dipahami bahwa, sistem hierarki di pesantren bukan semata-mata pengkultusan figur secara buta, melainkan menimbang dari etos kerja dan intelektualitas para kiai. Lebih lanjut Dhofier (2011) membeberkan sistem kompleks yang tercipta dalam lingkungan pesantren, dari kiai sebagai pemimpin pesantren, kiai muda, asatid, santri senior, dan santri junior, itu semua atas dasar kematangan pengetahuan dalam bidang Agama Islam.

Pesantren Menghalalkan Meritrokasi

Fakta lain bisa disaksikan dengan tradisi adu argumen dalam Bahstu Al-Masa’il di beberapa banyak pesantren, tidak sedikit santri yang membantah argumen kiai atau seniornya. Pasalnya santri tidak sepenuhnya menerima apa yang dikatakan kiai atau seniornya dengan kaku yang dapat menghambat kebebasan berpendapat dan inovasi. Karena ini adalah tradisi kritis keilmuan yang mesti dilestarikan untuk melatih berfikir kritis dalam memahami cita-cita teks keagamaan, sekaligus bukti bahwa tradisi intelektual pesantren tidak dimonopoli oleh para atasannya.

Tak hanya itu, tidak sedikit dari pesantren yang mengangkat santrinya untuk meneruskan hak kepemimpinannya. Biasanya santri yang berintelektual tinggi akan dijadikan menantu dari sang kiainya, ini menandakan bahwa sistem pesantren tidak mengharamkan meritrokasi yang dapat memberikan hak memimpin dengan alasan prestasi yang baik dan etos kerja yang mutu, yang bukan berdasar pada kekayaan, senioritas, atau warisan belaka.

Sebagai contoh adalah pondok pesantren Lirboyo yang terkenal dengan sosok tiga tokoh besarnya, yakni KH Abdul Karim sebagai pendirinya, KH Marzuqi Dahlan sebagai menantunya, dan KH Mahrus Ali juga sebagai menantunya.

Penutup

Istilah Feodalisme yang memiliki konotasinya yang relatif buruk, adalah problematika dalam hubungan vertikal semua manusia, seperti tuan dan buruh, bos dan koleganya, bahkan guru dengan muridnya. Oleh karenanya, ia menjadi problematika yang relatif sesuai dengan siapa yang melakukannya.

Sementara, problematika yang sangat fundamental dalam istilah feodalisme adalah kebebasanya dalam berfikir. Seperti yang dikatakan Rocky Gerung sang pengamat politik ternama di Indonesia, Rocky mengatakan “dalam sejarahnya bahwa para father founding Indonesia dahulu sangat mengagumkan pemikiran dan kebebasan berpendapat. Namun kenapa semua itu saat ini terkesan hilang?” (Alexanderandi, dan Alifian, 2024).

Sedangkan dalam tradisi intelektual pesantren masih mengagunmkan pemikiran dan kebebasan berpendapat yang dibuktikan dalam forum diskusinya, yaitu Bahastul Masa’il.

Pada akhirnya, tuduhan feodalisme terhadap pesantren sering kali tidak memahami konteks dan nilai-nilai yang mendasari hierarki dan tradisi pesantren. Hierarki dalam pesantren lebih bersifat fungsional dan didasarkan pada keilmuan dan moralitas, bukan pada kekuasaan yang sewenang-wenang.

Baca juga : Sikap Tawadhu’ Dan Bantahan Tuduhan Feodalisme Di Pesantren

Pewarta : M Wildan Musyaffa

ilustrasi
Hukum Membalik Mushaf Al-Quran dengan Jari Dibasahi Air Liur

Membalik lembaran mushaf al-Quran dengan menggunakan jari yang dibasahi air liur terlebih dahulu merupakan salah satu kebiasaan yang dilakukan oleh sebagian orang ketika membaca al-Quran. Alasan munculnya fenomena demikian ialah bertujuan mempermudah proses membalik lembaran mushaf al-Quran. Karena ketika jari seseorang (bagian ujungnya) dalam kondisi basah sedikit (khususnya sebab air liur), maka menjadi tidak licin dan cenderung menempel (lengket) ketika memegang lembaran mushaf al-Quran.

Sehingga lembaran mushaf al-Quran yang tersentuh oleh jari tersebut menjadi mudah dibalik dari satu lembar ke lembar yang lain.

Dalam menyikapi kebiasaan yang lazim dilakukan oleh sebagian kalangan umat Islam ini, bagaimana Islam memandang kajian atau ketentuan hukumnya?

Apakah memang membalik lembaran mushaf al-Quran dengan menggunakan jari yang dibasahi air liur termasuk perkara yang diperbolehkan ataukah justru sebaliknya, yakni tidak diperbolehkan?

Dalam pandangan syariat Islam, terdapat perbedaan pendapat para ulama mengenai persoalan hukum membalik lembaran mushaf al-Quran dengan jari yang dibasahi air liur. Menurut Imam Qalyubi, kebiasaan demikian ini diperbolehkan selama tidak mengindikasikan adanya penghinaan (niat meremehkan atau menyepelekan) terhadap kitab suci al-Quran.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Hasyiyah asy-Syarwani yang disyarahi Imam Ibnu Hajar al-Haitamiy dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj (1/152) berikut:

وَفِي الْقَلْيُوبِيِّ عَلَى الْمَحَلِّيِّ يَجُوزُ مَا لَا يُشْعِرُ بِالْإِهَانَةِ كَالْبُصَاقِ عَلَى اللَّوْحِ لِمَحْوِهِ؛ لِأَنَّهُ إعَانَةٌ اهـ.

Artinya: “Dalam keterangan Al-Qalyubi terhadap Al-Mahalli, boleh hukumnya (membalik lembaran mushaf al-Quran menggunakan jari yang ujungnya dibasahi air liur) selama tidak mengindikasikan adanya penghinaan terhadap al-Quran. Karena, hal ini (menggunakan jari yang ujungnya dibasahi air liur ketika membalik lembaran mushaf al-Quran ini) memang bertujuan untuk membantu (memudahkan proses membalik lembaran).”

Selanjutnya, pendapat yang dikemukakan oleh Imam Qalyubi ini juga selaras dengan pendapat yang dikemukakan Imam Ramli. Masih dalam kitab yang sama (1/152), berikut keterangannya:

وَفِي فَتَاوَى الْجَمَالِ الرَّمْلِيِّ جَوَازُ ذَلِكَ حَيْثُ قُصِدَ بِهِ الْإِعَانَةُ عَلَى مَحْوِ الْكِتَابَةِ

Artinya: “Dalam Fatawa Al-Jamal Ar-Ramli, (dikatakan bahwa) kebolehan hal ini selama sekiranya memang bertujuan untuk membantu (mempermudah) membalik lembaran mushaf (al-Quran).”

Namun demikian, menurut Imam Ibnu Hajar al-Haitamiy, beliau berpendapat bahwa kebiasaan membalik lembaran mushaf al-Quran dengan jari yang dibasahi air liur termasuk perkara yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan umat Islam. Hal ini sebagaimana disebutkan beliau dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj (1/153) berikut:

وَفِي فَتَاوَى الشَّارِحِ يَحْرُمُ مَسُّ الْمُصْحَفِ بِإِصْبَعٍ عَلَيْهِ رِيقٌ إذْ يَحْرُمُ إيصَالُ شَيْءٍ مِنْ الْبُصَاقِ إلَى شَيْءٍ مِنْ أَجْزَاءِ الْمُصْحَفِ

Artinya: “Dan di Fatawa–nya Syarih (maksudnya Imam Ibnu Hajar), haram menyentuh mushaf al-Quran dengan jari yang terdapat air liurnya. Karena, haram (hukumnya) mengenakan air liur terhadap salah satu dari beberapa bagian mushaf al-Quran.”

Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat dua pendapat hukum dari kalangan para ulama dalam persoalan ini. Pendapat pertama menyatakan boleh selama tidak ada indikasi menghina atau meremehkan kitab suci al-Quran. Alasan yang mendasari kebolehan ini ialah karena memang hal demikian ini sejatinya memudahkan proses membalik satu lembar ke lembar lainnya. Sementara itu, pendapat kedua menyatakan bahwa kebiasaan membalik lembaran mushaf al-Quran dengan jari yang dibasahi air liur termasuk perkara yang dilarang alias tidak diperbolehkan. Alasan yang mendasari ketidakbolehan ini ialah adanya larangan mengenakan air liur terhadap mushaf al-Quran. Sebab, selain bisa saja ada potensi meremehkan bagi yang melakukannya, hal juga itu dikhawatirkan dapat mengotori atau merusak kertas daripada mushaf al-Quran itu sendiri. Demikian penjelasan hukum tentang membalik lembaran mushaf al-Quran dengan menggunakan jari yang dibasahi air liur terlebih dahulu. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Pewarta : M Wildan Musyaffa

Pengajian Triwulan, Sosialisasi Masyayikh & Wali santri Al-Musri’

            Telah di selenggarakannya acara pengajian triwulan dan sosialisasi di ponpes Miftahul Huda Al Musri’. Kegiatan tersebut di hadiri oleh para guru guru Al Musri dan Orang tua wali santri. Dengan diadakannya kegiatan tersebut bertujuan mempererat tali silaturahmi antara para guru guru yang ada di Al Musri’ dan orang tua wali santri, tidak hanya dengan acara sosialisi kegiatan tersebut pun di isi dengan pengajian kitab kuning yaitu kitab Ihya Ulumuddin, isi dari sosialisasi tersebut juga para guru guru al musri memaparkan program progam ke Al Musrian yang diantara nya : Program Ketarbiyahan dan program keamanan, guna supaya orang tua santri mengetahui kegiatan kegiatan yang ada di Al Musri’.

                Dalam pemaparan program, ada yang menarik para orang tua santri yaitu pemukiman. Di Al Musri ada program pemukiman yang selalu di laksanakan ketika salah seorang santri telah di wisuda di Ponpes Miftahul Huda Al Musri’. Program ini sangat membantu bagi seorang santri yang bingung setelah beres/lulus dari pesantren harus bagaimana, dan program ini adalah salah satu cara dewan kyai al musri menitipkan santri nya kepada masyarakat umum. Menurut pengersa Eteh Hj Iyam “Loba Ku zaman Ayeuna Nu Nyuprih Kana Elmu tapi hasil/teu nepi kana tsamrohna elmu(buah na elmu)”.

                Acara ini juga sekaligus waktu penjengukan orang tua kepada anak nya yang sering dilakukan pada setiap hari kamis dan jum’at di Al Musri’. Sosialisasi menjadi dorongan semangat kepada orang tua santri  dalam mempesantrenkan anak nya.

Miftahul Huda Al Musri’ Pusat

Kamis, 5/8/2025

Selamat Hardiknas 2025! Merdeka Belajar Dalam Mewujudkan Pendidikan Tuntas dan Berkualitas

Mengusung tema “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu Untuk Semua” peringatan ini menjadi momentum untuk meneguhkan dan memperkuat tekad serta komitmen dalam memajukan pendidikan nasional. Tanggal 2 Mei Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional yang sering disingkat Hardiknas, menjadi momen penting dalam menghargai kemajuan dunia pendidikan di tanah air. Hari ini bukan hanya sekadar tanggal di kalender, melainkan sebuah refleksi tentang bagaimana pendidikan memegang peranan vital dalam kemajuan bangsa.

Momen ini mengingatkan kita akan pentingnya peningkatan kualitas pendidikan untuk mempersiapkan generasi yang cerdas, berkarakter, dan siap menghadapi tantangan global. Lantas, bagaimana sejarah singkat mengenai Hari Pendidikan Nasional yang selalu diperingati setiap tahunnya? Simak ulasannya berikut ini.

Sejarah singkat Hari Pendidikan Nasional

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) diperingati setiap tanggal 2 Mei di Indonesia untuk menghormati jasa Ki Hadjar Dewantara, tokoh pelopor pendidikan yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional dan pendiri lembaga pendidikan Taman Siswa. Tanggal tersebut dipilih karena bertepatan dengan hari kelahiran beliau pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Hal tersebut tertuang dalam keputusan presiden (Keppres) Nomor 316 tahun 1959 pada tanggal 16 Desember 1959.

Sebagai menteri pendidikan pertama di Indonesia pada tahun 1950, ia menanamkan semangat pendidikan yang merdeka dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ki Hajar Dewantara juga dikenal dengan semboyannya ‘Tut Wuri Handayani’ yang menjadi slogan Kementrian Pendidikan Indonesia hingga kini.

Pada masa penjajahan Belanda, Ki Hadjar Dewantara, yang lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, menentang kebijakan pendidikan kolonial yang hanya mengutamakan golongan tertentu. Sebagai bentuk perlawanan, beliau mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922, sebuah lembaga pendidikan yang terbuka bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang status sosial.

Atas dedikasinya, Ki Hadjar Dewantara diangkat sebagai Menteri Pendidikan setelah Indonesia merdeka. Beliau wafat pada 26 April 1959, dan sebagai penghormatan, pemerintah menetapkan hari kelahirannya sebagai Hari Pendidikan Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959.

Peringatan Hardiknas bertujuan untuk merefleksikan pentingnya pendidikan dalam membangun bangsa. Meskipun bukan hari libur nasional, peringatan ini biasanya diisi dengan upacara bendera di sekolah-sekolah dan instansi pendidikan lainnya.

Tema Hardiknas tahun 2025

Pada tahun 2025, tema Hardiknas adalah “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua”, yang menekankan pentingnya kolaborasi semua pihak dalam mewujudkan pendidikan berkualitas bagi seluruh masyarakat. Tema ini mengajak seluruh elemen bangsa untuk bekerja sama dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Melalui peringatan ini, diharapkan semangat Ki Hadjar Dewantara dalam memperjuangkan pendidikan untuk semua dapat terus menginspirasi generasi penerus bangsa. Semangat tersebut menjadi landasan penting untuk menciptakan pendidikan yang lebih inklusif dan merata bagi setiap lapisan masyarakat.

Selamat Hari Pendidikan Nasional 2025. Mari kita lanjutkan perjuangan Ki Hajar Dewantara demi kemajuan pendidikan Indonesia

Editor: Siti Lidiana

Untuk yang Lelah Tanpa Banyak Kata: Selamat Hari Buruh

Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional sebagai penghormatan atas perjuangan para pekerja. Bagi umat Islam, ini menjadi momen penting untuk merenungkan makna bekerja dalam perspektif Islam, serta mengambil teladan dari Nabi Muhammad SAW dalam hal etos kerja, kemandirian ekonomi, dan integritas dalam profesi.

Islam memandang bekerja bukan sekadar aktivitas duniawi, melainkan ibadah yang bernilai tinggi jika diniatkan dengan benar dan dilakukan secara halal. Allah SWT berfirman:


َؤَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى

“Dan bahwa manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm: 39)

Usaha dan kerja keras adalah bagian dari tanggung jawab manusia, dan hasil yang diperoleh adalah buah dari jerih payahnya sendiri. Maka, setiap tenaga yang dikeluarkan dalam bekerja menjadi bagian dari pengabdian kepada Allah SWT.

Nilai-nilai luhur dalam bekerja berupa kejujuran, amanah, tanggung jawab, disiplin, dan profesionalisme.

Rasulullah SAW bersabda:


مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ…

“Tidak ada seorang pun yang makan makanan lebih baik dari hasil kerja tangannya sendiri…” (HR. Bukhari no. 2072)

Etos ini sangat relevan dalam momentum Hari Buruh, di mana penghargaan terhadap para pekerja harus diwujudkan dalam kebijakan yang adil, gaji yang layak, dan suasana kerja yang manusiawi. Islam menekankan kemandirian dalam mencari nafkah, bahkan Rasulullah SAW melarang umatnya menjadi peminta-minta. Beliau bersabda:


لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً… خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا

“Jika salah seorang dari kalian memikul seikat kayu di punggungnya, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain…” (HR. Bukhari)

Bekerja adalah bentuk kemuliaan, bukan sekadar keterpaksaan. Islam mendorong setiap individu menjadi produktif dan mandiri, agar hidup bermartabat.

Sebelum diangkat menjadi Nabi Muhammad SAW telah dikenal sebagai pedagang muda yang sukses dan terpercaya. Ia bekerja pada seorang saudagar wanita terhormat, Siti Khadijah RA. Integritas dan kejujurannya membuat Khadijah terkesan dan akhirnya meminangnya. Kisah ini menjadi inspirasi bahwa kesuksesan lahir dari etos kerja yang baik, kejujuran, dan tanggung jawab.

Hari Buruh seharusnya tidak hanya diperingati dengan aksi, tetapi juga menjadi sarana muhasabah (introspeksi). Bagi pekerja apakah kita sudah bekerja dengan niat ibadah dan akhlak mulia? Bagi pemberi kerja apakah kita telah memperlakukan para pekerja dengan adil.


أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

“Berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah, sahih).

Dalam islam martabat pekerja menyiratkan bahwa semua jenis pekerjaan yang sah layak mendapatkan rasa hormat yang sama, baik secara fisik maupun mental.

Adapun hak-hak buruh dalam pandangan islam antara lain:

  • Hak atas upah yang layak (QS. Al Ahqaf:19): Upah harus sebanding dengan nilai kerja bukan sekedar minimum.
  • Hak atas perlindungan sosial (QS. An Nur): Negara dan masyarakat wajib melindungi pekerja dari kehinaan ekonomi.
  •  Hak atas waktu istirahat (HR. Bukhari): Rasulullah SAW bersabda agar buruh tidak dipaksa melebihi batas kemampuannya.
  •  Hak atas keamanan dan keselamtan kerja: Islam melarang segsala bentuk kekerasan atau ekspoitasi terhadap kerja.

Rasulullah adalah teladan dalam memperlakukan buruh. Beliau tidak pernah menunda upah kerja, tidak membebani mereka melebihi batas kemampuan, dan memperlakukan mereka sebagai manusia seutuhnya. Sebuah teladan yang sangat relevan di era kapitalisme digital yang sering memperlakukan buruh hanya sebagai angka-angka produktivitas.

Hari buruh internasional adalah hari pengingat bahwa tidak ada pembangunan tanpa buruh. Mereka adalah fondasi ekonomi, kekuatan sosial, dan harapan masa depan. Alquran dan teladan Rasulullah SAW telah memberikan panduan yang jelas tentang bagaimana memperlakukan buruh secara adil dan manusiawi. Sudah saatnya kembali kepada nilai-nilai wahyu.

Memberi upah sebelum keringat mengering, memperlakukan buruh sebagai saudara, dan menjamin hak-haknya sebagai manusia. Karena di mata islam, buruh bukan hanya alat produksi, tapijuga pemilik kehormatan dan harga diri.

Selamat hari buruh internasional. Semoga Hari Buruh menjadi titik tolak untuk mewujudkan keadilan kerja, memuliakan pekerja, dan menjadikan setiap pekerjaan sebagai jalan menuju ridha Allah SWT. Semoga keadilan sosial benar-benar menjadi kenyataan, bukan sekedar slogan.

Editor: Siti Lidiana