Hubungan Tasawuf Dengan Ilmu Lain

AlMusriPusat.ID – HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU LAIN; KALAM, FILSAFAT, FIKIH, DAN PSIKOLOGI AGAMA, SERTA KAITANNYA DENGAN TAREKAT.

Memadukan antara tasawuf, Ilmu Kalam, filsafat, fiqih, dan Ilmu Kalam sebagai satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan merupakan dengan tujuan pemahaman terhadap masalah keagamaan dapat dipahami dan dimengerti secara utuh. Sehingga hal itu bisa mengimplementasikan makna-makna yang terkandung dalam ajaran tasawuf dan memberikan penjelasan secara tepat terhadap istilah-istilah yang dapat menimbulkan kesalahpahaman seperti zuhud, hubbuddun-ya (cinta dunia) dan lainlainnya serta memberikan interpretasi baru yang sesuai dengan prinsip prinsip nilai Ilahiyah yang lurus.

A. Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Kalam

Nama lain dari Ilmu Kalam adalah Ilmu Ushuluddin, Ilmu Tauhid, dan Ilmu Aqidah; di dalamnya dibicarakan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan, dengan diiringi dasar-dasar argumentasi aqliyah dan naqliyah.

Dalam kaitan antara Ilmu Kalam dan Ilmu Tasawuf keduanya mempunyai fungsi sebagai berikut:

Pertama, sebagai pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam lewat hati (dzauq dan wijdan) terhadap Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam menjadikan ilmu ini lebih terhayati dan teraplikasikan dalam prilaku. Dengan demikian, Ilmu Tasawuf merupakan penyempurna Ilmu Tauhid jika dilihat dari sudut pandang bahwa Ilmu Tasawuf merupakan sisi terapan rohaniah dari Ilmu Tauhid.

Kedua, berfungsi sebagai pengendali Ilmu Tasawuf. Jika timbul suatu aliran yang bertentangan dengan akidah yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah maka itu merupakan penyimpangan dan harus ditolak.

Ketiga, berfungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam perdebatan-perdebatan kalam. Jika tidak diimbangi dengan kesadaran rohaniah, Ilmu Kalam dapat bergerak ke arah yang lebih liberal dan bebas. Di sinilah Ilmu Tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah sehingga Ilmu Kalam tidak dikesani sebagai dialektika ke-Islam-an belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan secara qalbiyah(hati).

B. Hubungan Tasawuf dengan Filsafat

Filsafat landasan pemikirannya dengan logika, sedangkan tasawuf landasannya dengan hati sanubari. Dalam filsafat penuh dengan tanda tanya. Apa, bagaimana, dari mana, dan apa sebab? Sedangkan dalam tasawuf tidak mempertanyakan. Sehingga orang yang tidak memasuki alam tasawuf dengan sendirinya tidaklah akan turut merasa apa yang mereka rasai (dalam keyakinan pemikirannya). Bahkan bagi kaum sufi, kuasa perasaan itu lebih tinggi dari kuasa kata-kata. Mereka tidak tunduk kepada susunan huruf dan bunyi suara. Bukankah kata-kata itu hanya dapat menunjukkan sebagian saja dari makna yang dimaksud? Dengan filsafat orang mengetahui makna pemahamannya.

Oleh karena itu, menjadi tinggi martabat tasawuf kalau diiringi dengan pengetahuan dan mempunyai keahlian berfilsafat. Dalam hal ini sebagai figurnya adalah Imam Ghazali, Suhrawardi, Ibnu Arabi. Sehingga menjadi kacau dan rancu kalau tasawuf dimiliki oleh orang yang tidak mempunyai dasar ilmu pengetahuan. Dengan demikian jelas hubungan tasawuf dan filsafat sangat berkaitan.

