Puasa Muharram, Niat, Tata Cara, dan Keutamaannya

Puasa Muharram adalah puasa yang dilakukan di bulan Muharram, bulan pertama dalam kalender Hijriah. Hukum puasa Muharram adalah sunnah, bahkan lebih utama dari puasa bulan Sya’ban yang paling sering dipuasai oleh Nabi Muhammad saw. Beliau bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعدَ الفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ. (رواه مسلم)

Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: ‘Rasulullah saw bersabda: ‘Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, Muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” (HR Muslim).

Imam an-Nawawi menjelaskan, hadits shahih ini merupakan dalil sharîh atau sangat jelas yang menunjukkan kesimpulan hukum bahwa bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah Ramadhan adalah Muharram. Selain itu, meskipun Nabi Muhammad saw memang lebih banyak berpuasa di bulan Sya’ban, namun hal itu tidak menafikan keutamaan Muharram daripada Sya’ban. Sebab bisa jadi Nabi saw baru diberi tahu keutamaan Muharram yang melebihi Sya’ban di masa-masa akhir hidupnya, atau bisa jadi Nabi saw sudah mengetahuinya namun tidak sempat memperbanyak puasa di bulan Muharram karena berbagai halangan, seperti sakit bepergian, dan semisalnya (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Minhâj Syarhun Shahîh Muslim bin al-Hajjâj, [Bairut, Dârul Ihyâ-it Turâtsil ‘Arabi, 1392 H], cetakan kedua, juz VIII, hal. 55).

Dari sini diketahui, dalam bulan Muharram semakin banyak berpuasa maka semakin baik. Bisa puasa sehari, dua hari, tiga hari, atau bahkan sepanjang Muharram apabila memang tidak memberatkan. Di luar itu, hari-hari bulan Muharram yang lebih utama untuk dipuasai berdasarkan hadits dan penjelasan ulama adalah 10 hari pertama Muharram—termasuk di dalamnya hari Tasu’a (9 Muharram), hari ‘Asyura (10 Muharram)—dan tanggal 11 Muharram. (An-Nawawi, al-Minhâj Syarhu Shahîh, juz VIII, hal. 55; Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatâwal Kubrâl Fiqhiyyah, [Dârul Fikr], juz II, hal. 54; Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi, Nihâyatuz Zain fî Irsyâdil Mubtadi’în, [Bairut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah, cetakan pertama: 1422 H/2002 M], hal. 192; dan Abdullah Abdirrahman Bafadhal al-Hadlrami, al-Muqaddimatul Hadlramiyyah, [Damaskus, ad-Dârul Muttahidah: 1413 H], hal. 139).

 

Mengapa Puasa Muharram Penting?

Hikmah puasa Muharram sebagai puasa yang paling utama setelah Ramadhan sangat banyak. Di antaranya, karena Muharram merupakan awal tahun Hijriah maka sangat pantas dibuka dengan puasa yang merupakan amal paling utama. Imam al-Qurthubi mengatakan:

إِنَّمَا كَانَ صَوْمُ الْمُحَرَّمِ أَفْضَلَ الصِّيَامِ مِنْ أَجْلِ أَنَّهُ أَوَّلَ السَّنَةِ الْمُسْتَأْنَفَةِ، فَكَانَ اسْتِفْتَاحُهَا بِالصَّوْمِ الَّذِي هُوَ أَفْضَلُ الْأَعْمَالِ

Artinya, “Puasa Muharram menjadi puasa yang paling utama karena Muharram merupakan awal tahun baru, maka pembukaannya adalah dengan puasa yang merupakan amal paling utama.” (Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Dîbâj ‘ala Muslim, [Arab Saudi, Dârubnu ‘Affân, cetakan pertama: 1416 H/1996 M], juz III, hal. 251).

 

Keutamaan Puasa Muharram

Keutamaan puasa Muharram sangat banyak, yang di antaranya adalah lima keutamaan sebagaimana berikut:

Pertama, menjadi puasa yang paling utama, sebagaimana hadits riwayat Imam Muslim dalam awal tulisan.

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

Artinya: “Dari Ibnu Abbas RA bahwa Rasulullah SAW berpuasa pada hari Asyura dan menyuruh untuk berpuasa pada hari itu.” (HR. Muslim)

 

Kedua, termasuk dalam keutamaan berpuasa dalam bulan-bulan mulia atau asyhurul hurum. Diriwayatkan:

عَنِ الْبَاهِلِيِّ أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَنَا الرَّجُلُ الَّذِي أَتَيْتُكَ عَامَ الْأَوَّلِ. قَالَ: فَمَا لِي أَرَى جِسْمَكَ نَاحِلًا؟ قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ مَا أَكَلْتُ طَعَامًا بِالنَّهَارِ، مَا أَكَلْتُهُ إِلَّا بِاللَّيْلِ. قَالَ: مَنْ أَمَرَك أَنْ تُعَذِّبَ نَفْسَكَ؟ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أَقْوَى. قَالَ: صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ بَعْدَهُ وَصُمِ الْأَشْهُرَ الْحُرُمَ. (رَوَاهُ دَاوُدَ وَابْنِ مَاجَهْ وَغَيْرِهِمَا)

Artinya: “Diriwayatkan dari al-Bahili: ‘Aku mendatangi Rasulullah saw, lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, Aku adalah lelaki yang pernah mendatangimu pada tahun pertama?’ Rasulullah saw bersabda: ‘Dulu aku tidak melihat tubuhmu lemah?’ Al-Bahili menjawab: ‘Wahai Rasulullah, Aku tidak mengonsumsi makanan di siang hari, aku tidak memakannya kecuali di waktu malam.’ Rasulullah saw bersabda: ‘Siapa yang menyuruhmu menyiksa dirimu?’ Aku menjawab: ‘Wahai Rasulullah, sungguh Aku mampu berpuasa (terus-menerus).’ Rasulullah saw bersabda: ‘Puasalah bulan Sabar (Ramadhan) dan tiga hari setelahnya, dan puasalah pada bulan-bulan mulia’.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah dan selainnya).

 

Ketiga, puasa sehari dalam bulan Muharrram pahalanya sama dengan puasa 30 hari. Diriwayatkan:

عَنِ ابْنِ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَامَ يَوْمَ عَرَفَةَ كَاَن لَهُ كَفَارَةً سَنَتَيْنِ، وَمَنْ صَامَ يَوْمًا مِنَ الْمُحَرَّمِ فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ ثَلَاثُونَ يَوْمًا. (رواه الطبراني في الصغير وهو غريب وإسناده لا بأس به)

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: ‘Rasulullah saw bersabda: ‘Orang yang berpuasa pada hari Arafah maka menjadi pelebur dosa dua tahun, dan orang yang berpuasa sehari dari bulan Muharram maka baginya sebab puasa setiap sehari pahala 30 hari puasa’.” (HR at-Thabarani dalam al-Mu’jamus Shaghîr. Ini hadits gharîb namun sanadnya tidak bermasalah).  (Abdul Adhim bin Abdul Qawi al-Mundziri, at-Targhîbu wat Tarhîbu minal Hadîtsisy Syarîf, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah], juz II, hal. 70).

 

Keempat, khusus puasa hari Asyura pada tanggal 10 Muharram, maka akan menjadi pelebur dosa setahun yang telah lewat. Diriwayatkan:

عَنْ أَبي قَتَادَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صِيامِ يَوْمِ عَاشُوراءَ، فَقَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ المَاضِيَةَ. (رواه مسلم)

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Qatadah ra: sungguh Rasulullah saw bersabda pernah ditanya tentang keutamaan puasa hari Asyura, lalu beliau menjawab: ‘Puasa Asyura melebur dosa setahun yang telah lewat’.” (HR Muslim).

 

Kelima, khusus puasa Tasu’a pada 9 Muharram dan puasa 11 Muharram yang dijadikan pelengkap puasa Asyura pada 10 Muharram, menjadi pembeda umat Islam dengan umat Yahudi yang sama-sama berpuasa di hari Asyura. Diriwayatkan:

عَنِ ابْنِ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا مَرْفُوعًا: صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ، صُومُوا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ يَوْمًا بَعْدَهُ (رواه أحمد)

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra dengan status marfu (Rasulullâh bersabda): ‘Puasalah kalian pada hari Asyura dan bedakan dengan kaum Yahudi, puasalah kalian sehari sebelum atau sesudahnya’.” (HR Ahmad).

 

Di akhir hayat Rasullah saw memang suka membedakan ritual umat Islam dengan umat Yahudi. Dalam konteks ini al-Hafidh Ibnu Hajar mengatakan maka tingkatan puasa Asyura itu ada tiga: satu, puasa hari Asyura saja. Dua, puasa Asyura disertai puasa Tasu’a. Tiga, puasa Asyura disertai puasa Tasu’a dan puasa 11 Muharram. (Ahmad bin Ali bin Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bâri Syarhu Shahîhil Bukhâri, [Bairut, Dârul Ma’rifah: 1379 H], juz IV, hal. 245-246).

 

Baca juga:

12 Amalan Bulan Muharram 1445 H

Keutamaan Bulan dan Puasa Muharram

Keistimewaan Dan Sejarah Yang Terjadi Pada Bulan Muharram

 

Tata Cara Puasa Muharram

Puasa Muharram secara teknis dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Pertama, niat di hati. Niat puasa Muharram, baik secara umum maupun khusus puasa 10 hari awal Muharram, puasa Tasu’a, puasa Asyura, dan puasa 11 Muharram—sebagaimana puasa sunnah lainnya—dapat dilakukan dengan niat puasa mutlak, seperti: “Saya niat puasa,” atau dengan cara yang lebih baik sebagaimana berikut:

نَوَيْتُ صَوْمَ الْمُحَرَّمِ لِلّٰهِ تَعَالَى

Nawaitu shaumal Muharrami lilâhi ta’âlâ.

Artinya, “Saya niat puasa Muharram karena Allah ta’âlâ.”

 

Niat puasa Tasu’a secara lengkap:

نَوَيْتُ صَوْمَ تَاسُوعَاءَ لِلّٰهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma Tâsû’â-a lilâhi ta’âlâ.

Artinya, “Saya niat puasa Tasu’a karena Allah ta’âlâ.”

 

Niat puasa Asyura secara lengkap:

نَوَيْتُ صَوْمَ عَاشُورَاءَ لِلّٰهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma Âsyûrâ-a lilâhi ta’âlâ.

Artinya, “Saya niat puasa Asyura karena Allah ta’âlâ.”

 

Selain niat di dalam hati juga disunnahkan mengucapkannya dengan lisan. Sebagaimana puasa sunnah lainnya, niat puasa Muharram dapat dilakukan sejak malam hari hingga siang sebelum masuk waktu zawâl (saat matahari tergelincir ke barat), dengan syarat belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar atau sejak masuk waktu subuh. (Al-Malibari, Fathul Mu’în, juz II, hal. 223).

 

Kedua, makan sahur. Lebih utama makan sahur dilakukan menjelang masuk waktu subuh sebelum imsak.

Ketiga, melaksanakan puasa dengan menahan diri dari segala hal yang membatalkan, seperti makan, minum dan semisalnya.

Keempat, lebih menjaga diri dari hal-hal yang membatalkan pahala puasa seperti berkata kotor, menggunjing orang, dan segala perbuatan dosa. Rasulullah saw bersabda:

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعِ وَالْعَطَشِ (رواه النسائي وابن ماجه من حديث أبي هريرة)

Artinya, “Banyak orang yang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan kehausan.” (HR an-Nasa’i dan Ibnu Majah dari riwayat hadits Abu Hurairah ra). (Abul Fadl al-‘Iraqi, al-Mughni ‘an Hamlil Asfâr, [Riyad: Maktabah Thabariyyah, 1414 H/1995 M], juz I, hal. 186).

Kelima, segera berbuka puasa saat tiba waktu maghrib. (Ibrahim al-Bajuri, Hâsyiyyatul Bâjuri ‘alâ Ibnil Qâsim al-Ghazi, [Semarang, Thoha Putra], juz I, hal. 292-294).

 

Wallahu a’lam bishawwab.

 

Penulis: Raisya Audyra

 

Keistimewaan Dan Sejarah Yang Terjadi Pada Bulan Muharram

Dalam syariat islam, jumlah bulan dalam satu tahun ada 12 bulan, dimana diantara bulan-bulan tersebut terdapat empat keutamaan bulan yang dianggap istimewa atau bulan yang disucikan, yakni Zulqa’dah, keutamaan bulan Dzulhijjah, bulan Muharram dan keutamaan puasa Rajab. Mengapa demikian? Lalu bagaimana dengan bulan-bulan yang lain seperti ramadhan yang dianggap sebagai bulan yang paling suci?

Pada dasarnya setiap bulan memiliki kesamaan dan tidak ada perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Dan tentunya ada alasan-alasan khusus mengapa ke empat bulan yaitu Zulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan bulan Rajab dianggap sebagai bulan yang disucikan atau istimewa dalam islam

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 36 :

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

Artinya:

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”

Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalah bersabda :

إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ  وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى  وَشَعْبَانَ

Artinya:

“Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati : 3 bulan berturut-turut; Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram serta satu bulan yang terpisah yaitu Rajab Mudhar, yang terdapat diantara bulan Jumadil Akhir dan Sya’ban.” (HR. Bukhari  dan Muslim)

 

Asal Usul Bulan Muharram atau yang kita kenal dengan Asyura merupakan salah satu dari keempat bulan yang diistimewakan dalam islam, dimana itu adalah bulan yang pertama dalam penanggalan hijriah. Nama muharram secara bahasa artinya adalah diharamkan. Menurut Abu ‘Amr ibn Al ‘Alaa, dinamakan muharram karena  pada bulan tersebut diharamkan terjadinya peperangan (jihad).

Sementara dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir menyatakan bahwa “Dinamakan bulan Muharram karena bulan tersebut memiliki banyak keutamaan dan kemuliaan, bahkan bulan ini memiliki keistimewaan serta kemuliaan yang sangat amat sekali dikarenakan orang arab tempo dulu menyebutnya sebagai bulan yang mulia (haram), tahun berikutnya menyebut bulan biasa (halal).”

Jadi bisa dikatakan bahwa Keutamaan Bulan Muharram adalah bulan yang diberkahi dan diagungkan. Selain itu, sangat bagus untuk melaksanakan puasa sunnah pada bulan muharram.

Puasa Muharram adalah puasa yang dilakukan di bulan Muharram, bulan pertama dalam kalender Hijriah. Hukum puasa Muharram adalah sunnah, bahkan lebih utama dari puasa bulan Sya’ban yang paling sering dipuasai oleh Nabi Muhammad saw. Beliau bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعدَ الفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ. (رواه مسلم)

Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: ‘Rasulullah saw bersabda: ‘Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, Muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” (HR Muslim)

 

Imam an-Nawawi menjelaskan, hadits shahih ini merupakan dalil sharîh atau sangat jelas yang menunjukkan kesimpulan hukum bahwa bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah Ramadhan adalah Muharram. Selain itu, meskipun Nabi Muhammad saw memang lebih banyak berpuasa di bulan Sya’ban, namun hal itu tidak menafikan keutamaan Muharram daripada Sya’ban. Sebab bisa jadi Nabi saw baru diberi tahu keutamaan Muharram yang melebihi Sya’ban di masa-masa akhir hidupnya, atau bisa jadi Nabi saw sudah mengetahuinya namun tidak sempat memperbanyak puasa di bulan Muharram karena berbagai halangan, seperti sakit bepergian, dan semisalnya. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Minhâj Syarhun Shahîh Muslim bin al-Hajjâj, [Bairut, Dârul Ihyâ-it Turâtsil ‘Arabi, 1392 H], cetakan kedua, juz VIII, hal. 55)

Dari sini diketahui, dalam bulan Muharram semakin banyak berpuasa maka semakin baik. Bisa puasa sehari, dua hari, tiga hari, atau bahkan sepanjang Muharram apabila memang tidak memberatkan. Di luar itu, hari-hari bulan Muharram yang lebih utama untuk dipuasai berdasarkan hadits dan penjelasan ulama adalah 10 hari pertama Muharram—termasuk di dalamnya hari Tasu’a (9 Muharram), hari ‘Asyura (10 Muharram)—dan tanggal 11 Muharram. (An-Nawawi, al-Minhâj Syarhu Shahîh, juz VIII, hal. 55; Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatâwal Kubrâl Fiqhiyyah, [Dârul Fikr], juz II, hal. 54; Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi, Nihâyatuz Zain fî Irsyâdil Mubtadi’în, [Bairut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah, cetakan pertama: 1422 H/2002 M], hal. 192; dan Abdullah Abdirrahman Bafadhal al-Hadlrami, al-Muqaddimatul Hadlramiyyah, [Damaskus, ad-Dârul Muttahidah: 1413 H], hal. 139)

Selain dianjurkannya untuk berpuasa sunah, lalu apa saja keistimewaan dan keutamaan bulan muharram tersebut?

 

  1. Salah satu bulan yang disucikan

Muharam merupakan salah satu bulan yang disucikan bagi umat islam, dimana dalam bulan tersebut Allah mengharamkan bagi umat islam untuk melakukan kedzaliman atau perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah SWT seperti membunuh atau berperang.

Seorang ahli tafsir bernama Qatadah bin Di’amah Sadusi rahimahulloh pernah berkata:

“Amal sholeh lebih besar pahalanya jika dikerjakan di bulan-bulan haram sebagaimana kezholiman di bulan-bulan haram lebih besar dosanya dibandingkan dengan kezholiman yang dikerjakan di bulan-bulan lain meskipun secara umum kezholiman adalah dosa yang besar”.

Perkataan tersebut mengartikan bahwa apabila pada bulan-bulan haram seperti bulan muharram manusia melakukan kedzaliman seperti berperang atau membunuh, maka ia akan mendapatkan dosa yang berlipat ganda dari Allah SWT. Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT dalah Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 36 di atas.

 

  1. Terjadi berbagai peristiwa penting dalam bulan tersebut

Tanggal 1 Muharram merupakan hari dimana Khalifah Umar Bin Khatab membuat penetapan kiraan bulan dalam hijrah untuk pertama kalinya.

Pada tanggal 10 Muharram, terjadi berbagai peristiwa penting (bersejarah) dalam islam, seperti :

-Muharram merupakan bulan dimana terjadinya penyelamatan Nabi Musa Alaihissalam dan kaum Bani Israil dari kejaran raja Firaun, dimana dalam peristiwa tersebut, Firaun dan keluarganya mati tenggelam di laut Merah.

-Hari dimana Allah menjadikan langit dan bumi

-Hari dimana Allah menciptakan Adam Alaihissalam dan Siti Hawa.

-Hari di mana Allah SWT menjadikan syurga.

-Hari dimana Allah menerima taubat nabi Adam Alaihissalam dan memasukkannya ke surga

-Hari di mana Allah menyelamatkan Nabi Nuh Alaihissalam diselamatkan dari bahtera setelah bumi tenggelam selama enam bulan dan merupakan hari di mana Allah SWT menyelamatkan Nabi    Ibrahim dari api yang sengaja digunakan untuk membakar dirinya oleh raja Namrud.

-Hari di mana Nabi Musa menerima wahyu dari Allah SWT berupa kitab Taurat.

-Hari di mana Allah telah membebaskan Nabi Yusuf Alaihissalam dari penjara.

-Hari di mana Allah memulihkan Nabi Ayyub Alaihissalam dari penyakit kulit yang dideritanya.

-Hari di mana Allah SWT telah memulihkan penglihatan Nabi Yakub Alaihissalam dari kebutaan.

-Hari di mana Allah SWT menyelamatkan Nabi Yunus Alaihissalam dari dalam perut ikan setelah terkurung selama 40 hari 40 malam.

-Hari di mana Allah SWT mengaruniakan kerajaan yang besar bagi Nabi Sulaiman Alaihissalam.

-Hari dimana Allah SWT menciptakan alam dan pertama kali menurunkan hujan.

 

  1. Muharram telah disifatkan sebagai syahrullah (bulan Allah)

Muharam juga memiliki kedudukan istimewa dalam islam, dimana bulan tersebut merupakan satu-satunya bulan yang disebut sebagai syahrullah (bulan Allah). Mengapa demikian? Terdapat beberapa pendapat mengenai hal itu, seperti :

Para ulama menerangkan bahwa pada saat suatu makhluk mendapatkan gelar atau disandarkan padanya lafzhul Jalallah, maka itu berarti makhluk tersebut mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT. Misalnya saja pada kejadian pemberian nama pada ka’bah yaitu Baitullah (rumah Allah) yang merupakan Peninggalan Sejarah Islam di Dunia, maupun pada Unta yang dimiliki nabi Sholeh Alaihissalam yang mendapat julukan naqatallah (unta Allah).

As Suyuthi menyatakan bahwa pemberian nama Syahrullah pada bulan Muharram adalah dikarenakan nama Al-Muharram merupakan nama-nama islami, sedangkan nama-nama bulan yang lain telah ada sejak zaman jahiliyah. Dulu, sebelum kedatangan islam, bulan muharram bernama syafar awal.

Al Hafizh Abul Fadhl Al ‘Iraqy rahimahulloh menerangkan bahwa pemberian nama syahrullah kemungkinan dikarenakan pada bulan tersebut Allah telah mengharamkan terjadinya peperangan. Selain itu, muharram merupakan bulan yang pertama dalam penanggalan islam, oleh karena itulah disandarkan padanya lafadz Allah sebagai bentuk pengkhususan. Dan hanya pada bulan muharramlah Rasulullah Sholallahu Alaihi wassalam menyandarkan lafadz Allah.

Selain Syahrullah, Muharram juga sering disebut sebagai Syahrullah Al Asham (Bulan Allah yang Sunyi) karena bulan ini dianggap sebagai bulan yang sangat dihormati sehingga tidak diperbolehkan terjadi konflik maupun riak di bulan tersebut.

Begitulah keutamaan-keutamaan bulan Muharram, dan karena hal tersebut maka umat muslim sangat dianjurkan untuk memperbanyak amalan-amalan di bulan haram tersebut. Seperti yang dikutip dari perkataan Qatadah bahwasannya Allah SWT akan melipatgandakan pahala bagi orang-orang yang melaksanakan amalan-amalan sholeh di bulan muharram, sehingga Segala macam bentuk kebaikan maupun amalan sholeh sangat dianjurkan untuk ditingkatkan di bulan tersebut. Dan salah satu bentuk amal  sholeh tersebut adalah dengan melakukan puasa.

Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda :

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ  بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

Artinya:

“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah (yaitu) Muharram dan shalat yang paling utama setelah puasa wajib adalah sholat lail.” (HR. Muslim)

Dari Aisyah Radiallahu Anhu berkata :

مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ

Artinya:

“Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, berupaya keras untuk puasa pada suatu hari melebihi yang lainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari ‘Asyura dan bulan ini yaitu Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam memerintahkan umatnya untuk berpuasa setiap tanggal 10 Muharam (asyura) sebagai tanda syukur atas pertolongan dari Allah SWT yang untuk selanjutnya dikenal dengan sebutan puasa Asyura’.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ  هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

Artinya:

“Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma berkata : Ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘ Asyura, maka Beliau bertanya : “Hari apa ini?. Mereka menjawab, “Ini adalah hari istimewa, karena pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, Karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari ini. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun bersabda, “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian“. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan shahabatnya untuk berpuasa di tahun yang akan datang. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan ketika Rasulullah Sholallahu Alaihi wassalam sedang melaksanakan puasa pada tanggal 10 Muharram, para sahabat bertanya kepada beliau “Ya Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani”.

Maka Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun bersabda:

فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ

Artinya:

“Kalau aku masih hidup tahun depan, maka sungguh aku akan berpuasa pada tanggal 9 Muharram (bersama 10 Muharram).“ (HR. Muslim)

Hal tersebut dilakukan sebagai pembeda antara puasanya orang Yahudi dengan umat islam. Sebagaimana sabda Nabi Sholallahu Alaihi Wassalam :

صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً

Artinya:

“Berpuasalah pada hari ‘Aasyuura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.“ (HR Ahmad, al-Baihaqi)

Salah satu keutamaan melakukan puasa Asyura adalah Allah SWT akan mengampuni dosa-dosanya di tahun yang lalu.

