NGOBAT (Ngobrolkeun Batur)

 “Gaul Tong Kaku, Mawas Diri Kudu”

  • Narasumber : Pangersa Ang Faiz Muhammadi & Ust. Ali Ghozali
  • Moderator :   Ust. Fadli Dzurkarnaen & Ust. Fahrurroji
  • Pembacaan Al-Quran : Acep Adlan
  • Pembacaan Tawasul : Ust. Toha Sirojudin
  • Master Of Ceremony : Alif & Budiman Saeful

Pada hari Rabu, Tepatnya tanggal 27 Maret 2024, Bertempat di Gedung Aula Al-Faqih, Diadakannya acara Ngobat alias Ngobrolkeun Batur yang bertemakan “Gaul tong kaku, Mawas diri kudu”. Dan acara ini adalah puncak Pesta Rakyat yang diselenggarakan dengan berkolaborasi Biro Al-Musri yaitu Biro Banom (Badan Otonom) & Biro Kesenian YPP. Miftahulhuda Al-Musri’.

Narasumber yang bernama Ust. Ali Ghozali adalah salah satu muqimin YPP. Miftahulhuda AlMusri’, Dan sepak terjang beliau selama menuntut ilmu di pesantren, Berkiprah pada Biro Banom, yaitu Biro yang mengurus seperti PK IPNU AL-MUSRI’ (Pimpinan Komisariat)dan masih banyak lagi . Beliau mendatangi pesantren ini, dengan membawa teman” yaitu teman” dari Majlis Sastra.

Adapun isi dari acara Ngobat alias Ngobrolkeun Batur ini adalah :

  1. Mengapa mengambil judul dengan nama Ngobat, Karena jikalau mengobrol kan diri sendiri, itu termasuk kedalam Riya, Dan ngobat disini adalah ngobat yang definisi nya adalah mengobrolkan yang baik- baik.
  2. Mengapa tema yang diangkat adalah “Gaul tong kaku, Mawas diri kudu” ?

Karena boleh saja gaul, Sosialisasi perlu, Tetapi kata Muraqabah juga perlu, Guna para santriyin wa santriyat pada saat libur panjang tiba, masyarakat santri tidak melupakan jas almamater mereka yaitu sebagai Santri, Karena menurut saya sendiri selaku jurnalis, saya berpandangan bahwa saya Santri dan saya tidak bangga sama sekali menjadi santri, sebab tugas utama santri ialah mengaji tiada henti.

  • Banyak masyrakat santri tidak terlalu paham mengenai tema ini, alangkah baiknya kita semua mengkaji kata gaul dulu, karena bagi saya sendiri Standar sosial dari kata gaul itu adalah FOMO, Begini kata salah satu Narasumber : tema ini artinya gaul harus, dan tema ini sangat cocok untuk semua masyarakat santriyin wa santriyat. Kenapa? Karena kita yg notabane nya berhidup agamis jikalau nanti kita terjun ke masyarakat. Dan manusia sendiri tidak lupa dengan insting nya masing- masing, yaitu berinteraksi.
  • Esensi dari maskulin kepada Feminim adalah menggauli, yaitu menggauli pasangan nya sendiri. Gaul harus tetapi jangan terbawa arus, dan yang harus kita jaga adalah citra baik atau karisma Santri itu sendiri.
  • Gaul itu harus menerangi, bukan membakari. Begitu kata Narasumber Pangersa Ang Faiz Muhammadi
  • Salah satu santri mempertanyakan kepada narasumber dengan pertanyaan seperti ini :

Sebagai santri terpaut dengan pakaian islamic lebih tepatnya peci nan sarungan, tetapi kebanyakan santri sekarang malu dengan memakai atribut santri yaitu peci nan sarungan?

Hampir semua orang mempunyai identitas nya masing- masing, dan kebiasan nya orang pondok itu identitasnya memakai peci nan sarungan tersendiri, dan pakaian islamic itu ternyata menjadi bagian pakaian dari budaya indonesia sendiri. Dan Orang islam terdahulu jikalau beribadat, yaitu tidak lepas dengan kain, lebih tepatnya peci nan sarungan, singkat nya apik dalam beribadat, dalam taqorrub illallah. Dari situ muasal identitas agamis, bukan mengharuskan, tetapi mengebiasakan diri dalam berpakaian santri.

  • Tahun 2012 P. Ang Faiz Muhammadi berkutat atau berkecimpung di dunia luar dengan masuk Organisasi BISMANIA (orang” yang suka dengan bus), Dan Notabene beliau sendiri adalah putra kyai pesantren almusri’ ini, dan beliau di paksa oleh lingkungan luar dengan membuka identitas beliau tesendiri, yaitu memakai celana seperti orang – orang luar biasanya. Dan beliau sendiri mengerti dengan notabene nya yaitu jikalau ke luar rumah maka harus memakai peci nan sarungan. Dan alhamdulillah beliau sudah percaya diri dengan pakaian santri, tetapi tidak dengan menglihatkan ciri putra kyai, sing penting pakaian seperti luar tetapi masa depan tidak jauh seperti bapak nya itu sendiri yaitu P. KH. Saeful Uyun LC.

Filosofi dari spion sendiri adalah jika berkendara maka kita harus mawas diri dalam berkendara dan harus tetap fokus dengan apa yang sedang di jalani.

  • Berbicara kata mantan, mantan adalah orang yang pas atau baik pada episode nya sendiri, dan mantan ikut membentuk karakter kita dalam hidup dengan terus menjadi baik, dan jangan lelah menjadi orang yang baik.
  • Ada pertanyaan yang diusung oleh moderator tentang ( kesantrian ) dan di jawab oleh gus ali dengan jawaban mengutip ucapan imam gojali yaitu harus bisa membagi waktu, mengatur waktu , kembali lagi kepada prioritas kita siapa dan kita mau apa?, harus bisa membedakan dimana tempat kita berada, dan ada pertanyaan apakah hubungan diri dengan waktu, ada satu yang diciptakan tuhan yaitu wktu , karena yang paling dekat dengan kita adalah waktu, coba anda bertafakr apak yang lebih dekat dengan kita. Waktu adalah harta yang paling mulya.
  • Tambahan dari p. Ang faiz , ketika kita berinteraksi dengan kesantrian kita jangan sombong jangan berpikiran bahwa yang digauli oleh kita  tidak mulya, kenapa a faiz berbicara kayak gitu?, karena memang belajar dari pengalaman , karena memang melihat dari keterangan orang yang masuk syurga adalah bukan orang yang jago jurumiyah, alfiyah dan sebagainya, tapi untuk mencapai ridho alloh itu kan harus taqwa ( ngalakukeun anu di parentah ku alloh jeung naon anu dilarang ku alloh ) intinya jangan  sombong dengan apa yang kita ketahui , dan jangan bangga menjadi santri ( tong abong urang santri urang bakal gampang asup syurga ) harus tau batasn apa saja yang harus kita lewati , di perkuat oleh dauhan imam gozali oleh gus ali , ketika kita menemui teman yang begitu buruk , bahwa kata imam gozali jangan men jazz secara langsung tapi harus di telusuri dulu latar belakangnya, bi di simpilkan merubah diri sendiri merubah dunia, karena memang kenapa indonesia menjadi negara yang peradaban yang tinggi? , karena memang lebih mementingkan adabiyah.
  • Dan ada pertanyaan dari audiens yang berbunyi ‘ santri itu dibatasi oleh pengetahuannya’ dengan coretan hadist man tasabbaha , dan di jwab oleh a faiz karena memang tasabbaha itu saling menyerupai . di tambahakan oleh gus ali ternyata bukan pengetahuan kita saja yang membatasi ,
  • Satu lagi pertanyaan dari audiens “ manusia kenapa bisa beralih fungsi dari dunia nyata ke media sosial?, bagaimana kita membatasi bermedia sosial , lebih ke bagaimana kita menggunakan nya karena media sosial sudah menjadi dunia lain di zaman sekarang
  • Clossing penampilan ini ditutup oleh puisi oleh gus ali, perlu kalian catat dalam otak yang paling dalam, “ cukup satu dalam bergaul apa itu belajarlah menerim apa yang diberikan oleh orang lain. Seperti air meskipun basah tapi terkenang kepada kita.

Terimakasih tak terhingga pada narasumber serta para rekan – rekan panitia banom nan kesenian, Tak terhingga terimakasih.

Akhir kata, Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

TAFARUQON KELAS AL-BAHJATUL WASA’IL

Pada tanggal 26 maret, Tepatnya pada hari selasa 2024. Wali kelas 2 Ibtidaiyyah besertakan para murid kelas 2 Ibtidaiyyah gelar Tafarukon akbar khusus untuk kelas 2 Ibtidaiyyah. Yang bertempat di Masjid Al-Hidayah pada sore hari, Dan pada malam hari bertempat di Maqbaroh Mama Syaikhuna Almukarom dan sebagainya.

Istilah Tafaruqon adalah masa penutupan atau perpisahan kelasan, Dengan selesainya program pesantren jelang lebaran, kelas Al-Bahjatul Wasa’il ini melakukan Tafaruqon atau perpisahan bersama teman sekelas.

dengan menggelar acara tafaruqon khusus kelas 2 Ibtidaiyyah sekarang yaitu dengan harapan bisa memberikan manfaat bagi murid – murid kelas Al-Bahjatul Wasa’il khususnya bagi santri yang mengikuti dari awal masuk dan bisa terpilih kemudian di saat masuk bisa belajar dan belajar jauh dari orang tua serta belajar mandiri. dengan beres nya Kegiatan Belajar Mengajar, Mudasmat (Musabaqoh dan Cerdas Cermat) dan Ulangan. di harapkan dari bekal ini bisa melanjutkan menambah hapalannya dan terus menambah ilmu agamanya di rumah. Santri kelas 2 Ibtidayyah (Al-Bahjatul Wasa’il) menyampaikan, di pesantren ini kami dapat merasakan indahnya kebersamaan serta berbagi pengalaman dan masih banyak kesan serta pesan yang kami dapat dari guru pembimbing, namun tidak bisa di uraikan dengan kata-kata.

Sebelum perpisahan dengan teman – teman sekelas, saya atas nama santri dan mewakili semua santri kelas 2 Ibtidaiyyah meminta ampun maaf atas segala kesalahan dan kekurangan selama Kegiatan Belajar Mengajar serta Mudasmat, Ulangan ini dan kami tidak bisa membalas apa- apa.

Akhir kata, Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

NGOBAT (Ngobrolkeun Batur)

Alhamdulillah Mudasmat dan Ulangan di Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ sudah selesai. Dikarenakan Mudasmat dan Ulangan sudah selesai, Maka kebiasaan santri sesudah acara tersebut adalah dengan mengisi acara Pesta Rakyat (Pesta Masyarakat Santri), Guna mengisi kegiatan para santri sebelum Libur Panjang tiba. Adapun Rundown Acara Pesta Rakyat yaitu :

  1. Main Bola
  2. Pagar Nusa
  3. Puncak Acara

Tetapi pada rundown acara tersebut yang paling inti adalah kajian Ngobat (Ngobrolkeun Batur) yang bertema kan “Gaul tong kaku, Mawas diri kudu” yang di Narasumberi oleh 2 orang yaitu :

  1. Pangersa Ang Faiz Muhammad
  2. Ust. Ali Ghozali

Acara ngobat akan di laksanakan pada Malam Kamis, 27 Maret 2024, Yang bertempat di Gedung Aula Alfaqih. Adapun materi yang akan di bahas yaitu perihal sosialisasi harus, tetapi jaga diri juga harus, guna para santri bisa memilah antara yang baik dan yang buruk.

