Memadukan Kecerdasan, Daya Juang, dan Spiritualitas
Manusia adalah unik. Memandang sosok manusia bisa dilihat dari berbagai sisi dan yang paling gampang dilihat adalah fisik. Kurus, gemuk, tinggi, rendah, rupawan, sederhana dan lain-lain wajah fisik dengan mudah kita mengenalinya.
Tetapi ada unsur-unsur lain dalam diri manusia yang untuk memahaminya diperlukan berbagai informasi dan data untuk menyimpulkannya. Sesorang yang disebut memiliki kecerdasan tinggi misalnya, mungkin baru bisa dilihat setelah dilakukan pengukuran kecerdasan (inttelligence quotient).
Biasanya orang-orang cerdas atau hebat selalu dihubung-hubungkan dengan hasil pengukuran IQ. Jika hasil pengukurannya tinggi mereka disebut sebagai orang cerdas. Dan orang-orang cerdas inilah yang biasanya dihubungkan juga dengan orang-orang berprestasi di sekolah atau pesantren karena dikaitkan ranking atau indeks prestasi.
Banyak lagi sebenarnya predikat yang bisa disematkan kepada seseorang, seperti orang hebat, orang sukses, orang bijak dan lain-lain yang pengukurannya tentu lebih sulit dibandingkan mengukur kecerdasan intelektual karena sudah ada instrumen yang mashur dan disepakati banyak pihak. Oleh sebab itu, belakangan ini muncul banyak istilah-istilah yang ada kaitannya dengan kecerdasan seperti Emotional Quotient (EQ), Adversity Quotient (AQ), dan Spiritual Quotient (SQ). Munculnya temuan dan pemikiran ini menjadikan kita tidak lagi tunggal mengatakan bahwa orang hebat dan sukses itu bukan semata-mata karena kecerdasan intelektual saja tetapi juga ditentukan kecerdasan yang lainnya.
Dari sini para pakar pendidikan mulai menggali potensi selain IQ untuk dioptimalkan dalam rangka mendefinisikan sebuah keberhasilan. Berdasarkan argumen-argumen baru ini, orang tidak lagi pesimis ketika dinyatakan IQ rendah atau kurang cerdas intelektualnya. Sebab, mereka masih memiliki potensi lain yang jika dikembangkan juga mampu meraih keberhasilan sebagaimana orang-orang yang memiliki IQ tinggi. Banyak contoh yang ditunjukkan dengan mereka yang memilki EQ, AQ, SQ yang baik mereka juga akan memperoleh keberhasilan dalam bidang tertentu yang juga mengagumkan.
Oleh karena itu, jika kita tidak atau kurang mampu dalam salah satu kecerdasan bisa mengembangkan kecerdasan yang lain, syukur-syukur mampu memadukan semua potensi kecerdasan tersebut. Dengan demikian semakin banyak kecerdasan yang dioptimalkan, tentu akan lebih baik jika dibandingkan hanya salah satu kecerdasan yang dikembangkan. Dan yang terpenting, kita yakin bahwa semua manusia pasti memiliki keunikan sehingga tidak perlu mengeluh dari hasil pengukuran kecerdasan intelektual yang rendah. Sebab, masih ada kecerdasan yang lain dan jika dikembangkan terus juga bisa meraih keberhasilan yang juga bisa dibanggakan.
Kecerdasan
Banyak perdebatan yang membicarakan tentang kecerdasan manusia. Sebagian mengatakan itu pemberian (given) dari Tuhan dan sebagian lain menyimpulkan bahwa itu sesungguhnya potensi yang semua orang memiliki dan tergantung pengembangannya.
Sebagai modal potensial, kecerdasan intelegensia ini masih menjadi andalan dan harapan banyak pihak. Hari ini masih banyak lembaga-lembaga pendikan yang melakukan seleksi awal dengan melakukan pengukuran kecerdasan ini. Apalagi sekolah-sekolah yang mendeklarasikan sebagai sekolah unggulan, di samping uang sekolahnya mahal karena dukungan fasilitas yang lengkap, juga melakukan tes kecerdasan sebagai pertimbangan.
Para penyelenggara pendidikan jenis ini meyakini bahwa prestasi akademik pasti akan diraih dengan kemampuan awal (entry behavior) anak-anak yang memiliki skor IQ tinggi. Didukung dengan fasilitas yang mewah dan memadahi menjadikan lembaga-lembaga seperti ini banyak menjadi rebutan orang-orang mampu yang menginginkan putra-putrinya tumbuh dan berkembang menjadi orang yang hebat di masa akan datang.
Kecerdasan intelektual menjelaskan sifat fikiran yang kompleks yang mencakup sejumlah kemampuan seperti kemampuan menalar, memproyeksikan, memecahkan masalah, berfikir abstrak, pemahaman terhadap gagasan, daya tangkap dan kemampuan belajar. Kompleksitas variabel ini membutuhkan treatment yang kompleks juga jika ingin terus tetap berkembang optimal pada sesorang. Pemahaman terhadap semua variabel kecerdasan ini penting bagi pendidik agar para peserta didik bisa mendapatkan perhatian dibutuhkan.
Memang orang-orang hebat seperti Albert Einstein, BJ Habibie, Kim Um Yong, Christoper Hirata dan sejumlah tokoh terkenal lainnya dikenal sebagai orang yang memiliki skor di atas rata-rata IQ manusia di kisaran 90-109. Kecerdasan orang-orang hebat ini di samping anugerah Tuhan juga karena mereka mampu melampaui tahapan belajar yang sungguh-sungguh. Jadi seberapapun potensi skor IQ kita, masih diperlukan tahapan belajar yang tepat dan sungguh-sungguh. Bagi yang diberikan skor tinggi ini adalah anugerah Tuhan, tetapi bagi mereka yang skor IQ-nya di bawah rata-rata pasti juga masih banyak diberikan keunikan. Intinya kita tidak boleh pasrah dan terus bekerja keras mengoptimalkan taqdir yang diberikan oleh Tuhan.
Daya Juang
Ternyata banyak sekali orang bersyukur dengan perjalanan hidupnya yang penuh derita, sengsara dan serba kekurangan. Kenapa ini disyukuri? Karena mereka menyadari betul dengan berbagai penderitaan yang pernah dialaminya dan mampu dilampuinya itulah yang mengantarkannya pada sebuah keberhasilan yang gemilang.
Ini adalah pembelajaran, pengalaman dan juga anugerah yang luar biasa. Orang yang mampu mengatasi persoalan, melampaui rintangan, melawan keterbatasan mereka adalah para juara sejati. Hanya mereka yang memiliki daya juang (adversity quotient) yang tinggi seperti ini yang akan bisa membalikkan kekhawatiran-kekhawatiran.
Banyak atlet peserta lomba yang di awal (start) bagus dan memilki potensi fisk yang kuat ternyata banyak yang terdampar di tengah perlintasan tidak mencapai garis finish. Kenapa ini bisa terjadi? Karena mereka tidak memiliki daya juang yang tangguh dan tidak mampu mengatasi persoalan di tengah perjalanan yang memang terkadang semuanya terjadi di luar dugaan. Kalau mereka frustasi dan tidak siap dengan cobaan seperti ini, sudah dapat dipastikan mereka akan gagal melampaui perlintasan dan tidak pernah mencapai garis finish. Model seperti ini tidak hanya terjadi di area perlombaan tetapi terjadi pula dalam proses pembelajaran dan fakta kehidupan.
Terkait dengan bahasan ini, ada kisah menarik yang pernah disajikan di sebuah majalah populer “Luar Biasa” yang pimpinan redaksinya Andri Wongso. Diceritakan pada sebuah even perlombaan awak media memberikan penghargaan dan apresiasi yang luar biasa kepada seorang atlit yang memasuki garis finish paling akhir dibandingkan peserta lomba lainnya. Hal ini tidak lazim seperti biasanya yang selalu dielu-elukan, dipeluk, dicium dan diberikan karangan bunga adalah atlit yang mencapai garis finish pertama. Ternyata penghargaan ini diberikan kepada seseorang yang memiliki daya juang yang mengagumkan. Betapa tidak, hanya tinggal seorang diri, terseok-seok, berlumuran darah, bercucuran keringat dan air mata tetap semangat menuju ke garis finish. Dan yang paling mengagumkan ketika ditanya kenapa Anda tetap bersemangat menuju garis finish, meski tidak mungkin menjadi juara? Jawabnya, “Saya diutus negara ke sini bukan untuk Start, tetapi untuk Finish”.
Ini pembelajaran kehidupan yang luar biasa. Kita dalam menilai sesuatu tidak boleh hanya melihat hasil akhirnya saja tetapi juga harus melihat proses yang dilaluinya. Kita tidak boleh hanya memberikan apresiasi kepada anak-anak didik yang lulus tercepat atau tinggi hasil ujianya atau cumlaude wisudanya, tetapi anak-anak yang bekerja keras karena berbagai keterbatasan namun mereka tetap bekerja keras dan tegar menghadapi berbagai cobaan hingga bisa menyelesaikan studi sebagaimana teman-temannya, orang-orang seperti ini saya kira juga layak diberi penghargaan.
Spiritualitas
Banyak pengertian dan definisi tentang spiritualitas yang dikemukakan beberapa pakar. Dari sisi makna kata spiritualitas berasal dari kata spirit yang maknanya jiwa. Sehingga spiritualitas selalu dihubungkan dengan pengalaman jiwa atau moralitas manusia.
Kita coba mengambil definisi salah satu ilmuwan yakni Dewit-Weaver (Dalam McEven, 2004) yang menyatakan bahwa spiritualitas sebagai bagian dari dalam individu yang tidak terlihat yang berkontribusi terhadap keunikan serta dapat menyatu dengan nilai-nilai transendental (suatu kekuatan yang maha tinggi/high power dengan Tuhan/God) yang memberikan makna, tujuan, dan keterhubungan.
Ternyata, di samping modal kecerdasan intelektualitas dan daya juang, ada faktor lain yang mendasari keberhasilan manusia dan ini juga sangat menentukan. Di balik kesuksesan dan pencapaian, puncak prestasi seseorang juga ditentukan faktor spiritualitas. Keyakinan terhadap hal-hal yang transendental ini tidak bisa diabaikan. Yaitu, hal-hal yang tidak tampak tetapi kekuatannya cukup dahsyat.
Kesadaran seperti inilah yang menumbuhkan kecerdasan spiritualitas seseorang yang makin menenangkan. Mereka yang makin meningkat kecerdasan spiritualitasnya juga bisa terhindar dari gaya arogan, sombong, ananiah (individualis) dan sikap-sikap berlebihan. Sebab, mereka betul-betul menyadari bahwa keberhasilanya bukan semata-mata dari kemampuan dan jerih payahnya sendiri, tetapi pertolongan Tuhan.
Memadukan ketiga unsur yakni kecerdasan, daya juang dan spiritualitas ini akan mengokohkan harapan-harapan bagi mereka yang akan memulai menapaki suatu tujuan. Manusia sesungguhnya diciptakan tidak ada yang dalam kondisi kekurangan. Hanya kemampuan untuk memahami keunikan dirinya sendiri yang terkadang menjadi hambatan. Apalagi kalau juga tidak ada kepercayaan diri atau penuh kekhawatiran menatap masa depan, ini juga bisa berkontribusi menjadikan keberhasilan semakin buram.
Oleh karena itu, memadukan kecerdasan, daya juang dan spiritualitas harus menjadi komitmen untuk benar-benar dilakukan. Tidak perlu ada yang dikhawatirkan jika kita sudah menyadari kemampuan, bekerja keras, dan menyerahkan urusan kepada Tuhan. Dalam jiwa yang penuh kepasrahan kepada Tuhan, akan hadir sebuah ketenangan.
Penulis: Eka Nurlela