C. Hubungan Tasawuf dengan Fiqih

Ilmu Fiqih berkaitan dengan amalan syari’at, sedangkan tasawuf berkaitan dengan batiniyah. Dengan syari’at kita dapat ta’at menuruti peraturan-peraturan Tuhan (agama). Dengan tasawuf kita dapat merasakan dalam batin kita dan mengenal Tuhan, untuk siapa dipersembahkan amal ibadah kita, dan sebagai pengawas jiwa untuk khusyu’ kepada-Nya. Tasawuf selain sebagai naluri manusia, maka ia juga merupakan olah batin serta olah rasa (dzauq) untuk semata-mata mencapai keridloan Tuhan.

Dikarenakan kaum fiqih semata-mata berfikir, dan kaum sufi mengutamakan rasa terkadang bersebrangan. Maka ada kemungkinan terjadi pertentangan, karena berbeda latar belakang pemikirannya. Padahal para pemimpin tasawuf yang besar dan dalam pemahamannya memandang bahwasanya gabungan antara ilmu batin dengan ibadat yang lahir itu adalah puncak kebahagiaan dari tasawuf. Tasawuf adalah pakaian hati di dalam melaksanakan amal ibadat, rukun, dan syari’at. Dan pada puncaknya seorang ahli tasawuf yang sejati menjunjung tinggi syari’at dan menurutinya dengan tidak banyak tanya; demikian juga para ulama fiqih berusaha untuk mengimplementasikannya sesuai dengan syari’at.

D. Hubungan Tasawuf dengan Psikologi Agama

Psikologi agama mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya dalam penela’ahan kajian empiris. Dalam hubungan ini, ternyata agama terbukti mempunyai peranan penting dalam mempengaruhi jiwa. Oleh karenanya metode yang digunakan dalam penelitian Ilmu Jiwa agama tidak berbeda dengan metode ilmiyah yang dipakai oleh cabang-cabang Ilmu Jiwa agama.

Ketika seseorang dalam prilaku kehidupan keberagamaannya baik dan sesuai dengan ketentuan nilai-nilai Ilahiyah, maka ada kemungkinan dalam tingkat spiritual keagamaannya tinggi. Inilah hasil dari implementasi dan aplikasi ke-tasawuf-annya.

Dalam hal ini kejiwaan seseorang berpengaruh besar dalam kehidupan spiritual dan tingkah laku dalam pergaulannya. Berarti antara ke-sufi-an dan psikologi agama sangat berkaitan. Dan bukan hal yang tidak mungkin para sufi adalah pakar ilmu jiwa sekaligus dokter jiwa. Hubungan ini tentunya dalam implementasi ilmu jiwa yang dimaksud adalah sentuhan-sentuhan rohani ke-Islam-an.

 E. Kaitan antara Tasawuf dan Tarekat

Tarekat adalah jalan atau petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dicontohkan oleh Nabi dan sahabatnya. Tarekat juga berarti organisasi yang mempunyai syaikh, upacara ritual dan dzikir tertentu.

Pada dasarnya tarekat merupakan bagian dari tasawuf, karena tujuan dzikir adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT dan pada akhirnya merupakan penyucian jiwa (tazkiyatunnafs). Penyucian jiwa adalah inti dari kandungan tasawuf

Kajian tasawuf tidak dapat dipisahkan dengan praktek ‘ubudiyah dan mu’amalahdalam tarekat. Walaupun kegiatan tarekat sebagai sebuah institusi lahir belasan abad sesudah contoh konkrit pendekatan terhadap Allah SWT yang telah diberikan oleh Rasul-Nya (Nabi Muhammad SAW), antara lain dengan ber-tahannusdi Guwa Hiro, qiyamullail, dzikir, dan sebagainya. Untuk kemudian diteruskan oleh sebagian sahabatterdekat beliau, tabi’in, tabi’ tabi’in, diteruskan dengan lahirnya para waliyullah abad demi abad hingga masa sekarang ini.

Garis yang menyambung sejak masa nabi SAW hingga syekh tarekat yang hidup saat ini telah disebutkan silsilah yang saling sambung menyambung sebagai sebuah ciri khas yang terdapat dalam ilmu tasawuf (istilah isnaddalam Ilmu Hadits). Tradisi ini memungkinkan ajaran dan praktek keagamaannya hidup subur dan survive.

Dengan banyaknya nama-nama tarekat, ternyata tidak menjadi halangan untuk menyebar luaskan masing-masing ke penjuru dunia. Jaringan sufi dan gerakannya baik melalui perdagangan maupun variasi aspirasi politik mereka tidak menjadikannya lupa terhadap misi utama tasawuf dan tarekat mereka, yakni mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Sang Maha Pencipta Alam Semesta. Demikian juga berusaha tekun beribadah dan menghindari terpedaya/terlena dengan gemerlap duniawi kemudian berusaha untuk berjalan menuju Tuhan dalam khalwat dan ibadah.

PENUTUP

Akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan bermacam-macam perbuatan yang mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Objek kajiannya adalah perbuatan manusia dan norma (aturan) yang dijadikan untuk mengukur perbuatan dari segi baik dan buruk. Pembentukannya secara integral melalui rukun iman dan rukun Islam.

Rukun Iman bertujuan tumbuhnya keyakinan akan ke-esaan Tuhan (unity of God) dan kesatuan kemanusiaan (unity of human beings). Kesatuan kemanusiaan menghasilakn konsep kesetaraan sosial (social equity). Rukun Islam menekankan pada aspek ibadah yang menjadi sarana pembinaan akhlak, karena ibadah memiliki fungsi sosial.

Dalam menghadapi problematika kehidupan, diantara caranya adalah dengan mengembangkan kehidupan yang berakhlak dan bertasawuf. Untuk pengkajiannya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari penelitian dan pengembangan dalam Ilmu Pengetahuan Agama Islam.

Oleh karena itu dalam pengembangannya diperlukan untuk mengembalikan kembali dalam kajian-kajian akhlak tasawuf Islami ke sumber yang pokok yaitu Al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabawi. Kemudian menghilangkan praktek-praktek yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

Dengan demikian sudah semestinya kajian-kajian tentang akhlak dan tasawuf  perlu diajarkan dalam lembaga-lembaga pendidikan formal, informal, dan non-formal. Untuk itu dalam pendidikan dan pengajarannya disesuaikan dengan tingkat pemahaman dan kemampuannya sesuai dengan jenjang pendidikannya.

________________________________________________

Abdul Khalik, Syekh Abdur Rahman, 2001,Penyimpangan-penyimpangan Tasawuf.Terj., Rabbani Press, Jakarta, Cet. I.

Abdullah, M. Yatimin 2008, Studi Akhlak dalamPerspektif Al-Qur’an. Amzah, Jakarta. Cet. II.

Abdul Mu’in, 1975,Ikhtisar Ilmu Tauhid. Jaya Murni, Jakarta.

Abdul Ghani, Syekh, tt.,Intisari Ajaran Syekh Abdul Qadir Jailani. Pustaka Media, Surabaya.

Abu Zahroh, Muhammad, 1991, HakikatAqidah Qur’an.Terj. Pustaka Progressif, Surabaya.

Aceh, Abu Bakar, 1986, Salaf :Islamdalam Masa Murni. Ramadhani, Solo.

——-, 1995, Pengantar Ilmu TarekatKajian Historis tentang Mistik. Ramadhani, Solo. Cet. XI.

Ahmad, M. Athoullah, 2007, Antara Ilmu Akhlak dan Tasawuf. Sengpho, Serang. Cet. I.

Ahmad, Abu Husain, 1969, Mu’jam Maqdiyis al-Lughah.Mushthafa alHalaby, Kairo.

A. Ghani, Bustami dan Chatibul Umam (editor), Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Al-Qur’an. Litera Antar Nusa, Jakarta.

________________________________________________

Pewarta: Siti Lidiana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *