Kifayatul Atqiya’: Perintah Menyebut Nama Allah

Bagi siapa saja yang hobi menekuri kitab-kitab turots pasti sudah begitu akrab dengan nama Syaikh Muhammad Syata ad-Dimyathi. Dialah Ulama cemerlang pengarang kitab I’anatut Tholibin yang sangat masyhur itu.Nama utuhnya adalah Sayyid  Bakr Al-Maky Ibnul `Arif billah As-Sayyid Muhammad Syata Ad-Dimyathi Al-Syafii. Imbuhan As-Syafi’i menyuratkan bahwasanya beliau termasuk penganut madzab Imam Syafi’i.

Membincangkan produktifitasnya dalam menulis kitab, karangan-karangan beliau sudah bejibun dalam berbagai bidang keilmuan, tak terkecuali juga anggitanya dalam babakan tasawuf.

Diceritakan, mulanya beliau diminta oleh sebagian santri-santrinya untuk menuliskan sebuah syarah tipis dari kitab yang bernama Hidayatul Adzkiya ila Thoriqil Auliya milik ulama keturunan India Syaikh Zainudin ibn syaikh Ali ibn Syaikh Ahmad Al-Ma’bariy. Dengan segala kerendahan hati beliau akhirnya memohon pertolongan dan bimbingan kepada Allah semoga dapat menunaikan permintaan tersebut seraya berdoa agar dimasukan ke jalan hamba-hamba-Nya penempuh laku tasawuf.

Walhasil, dinamailah kitab itu Kifayatul Atqiya wa Minhajul Asfiya. Dari penuturan beliau sendiri, kesemua muatan ajaran yang tertuang di dalamnya tak lain adalah nukilan dari petuah para ulama, perkataan orang-orang saleh dan nasehat para arif billah.

Pentingnya membaca Bismillah

Petikan nilai pertama yang diajarkan dalam kitab ini berkait tentang pentingnya menyebut nama Allah yang terejewantahkan dalam lafadz bismillah. Utusan terpilih akhir zaman—Nabi Muhammad saw—juga memerintahkan agar senantiasa mengawali segala perbuatan dengan menyebut Bismilah, karena pada permulaan yang disertai dengan ucapan tersebut terkandung banyak keberkahan dan nikmat yang agung. Dan lagi, karena yang sedemikian itu tergolong orang-orang yang mendapatkan hidayah, didekatkan kepada keridhaan dan dijauhkan dari marah bahaya-Nya.

Dikatakan, kalau Ba’ dalam lafadz Bismillah bermakna Baha’ullah (Keindahan Allah), lalu Shin sendiri bermakna Sanaullah (Keagungan Allah) sedang mim nya memeiliki arti Majdullah (keluhuran Allah). Kali lain ada yang memeram pretelan huruf ini dengan arti, Bakauttaibin (tangisanya orang yang bertaubat), Sahwul ghofilin (lalainya orang yang lupa) dan Magfirotullah lilmudznibin (ampunan Allah bagi yang berdosa).

Bertaut pada tema yang sama, saduran dari para ahli tasawuf menguraikan: Seandainya Allah swt telah menitipkan segala rupa ilmu-Nya di dunia ini dalam satu huruf yaitu Ba’ yang termanifestasikan dalam Biy (NamaKu). Sudah barang tentu hal ini sangat enigmatik dan mengundang beragam pertanyaan bagi siapa pun.

Ternyata jawaban untuk kegamangan ini terbubuh dalam kalimat apik berikut ini:

بى كان ما كان بى يكون ما يكون (Dengan menyebut namaKu—Allah—apa yang sudah ada pasti ada dan yang akan ada pasti akan ada).

Jika kita coba merenung pikirkan kalimat sarat makna di atas rupanya betul betul sudah menjawab pertanyaan yang mengelukan pening tadi. Bagaimana tidak? apapun yang ada di dunia ini—aku, kamu, dia, dan bumi seisinya tak terkecuali itu ilmu (silahkan teruskan sendiri)—tak lain dan tak bukan hasil dari konsekuensi baku atau akibat otomatis dari sebab firman Allah Kun fayakun (jadi maka jadilah). Ya, sesederhana itu penjelasanya. Karena wujudnya semua alam ini sebab Aku dan bukan selainKu.

Tak heran bila seorang yang menjalani laku tasawuf kerap kali merogoh sari arti sampai palung paling dasar, memandang segala sesuatunya berdasarkan nilai terdalam, dia tidak berhenti hanya di kulit saja.

ما نظرت فى شيء الا رايت الله فيه او قبله

“Aku tidak melihat ke dalam sesuatu kecuali aku memandang Allah di dalamnya ataupun sebelumnya.”

Sampai di sini, berarti sanad keilmuan–yang kita sebut dengan diskursus genealogi–ternyata semua muaranya pada lafadz Biy—namaKu.

Pewarta: Alima Sri Sutami Mukti

Editor: Nida Millatissaniyah

Apel Kebangsaan Langkah Awal Timbul Rasa Cinta Terhadap Tanah Air

Pimpinan Komisariat (PK) Ansor, IPNU dan Pagar Nusa menggelar apel kebangsaan. Kegiatan ini bertajuk “Merawat Warisan Nilai Luhur Pancasila”, di Yayasan Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ dipusatkan di Halaman Asrama Pusat, Kertajaya, Kec. Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat 43282 pada Kamis (16/09/2022) Sore.

Ketua PK Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri, Aditya Nugraha, sebenarnya konsep awal dari apel kebangsaan ini untuk memperingati jasa para pahlawan, seiring berjalannya waktu lalu muncul ide baru perihal apel kebangsaan ini akan dilaksanakan satu bulan sekali di hari kamis sore.

Beliu menjelaskan bahwa dengan dilaksanakannya setiap bulan akan menambah kedisiplinan serta untuk mencintai bangsa dan negara sendiri dan kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabdikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa.

Dokumentasi Foto Apel Kebangsaan

Salah satu ayat Al-Qur’an yang menjadi dalil cinta tanah air menurut penuturan para ahli tafsir adalah Qur’an surat Al-Qashash ayat 85;

إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ

Artinya: “Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali.” (QS. Al Qashash: 85)

Selanjutnya, ayat yang menjadi dalil cinta tanah air menurut ulama yaitu Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 66.

وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِم أَنِ اقْتُلُوْا أَنْفُسَكم أَوِ أخرُجُوا مِن دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوْه إِلَّا قليلٌ منهم

Artinya: “Dan sesungguhnya jika seandainya Kami perintahkan kepada mereka (orang-orang munafik): ‘Bunuhlah diri kamu atau keluarlah dari kampung halaman kamu!’ niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka…” (QS. An-Nisa’: 66).

Berikut ini adalah hadits-hadits yang menjadi dalil cinta tanah air menurut penjelasan para ulama ahli hadits, yang dikupas tuntas secara gamblang:

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَنَظَرَ إِلَى جُدُرَاتِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ نَاقَتَهُ وَإِنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا ……. وَفِي الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ عَلَى فَضْلِ الْمَدِينَةِ وَعَلَى مَشْرُوعِيَّة حُبِّ الوَطَنِ والحَنِينِ إِلَيْهِ

Artinya: “Diriwayatkan dari sahabat Anas; bahwa Nabi SAW ketika kembali dari bepergian, dan melihat dinding-dinding madinah beliau mempercepat laju untanya. Apabila beliau menunggangi unta maka beliau menggerakkanya (untuk mempercepat) karena kecintaan beliau pada Madinah. (HR. Bukhari, Ibnu Hibban, dan Tirmidzi).

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa cinta tanah air memiliki dalil yang bersumber dari Qur’an dan Hadits. Terakhir, penulis ingin mengemukakan doa cinta tanah air yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim as yang difirmankan Allah SWT dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 126:

رَبِّ ٱجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا ءَامِنًا وَٱرْزُقْ أَهْلَهُۥ مِنَ ٱلثَّمَرَٰتِ مَنْ ءَامَنَ مِنْهُم بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ

“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian”

Pewarta: Dimas Pamungkas