Setiap manusia yang lahir di dunia ini tidak bisa hidup sendiri. Kita membutuhkan kehadiran orang lain untuk saling melengkapi, serta interaksi sosial guna menjalin kebersamaan.  pentingnya komunikasi yang rutin bagi kesehatan mental. Dari temuannya, dapat dikatakan mengajak orang ngobrol setiap hari bisa meningkatkan suasana hati kita. Bahkan cara itu juga ampuh meredakan stres.

Sosialisasi adalah suatu usaha untuk memberikan informasi tentang suatu kabar atau berita. Sosialisasi juga dapat disebut sebagai promosi. Promosi terjadi karena ada juga yang harus disampaikan, terjadinya
sosialisasi membuat tersebarnya suatu informasi yang tidak diketahui oleh masyarakat bnyak dan terjadinya informasi membuat terjalinnya hubungan antara penyampaian pesan dan penerima pesan.

Sosialisasi merupakan proses seseorang memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlakukannya agar dapat berfungsi sebagai orang dewasa dan sekaligus sebagai pemeran aktif dalam suatu kedudukan atau peranan tertentu di masyarakat Sosialisasi merupakan salah satu cara untuk melakukan pengendalian sosial (sosial control) apabila suatu masyarakat ingin berfungsi efektif, maka para anggota masyarakat harus berprilaku sesuai dengan nilai dan norma sosial yang mengatur pola hidup dalam masyarakat tersebut.

Tujuan dari sosialisasi dalam masyarakat antara lain :

a. Mengetahui nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku didalam suatu masyarakat sebagai keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk melangsungkan kehidupan seseorang kelak ditengah-tengah
masyarakat dimana individu tersebut sebagai anggota masyarakat.
b. Mengetahui lingkungan sosial budaya baik lingkungan sosisl tempat individu bertempat tinggal termasuk juga dilingkungan sosial yang baru agar terbiasa dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang ada pada masyarakat.
c. Membantu pengendalian fungsi-fungsi organik yang dipelajari melalui latihan-latihan mawas diri yang tepat.
d. Menambah kemampuan berkomunikasi secara efektif dan efisien serta mengembangkan kemampuannya seperti membaca, menulis, berkreasi dan lain-lain.

Sosialisasi merupakan proses pembelajaran nilai dan norma sosial untuk membentuk perilaku dan kepribadian individu dalam masyarakat, adapun fungsi sosialisasi sebagai berikut :
a. Membentuk pola perilaku dan kepribadian berdasarkan kaidah nilai dan norma suatu masyarakat
b. Menjaga keteraturan hidup dalam masyarakat atas keragaman pola tingkah laku berdasarkan nilai dan norma yang diajarkan
c. Menjaga integrasi kelompok dalam masyarakat.

Mawas Diri (Murâqabah)

merupakan salahsatu ciri qalbu yang sehat. Ketika kita merasa selalu diawasi oleh Allah Swt dan malaikatnya yang ditenpatkan di dalam diri kita saat itu kita sadar untuk mengontrol diri dengan cara mengawasi diri kita untuk tidak melakukan sesuatu yang tidak wajar. Kesadaran yang tumbuh di dalam qalbu karena merasa diawasi oleh Allah Swt perlu dipertahankan, guna tujuan dan perjalanan hidup kita tercapai. Betapa tidak, CCTV Tuhan pasti jauh lebih canggih daripada ciptaan manusia.

Menurut bahasa, murâqabah berarti murâshadah, yaitu mengintai, hampir sama maknanya dengan pengawasan dan penantian. Menurut istilah para ahli hakekat, murâqabah ialah seorang hamba senantiasa menyadari bahwa segala gerak-geriknya berada dalam pengawasan Allah Swt. Murâqabah juga sering diartikan dengan memelihara rahasia (hati) untuk selalu merasa diawasi oleh al-Haqq (Tuhan) dalam setiap gerak-gerik, sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (QS. An-Nisa’/4:1).

Sebagian ahli hikmah berkata kepada seseorang: “Merasa malulah kepada Allah sesuai kedekatan dan penegetahuanmu kepada-Nya, persiapkanlah dirimu untuk dunia sesuai dengan kebutuhan tinggalmu di sana, taatilah Allah sesuai kebutuhanmu kepada-Nya, dan berterima kasihlah kepada-Nya sesuai nikmat yang dianugerahkan kepadamu”. Dengan demikian, sikap mawas diri yang biasa kita lakukan selain akan memberikan keuntungan duniawi, sudah pasti juga akan menjanjikan tempat yang istimewa di mata Allah Swt di akhirat kelak. Mawas diri tidak pernah mendatangkan penyesalan, sebaliknya kesemberonoan hiduplah yang paling banyak mendatangkan penyesalan.

Syeikh Nawawi al-Bantani: Ulama yang Mendunia

RIWAYAT HIDUP DAN PENDIDIKAN

Nawawi al-Bantani, seorang ulama besar dari desa Tanara, kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten. Dia adalah seorang tokoh ulama besar. Penulis terkenal dan pendidik dari Banten lama bermukim di Mekah. Ia dilahirkan pada tahun 1813 M atau bertepatan dengan 1230 H. Nama aslinya adalah Nawawi bin Umar bin Arabi. Ia dikenal juga sebagai Nawawi al-Bantani. Dikalangan keluarganya, Syeikh Nawawi dikenal juga dengan sebutan Abu Abdul Mu’ti. Ayahnya bernama KH. Umar bin Arabi, seorang ulama dan penghulu di Tanara, Banten. Ibunya Jubaidah, penduduk asli Tanara. Dari silsilah keturunan ayahnya. Syeikh Nawawi merupakan salah satu keturunan Maulana Hasanuddin, putra Maulana Syarif Hidayatullah.

Semasa kecil, Nawawi pernah berpamitan dengan ibu kandungnya untuk pergi mengaji menuntut ilmu, maka ibunya melepas sang anak yang dikasihinya itu dengan pesan “Aku doakan dan kurestui kepergianmu mengaji dengan suatu syarat: Jangan pulang sebelum pohon kelapa yang sengaja kutanam ini berubah!”. Ibunya memang berharap agar anaknya menuntut ilmu secara sungguh-sungguh da tidak cepat puas.

Kelebihan Syeikh Nawawi telah terlihat sejak remaja. Ia hafal qur’an pada usia 18 tahun. Sebagai seorang Syeikh, ia menguasai hampir seluruh cabang ilmu agama, seperti ilmu tafsir, ilmu tauhid, fiqih, akhlak, tarikh dan bahasa Arab. Pendirian-pendiriannya dalam bidang ilmu kalam dan fiqih bercorak ahlussunah waljamaah. Menurut catatan sejarah, di Mekkah ia cukup lama mendalami ilmu-ilmu agama dari para Syeikh, seperti Syeikh Muhammad Khatib Sambas, Syeikh Abdul Gani Bima, Syeikh Yusuf Sumulaweni dan Syeikh Abdul Hamid Dagastani.

PENGABDIANNYA

Dengan bekal pengetahuan agama yang telah ditekuninya selama 30 tahun di Mekkah. Syeikh Nawawi telah menguasai dan mendalami berbagai disiplin ilmu agama, kemudian mengajarkan ilmu yang didapatnya tersebut setiap hari di Masjidil Haram, karena itulah ia dipanggil Syeikh. Murid-muridnya berasal dari berbagai penjuru dunia. Syeikh Nawawi terkenal sebagai salah seorang ulama besar dikalangan umat islam dunia. Ia dikenal melalui karya-karya tulisannya. Murid-muridnya yang hadir tidak pernah kurang 200 orang. Diantara murid-muridnya yang kemudian terkenal antara lain: KH. Kholil Bangkalan, KH. Hasyim Asy’ari Jombang, KH. Raden Asnawi dari Kudus, dan KH. Tubagus Mohammad Asnawi dari Caringin Jawa Barat. Ada juga yang dari Malaysia seperti KH. Dawud (Perak). Ia mengajarkan pengetahuan agama secara mendalam kepada murid-muridnya yang meliputi hampir seluruh bidang pelajaran agama.

Disamping membina pengajian, melalui murid-muridnya Syeikh Nawawi memantau perkembangan situasi politik di tanah air dan memberikan saran-sarannya untuk kemajuan masyarakat Indonesia. Pada sekitar tahun 1831 M ia kembali ke Indonesia. Di Banten ia kemudian membina pesantren peninggalan orang tua nya. Namun karena situasi politik kolonial Belanda yang tidak menguntungkan, setelah tiga tahun ia membina pesantren, ia kembali ke Mekkah meneruskan pelajarannya. Sejak itu ia tidak pernah kembali lagi ke tanah airnya.

Sumber: Tokoh islam paling berpengaruh

Keutamaan Belajar Bersama dan Mengajarkan Ilmu Menurut KH Hasyim Asy’ari

Dikarenakan sudah menghadapi MUDASMAT DAN ULANGAN, Masyarakat santriyin wa santriwati dalam menghadapi Musabaqoh, Cerdas Cermat, Ulangan tulis dan Ulangan pembacaan, Oleh Panitia Mudasmat diberi tambahan PEMBELAJARAN COOPERATIF ( COOPERATIVE LEARNING ) atau bisa di bilang Belajar bersama.

Pembelajaran kooperatif merupakan metode belajar yang dilaksanakan dengan bekerja sama antar siswa atau santri, sehingga nantinya santri tidak semata mencapai kesuksesan secara individual atau saling mengalahkan antar santri.

Namun mereka juga bisa membantu teman belajarnya yang berkemampuan di bawah standart minimum. Dengan demikian tumbuhlah jiwa sosial dalam diri santri. Uraian di bawah ini menawarkan untuk merekonstruksi pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah khususnya di pesantren salafiyyah yang semula memakai metode ceramah menjadi metode pembelajaran kooperatif (cooperative learning).

Dengan tujuan agar para siswa/santri tidak merasa jenuh dalam mempelajari beberapa fan ilmu yang ada di Pondok pesanten Miftahulhuda Al-Musri’. Sekalipun demikian, disamping mempunyai kelebihan, pembelajaran kooperatif juga tidak terlepas dari kelemahan. Namun kelemahannya jauh lebih bisa diatasi atau diminimalkan.

Berikut adalah dokumentasi Belajar Bersama di Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’.

Dalam kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim, Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari mengawali pembahasan dengan ulasan tentang keutamaan ilmu, ulama, belajar, dan mengajarkan ilmu. Beliau memaparkan beberapa dalil Al-Qur’an dan al-Hadits serta pernyataan para sahabat Nabi dan ulama yang menjelaskan hal itu.

Tentang keutamaan ulama, di antaranya beliau mencantumkan ayat Al-Qur’an:  

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجاتٍ

“Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu” (QS Al-Mujadalah ayat 11).

Menurut KH Hasyim Asy’ari, alasan Allah mengangkat derajat para ahli ilmu adalah karena mereka dapat mengaplikasikan ilmu mereka dalam kehidupannya. Beliau memberikan tafsir (interpretasi) ayat di atas sebagai berikut:

درجات العلماء فوق المؤمنين بسبعمائة درجة درجة ما بين الدرجتين خمسمائة عام

“Para ulama mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang mukmin pada umumnya dengan selisih 700 derajat dan di antara dua derajat terpaut selisih 500 tahun.” 

Apa yang disampaikan KH Hasyim Asy’ari ini senada dengan penjelasan al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith dalam kitab al-Manhaj al-Sawi. Habib Zain menjelaskan alasan terpautnya selisih derajat yang sangat jauh antara orang berilmu dan selainnya dalam statemen beliau sebagai berikut: 

قلت وذلك لأن العلم أساس العبادات ومنبع الخيرات كما أن الجهل رأس كل شر وأصل جميع البليات.

“Aku berkata. Demikian itu karena ilmu adalah asasnya ibadah-ibadah dan sumber beberapa kebaikan, sebagaimana kebodohan adalah pangkal setiap keburukan dan sumber seluruh musibah”

(al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith, al-Manhaj al-Sawi, hal. 77).

