Biografi KH Ruhiat Cipasung
KH Ruhiat lahir pada 11 November 1911 dari pasangan Abdul Ghofur dan Umayah. Semasa kecil ia dikirim ke pesantren terkenal di Singaparna saat itu, Pesantren Cilenga, yang diasuh oleh Kiai Sobandi atau Syabandi, murid Syekh Mahfudz at-Tarmasi. Di Cilenga saat itu didirikan sekolah tingkat menengah Matla’ an-Najah. Ruhiat mengaji di Cilenga pada 1922-1926.
Kemudian ia menjadi santri kelana pada masa 1927-1928, berguru ke beberapa pesantren, di antaranya Pesantren Sukaraja (Garut) asuhan Kiai Emed, Pesantren Kubang Cigalontang (Tasikmalaya) asuhan Kiai Abbas Nawawi, dan Pesantren Cintawana (Singaparna) asuhan Kiai Toha yang pernah pula menjadi santri Syaikh Mahfudz at-Tarmasi. Melalui Ajengan Sobandi dan Ajengan Toha, silsilah keilmuan Ruhiat sampai pada Syaikh Mahfudz Tremas.
Dengan demikian, ia terhubung dengan silsilah keilmuan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari yang merupakan murid dari Syekh Mahfudz at-Tarmisi.
KH Ruhiat mendirikan mendirikan Pesantren Cipasung pada 1932. Dalam mengajar santri ia menggunakan sistem ngalogat Sunda agar mereka lebih mudah memahami teks Arab kuning. Santri angkatan pertamanya berjumlah 40 orang, sebagian besar santri yang dibawanya dari Cilenga dan selebihnya warga sekitar Cipasung.
Kemudian ia mendirikan Madrasayah Diniyah pada 1935, mendirikan Sekolah Pendidikan Islam mendirikan pada 1949, mendirikan Sekolah Rendah yang kemudian berubah menjadi Madrasah Ibtidaiyah pada 1953, mendirikan Sekolah Menengah Pertama Islam dan ditambah Sekolah Menengah Atas Islam pada 1959, mendirikan Sekolah Persiapan IAIN yang kemudian berubah menjadi MAN pada 1969.
Selain sebagai seorang kiai pendidik, KH Ruhiat adalah seorang pejuang gerakan kebangsaan yang melawan penjajahan Belanda. Ia pernah ditangkap Belanda dan dipenjara di Sukamiskin Bandung (1941) dan di Ciamis (1942). Pada masa penjajahan Jepang, ia tersangkut pemberontakan yang dilakukan sahabatnya, KH Zainal Mustofa sehingga ia kembali dipenjara di Tasikmalaya (1944). Pada masa Revolusi kemerdekaan lagi-lagi ia dipenjara Belanda (1949).
Sang Propagandis NU Tasikmalaya
Pada Februrai 1936, untuk memperkuat dan memperluas dakwah Islam, NU Tasikmalaya membentuk beberapa komite khusus, yaitu Komite Zakat, Komite Adegan, Komite Pangadjaran, Komite Batjaan Lid (anggota), dan Komite Propaganda. Komite yang disebut terakhir sepertinya sama dengan Lajnatun Nashihin yang dibentuk HBNO (PBNU) pada muktamar ke-3 di Surabaya pada 1928.
KH Ruhiat tercatat di dua komite yaitu pada Komite Batjaan Lid (anggota) dan pemimpin pada Komite Propaganda. Keberadaannya di 2 komite tersebut menunjukkan ia terampil dalam kedua bidang tersebut.
Dalam akhir tulisan ini, akan lebih fokus pada bagian kedua, yaitu Komite Propaganda. Secara bahasa, menurut KBBI daring, propaganda berarti:
- n penerangan (paham, pendapat, dan sebagainya) yang benar atau salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu: — biasanya disertai dengan janji yang muluk-muluk.
- n cak reklame (seperti menawarkan obat, barang dagangan, dan sebagainya): perusahaan itu giat melakukan — produknya.
Sementara pelaksana propaganda adalah propagandis. Berdasarkan KBBI juga, propagandis berarti; juru kampanye; negosiator.
Berdasarkan pengertian tersebut bisa dipahami tugas Komite Propaganda kemungkinan adalah memperkenalkan cita-cita perkumpulan NU kepada khalayak luas mempercepat beridinya ranting di Tasikmalaya. Hal ini hampir sama dengan tugas Lajnatun Nashihin yang dibentuk PBNU yaitu mempercepat berdirinya cabang-cabang di berbagai wilayah.
Sebagai pemimpin di Komite Propaganda, aktivitas KH banyak terdokumentasi pada tabligh-tabligh NU di Tasikmalaya yang didokumentasikan Al-Mawaidz, Sipatahoenan, dan Pemandangan.
Satamatna A. Abas, jung Ajengan Ruhiat ti Cipasung nangtung unggah kana mimbar, néma A. Abas. Ieu ogé ngadadar rupa-rupa naséhat.
Sanajan pangpandeuri parhatian hadirin taya cocéngna ti nu tiheula-tiheula, kadangkala tambah dilantaran ku sowara agem sarta marunel anu didadarkeunana, dibarengan ku conto-conto anu matak kaharti, ogé dalil-dalil teu kalarung.
Moal boa anu ngadarangukeun téh sumpingna ka bumi rébo ku rupa-rupa naséhat lenyepaneun sabumina-sabumina. Kira-kira satengah satu, pasamoan ditutup ku A. Dahlan kalawan ditungtungan ku Al-Fatihah. (Al-Mawaidz, April 1935).
Koran Al-Mawaidz edisi lain menggambarkan KH Ruhiat melaksanakan tabligh ke suatu daerah yang melewati hutan belantara dan tebing terjal.
Minggoe anoe anjar kaliwat para moeballig A. Roehijat Tjipasoeng, A. Damini Kebon Kalapa, A. H. Moenir Tjitjaroelang djeung A. Hidajat Tjipasoeng geus ngajakeun tabligh di Gorowong alas Soekaradja kalawan pamoendoetna sawatara doeloer di eta tempat.
Oepama nendjo kana perdjalanana nya eta ngaliwatan leuweung loewang liwoeng gawir noe loengkawing, asa ti mana pidjelemaeunana noe baris ngahadiran kana tablig. Tapi barang geus deukeut kana waktoena tablig diboeka, djelema pohara nojekna, teu beda djeung di tempat-tempat sedjen. (Al-Mawaidz, Agustus 1936).
Buah Perjuangan
Pada medio 1930-an NU Cabang Tasikmalaya merupakan salah satu cabang dinamis, meskipun banyak tantangan dan stigma dari berbagai pihak, tetap menuai banyak perkembangan, bahkan kemajuan; baik dari sisi kuantitas dan kualitas. Di antara kesuksesan cabang ini adalah dalam pengelolaan zakat baik maal maupun fitrah yang dikelola secara transparan dan dilaporkan ke publik melalui majalah Al-Mawaidz dan koran Sipatahoenan. Pernah dalam setahun, cabang NU Tasikmalaya menyalurkan zakat kepada 10.000 orang mustahiq. (Al-Mawaidz, 1936)
Sementara melalui Komite Propaganda, KH Ruhiat menanamkan NU mulai dari kota hingga ke kampung-kampung. Tak heran dalam berita di Sipatahoenan akan ditemukan berita Nahdoh Migoenoengan (NU Tasikmalaya mengadakan tabligh di pemukiman yang terletak di gunung), Nahdoh Mikampoengan (NU Tasikmalaya mengadakan tabligh di kampung), Nahdoh ka Pasisian (NU Tasikmalaya mengadakan tabligh di kampung terpencil), atau Nahdoh ka Alas Tjikatomas (NU Tasikmalaya mengadakan tabligh di pemukiman yang berada di hutan Cikatomas).
Ketika anggota NU tersebar di berbagai tempat, mereka berkeinginan kampung atau daerahnya menjadi tuan rumah penyelenggaraan tabligh agar tetangga-tetangganya juga mengetahui cita-cita NU. Tak heran intensitas tabligh NU Tasikmalaya, menurut Sipatahoenan dan Al-Mawaidz hampir tiap minggu. Tak heran pula para pengurus sering kesusahan membagi waktu untuk memenuhinya.
Upaya-upaya pengurus NU Tasikmalaya yang demikian itu membuahkan hasil di hati masyarakat. Tak heran, Sipatahoenan menyebut Nahdoh saat itu sangat seungit (harum) di Tasikmalaya.
Sumber: NU ONLINE