Program Sanitasi Pesantren di Miftahulhuda Al-Musri’ Pusat

Pondok Pesantren (Ponpes) Miftahulhuda Al-Musri’ dijadikan lokasi pembuatan sanitasi yang anggarannya bersumber dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Ponpes yang terletak di Desa Kertajaya, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat (Jabar) menjadi contoh program Sanitasi Berbasis Masyarakat (Sanimas).

Menurut Anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz, ia juga membawa aspirasi pembangunan program Sanimas di Kecamatan Ciranjang yang notabene berada di timur Kabupaten Cianjur.

Dia menuturkan, program Sanimas didasari masih terdapatnya masyarakat yang membangun mandi cuci dan kakus (MCK) tanpa memikirkan buangan limbah.

“Tak perlu dibuang ke sungai ataupun ke selokan. Nah, karena ekosistem aliran sungai atau selokan ini tercemar, maka tidak ada kehidupan di aliran air tersebut,” tuturnya.

Dengan adanya sanitasi yang baik, terang Eem, ke depan tidak terjadi lagi lingkungan masyarakat yang tercemar. Sebab, pada program Sanimas itu dibangun juga instalasi pengolahan air limbah (IPAL) yang bisa menetralisasi limbah.

“Limbah dari MCK ini ditampung dan dikelola menggunakan IPAL. Sehingga kualitas airnya nanti kembali bersih dan bisa menjadi ekosistem bagi makhluk hidup,” tuturnya.

Sementara itu, Kepala Balai Prasarana Pemukiman Wilayah Provinsi Jabar, Feriqo Asya Yogananta, mengatakan, program Sanimas merupakan upaya pemerintah meningkatkan kesehatan masyarakat perkotaan dan perdesaan. Di Kabupaten Cianjur, program Sanimas diawali dengan pembangunan sanitasi.

“Harapannya, para santri di Pondok Pesantren Gelar ini bisa memanfaatkan sanitasi ini dengan baik. Sehingga ke depan lingkungan permukiman di Pesantren Gelar bisa lebih baik lagi,”

Biaya pembangunannya menelan anggaran sebesar Rp200 juta. Pembangunan sanitasi juga berkat bantuan dari anggota DPR RI dari Fraksi PKB Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz.

Hampir 70 persen biayanya dialokasikan untuk pembangunan fisik dan sisanya 30 persen untuk padat karya berupa upah tenaga kerja. Nantinya, pengelolaan sanitasi diserahkan ke kelompok swadaya masyarakat (KSM) di lingkungan pesantren.

“Sanitasi ini tidak hanya untuk lingkungan pesantren saja, tapi juga bisa mencakup 75 SR (sambungan rumah) di lingkungan warga yang bisa memanfaatkan program Sanimas ini,”

Beliau menuturkan program Sanimas muncul didasari pertimbangan masih terdapatnya kawasan permukiman yang padat penduduk. Kondisi tersebut memunculkan limbah domestik atau limbah rumah tangga yang dikhawatirkan tidak terkelola dengan baik.

Sumber : PKB

Penulis : Dimas Pamungkas

Berpulang Ke Rahmatullah Mama Syaikhuna Kh. Ahmad Faqih

Tanah di atas pusara itu masih merah membasah sekalipun terik matahari di waktu dzuhur menjemur rata di atasnya, hari itu adalah hari yang kedua sejak jenazah yang mulia itu dimakamkan. Beliau itu orang yang sangat mulia, yang taat kepada Allah Subhanahu Wata’la.

Masih banyak peziarah yang berta’ziyah di sekitar makam, ada yang berdoa, bertabaruk, baca qur’an dan lain sebagainya. Kebanyakan dari mereka adalah yang datang dari jauh atau luar daerah untuk menghadiri langsung pemakaman yang mulia Mama KH. Ahmad Faqih. Kecintaan atau mahabbah kepada pribadi beliau selaku orang tua, guru, sekaligus panutan, mengalahkan segalanya termasuk jarak yang jauh sekalipun untuk menghadiri ke makam beliau.

Sehari sebelumnya, tepatnya hari kamis 5 Sya’ban 1422 H yang bertepatan pada tanggal 4 November 2000 M, KH. Ahmad Faqih kembali ke pangkuan illahi, wafat dengan husnul khotimah, diiringi tangis prihatin dari keluarga besar Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-musri’. Bahkan tidak hanya dari pihak keluarga besar yang sangat kehilangan tapi siapapun yang mengenal beliau siapapun yang dalam tubuh nya mengalir darah perjuangan dan solidaritas islam pastilah ikut merasa kehilangan. Bagaimana tidak, beliau merupakan seorang bapak, orang tua, guru dan panutan bagi keluarga, murid-murid dan siapa saja yang dekat serta mengenal beliau. Yang patah akan tumbuh, yang hilang akan berganti, akan tetapi sosok beliau KH. Ahmad Faqih tidak akan tergantikan.

Langit yang mendung sejak ashar diiringi guyuran hujan seakan ikut menjadi pertanda berlalunya seseorang yang sholeh, alunan ayat-ayat suci al-Qur’an tersendat-sendat dengan nada haru dan penuh harap terdengar dari para santri yang dengan khusu’ membacakannya di mesjid Ponpes Miftahulhuda Al-musri, sementara itu di belakang mesjid tepatnya di kediaman Mama KH. Ahmad Faqih, beliau di kelilingi putra putri tercinta, terbaring dalam saat-saat terakhir memenuhi panggilan illahi. Dan tatkala tersiar berita bahwa saat-saat itu semakin dekat, ayat-ayat suci al-Qur’an pun semakin menggema di seputaran mesjid dan irama duka cita, tersayat-sayatlah tiap hati diliputi suasana cemas dan kesedihan. Masing-masing kami berusaha menahan emosi, masing-masing berusaha menekan perasaan dengan ikhlas melepas kepergian beliau. Siap menerima musibah atau takdir dari Allah Subhanahu Wata’ala dengan penuh kesabaran dan ketawakalan.

Namun saat kami semua mengetahui bahwa setelah yang kami ciantai telah berpulang kepangkuan-Nya, tidak seorangpun dari kami yang sanggup menahan air mata yang kian menggenang yang akhirnya pecah berderai di pipi masing-masing orang saat itu.Sementara duka cita meliputi Ponpes Miftahulhuda Al-musri’ kabarpun tersiar cepat kemana-mana, tak berselang lama banjir manusia dimakam beliau untuk berta’ziah, walaupun hujan terus mengguyur bumi Al-musri’.

Ponpes Miftahulhuda Al-musri’ dimana rumah kediaman beliau terletak didalamnya, seketika itu hampir tidak bisa lagi menampung banjir manusia yang mengalir datang untuk berta’ziah, malam yang masih sedikit diguyur hujan tidak membuat surut langkah mereka untuk mencapai Al-musri’, dengan kendaraan apa saja yang bisa diperoleh disertai harapan bisa sampai saat pemakaman. Bisa dimengerti ketika setiap orang hendak mensholatkan jenazah, berebutan orang memasuki masjid Al-musri’ tatkala jenazah mulia itu di gotong dari tangan ketangan orang yang berseret dikediaman beliau sampai kedalam masjid. Tak kurang dari tujuh kali gelombang jama’ah berganti untuk mensholatkan jenazah dengan sikap duka yang mendalam diiringi dengan suara dzikir yang menyayat hati, bertindak sebagai imam pada gelombang pertama adalah putra tertua beliau yakni K. Zaenal Musthofa yang selanjutnya disusul oleh putra-putra beliau pada gelombang selanjut nya.

Jenazahpun segera di berangkatkan ke lokasi pemakaman, sekalipun   masing banyak yang hendak mensholatkan, lagi pula Mama sering  berpesan  apayang di sabdakan oleh Rosullah Sallallohu A’laihi Wasallam tentang keharusan  menyegerakan pemakaman terhadap orang yang meninggal, terlebih saat sakaratul   maut datang menjemputnya KH. Ahmad Faqih tampak senyum cerah nan ikhlas  seakan rindu ingin segera memenuhi panggilan sang kholiq.

Ketika aba-aba di umumkan bahwa jenazah akan segera di makamkan, sepanjang jarak kurang lebih 150 Meter dari mesjid ke makam, pemandanganpun  berubah menjadi gelombang tangan-tangan yang terulurkan, berebut hendak memeluk dan mengotong jenazah, 2 orang yang paling di cintai semasa beliau  masih hidup adalah KH. Romli (adik kandung beliau) dari Tasikmalaya dan KH. Izudin Tamlikho (Ketua Jam’iyatul Mukimin Miftahulhuda Al-musri’) dari Saguling Bandung Barat, dengan suara tersendat-sendat, terputus-putus seakan tak dapat menyelesaikan tugasnya membaca talkin dan do’a. Semua hati dipenuhi rasa iba,    haru nan syahdu. Kesyahduan itu ketika musibah yang besar harus dihadapi dengan kesabaran dan ketawakalan, bagaimanapun juga hati ini harus membisikan suara  ikhlas atas segala qodlo dan qodar yang dihendaki oleh Allah a’zza wajalla.

Perjalanan sejarah Al-musri’ masih sangatlah panjang dan perjuangan ini tak akan  ada hentinya. Kita masih amat memerlukan pimpinan dan asuhan KH. Ahmad Faqih. Kita masih mengharapkan beliau berusia lebih panjang lagi agar kita bisa memperoleh nasihat-nasihat serta bimbingan beliau. Tetapi Allah lah yang menetapkan segala sesuatu atas hendak-Nya. Semoga apa yang diperjuangkan  semasa hidup beliau tercatat amal sholeh, diampuni segala dosanya dan memperoleh husnul khotimah sehingga ditempatkan Allah Subhanahu Wata’ala di Surga Jannatun Na’im dan semoga yang ditinggalkan tetap tabah dalam sabar dan tawakal, Amin yaa robbal ‘alamin.

penulis : H. Agus

Editor : Dimas Pamungkas               

Biografi Mama Syaikhuna Kh. Ahmad Faqih

Kelahiran Mama KH.Ahmad Faqih berawal dari cerita yang sangat unik, dimana sewaktu ayah Beliau H. Kurdi bin H. Musa menuntut ilmu di Pesantren Gudang (salahsatu pesantren terbesar di daerah Tasikmalaya) sekitar tahun 1907 M. Tak berselang lama H. Kurdi mondok disana. Pada suatu hari H. Kurdi bin H. Musa dipanggil oleh gurunya ( KH Muhammad Soedja’i ), dan disuruh pulang, padahal pada masa itu Beliau belumbisa apa-apa.

Tak berselang lama ketika Beliau berada di kampungnya, Beliaupun menikah dengan salah seorang gadis pilihannya, dan dari pernikahan inilah Beliau dikaruniai seorang anak perempuan yang bernama Rukmini. Karena Beliau teringat perkataan gurunya, bahwasanya Beliau akan dikaruniai anak laki-laki yang sholeh, maka Beliaupun menceraikan istrinya. Dan H. Kurdi pun menikah lagi dengan seorang janda beranak dua yang bernama Hj. Halimah, anak dari Hj. Halimah yaitu Hj. Juariyah dan Bapak Enjum.

Setelah sekian lama H. Kurdi menanti disertai dengan do’a yang terus menerus, maka terkabullah permohonan Beliau dan Beliau dikarunia anak laki-laki yaitu Syaikhuna Almukarom Mama KH. Ahmad Faqih yang lahir pada bulan Januari 1914 M. / bulan Shafar 1332 H. di Kp. Cilenga Des. Leuwisari Kec. Leuwisari Kab. Tasikmalaya. Kemudian lahir pula dua anak laki-laki bernama Kyai Jamaludin dan Kyai Ahmad Romli, mereka bertiga beda selang usia satu tahun. Mama H. Kurdi wafat setelah Indonesia merdeka sekitar tahun 1949, makamnya berada di Kp. Kubangsari Des. Arjasari Kec. Leuwisari Kab. Tasikmalaya (2 km sebelum Cilenga dari arah singaparna).

Nama masa kecil Beliau adalah Ahidin. Beliau merupakan putra pertama dari tiga putra laki-laki H. Kurdi. Dari ketiga anaknya tersebut, Mama mendapat perlakuan istimewa dari sang Ayah dibanding dengan kedua adik-adiknya. Seperti halnya kalau kebetulan bepergian dengan membawa ketiga putranya tersebut, H. Kurdi selalu menggendong Mama (anak tertua), sedangkan kedua adiknya dibiarkan berjalan sendiri. Betul-betul suatu keanehan yang akan mengundang keheranan dan ocehan orang-orang. Tapi Beliau tidak memperdulikan pandangan orang-orang tersebut. Hal ini mungkin berdasarkan keyakinan beliau bahwa yang digendong ini seorang Ulama.

Mama sayikhuna KH. Ahmad Faqih bin H. Kurdi bin H. Musa pertama kali menuntut ilmu ditanah kelahirannya kepada KH. Moch. Syabani, Mama belajar mengaji pada KH. Syabani hanya mencapai ilmu shorof (itu juga belum tahqiq).

Kemudian setelah lulus SR ( Sekolah Rakyat ) sekitar usia 12 tahun Beliau berangkat menuntut ilmu ke Sukamanah Tasikmalaya kepada KH. Zaenal Mustofa ( Pahlawan Nasional dan salahsatu alumni Pesantren KH. MOch. Syabani ). Beliau menuntut ilmu di Sukamanah kurang lebih sekitar 12 tahun dari tahun 1925 – 1937 M. dan Adapun guru-guru shorogan Mama pada waktu di Sukamanah diantaranya : KH. Rukhyat Cipasung, KH. Faqih Damini al-Mubarok , Cibalanarik. Dan beliaupun mempunyai kakak kelas sekaligus teman seperjuangan ( yang diketahui narasumber ) yaitu KH. Mahmud Zuhdi Sumedang.

Setelah menuntut ilmu di Sukamanah tahun1937 M. Beliaupun memperdalam ilmu falak kepada KH. Fakhrurrozi selama kurang lebih satu bulan pada saat bulan Ramadhan di daerah Sukalaya, Gunung Sabelah TasikMalaya. Setelah itu beliau tidak pernah bermukim dimana-mana lagi, beliau langsung mukim di Kp. Kebon kalapa Des. Sumelap Kec. Cibereum Kab. Tasikmalaya.

Mama KH. Ahmad Faqih bin H. Kurdi bin H. Musa adalah Angkatan ketiga lulusan pesantren Sukamanah, Adapun urutan Angkatan pesantren Sukamanah diantaranya :

a.    Angkatan pertama satu orang yaitu Ajeungan Hambali ( bermuqim di Ciamis )

b.    Angkatan kedua yaitu : Ajeungan A. Shobir, KH. Mahmud zuhdi dan Ajeungan Syamsudin ( Parakanlisung )

c.    Angkatan ketiga yaitu : Mama KH. Ahmad Faqih, Ajeungan Burhan ( Sukahurip ), Ajeungan Ma’rif dan Ajeungan Emor ( Rancapaku ).

Mengenai Ua KH. Khoer Afandi ( Pendiri Ponpes Miftahulhuda Manonjaya Tasikmalaya ), ketika Beliau menuntut ilmu di Pesantren Legokringgit ( di Pesantren alumni Sukamanah ). Beliau selalu mengikuti tarkiban (study banding) ke Pesantren Sukamanah babadan (Angkatan) ke-5.

 

Penulis: Yasin Alawy

Editor: Dimas Pamungkas

TWIBBONE | HARI SANTRI NASIONAL 22 OKTOBER 2021 | Al-Musri’ Pusat

TWIBBONE UCAPAN SELAMAT HARI SANTRI NASIONAL 22 OKTOBER 2021

Contoh (1)

Contoh (2)

Contoh (3)

Dan dibawah ini adalah link tautan untuk membuat foto ” Selamat Hari Santri Nasional 22 Oktober 2021 “