Asas Tunggal Pancasila Dalam Pandangan Syari’at Islam
Pancasila merupakan ideologi dan dasar negara yang menjadi asas bangsa Indonesia. Deklarasi hubungan Islam dan Pancasila bukan berarti menyejajarkan Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi. Karena hal itu dapat merendahkan Islam dengan ideologi atau isme-isme tertentu. Problem ini seiring terdengar dengan isu yang berkembang di kalangan umat Islam saat itu. Mereka beranggapan bahwa menerima Pancasila sebagai asas tunggal berarti mendepak atau melemparkan iman dan menerima asas tunggal Pancasila berarti kafir, sedang kalau menerima keduanya berarti musyrik.
bahwa Islam yang dicantumkan sebagai asas dasar itu adalah Islam dalam arti ideologi, bukan Islam dalam arti agama. Langkah ini bukan berarti menafikan Islam sebagai agama, tetapi mengontekstualisasikan Islam yang berperan bukan hanya jalan hidup, tetapi juga sebuah ilmu pengetahuan dan pemikiran yang tidak lekang seiring perubahan zaman. Ideologi adalah ciptaan manusia. Orang Islam boleh berideologi apa saja asal tidak bertentangan dengan Islam. Terkait Islam diartikan sebagai ideologi, Kiai Achmad Siddiq memberikan contoh Pan-Islamismenya Jamaluddin Al-Afghani. Islam ditempatkan oleh Al-Afghani sebagai ideologi untuk melawan ideologi-ideologi lainnya. Karena saat itu dunia Timur sedang berada dalam penjajahan dan tidur nyenyak dalam cengkeraman penjajahan artinya tidak tergerak untuk melawan kolonialisme. Maka tidak ada jalan lain menurut Jamaluddin Al-Afghani membangkitkan semangat Islam secara emosional, yaitu dengan mencantumkan Islam sebagai asas gerakan Pan-Islamisme. Sejak itu Islam mulai diintrodusir sebagai ideologi politik untuk menentang penjajah. Bukan seperti ulama-ulama di Indonesia yang menggunakan Islam sebagai spirit menumbuhkan cinta tanah air dan nasionalisme. Spirit yang ditumbuhkan para kiai untuk melawan penjajah tidak membawa Islam sebagai ideologi politik pergerakan, melainkan aktualisasi Islam dalam wujud cinta tanah air untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah saat itu. Langkah yang dilakukan para kiai pesantren berdampak pada pemahaman bahwa umat Islam di Indonesia tidak memahami Islam secara simbolik tetapi substantif. Sehingga tidak ada upaya-upaya bughot untuk memformalisasikan Islam ke dalam sistem negara, kecuali yang dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil saja. Di titik inilah mengapa ulama NU perlu menjelaskan hubungan Islam dengan Pancasila agar tidak dipahami secara simbolik, tetapi substantif bahwa Pancasila merupakan wujud dari nilai-nilai Islam. Karena di dalamnya terkandung tauhid, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial. Dengan sederhana, dapat disimpulkan bahwa Pancasila merupakan asas kaum beragama di Indonesia dalam merajut kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari sini prinsip agama tidak bisa dilepaskan dari substansi yang terkandung dalam Pancasila. Namun, jika ada kelompok-kelompok kecil Islam yang menolak Pancasila, maka itu bukan karena agama dasar mereka, tetapi mereka hendak menjadikan Islam sebagai ideologi politik untuk meraih kekuasaan.
spirit memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia menjadi fondasi kokoh untuk terus menjaga dan merawat perjuangan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Cinta terhadap tanah air Indonesia bukan semata cinta buta, tetapi cinta yang dilandasi agama. Bahkan, Fatwa Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 menyatakan dengan tegas bahwa membela Tanah Air merupakan kewajiban agama.
seperti dipertegas seorang ulama yang telah merumuskan naskah Hubungan Pancasila dan Islam, KH Achmad Siddiq bukan ’penjaga biasa’, melainkan memperkuat dan merajut berbagai elemen bangsa untuk menyadari bahwa cinta tanah air merupakan salah satu upaya aktualisasi nyata keimanan seseorang. Sehingga cinta tanah air berlaku untuk seluruh kaum beragama di Indonesia. Ini dicetuskan langsung oleh pendiri NU KH Hasyim Asy’ari yang menyatakan, hubbul wathan minal iman (cinta tanah air adalah sebagian dari iman).
Di tengah perkembangan sosial politik yang sangat dinamis, ketangguhan Pancasila sebagai satu-satunya asas yang merekatkan hubungan antaranak bangsa dengan berbagai ragam latar belakangnya terus mendapatkan tantangan. Tantangan kiri menyeret Pancasila ke arah liberalisme dan sekularisme. Tantangan kanan menyeret Pancasila ke arah Islamisme. Di sisi lain, Pancasila sebagai suatu ideologi memang dapat ditarik ke arah mana saja, sesuai kecenderungan orang yang menafsirkannya. Namun demikian, semakin diuji dengan berbagai tantangan, Pancasila semakin menunjukkan relevansi dan ketangguhannya sebagai asas kehidupan berbangsa dan bernegara. Karenanya, memahami secara jernih Pancasila sebagai ideologi bangsa menjadi keniscayaan. Dalam pandangan sekularisme netral atau al-‘alamaniyyah al-muhâyadah (lawan dari sekularisme yang berpihakan pada ideologi atau agama tertentu) sebagai salah satu basis ideologi pengelolaan sebuah negara ditandai dengan enam (6) nilai utama:
- Menghormati berbagai keyakinan agama dalam ranah individu.
- Netral di hadapan agama-agama.
- Mengakui dan menjamin hak-hak manusia baik yang bersifat individu maupun kolektif sosial.
- Menjamin hak-hak manusia untuk berbeda, hidup dalam keragaman, dan perubahan.
- Mengakui dan menjamin hak dan kewajiban hukum, seperti hak mencari keadilan di depan peradilan, dan mengatur kewajiban bagi individu-individu untuk menghormati hukum, mengatur serta kewajiban membayar pajak untuk berkontribusi pada upaya nasional dalam menjalankan institusi negara.
- Menentang kezaliman dan kejahatan.
Enam (6) nilai utama sekularisme netral ini sebenarnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama, khususnya agama Islam yang mengajak pada kebaikan, cinta dan persaudaraan di antara seluruh manusia.
Dalam hal ini Syekh Abdullah bin Bayyah mengatakan:
كل ذلك لا يتنافى مع القيم الكبرى التي تدعو إليها الديانات السماوية، وبخاصة الدين الإسلامي الذي يدعوإلى البر والمحبة والأخوة الإنسانية
Artinya, “Semua nilai utama sekularisme netral itu tidak saling menafikan dengan nilai-nilai utama yang didakwahkan oleh agama-agama samawi, utamanya agama Islam yang mengajak pada kebaikan, cinta, dan persaudaraan sesama manusia.”
Nilai-nilai utama sekularisme tersebut tidak bertentangan dengan Islam, kecuali bila nilai-nilai utama atau sekularisme itu sendiri telah dibajak untuk membela ideologi atau agama tertentu sekaligus menindas ideologi atau agama yang dimusuhinya. Karenanya, memahami Pancasila secara jernih, dari sekularisme hingga pandangan Islam menjadi sangat penting. Pancasila dalam Pandangan Islam Sebagaimana mudahnya mempertentangkan antara sekularisme dengan Islam, daripada memahaminya secara proporsional.
Dasar bahwa Pancasila mampu mempersatukan seluruh bangsa tidaklah cukup bagi sejumlah ormas Islam di Indonesia. Meskipun NU sendiri tidak pernah mempersoalkan keberadaan Pancasila karena dirancang sendiri secara teologis maupun filosofis oleh KH Abdul Wahid Hasyim, ayah Gus Dur. Menjelaskan hubungan Islam dan Pancasila tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena jika hal ini berhasil dilakukan NU, ormas Islam di Indonesia merasa terbantu secara dasar syar’i. Sebab itu, Pancasila sebagai dasar mutlak dalam berbangsa dan bernegara harus juga dijelaskan oleh NU untuk menegaskan bahwa lima sila yang dipelopori oleh Presiden Soekarno pada 1 Juni 1945 tersebut dapat diterima secara final sebagai pondasi negara yang Islami.
Selain itu, yang menjadi dasar keputusan Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuhnya sebenarnya dijiwai oleh Piagam Jakarta. Buktinya, perubahan kalimat “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam pembukaan dan Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 bukan sekadar artifisial belaka tanpa memiliki kesinambungan makna. Bahwa hal itu ditegaskan “menjiwai” dan “merupakan satu rangkaian kesatuan dengan konstitusi”, yang merupakan kesinambungan makna. Membangun negara Pancasila harus dengan menegakkan nilai-nilai ketuhanan. Yakni, Ketuhanan Yang Maha Esa. Bukan berdasarkan sekularisme.
Dengan mengamalkan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa diharapkan, bangsa Indonesia dapat memelihara keimanan dan ketakwaan yang menjadi nilai penting pembentukan etika bangsa yang baik. Karena sumber etika itu dari Tuhan Yang Maha Esa. Aplikasi nilai ketuhanan ini yang mendasarkan pada hablun minallah (hubungan dengan Allah) berkonsekuensi logis harus menyambung hablum minannas (hubungan sosial dengan manusia), yakni membangun harmonisasi sosial dengan sesama manusia sebagai keseimbangan hidup di dunia.
Namun, aspek sejarah tersebut tidak serta-merta dianut oleh semua elemen bangsa Indonesia. Buktinya, sampai kini masih ada ‘perebutan’ makna dan ideologi Pancasila. Bagi aktivis Islam Liberal, Pancasila memang dapat dimaknai sebagai pintu masuk ide-ide sekularisme dan pluralisme. Sila pertama Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa secara filosofis mengandung kebebasan berkeyakinan dan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Kebebasan di sini berarti bahwa keputusan beragama dan beribadah diletakkan pada tingkat individu tidak terkait dengan campur tangan Negara.
Sila-sila Pancasila sebagaimana dimaknai seperti itu secara eksplisit melihat agama merupakan persoalan individu dan bukan persoalan negara. Tugas negara hanya memfasilitasi pemeluk agama dan memberi jaminan keamanan menjalankan agama. Jelas tampak bahwa pemikiran tersebut akan menggiring agama kepada ruang yang lebih sempit, yaitu ruang privat. Nilai-nilai agama boleh saja masuk ruang publik, tapi dengan syarat nilai moral religi yang sudah menjadi kesepakatan umum.
Sila pertama Pancasila juga tidak bisa didamaikan dengan ateisme. Akar-akar ateisme tidak ditemukan dalam jati diri bangsa Indonesia sejak dahulu. Ideologi ateisme yang dalam catatan sejarah dunia banyak dilumuri oleh kekerasan dan radikalisme ini merupakan kategori ideologi ”transnasional” yang berbahaya.
Secara sosiologis dan politik, bangsa Indonesia sangat beragam baik dari sisi agama, etnis dan bahasa. Karena itu, masing-masing kebhinekaan tersebut tidak bisa dijadikan payung yang dapat menampung kepelbagaian tersebut, sehingga membutuhkan payung yang dapat mengakomodir keragaman tersebut, yang belakangan bernama Pancasila. Maka dirumuskanlah nilai-nilai yang dapat memayungi seluruh keragaman itu. Sebagai bangsa yang sejak awal taat terhadap aturan-aturan agama, maka konsep kebangsaan yang dirumuskan para pendiri bangsa tersebut merupakan nukilan dari tradisi, budaya dan agama leluhur. Alih-alih bertentangan, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merefleksikan pesan-pesan utama semua agama yang dalam ajaran Islam di kenal dengan maqashid al-syariah, yakni kemashlahatan umum (al-mashlahat al-ammah, the common good).
Secara teologis, Allah memang menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku sebagaimana dalam surat al-hujarat ayat 13 dengan tujuan saling mengenal (ta’arfaru). Untuk mencapai tujuan tersebut, maka masing-masing bangsa perlu menghimpun diri ke dalam perkumpulan bangsa-bangsa yang dapat disebut sebagai negara. Dalam catatan sejarah, di Madinah nabi Muhammad bukan saja pemimpin atas komunitas Islam tetapi juga komunitas-komunitas agama lain yang oleh sebagian orang disebut sebagai negara Madinah atau negara Quraisy. Nabi Muhammad adalah pendiri riil (al-mu’assis al-fi’li) negara yang dibangun dengan (topangan) pedang-pedang Bani Qailah (Aus) dan Khazraj. Dengan kata lain, nabi Muhammad tidak saja tampil sebagai pembawa agama, tetapi juga sebagai pendiri sebuah negara yang belakangan mampu menguasai tata dunia global selama berabad-abad. Tetapi, yang perlu dicatat adalah bahwa masuknya kabilah-kabilah di Madinah bukan karena Islam sebagai agama, tetapi semata-mata keberadaan negara Quraisy yang mulai tampak berdiri. Keberadaan negara Quraisy (Madinah) cukup efektif untuk menekan bahkan memaksa kabilah-kabilah dan negara-negara disekitarnya untuk masuk agama nabi Muhammad. Negara Romawi, Sasanid, dan Bahrain dikirimi surat oleh Nabi yang berbunyi: Tunduk dengan masuk Islam, tetap non-muslim dengan membayar jizyah, atau akan diserang. Singkatnya, memang Indonesia bukanlah negara agama melainkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila. Namun demikian, jika kita mengamati nilai-nilai yang terkandung dalam konsep kebangsaan yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 sangat nyata bahwa Indonesia adalah negara islami, dalam pengertian nilai-nilai Islam menjadi spirit dan dasar dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
Walhasil, pembacaan yang jernih atas ideologi dan keyakinan yang dianut oleh banyak orang menjadi cara terbaik untuk hidup secara harmonis di tengah dunia yang sangat plural, penuh konflik, dan hampir tanpa batas ruang dan waktu seperti sekarang. Wallâhu a’lam.
Penulis: Raisya Audyra