Islam Menjunjung Tinggi Nilai Kemanusiaan
Bagikan ini :

Fenomena menggelisahkan kehidupan beragama akhir-akhir ini, berimbas pada kekhawatiran keretakan sosial berbangsa dan bernegara. Apa itu?, adalah rentetan peristiwa manifestasi nilai-nilai agama yang berujung pada doktrin kebenaran sepihak. Fakta yang masih hangat adalah rentetan peristiwa bom bunuh diri yang diyakini bagian dari perintah agama, yakni Jihad fi Sabilillah.

Pada fenomena lain adalah gencarnya dakwah nilai agama melalui media sosial yang banyak mengandung konten radikalisme dan fundamentalisme. Banyak konten dakwah yang cenderung kepada doktrin kebenaran sepihak, bukan “maslahah ammah”, cendrung membenarkan dan memaksakan untuk pendapatnya diakui benar dan diikuti kebenarannya. Padahal pendapat itu belum teruji secara empiris dalam situasi dan kondisi tertentu. Ini semakin memperkuat salah satu keterangan dalam Al-Qur’an bahwa tanda perpecahan adalah ketika setiap golongan merasa paling benar, “Kullu Hizbin Bimaa Ladaihim Farihuun”.

Lantas ada apa dengan cara beragama mereka yang mengatasnamakan “jihadis” agama? Bukankah semua agama mengajarkan nilai kemanusiaan?. Kendala apa yang menghambat pemahaman mereka sampai pada rasa cinta kepada Tuhannya yang dibuktikan dengan cinta kepada sesamanya?, Dalam ajaran Islam misalnya, jelas memerintahkan membangun hubungan baik kepada Allah dan manusia sesamanya.

Padahal jika diperhatikan secara etimologis kata agama berasal dari bahasa sanskerta. Kata ini tersusun dari kata A dan Gama. A yang berarti tidak dan sedangkan Gama berarti berjalan atau berubah. Jadi agama berarti tidak berubah. Demikian juga menurut H. Muh. Said. sejalan pendapat itu Harun Nasution juga mengemukakan, bahwa agama berasal dari bahasa sanskrit. Menurutnya, satu pendapat mengatakan bahwa kata itu tersusun dari dua kata yaitu A = tidak, dan Gama = Pergi. Dengan demikian agama berarti tidak pergi atau tetap di tempatnya.

Sementara itu K.H. Zainal Arifin Abbas dan Sidi Gazalba , berpendapat bahwa istilah agama dan religi serta Al Din itu berbeda-beda antara satu dan lainnya. Masing-masing mempunyai pengertian sendiri. Lebih jauh lagi, Gazalba menjelaskan bahwa Al-din lebih luas pengertian nya dari pada pengertian agama dan religi. Agama dan religi hanya berisi ajaran yang menyangkut aspek hubungan antara manusia dan tuhan saja. Sedangkan al-din berisi dan memuat ajaran yang mencakup aspek hubungan antara manusia dan tuhan dan hubungan sesama manusia.

Terminologi dasar agama dari pengertian agama, semuanya mengarah pada keteraturan, keharmonisan, perdamaian, serta kebahagiaan dunia dan akhirat. Lantas mengapa masih ada “oknum” ingin membunuh saudaranya atas nama agama?, hanya karena berbeda Tuhan, kenapa atas nama jihad ada yang rela melakukan aksi bom bunuh diri untuk mencelakai orang lain atau kelompok agama lain?.

Lantas bagaimana terminologi agama Islam melihat esensi beragama?, Ini perlu dipahami karena para jihadis selalu mengatasnamakan nilai Islam dalam setiap aksinya. Berdasarkan ilmu bahasa (Etimologi) kata ”Islam” berasal dari bahasa Arab, yaitu kata salima yang berarti selamat, sentosa dan damai. Dari kata itu terbentuk kata aslama, yuslimu, islaman, yang berarti juga menyerahkan diri, tunduk, patuh, dan taat.

Dari definisi agama Islam di atas jelas mengarah kepada kesimpulan bahwa Islam menghadirkan keselamatan, kedamaian, dan tuntunan hidup dunia dan akhirat melalui teladan Rasulullah SAW. Jika teladan kita ada Rasulullah SAW, maka dipastikan tidak ada model jihad yang diyakini para ‘jihadis’ sekarang. Rasullullah mengutamakan kemaslahatan, menolak kemadhorotan, beliau mampu mendudukkan Agama dan Negara secara berdampingan, saling menyempurnakan dalam bentuk “Piagam Madinah”.

Lantas kenapa para ‘jihadis’ atas nama ajaran Islam, pola implementasi keagamaannya tidak sampai pada filosofi dasar agama dan Islam?, Bukankah di Islam terdapat tahapan konsep implementasi ajaran Islam yang mengarahkan kematangan seseorang dalam menjalankan ajaran Islam?, Misalnya konsep Islam, Iman, dan Ihsan, atau konsep syariah, hakikat, dan ma’rifat, atau dalam perspektif tasawuf ada tingkatan perjalanan takholli, takholli dan tajalli.

Nampaknya, memang mungkin mereka para ‘jihadis’, memilki pemahaman dan pola implementasi ajaran Islamnya berhenti pada tahapan Islam, syari’ah, dan takholli. Sehingga tidak dapat menemukan ‘rasa esensial’ dalam membangun hubungan dengan Allah SWT dalam praktek ritual ibadah, yang seharusnya menumbuhkan jiwa humanis dan harmonis pada sesamanya (hablun minannas).

Bukankah Allah SWT telah menjelaskan bahwa orang-orang mukmin merupakan penolong bagi sebagian yang lain. “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana” (Q.S. At-Taubah:71).

 

Ayat ini menguatkan kareteristik orang-orang beriman yang menjadi penolong bagi sebagian yang lain yang dapat diwujudkan dalam 3 hal:

Pertama, orang-orang yang beriman selalu berusaha bersinergi, berkolaborasi dan saling menolong antara sesama orang-orang yang beriman, atas dasar keimanan, kebajikan, dan ketakwaan.

Kedua, orang-orang yang beriman selalu berusaha melakukan amar makruf dan nahi mungkar, memelopori kegiatan yang bermanfaat bagi kehidupan umat dan bangsa.

Ketiga, orang-orang yang beriman selalu berusaha menguatkan tauhid dengan menegakkan shalat dan solidaritas kemanusiaan dengan menunaikan zakat, infak, dan sedekah.

 

Sebagai penguatan bahwa atas nama apapun jihad dengan bunuh diri atau membunuh orang lain yang dalam kekuasaan pemimpin Islam tidak dibenarkan. Dari penjelasan Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah dalam kitab beliau Bi ayyi ‘aqlin wa diinin yakuunu tafjir wa tadmir jihaadan?! Waihakum, … Afiiquu yaa syabaab!! (artinya: Menurut akal dan agama siapa; tindakan pengeboman dan penghancuran dinilai sebagai jihad?! Sungguh celaka kalian… Sadarlah hai para pemuda!!)

Jika pandangan para jihadis adalah menagakkan ajaran Allah melalui teladan Rasulullah SAW, maka sesungguhnya Rasul mengharamkan pola jihad yang demikian. Membunuh orang kafir dzimmi, mu’ahad, dan musta’man (orang-orang kafir yang dilindungi oleh pemerintah muslim), adalah perbuatan yang haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Barangsiapa yang membunuh jiwa seorang mu’ahad (orang kafir yang memiliki ikatan perjanjian dengan pemerintah kaum muslimin) maka dia tidak akan mencium bau surga, padahal sesungguhnya baunya surga bisa tercium dari jarak perjalanan 40 tahun.” (HR. Bukhari).

Allah dan Rasul-Nya juga memastikan bahwa bunuh diri atas motif apapun bukan jihad. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah Maha menyayangi kalian.” (QS. An-Nisaa’: 29)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bunuh diri dengan menggunakan suatu alat/cara di dunia, maka dia akan disiksa dengan cara itu pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari berbagai uraian mendasar tentang agama, Islam, tuntunan Al-Qur’an, dan teladan Rasulullah SAW jelas sekali bahwa esensi ajaran agama Islam penuh dengan nilai kemanusiaan. Menghindari kemafsadatan diutamakan, dari pada mendapatkan kemaslahatan. “dar’ul mafasid muqoddamun ala jalbil masholikh”.

Pemahaman ajaran agama yang dangkal merimplikasi pada implementasinya yang tidak bisa menyentuh pada ranah Ihsan. Ajaran agama Islam yang seharusnya menjadi pendamai, umat Islam yang seharusnya menjadi “ummatan wasathon”, karena ulah oknum jihadis berubah menjadi doktrin fundamental yang menyeramkan. Sangat jelas tercermin dalam pola doktrin mereka yang memutar balikkan esensi ayat Allah “barang siapa tidak menggunakan hukum seperti yang diturunkan Allah, maka sesungguhnya mereka adalah termasuk orang-orang kafir”, bagi mereka yang tidak menggunakan hukum Islam, menurut para jihadis adalah thogut. Akhirnya menurut mereka, semua kafir dan thogut harus dibunuh. Padahal jelas Islam memberikan tuntunan dakwah secara bertahap dengan isyarat ayat “ud’u Ilaa sabili rabbika bil hikmati wa mau’idzotil hasanah”, pada ayat lain disebutkan “wajaadilhum billati hiya ahsan”, dan berdakwahlah dengan cara yang bijaksana dan pitutur yang baik.

Walhasil, melalui narasi kegelisahan atas sikap orang yang beragama, tapi tidak menunjukkan nilai kemanusiaan dalam kehidupan sosialnya, mestinya harus muhasabah ulang, apa yang salah dalam memahami ajaran agama?, sudah sampai mana tahapan pemahaman dan amaliyah ajaran agama yang diyakininya?, Jika sudah Islam dan Iman, maka menyempurnakan untuk sampai tahap Ihsan menjadi penting. Karena dengan pemahaman ajaran agama Islam yang komprehensif akan berbuah pada manifestasi nilai kemanusiaan dalam beragama.

Jalur menuju tahapan Ihsan untuk menghadirkan nilai kemanusiaan bisa dilakukan dengan pendalaman ajaran agama Islam tidak sekedar tekstual, tapi juga harus kontekstual. Kebenaran yang diyakini harus diuji secara empiris dan historis, sehingga keberadaannya menjadi “sholihun fi kulli zamanin wa makanin”, adaptif dalam semua waktu dan tempat. Referensi keyakinan dan kebenaran harus diteliti orisinalitas matan dan perawinya dari segala perspektif baik dari keilmuan, maupun pola implementasi amaliyah keagamaanya. Akhirnya, yakinlah bahwa memunculkan nilai kemanusiaan dalam beragama adalah bagian dari menjaga kelestarian dan menegakkan ajaran agama.

Mari kita selalu panjatkan doa agar kita tetap menjadi manusia yang berbudi luhur, manusia yang menghormati kemanusiaan dirinya dan orang lain, dan manusia yang berserah diri kepada Allah. Semoga Allah selalu membimbing kita semua untuk tetap dalam jalan keridhaan-Nya.

 

Penulis: Raisya Audyra

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *