Jejak Emas Muslimah Nusantara: Dari Dapur Dakwah Hingga Singgasana Kekuasaan

Perjalanan Islam di Nusantara tak bisa dilepaskan dari peran perempuan. Mereka bukan hanya penjaga rumah tangga, tetapi juga penjaga cahaya ilmu dan iman. Dalam sunyi mereka mendidik, dalam gelap mereka menerangi, dan dalam sejarah mereka menorehkan tinta emas perjuangan yang tak lekang oleh zaman.

Salah satu sosok yang patut dikenang adalah Nyai Ageng Manila, istri dari Sunan Ampel. Dari rahim pendidikannya, lahirlah dua bintang Walisongo: Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Tak hanya menjadi ibu, ia adalah madrasah pertama yang melahirkan mujahid dakwah bagi Nusantara.

Lalu, ada Nyai Ageng Gede Pinatih binti Sayyid Pandhita, keponakan Sunan Ampel, perempuan tangguh yang menjabat sebagai syahbandar pelabuhan Gresik. Ia bukan hanya pelaut dagang, tapi pelaut iman, yang mengangkat Sunan Giri sebagai anak angkatnya. Berkat gemblengan dan kasih sayangnya, Sunan Giri tumbuh menjadi ulama besar, bahkan memimpin majelis Walisongo pasca wafatnya Sunan Ampel. Dakwahnya meluas hingga Nusa Tenggara, Sumatra, dan Sulawesi — meninggalkan jejak lewat para muridnya seperti Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Patimang, dan Datuk Ri Tiro.

Tak kalah mulia, Nyai Ageng Malokah, putri Sunan Ampel yang menggantikan suaminya menjadi Adipati Lasem, tampil sebagai pemimpin dan pendakwah. Ia bersinergi dengan adiknya, Sunan Bonang, menyebarkan Islam lewat Pesantren Bonang-Binangun. Dari lembaga itu, ajaran Islam menyeberang pulau: Madura, Bawean, Kalimantan, hingga Ternate.

Di ujung barat, sejarah mencatat satu kisah agung dari tanah rencong: Kesultanan Aceh Darussalam, yang dipimpin oleh empat sultanah berturut-turut. Dimulai dari Sulthanah Shafiatuddin Syah (1644–1675), putri Sultan Iskandar Muda, yang memerintah selama 34 tahun penuh gemilang. Lalu disusul oleh putrinya, Sulthanah Nurul Alam, kemudian Sulthanah Inayah Zakiyatuddin Syah, dan terakhir Sulthanah Kamalat Syah.

Pada masa mereka, Kesultanan Aceh bersinar bagaikan permata Islam di Asia Tenggara. Turki Utsmani bahkan menganugerahi gelar “Serambi Makkah” karena semarak dakwah dan pusat keilmuan yang tumbuh pesat. Tak hanya ulama laki-laki seperti Syaikh Abdurrauf al-Singkeli atau Syaikh Yusuf al-Maqassari yang bersinar, tetapi juga para perempuan: Si Nyak Bunga, Munabinah, Siti Cahaya, hingga Si Mawar—semuanya menjadi bagian penting pemerintahan.

Perempuan, dalam sejarah Islam Nusantara, bukanlah bayang-bayang lelaki. Mereka adalah cahaya yang bersinar sendiri. Dalam ranah dakwah, kekuasaan, bahkan ilmu pengetahuan, mereka menunjukkan bahwa Islam bukan membelenggu, tapi justru membuka jalan. Islam mengizinkan perempuan memimpin, selama itu tidak melanggar syariat-Nya.

Sayangnya, citra ini sempat buram karena propaganda kaum orientalis seperti Snouck Hurgronje, yang menyebarkan anggapan bahwa perempuan Muslim hanya mencapai baligh setelah menikah. Bahkan RA Kartini, dalam kegelisahan dan pencariannya terhadap ilmu, sempat mempertanyakan batasan ini.

Namun sejarah membantahnya dengan fakta. Bahwa Islam—di tangan para ulama Nusantara—memberikan ruang seluas-luasnya bagi perempuan untuk berkarya. Tidak hanya di dapur atau ruang tamu, tapi juga di singgasana, masjid, pelabuhan, pesantren, dan medan juang.

Warisan mereka tak selesai di situ. Jejak itu diteruskan oleh para tokoh seperti Cut Nyak Dien, Syaikhah Fathimah al-Palimbani, Syaikhah Rahmah El-Yunusiyah, hingga Syaikhah Khairiyah Hasyim. Suara mereka menggema dari kampung halaman hingga Al-Azhar Mesir dan tanah Haramain.

Maka tak layak lagi perempuan dipandang sebelah mata. Karena sejarah telah membuktikan: Islam, di bumi Nusantara, telah lama membesarkan perempuan.

*Artikel redaksi ini bersumber dari buku Amirul Ulum, Nyai Khoiriyah Hasyim Asy’ari Pendiri Madrasah Kuttabul Banat di Haramain



Pewarta: M Wildan Musyaffa 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *