Seperti Apa Pengaturan Shaf Shalat Berjamaah Yang Benar Menurut Syariat?
Shalat adalah ibadah rutin yang sudah seharusnya setiap muslim memperhatikan tentang shalatnya apakah sudah sesuai dengan tuntunan syariat atau belum. Terutama dalam shalat berjama’ah, ada yang mesti diperhatikan yaitu posisi imam dan makmum.
Dalam ajaran Islam, pengaturan shaf ketika sholat berjamaah telah diatur menurut syariat dan ditekankan oleh Rasulullah SAW. Imam yang memimpin sholat berjamaah hendaknya harus mengontrol dan memerintahkan kepada makmumnya untuk mengatur shaf agar lurus dan rapat.
Berdasarkan hadits yang dinukil dari buku Fiqh Shalat Terlengkap karya Abu Abbas Zain Musthofa Al-Basuruwani, Rasulullah SAW pernah bersabda:
أَتِمُّوا الصَّفَّ الْمُقَدَّمَ ثُمَّ الَّذِي يَلِيْهِ فَمَا كَانَ مِنْ نَقْصٍ فَلْيَكُنْ فِي الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ
Artinya: “Sempurnakanlah shaf paling depan, kemudian disusul shaf berikutnya. Sedangkan shaf yang masih kurang hendaklah berada pada shaf yang paling akhir.” (HR Abu Dawud, dihasankan oleh an-Nawawi).
Akan tetapi, pengaturan shaf dalam sholat berjamaah tidak terbatas hanya mengenai shaf yang dirapatkan saja. Masih ada aturan lain terkait posisi sholat berjamaah antara imam dan makmun ataupun antara laki-laki dan perempuan. Lantas bagaimana pengaturan shaf yang benar menurut syariat?
Pengaturan Shaf yang Benar Menurut Syariat saat Sholat Berjamaah
Mengutip dari buku Panduan Shalat Lengkap & Praktis Sesuai Petunjuk Rasulullah SAW karya Ust. Abdul Kadir Nuhuyanan, berikut ini pengaturan shaf yang benar menurut syariat saat sholat berjamaah.
- Posisi Sholat Berjamaah Antara Imam dan Makmum
Apabila jamaahnya dua orang laki-laki, maka posisi makmum berdiri di sisi kanan imam. Imam dan makmum laki-laki berdiri hampir sejajar atau merapat dan tidak boleh terpisah shafnya dalam posisi depan dan belakang. Akan tetapi, jika jamaah sholat terdiri atas seorang laki-laki dan seorang perempuan, makmum perempuan berdiri di belakang imam laki-laki. Jamaah yang terdiri atas dua orang perempuan, imam dan makmumnya berdiri sejajar dengan posisi makmum berada di sebelah kanan imam.
Adapun sholat berjamaah yang dilakukan oleh tiga orang laki-laki, maka dua orang makmum berdiri sejajar dengan posisi berada pada shaf pertama di belakang imam. Apabila makmumnya dua orang perempuan, maka posisi makmum lebih utama agak jauh di belakang imam laki-laki. Kemudian bagi jamaah yang jumlahnya lebih dari tiga dan seterusnya, pengaturan shaf tetap dipisahkan antara makmum laki-laki dengan makmum perempuan.
Begitupun ketika sholat berjamaah dengan satu makmum laki-laki dan satu makmum perempuan, maka makmum laki-laki berdiri sejajar di sebelah kanan Imam, sedangkan makmum perempuan di belakang mereka. Sebagaimana dikatakan dalam suatu riwayat hadits:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّهُ وَامْرَأَةٌ مِنْهُمْ فَجَعَلَهُ عَنْ يَمِينِهِ وَالْمَرْأَةَ خَلْفَ ذَلِكَ
Artinya: “Dari Anas r.a., bahwa Rasulullah SAW pernah mengimami beliau dan seorang wanita di antara mereka. Kemudian beliau menjadikan Anas di sebelah kanan beliau dan seorang wanita di belakang itu.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Namun, jika imam dan makmumnya sesama perempuan, maka imamnya berdiri di tengah-tengah sejajar dengan makmum. Sementara itu, dalam jumlah yang banyak dapat diatur dalam beberapa shaf dan imam tetap berada pada bagian tengah shaf pertama sejajar dengan makmum perempuan lainnya.
- Posisi Sholat Berjamaah Antara Laki-Laki dan Perempuan
Pada dasarnya, posisi makmum perempuan tidak boleh sejajar dengan imam laki-laki. Posisi shaf perempuan selalu berada di belakang shaf laki-laki. Hal ini telah diterangkan melalui hadits yang terdapat dalam kitab Syarah Riyadhus Shalihin Jilid 2 karya Imam an-Nawawi.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوْلُهَا
Artinya: “Sebaik-baik shaf bagi laki-laki adalah yang paling depan, dan seburuk-buruk shaf laki-laki adalah yang paling belakang. Sedangkan sebaik-baik shaf bagi perempuan adalah yang paling belakang, dan seburuk-buruk shaf perempuan adalah yang paling depan.” (HR Muslim).
Berdasarkan hadits tersebut, dapat dipahami bahwa laki-laki semestinya berada di shaf terdepan daripada shaf terakhir sebab lebih dekat dengan imam dan lebih jauh dari tempat sholat perempuan.
Sebaliknya, shaf yang paling utama bagi perempuan berada pada shaf terakhir sebab tempatnya yang jauh dari laki-laki sehingga dapat menghindari timbulnya fitnah atau memungkinkan terjadi sentuhan kulit yang dapat membatalkan sholat.
Meskipun perempuan yang menjadi makmum hanya satu-satunya di antara laki-laki, posisi sholatnya saat berjamaah tetap berada di belakang laki-laki. Mengenai posisi berdirinya imam dan makmum dalam shalat berjama’ah perlu dirinci menjadi beberapa keadaan:
Jika shalat berjama’ah hanya dua orang
Jika keduanya laki-laki maka posisinya sejajar dan makmum terletak di samping kanan imam. Sebagaimana hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’ahuma, ia berkata:
بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ العِشَاءَ، ثُمَّ جَاءَ، فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ نَامَ، ثُمَّ قَامَ، فَجِئْتُ، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ، فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ نَامَ
“Saya pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah (binti Al Harits, istri Rasulullah). Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat isya (di masjid), kemudian beliau pulang, dan shalat 4 rakaat. Lalu beliau tidur. Kemudian beliau bangun malam. Akupun datang dan berdiri di sebelah kiri beliau. Lalu beliau memindahkanku ke sebelah kanannya. Beliau shalat 5 rakaat, kemudian shalat dua rakaat, lalu tidur kembali” (HR. Bukhari no. 117, 697).
Dalam riwayat lain:
أتيتُ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – من آخر الليل فصلّيتُ خلفه، فأخَذ بيدي فجرّني فجعلني حذاءه
“Aku (Ibnu Abbas) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang shalat di akhir malam. Maka aku pun shalat di belakang beliau. Lalu beliau mengambil tanganku dan menarikku hingga sejajar dengan beliau” (HR. Ahmad 1/330, dan dishahihkan oleh Syuaib Al-Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad).
Hal ini berlaku baik pada laki-laki maupun wanita yang shalat berdua sesama wanita.
Jika makmum lelaki lebih dari satu
Maka posisi makmum berada di belakang imam membentuk barisan. Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu mengatakan:
قُمْتُ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَدَارَنِي حَتَّى أَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ ثُمَّ جَاءَ جَبَّارُ بْنُ صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَامَ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيْنَا جَمِيعًا فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ
“Aku berdiri di sisi kiri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lalu beliau memegang tanganku dan menarikku hingga aku berdiri di sebelah kanan beliau. Kemudian datang Jabbaar bin Shakhr, lalu ia berwudhu kemudian datang dan berdiri di sebelah kiri Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memegang tangan kami semua dan mendorong kami hingga kami berdiri di belakang beliau” (HR Muslim no. 5328).
Makmum wanita
Jika seorang lelaki mengimami wanita, maka perlu diketahui bahwa shalatnya seorang lelaki bersama wanita perlu dirinci. Al Imam An Nawawi menjelaskan:
قال أصحابنا : إذا أمَّ الرجل بامرأته أو محرم له , وخلا بها : جاز بلا كراهة ; لأنه يباح له الخلوة بها في غير الصلاة . وإن أمَّ بأجنبية ، وخلا بها : حرم ذلك عليه وعليها , للأحاديث الصحيحة التي سأذكرها إن شاء الله تعالى . وإن أمَّ بأجنبيات وخلا بهن : فقطع الجمهور بالجواز
“Para ulama madzhab kami berkata, jika seorang lelaki mengimami istrinya atau mahramnya, dan hanya berdua, hukumnya boleh tanpa kemakruhan. Karena lelaki boleh berduaan dengan mereka (istri dan mahram) di luar shalat. Adapun jika ia mengimami wanita yang bukan mahram, dan hanya berduaan, maka haram bagi si lelaki dan haram bagi si wanita. Karena hadits-hadits shahih yang akan saya sebutkan menunjukkan terlarangnya. Jika satu lelaki mengimami beberapa wanita dan mereka berkhalwat, maka jumhur ulama membolehkannya” (Al Majmu’, 4/173).