Hadratussyekh selanjutnya mengutip ayat “Allah, para malaikat dan orang-orang yang berilmu bersaksi bahwa tiada tuhan selain-Nya.” (QS Ali Imran ayat 18). Dalam ayat tersebut Allah Swt telah mengawali dengan penyebutan Allah sendiri, selanjutnya menyebutkan para malaikat-Nya dan terakhir menyebutkan para ahli ilmu, penyebutan ini sangat cukup untuk menyimpulkan bahwa ulama memiliki kedudukan yang tinggi di sisi-Nya.

KH Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa ada dua ayat yang menunjukan bahwa ulama adalah makhluk Allah terbaik. Pertama firman Allah:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحاتِ أُولئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, merekalah makhluk yang terbaik”

(QS Al-Bayyinah ayat 7). 

Setelah mengutip dua ayat di atas, Hadratussyekh memberi kesimpulan:  

فاقتضت الآيتان أن العلماء هم الذين يخشون الله تعالى والذين يخشون الله هم خير البرية فينتج أن العلماء هم خير البرية

“Dua ayat di atas menuntut bahwa para ulama adalah mereka yang takut kepada Allah, orang-orang yang takut kepada Allah adalah makhluk terbaik. Maka menyimpulkan bahwa para ulama adalah makhluk terbaik.”  

KH Hasyim Asy’ari juga mendasari pendapatnya tentang keutamaan ulama dengan beberapa hadits Nabi, di antaranya: “Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah Swt, maka Allah akan memberikan pemahaman kepadanya dalam permasalahan agama.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits lain disebutkan “Para ulama merupakan pewaris para Nabi.” (HR al-Tirmidzi dan lainnya). KH Hasyim Asy’ari mengungkapkan bahwa derajat sebagai pewaris para nabi yang disebutkan dalam hadits memberikan indikasi kuat bahwa ulama memiliki kedudukan yang sangat agung dan mulia, bahkan merupakan derajat yang terbaik sepeninggal para Nabi. Beliau menyampaikan kesimpulan tersebut dengan argumentasi sebagai berikut:

وإذا كان لا رتبة فوق النبوة فلا شرف فوق شرف الوراثة لتلك الرتبة

“Ketika tidak ada derajat yang lebih mulia daripada derajat kenabian, maka tidak ada kemuliaan yang dapat mengalahkan kemuliaan para pewaris derajat kenabian tersebut (yaitu para ulama).”

Selanjutnya KH Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa puncak dari keilmuan seseorang adalah pengamalan ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-hari, sebab hal itu merupakan buah dari ilmu dan faedah kebaikan dari umur seseorang serta merupakan bekal yang akan berguna di akhirat kelak, maka siapa saja yang dapat menggapai itu semua maka ia akan berbahagia baik di dunia maupun di akhirat, dan barangsiapa yang tidak dapat menggapainya maka ia akan berada dalam kerugian.

Hadratussyekh juga menyampaikan hadits Nabi tentang perbandingan ahli ibadah dan ulama. Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa ada dua orang sowan menghadap baginda Nabi Muhammad Saw, salah seorang di antara mereka merupakan ahli ibadah, sedang yang lain merupakan ahli ilmu. Nabi mengatakan tentang perbandingan keduanya dalam sabda beliau “Keutamaan orang yang berilmu berada di atas orang yang ahli ibadah layaknya keutamaanku atas orang-orang yang paling rendah derajatnya di antara kalian” (HR al-Tirmidzi).

Belajarlah!

Berkait dengan keutamaan mencari ilmu, KH Hasyim Asy’ari menyebut hadits Nabi “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah subhanahu wata’ala akan memberinya jalan menuju surga” (HR Ahmad, Abu Daud dan lainnya). Dalam hadits lain Nabi bersabda “Mencari ilmu merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam, laki-laki dan perempuan. Setiap sesuatu yang di dunia ini akan memintakan pengampunan kepada Allah Swt untuk para pencari ilmu, hingga ikan di laut pun ikut memintakan pengampunan baginya.”

(HR Abu Daud, al-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Sebagai catatan tambahan, doa pengampunan ikan-ikan di laut untuk orang berilmu tidak hanya dipanjatkan saat mereka hidup, namun juga berlaku setelah wafat hingga akhir kiamat, sebab ilmu ulama akan senantiasa bermanfaat setelah mereka wafat hingga hari kiamat. Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith menegaskan:

قلت واستغفار حيتان البحر للعالم يكون في حياته وبعد مماته إلى يوم القيامة لأن العلم ينتفع به بعد موت العالم إلى يوم القيامة وفي هذا دليل على شرف العلم وتقدم أهله وأن من أوتيه فقد أوتي فضلا عظيما

“Aku berkata, pengampunan ikan-ikan laut untuk orang alim terjadi di masa hidup dan setelah kewafatannya hingga hari kiamat. Sebab ilmu akan terus dimanfaatkan setelah kematian orang alim hingga hari kiamat. Ini adalah petunjuk atas kemuliaan ilmu dan unggulnya ahli ilmu, sesungguhnya orang yang diberi ilmu, maka sungguh diberi keutamaan yang agung.” (al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith, al-Manhaj al-Sawi, hal. 77).

Dalam riwayat lain disebutkan, “Barangsiapa berangkat di pagi hari untuk mencari ilmu, malaikat memintakan ampunan untuknya dan diberkahi hidupnya” (HR Abu Umar al-Qurthubi). Riwayat lain menyebutkan “Barangsiapa yang bergegas pergi ke Masjid dalam keadaan tidak menginginkan kecuali untuk belajar ilmu maka ia akan mendapatkan pahala layaknya pahala orang yang berhaji secara sempurna” (HR al-Thabrani).   

Kedekatan orang alim dan pembelajar diibaratkan Nabi seperti dua jari telunjuk dan jari tengah, keduanya saling menempel, derajat mereka berdua jauh meninggalkan manusia yang lain. Dalam sebuah riwayat Nabi bersabda “Orang alim dan pembelajar layaknya jari ini dan jari yang ini (beliau mengumpulkan antara jari telunjuk dan jari tengah yang berada di sampingnya), keduanya bersekutu dalam pahala, tiada kebaikan untuk segenap manusia selain kedua orang tersebut” (HR Ibnu Majah, Abu Nu’aim dan lainnya).

Nabi berpesan agar umatnya tidak melepaskan diri dari salah satu lima status, yaitu ahli ilmu, pembelajar, pendengar dan pecinta mereka. Dalam sebuah riwayat beliau bersabda “Jadilah orang yang alim ataupun orang yang belajar keilmuan ataupun orang yang senantiasa mendengarkan ilmu atau orang yang suka akan hal itu dan jangan sampai kamu menjadi orang yang ke lima, sebab kamu akan menjadi orang yang rusak” (HR al-Thabrani, al-Darimi dan lainnya).

Orang kelima yang dimaksud dalam hadits di atas adalah mereka yang membenci ilmu dan ulama. Syekh Abdurrauf al-Manawi mengatakan:

قال عطاء وقال لي مسعر زدتنا خامسة لم تكن عندنا والخامسة أن تبغض العلم وأهله فتكون من الهالكين وقال ابن عبد الله البر: هي معاداة العلماء أو بغضهم ومن لم يحبهم فقد أبغضهم أو قارب وفيه الهلاك

“Atha’ berkata, berkata kepadaku Mis’ar, tambahkanlah yang kelima yang tidak ada di sisi kami, yaitu engkau membenci ilmu dan ahlinya, maka akibatnya engkau termasuk orang-orang yang rusak. Berkata Ibnu Abd al-Barr, yang kelima adalah memusuhi ulama atau membencinya. Barangsiapa tidak cinta ulama maka ia telah membencinya atau mendekati benci dan di situlah kebinasaan”

(Syekh Abdurrauf al-Manawi, Faidl al-Qadir, juz 2, hal. 17).

,