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَالَ صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

Artinya:

“Dari Abu Qatadah radhiyallohu anhu bahwa Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Puasa hari ‘Asyuro aku berharap kepada Allah akan menghapuskan dosa tahun lalu” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)

Wallahua’lam.

Penulis: Raisya Audyra

 

Keutamaan Bulan dan Puasa Muharram

Muharram adalah salah satu dari empat bulan terhormat (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab) yang disebutkan Al-Qur’an. Pada bulan terhormat termasuk Muharram, masyarakat Arab dilarang berbuat zalim dan menumpahkan darah.

Empat bulan terhormat itu (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab) disebutkan dalam Surat At-Taubah berikut ini:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ ۚ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

Artinya, “Sungguh bilangan bulan pada sisi Allah terdiri atas dua belas bulan, dalam ketentuan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketentuan) agama yang lurus. Janganlah kamu menganiaya diri kamu pada bulan yang empat itu. Perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi kamu semuanya. Ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (Surat At-Taubah ayat 36).

Syekh Jalaluddin As-Suyuthi menjelaskan keutamaan puasa sunnah Muharram pada syarah hadits atas shahih Muslim, Ad-Dibaj fi Syarhi Shahihi Muslim ibnil Hajjaj. As-Suyuthi mengatakan bahwa keutamaan puasa Muharram disebut secara khusus pada hadits riwayat Imam Muslim sebagai puasa paling utama setelah puasa Ramadhan. Bulan Muharram sendiri disebut sebagai bulan Allah.

Mengapa bulan Muharram ini disebut sebagai bulan Allah? Padahal Muharram memiliki keutamaan yang sama atau lebih sedikit dengan bulan lainnya dibandingkan bulan Ramadhan. Menurut Syekh Jalalauddin As-Suyuthi, kelebihan bulan Muharram terletak pada namanya yang islami dibandingkan nama bulan hijriah lainnyya.

Nama bulan hijriah selain Muharram merupakan nama bulan yang dipakai pada masa jahiliah. Adapun bulan Muharram pada era masyarakat jahiliah dinamai bulan Shafar Awwal. Sedangkan bulan setelah Muharram disebut bulan Shafar Tsani. Ketika Islam datang, Allah menyebut Shafar Awwal dengan bulan Muharram yang dinisbahkan dengan asma-Nya.

Syekh Jalaluddin As-Suyuthi juga mengutip pendapat Imam Al-Qurthubi yang menjelaskan, kelebihan puasa bulan Muharram dibandingkan puasa pada bulan Hijriah lainnya terletak pada posisi Muharram sebagai bulan pertama dalam kalender Hijriah. Dengan demikian, mengawali tahun baru pada bulan pertama Hijriah dengan ibadah puasa merupakan amalan yang sangat utama.

Adapun hadits riwayat Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah RA yang disyarahkan oleh Syekh Jalalauddin As-Suyuthi adalah sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ

Artinya, “Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Puasa paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, bulan Muharam,’” (HR Muslim). Wallahu a’lam.

 

 

Sumber: NuOnline

Editor: Rifky Aulia

Adab Orang Yang Mencari Ilmu

Kita sebagai murid tentunya ingin mendapatkan ilmu yang berkah dan bermanfaat. Hal-hal Yang mesti dilakukan untuk mencapai keberkahan dan kemanfa’atan tersebut, antara lain:

  1. Niat

Hal pertama yang harus dipersiapkan sebelum menuntut ilmu yaitu meluruskan niat. Niatkan semua ilmu yang akan kamu pelajari hanya karena Allah semata. Sebagaimana firman Allah dalam Al Bayyinah ayat 5, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan    kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa yang menuntut ilmu syar’i yang semestinya ia lakukan untuk mencari wajah Allah dengan ikhlas, namun ia tidak melakukannya melainkan untuk mencari keuntungan duniawi, maka ia tidak akan mendapat harumnya aroma surga pada hari kiamat.” (HR. Ahmad).

  1. Berdoa

Adab menuntut ilmu selanjutnya yaitu senantiasa berdoa. Dalam menuntut ilmu, hendaknya kita selalu berdoa agar diberi kemudahan dalam menimba ilmu dan mengamalkannya. Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan katakanlah: Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. (QS. Thaha: 114) Adapun doa yang biasa dipanjatkan oleh Rasul saat menuntut ilmu adalah, “Ya Allah, berilah manfaat atas apa yang Engkau ajarkan kepadaku, ajarilah aku hal-hal yang bermanfaat bagiku, dan tambahilah aku ilmu (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dishahihkan al-Albani).

  1. Bersungguh-sungguh

Ketika menuntut ilmu, hendaknya kita bersungguh-sungguh dan selalu semangat untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Seolah-olah selalu haus dengan ilmu yang didapatkan, hendaknya kita selalu berkeinginan untuk menambah ilmu kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam barsabda, “Dua orang yang rakus yang tidak pernah kenyang: yaitu; (1) orang yang rakus terhdap ilmu dan tidak pernah kenyang dengannya, dan (2) orang yang rakus terhadap dunia dan tidak pernah kenyang dengannya.” (HR. Al-Baihaqi)

  1. Menjauhi maksiat

Untuk bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan berkah, maka jauhkanlah diri dari berbagai macam maksiat. Maksiat akan membuat otak menjadi sulit untuk berkonsentrasi sehingga ilmu yang dituntut sulit untuk diserap. Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan “ar raan” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.”

  1. Selalu rendah hati

Banyak sekali orang berilmu malah menjadi sombong hanya karena merasa lebih baik dibandingkan orang lain. Jika ingin mendapatkan ilmu yang baik dan bermanfaat, maka tetaplah menjadi pribadi yang rendah hati. Imam Mujahid mengatakan, “Dua orang yang tidak belajar ilmu: orang pemalu dan orang yang sombong” (HR. Bukhari secara muallaq)

  1. Memperhatikan guru saat menjelaskan

Jika ingin mendapatkan ilmu dengan mudah, maka konsentrasilah saat guru atau ustadz menjelaskan. Fokuslah untuk menyerap ilmu yang disampaikan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “… sebab itu sampaikanlah berita gembira itu kepada hamba-hambaKu, (yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan merekalah orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS. Az-Zumar: 17-18)

  1. Diam menyimak

Salah satu adab menuntut ilmu yang banyak ditinggalkan yaitu diam ketika guru atau ustadz menjelaskan. Jangan berbicara atau bahkan mengobrol hal yang sama sekali tidak penting bahkan tidak berhubungan dengan pelajaran yang disampaikan. Sebagaimana telah Allah firmankan dalam Al A’raf ayat 204, “Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”

  1. Menghafal ilmu yang disampaikan

Setelah berhasil memahami ilmu yang disampaikan, maka hendaknya kamu menghafal ilmu tersebut agar lebih mudah diingat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semoga Allah memberikan cahaya kepada wajah orang yang mendengar perkataanku, kemudian ia memahaminya, menghafalkannya, dan menyampaikannya. Banyak orang yang membawa fiqih kepada orang yang lebih faham daripadanya…” (HR. At-Tirmidzi).

  1. Mengamalkan

Adab menuntut ilmu ini biasanya sering dilupakan. Akan percuma setiap ilmu yang didapatkan jika tidak diamalkan. Sudah seharusnya kita mengamalkan ilmu yang kita dapatkan agar mendapatkan keberkahan dari Allah SWT. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan seorang alim yang mengajarkan kebaikan kepada manusia, kemudian ia melupakan dirinya (tidak mengamalkan ilmunya) adalah seperti lampu (lilin) yang menerangi manusia, namun membakar dirinya sendiri.” (HR Ath-Thabrani)

  1. Mendakwahkan

Tidak ada ilmu yang bermanfaat jika tidak dibagikan kepada orang lain. Maka sebarkanlah ilmu tersebut kepada mereka yang belum mengetahuinya. Allah Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6).

 

Penulis: Eka Nurlela

 

 

Minta Doa Kepada Jamaah Haji yang Baru Pulang ke Tanah Air

Salah satu tradisi yang dilakukan umat Muslim termasuk di Indonesia saat jamaah haji baru tiba di kampung halaman adalah mengadakan syukuran penyambutan dengan mengundang sanak saudara dan sejumlah tetangga. Biasanya tuan rumah sudah menyuguhkan aneka hidangan untuk disantap bersama.  Selain itu, terutama di Indonesia, biasanya jamaah sudah menyiapkan oleh-oleh untuk dibagikan kepada seluruh tamu yang hadir. Mulai dari air Zamzam, kurma, tasbih, sejadah, dan sejumlah oleh-oleh khas haji lainnya. Tradisi demikian dibenarkan dalam Islam bahkan sudah terjadi sejak zaman Rasulullah saw.  Imam An-Nawawi menyebutkan tradisi ini dengan Naqi’ah, yaitu syukuran dalam rangka menyambut saudara yang baru tiba dari bepergian jauh termasuk setelah ibadah haji. Dasarnya adalah hadits berikut:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لَمَّا قدِمَ النَّبيُ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ المدينةَ : نَحر جَزورًا ، أو بقَرةً

Artinya, “Sesungguhnya Rasulullah saw ketika tiba dari Madinah sepulang safar, beliau menyembelih unta atau sapi.” (HR Bukhari).  Dalam hadits lain juga disebutkan:  Baca Juga: Doa Sambut Jamaah Haji Pulang ke Tanah Air

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ تُلُقِّيَ بِنَا .فَتُلُقِّيَ بِي وَبِالْحَسَنِ أَوْ بِالْحُسَيْنِ . قَالَ : فَحَمَلَ أَحَدَنَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَالْآخَرَ خَلْفَهُ حَتَّى دَخَلْنَا الْمَدِينَةَ  

Artinya, “Jika Nabi saw pulang dari safar, kami menyambutnya. Beliau menghampiriku, Hasan, dan Husain, lalu beliau menggendong salah satu di antara kami di depan, dan yang lain mengikuti di belakang beliau, hingga kami masuk kota Madinah.” (HR Muslim) (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, tanpa tahun: juz 4, h. 400)  Meminta doa  Selain mengadakan syukuran dengan menghidangkan makanan untuk disantap bersama, hal yang tidak kalah penting ketika jamaah haji baru tiba di Tanah Air adalah meminta doa ampunan. Sebab, seorang Muslim yang baru saja menunaikan rukun Islam yang kelima terbebas dari dosa seperti bayi yang baru lahir di dunia sehingga doanya mudah dikabulkan. Diriwayatkan:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ مِنْ ذُنُوْبِهِ كَيَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Artinya, “Siapa saja yang berhaji, lalu tidak berkata keji dan tidak berbuat dosa, niscaya ia pulang (suci) seperti hari dilahirkan oleh ibunya.” (HR Bukhari, Muslim, An-Nasai, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)  Dalam redaksi yang lebih tegas, Rasulullah saw bersabda:

الْغَازِي فِي سَبِيلِ اللهِ، وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ، وَفْدُ اللهِ، دَعَاهُمْ، فَأَجَابُوهُ، وَسَأَلُوهُ، فَأَعْطَاهُمْ

Artinya, “Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang beribadah haji, dan orang yang sedang umrah adalah tamu kehormatan Allah. Allah memanggil mereka, kemudian mereka memenuhi panggilan itu. Sehingga jika mereka memohon kepada Allah, maka Allah akan memberinya.” (HR Ibnu Majah)  Pada praktiknya, kita bisa menyambut langsung begitu jamaah tiba di rumah. Mengucapkan salam, menjabat tangannya, lalu memintanya untuk berdoa memohon ampunan bagi semua orang yang hadir. Dalam satu hadits diriwayatkan:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا لَقِيتَ الْحَاجَّ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَصَافِحْهُ وَمُرْهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بَيْتَهُ فَإِنَّهُ مَغْفُورٌ لَهُ

Artinya, “Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: ‘Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Jika kamu menjumpai orang yang baru berpulang dari haji maka berilah salam kepadanya, dan jabatlah tangannya, serta mintalah kepadanya untuk memohonkan ampun buatmu sebelum ia memasuki rumahnya, sebab ia telah diampuni dosa-dosanya.’” (HR Imam Ahmad)

Hadits ini menjelaskan umat Muslim disunnahkan menyambutnya dengan ucapan salam, menjabat tangan, dan meminta doa kepada jamaah haji yang baru pulang ke Tanah Air. Waktu yang paling utama adalah sebelum jamaah memasuki rumahnya. Kita bisa menunggu kedatangan jamaah ketika sedang perjalanan pulang. Begitu sampai, usahakan agar ia memanjatkan doa ampunan terlebih dulu.  Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumidddin dengan mengutip penjelasan (atsar) Umar bin Khattab memaparkan, waktu meminta doa tidak harus saat baru kedatangan jamaah haji. Memang itu yang lebih utama. Akan tetapi, keutamaan mendapat doa tersebut bisa diperoleh sejak bulan Dzulhijjah, Muharram, Shafar, sampai tanggal 20 Rabi’ul Awwal. Al-Ghazali menambahkan, penyambutan jamaah haji saat baru tiba di rumah sudah menjadi tradisi para ulama sejak dulu. Biasanya, begitu jamaah tiba mereka akan menyambutnya dengan mencium keningnya sebelum sempat melakukan sebuah dosa. Dasar tradisi ini adalah hadits Nabi berikut:

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ عَبْدِ الْمَلِكِ عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ ابْنِ عُمَرَ نَتَلَقَّى الْحَاجَّ فَنُسَلِّمُ عَلَيْهِمْ قَبْلَ أَنْ يَتَدَنَّسُوا

Artinya, “Telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Isma’il bin Abdil Malik dari Habib bin Abi Tsabit dia berkata, ‘Saya berangkat bersama Ibnu Umar, kami menjumpai para jema’at haji, dan mengucapkan salam kepada mereka sebelum mereka kotor (melakukan dosa).’” (HR Imam Ahamad) (Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumidddin, 2016 :juz 1, h. 315)

Salah satu doa yang bisa dibaca adalah redaksi riwayat Imam Al-Baihaqi dari Sahabat Abu Hurairah ra sebagai berikut,

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْحَاجِّ وَلِمَنِ اسْتَغْفَرَ لَهُ الحَاجُّ

Allâhummaghfir lil hâjj, wa li man istaghfara lahul hâjj.

Artinya, “Ya Allah, ampunilah dosa jamaah haji ini dan dosa orang yang dimintakan ampun oleh jamaah haji ini.”  Syekh Abdurrauf Al-Munawi memberi catatan agar doa di atas dibaca sebanyak tiga kali. (Al-Munawi, Faidhul Qadir, 2018: juz 2, h. 127) Wallahu a’lam.

Sumber: NuOnline

Editor: Rifky Aulia