Adapun posisi wanita jika bermakmum pada lelaki, baik wanitanya hanya seorang diri ataupun banyak, maka posisinya adalah di belakang imam. Berdasarkan keumuman hadits Anas bin Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:
صَلَّيْتُ أَنَا وَيَتِيمٌ فِي بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمِّي أُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا
“Aku shalat bersama seorang anak yatim di rumah kami di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ibuku Ummu Sulaim di belakang kami” (HR. Bukhari no.727, Muslim no.658).
Wanita mengimami sesama wanita
Jika seorang wanita mengimami para wanita, maka imam berada di tengah. Dari Rabthah al Hanafiyah, ia berkata :
أَنَّ عَائِشَةَ أَمَّتْهُنَّ وَ قَامَتْ بَيْنَهُنَّ فِيْ صَلاَةٍ مَكْتُوْبَةِ
“‘Aisyah pernah mengimami para wanita dan ia berdiri diantara mereka dalam shalat wajib” (HR. Abdurrazaq dalam Al Mushannaf 3/140, Al Baihaqi 3/131).
Dari Hubairah, ia mengatakan bahwa :
أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ أَمَّتْهُنَّ فَكَانَتْ وَسَطًا
“Ummu Salamah pernah mengimami para wanita dan ia berada di tengah-tengah”. (HR Abdurrazaq dalam Al Mushannaf 3/140, Al Baihaqi 3/131).
Dalam kondisi sempit
Dalam kondisi tempat yang sempit sehingga tidak bisa memposisikan imam dan makmum dalam posisi yang ideal, maka posisinya menyesuaikan keadaan. Sebagaimana hadits dari Al Aswad bin Yazid, ia berkata:
دخلتُ أنا وعَلقمةُ علَى عبدِ اللَّهِ بنِ مَسعودٍ فقالَ لَنا أصلَّى هؤلاءِ ؟ قُلنا : لا ! قالَ قوموا فَصلُّوا. فذَهَبنا لنقومَ خلفَهُ فجعلَ أحدَنا عن يمينِهِ والآخرَ عن شمالِهِ … وقالَ : هكَذا رأيتُ رسولَ اللَّهِ فعلَ
“Aku bersama Alqamah masuk ke rumah Ibnu Mas’ud. Lalu beliau berkata kepada kami: apakah kalian sudah shalat? Kami berkata: belum. Beliau mengatakan: kalau begitu bangunlah dan shalat. Maka kami pergi untuk shalat bermakmum kepada beliau. Beliau memposisikan salah satu dari kami di sebelah kanan beliau dan yang lain di kiri beliau … beliau lalu berkata: demikianlah yang aku lihat dari perbuatan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam” (HR. Muslim no.534, An Nasa-i no.719 dan ini lafadz an Nasa-i).
- Makmum yang Terlambat Bergabung (Masbuk)
Makmum yang terlambat mengikuti imam sholat berjamaah (masbuk), dapat berdiri pada posisi shaf yang benar kemudian memulai sholat dengan takbiratul ihram, selanjutnya mengikuti imam.
Apabila imam pada saat itu sedang sujud, maka makmum yang terlambat dapat melakukan takbiratul ihram yang pertama dan bersedekap, setelah itu langsung sujud mengikuti imam dan seterusnya. Setelah imam mengucapkan salam, sholatnya dapat dilanjutkan untuk menggenapkan bilangan rakaat yang tertinggal.
Jika makmum yang terlambat (masbuk) adalah orang ketiga yang akan berjamaah dengan seorang imam dan seorang makmum yang sedang sholat, maka ia bisa memberikan tanda dengan menepuk bahu makmum yang sedang sholat di samping imam untuk melangkah mundur dan membuat shaf di bagian belakang imam bersamanya.
Itulah pengaturan shaf sholat berjamaah yang benar menurut syariat Islam. Saat melaksanakan sholat berjamaah, hendaknya umat muslim memahami pentingnya meluruskan dan merapatkan shaf, mengetahui posisi sholat antara imam dan makmum, serta posisi antara laki-laki dan perempuan agar ibadah sholat yang dikerjakannya tetap sah.
Berbeda halnya ketika darurat penyebaran wabah seperti beberapa tahun lalu yang menganjurkan kepada setiap orang untuk melakukan pshycal distancing (menjaga jarak fisik) dalam segala aktivitas termasuk ibadah shalat. Lalu bagaimana dengan shalat berjamaah yang menyarankan kerapatan jamaah dan kerapatan shaf shalat menurut hukum syariat?
Pada dasarnya makmum dianjurkan untuk merapatkan jarak antar jamaah dan jarak shaf shalat. Makmum yang berdiri terpisah dalam shalat berjamaah (termasuk Jumat yang wajib dilakukan berjamaah) termasuk makruh.
وَيُكْرَهُ وُقُوفُ الْمَأْمُومِ فَرْدًا، بَلْ يَدْخُلُ الصَّفَّ إنْ وَجَدَ سَعَةً
Artinya, “Posisi berdiri makmum yang terpisah dimakruh, tetapi ia masuk ke dalam shaf jika menemukan ruang kosong yang memadai,” (Imam An-Nawawi, Minhajut Thalibin).
Namun, ketika ada uzur atau situasi darurat yang sangat mendesak seperti darurat penyebaran wabah, makmum boleh menjaga jarak satu sama lain tanpa makruh sebagaimana keterangan Ibnu Hajar berikut ini:
نَعَمْ إنْ كَانَ تَأَخُّرُهُمْ لِعُذْرٍ كَوَقْتِ الْحَرِّ بِالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَلَا كَرَاهَةَ وَلَا تَقْصِيرَ كَمَا هُوَ ظَاهِر
Artinya “Tetapi jika mereka tertinggal (terpisah) dari shaf karena uzur seperti saat cuaca panas di masjidil haram, maka tidak (dianggap) makruh dan lalai sebagaimana zahir,” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj bi Syarhil Minhaj, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2011], halaman 296).
Anjuran merapatkan shaf shalat berjamaah dapat ditemukan dalam hadits Rasulullah SAW yang juga sering kita dengar dari imam sebelum memulai shalat berjamaah. Tetapi anjuran untuk merapatkan shaf shalat berjamaah itu berlaku ketika tidak ada uzur sebagaimana keterangan Ibnu Alan As-Shiddiqi berikut ini.
وعن أنس رضي اللّه عنه أن رسول اللّه قال: رصوا صفوفكم) أي حتى لا يبقى فيها فرجة ولا خلل (وقاربوا بينها) بأن يكون ما بين كل صفين ثلاثة أذرع تقريباً، فإن بعد صف عما قبله أكثر من ذلك كره لهم وفاتهم فضيلة الجماعة حيث لا عذر من حر أو برد شديد
Artinya, “(Dari sahabat Anas RA, Rasulullah bersabda, ‘Susunlah shaf kalian’) sehingga tidak ada celah dan longgar (dekatkanlah antara keduanya) antara dua shaf kurang lebih berjarak tiga hasta. Jika sebuah shaf berjarak lebih jauh dari itu dari shaf sebelumnya, maka hal itu dimakruh dan luput keutamaan berjamaah sekira tidak ada uzur cuaca panas atau sangat dingin misalnya,” (Ibnu Alan As-Shiddiqi, Dalilul Falihin, juz VI, halaman 424).
Telah kita ketahui bersama wajibnya shalat berjama’ah bagi kaum laki-laki. Dan bahwasanya shalat berjamaah wajib dilaksanakan di masjid kecuali ketika ada udzur. Dalam shalat jama’ah pula dianggap sah jika minimal dilaksanakan oleh dua orang. Karena secara bahasa, al jama’ah sendiri dari kata al ijtima’ yang artinya sekumpulan orang. Dan dalam bahasa Arab, dua orang yang berkumpul sudah bisa disebut ijtima’. Juga sebagaimana hadits dari Abu Umamah Al Bahili, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda ketika ada seorang yang memasuki masjid untuk shalat:
ألَا رَجُلٌ يَتصدَّقُ على هذا يُصلِّي معه؟ فقام رَجُلٌ فصَلَّى معه، فقال رسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: هذان جَماعةٌ
“Tidakkah ada seseorang yang mau bersedekah terhadap orang yang shalat ini?”. Maka seorang lelaki pun berdiri untuk shalat bersamanya. Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Dua orang ini adalah jama’ah” (HR. Ahmad no.22189, dishahihkan oleh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Al Musnad).
Demikian juga dalam hadits Malik bin Huwairits radhiallahu’anhu, ia berkata:
أَتَى رَجُلَانِ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يُرِيدَانِ السَّفَرَ، فَقَالَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: إذَا أنْتُما خَرَجْتُمَا، فأذِّنَا، ثُمَّ أقِيمَا، ثُمَّ لِيَؤُمَّكُما أكْبَرُكُمَا
“Dua orang mendatangi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menyatakan bahwa mereka akan pergi safar. Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berkata jika kalian kalian safar (dan akan mendirikan shalat) maka adzan-lah dan iqamah-lah, dan hendaknya yang lebih tua dari kalian yang menjadi imam” (HR. Bukhari no. 630, Muslim no.674).
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa dua orang saja sudah mencukupi untuk tercapainya shalat berjama’ah.
- Shaf yang Paling Utama Bagi Makmum
Selain bershalat jama’ah itu sendiri memiliki banyak keutamaan dibanding shalat sendirian, posisi seseorang dalam shaf ketika shalat berjama’ah pun memiliki keutamaan yang bertingkat-tingkat. Tingkatan keutamaan posisi shaf ini ditentukan oleh beberapa patokan. Namun ada patokan yang disepakati oleh para ulama dan ada yang diperselisihkan.
Shaf pertama bagi laki-laki, shaf terakhir bagi Wanita.
Dalilnya, sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاسْتَهَمُوا
“Seandainya manusia mengetahui keutamaan yang ada pada adzan dan shaf pertama, lalu mereka tidak akan mendapatkannya kecuali dengan mengundi, pastilah mereka akan mengundinya” (HR. Bukhari 615, 652, 2689, Muslim 437)
dalam riwayat lain:
لَوْ تَعْلَمُونَ أَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي الصَّفِّ الْمُقَدَّمِ لَكَانَتْ قُرْعَةً
“Seandainya kalian atau mereka mengetahui keutamaan yang terdapat pada shaf yang terdepan, niscaya itu sudah jadi bahan undian” (HR. Muslim 439)
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصُّفُوفِ الْمُتَقَدِّمَةِ
“Allah dan para Malaikatnya bershalawat pada orang-orang yang berada di shaf pertama” (HR. An Nasa-i, 810. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa-i)
dalam riwayat lain:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصَّفِّ الأَوَّلِ
“Allah dan para Malaikatnya bershalawat pada orang-orang yang berada di shaf-shaf terdepan” (HR. Ahmad 18152, Ibnu Majah 825, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).
Dalil-dalil mengenai hal ini sharih (jelas) penunjukkannya. Lalu terdapat dalil yang membedakan antara laki-laki dan wanita dalam hal ini, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
خيرُ صفوفِ الرجالِ أولُها . وشرُّها آخرُها . وخيرُ صفوفِ النساءِ آخرُها . وشرُّها أولُها
“Shaf yang terbaik bagi laki-laki adalah yang pertama, yang terburuk adalah yang terakhir. Sedangkan shaf yang terbaik bagi wanita adalah yang terakhir, yang terburuk adalah yang pertama” (HR. Muslim 440)
Posisi yang dekat dengan imam
Posisi shaf yang semakin dengan imam, semakin besar keutamaannya. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ليلني منكم أولو الأحلامِ والنهى, ثم الذين يلونَهم ثم الذين يلونَهم
“Hendaknya yang dibelakangku adalah orang yang bijaksana dan pandai, baru setelahnya adalah yang dibawah dia dalam hal kepandaian, begitu seterusnya” (HR. Muslim 432)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
ما بين بيتي ومِنبري روضةٌ من رياضِ الجنةِ ، ومِنبري على حوضِي
“Antara mimbarku dan rumahku adalah taman diantara taman-taman surga, dan mimbarku ada di dalam telagaku” (HR. Bukhari, 1196, Muslim, 1391)
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami hadits ini dalam 2 qaul:
Maksudnya adalah ta’abbud muthlaq, yaitu beribadah di tempat tersebut pahalanya berbeda dengan di tempat selainnya.
Maksudnya bukan ta’abbud muthlaq, melainkan bentuk anjuran Nabi kepada para sahabat untuk mendapatkan tempat tersebut ketika beliau memberi pelajaran, lebih jelas mendengarnya, lebih dekat pada imam ketika shalat dan Nabi menjadi imam, sehingga para sahabat bisa mendapatkan lebih banyak ilmu, lebih banyak pemahaman, dan lebih meneladani Nabi dan itu semua merupakan sebab-sebab seseorang masuk ke surga.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
احْضرُوا الذكرَ، وادْنُوا من الإمَام، فإن الرجل لا يَزالُ يَتَبَاعَدُ حتى يُؤَخرُ في الجنة، وإن دَخَلَهَا
“Hadirilah khutbah jum’at dan mendekatlah kepada imam. Karena seorang yang selalu jauh dari imam, menyebabkan ia terbelakang dalam memasuki surga, andai ia memasukinya kelak” (HR. Abu Daud 1198, Al Hakim 1/289, Ahmad 5/11, lihat pembahasannya di sini)
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصُّفُوفِ الْمُتَقَدِّمَةِ
“Allah dan para Malaikatnya bershalawat pada orang-orang yang berada di shaf pertama” (HR. An Nasa-i, 810. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa-i)
Dalam hadits ini digunakan kata الصُّفُوفِ dalam bentuk jamak bukan الصَّفِّ bentuk tunggal. Menunjukkan bahwa yang mendapat shalawat dari Allah dan para Malaikat itu tidak hanya shaf pertama saja, namun shaf-shaf depan yang jaraknya dekat dengan imam. Semakin dekat, semakin besar peluang mendapatkan shalawat dari Allah dan para Malaikat.
Sebelah kanan imam
Sebagian ulama memandang bahwa posisi sebelah kanan imam itu lebih utama dari sebelah kiri. Berdasarkan hadits:
إنَّ اللهَ وملائكتَه يُصلُّون على مَيامِنِ الصُّفوفِ
“Allah dan para Malaikatnya bershalawat pada orang-orang yang berada di shaf sebelah kanan” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 4784, Ibnu Majah 995, Ibnu Hibban 2199).
Namun hadits ini munkar, walaupun sebagian ulama muhaddits memang menshahihkannya. Kemudian jika berdalil dengan keumuman tayamun, yaitu hadits:
إن كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ يحبُّ التيمنَ في شأنهِ كلِّه . في نعلَيه، وترجُّلِه، وطهورِه
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menyukai mendahulukan kanan dalam setiap urusannya, misalnya ketika memakai sandal, bersisir dan bersuci” (HR. Bukhari 426, 5854, 5380, Muslim 268).
Ini adalah pendalilan yang tidak sharih.
Namun memang diriwayatkan dari sebagian sahabat bahwa mereka menyukai posisi shaf kanan. Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash radhiallahu’anhu berkata:
خير المسجد المقام ثم ميمنة المسجد
“Posisi terbaik dalam masjid al haram adalah maqam Ibrahim, lalu shaf sebelah kanan” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf, 1/300)
Juga dari Bara’ bin ‘Adzib radhiallahu’anhu, ia berkata:
كنا إذا صلينا مع رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ أحببنا أن نكون عن يمينه يقبل علينا بوجهه
“Jika kami shalat bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, kami senang berada di sebelah kanan karena beliau akan menghadapkan wajahnya kepada kami” (HR. Muslim 709).
Maksudnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam akan memandang yang di sebelah kanan setelah selesai salam. Semua ini juga tidak menunjukkan tasyri’. Ini hanya menunjukkan ijtihad para sahabat dan semangat mereka agar ketika Rasulullah selesai shalat merekalah yang dilihat pertama kali. Tidak menunjukkan pensyariatan dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
Dengan demikian yang rajih insya Allah, tidak ada keutamaan khusus dari posisi shaf sebelah kanan.
Kesimpulan
Dari paparan tersebut dapat di simpulkan urutan keutamaan posisi shaf shalat dari yang paling besar adalah:
-Di belakang imam persis pada shaf pertama, karena shaf pertama dan paling dekat imam.
-Posisi selain belakang imam, yang mendekati imam, di shaf pertama.
-Posisi di shaf pertama yang jauh dari imam.
-Lurus di belakang imam pada shaf kedua, karena itu posisi paling dekat imam di shaf kedua.
-Posisi selain poin 3, yang paling dekat jaraknya dengan imam, di shaf kedua.
-Posisi di shaf kedua yang jauh dari imam
Adapun bagi wanita, semakin belakang semakin utama.
Wallahu A’lam Bisshowab.
Penulis: Raisya Audyra