Pemukiman Akbar Korda Bekasi – Bogor (Jam’us Shigor)

Sabtu, 24 September 2022 Mt. Nurul Taqwa Al Musri’ 1 menjadi lokasi Pemukiman Akbar para Muqimin dan Muqimat Yayasan Pondok Pesantren Miftahulhuda Al Musri’’.

Madrasah yang terletak di Jl. Industri kawasan meenara permai Kp. Rawacangkudu Rt 04 Rw 04, Ds. Dayeuh, Kec. Cileungsi 16740, Kab. Bogor, Jawa Barat itu menjadi tempat Pemukiman Akbar Para Muqimin dan Muqimat yang berdomisili di 3 kota yaitu kota Bogor, Bekasi dan Jakarta.

ungkapan dari salah satu Dewan Kyai Miftahulhuda Al Musri’, membacakan surat pernyataan Pemukiman yaitu pangersa KH. Mahmud Munawar setidaknya ada Tiga Tujuan dimuqikannnya para Muqimin dan Muqimat Al Musri’.

  1. Untuk mengembangkan Ilmu Pengetahuan.
  2. Ikut berpartisipasi dalam mencerdaskan umat, khususnya di Bidang Agam Islam.
  3. Untuk mengembangkan Syari’at Islam dan urusan Kemasyarakatan

Sementara itu Wakil Pimpinan Pesantren Al Musri’,Pangersa  Hj. Siti Maryam Mengingatkan kepada Para Muqimin dan juga Muqimat untuk bersabar ketika sedang mengembangkan ilmu pengetahuan, dikarenakan ketika mengembangkan ilmu pasti banyakujian. Ada 4 cobaan yaitu musuh yang menjadi racun, cacian dari teman ,orang bodoh jadi penyakitnya orang pintar dan hasudnya orang yang berilmu. Perkataan tersebut dirujuk dari Hadits As Syaikh abu hasan asy syadzili .

Para Muqimin dan Muqimat dipasrahkan kepada segenap lapisan.

  1. Pemerintah setempat
  2. Tokoh Masyarakat
  3. Alim ‘Ulama

Semoga dengan mengikuti pemukiman ini, bisa menambah keberkahan dari para guru Al-Musri’, baik keberkahan dalam hal agama, dunia, maupun akhirat, terkhusus keberkahan dan kemanfaatan ilmu.

 

Pewarta: Dimas Pamungkas

Biografi KH. Zainal Mustafa Sukamanah

KH. Zainal Mustafa dilahirkan di kampung Bageur Desa Cimerah Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya (sekarang Desa Sukarapih Kecamatan Sukarame Kabupaten Tasikmalaya) pada tahun 1901 M. Ibunya bernama Ratmah dan ayahnya bernama Nawawi. Beliau dikenal dengan nama kecilnya Umri dan Hudaemi.

Beliau dibesarkan dalam lingkungan keluarga petani yang taat beragama. Setelah Zaenal Mustafa kecil lulus dari sekolah rakyat, beliau menimba ilmu di beberapa pesantren, diantaranya: Pesantren Gunung Pari, Cilenga Leuwisari, Sukaraja Garut, Sukamiskin Bandung dan Jamanis Rajapolah. Di Pesantren Gunung Pari beliau dibimbing oleh kakak misannya yang bernama Dimyati yang kemudian dikenal dengan nama K.H. Zainal Muhsin.

Pada tahun 1927 Zainal Mustafa muda mendirikan sebuah pesantren di Kampung Cikembang berganti nama menjadi Kampung Sukamanah. Pesantren Sukamanah didirikan diatas tanah wakaf untuk rumah dan masjid dari seorang janda dermawan bernama Hj. Juariyah. Sebelumnya, pada tahun 1922 Hj. Juariyah memberikan tanah wakaf yang sama kepada K.H. Zainal Muhsin (pendiri Pesantren Sukahideng) di Kampung Bageur. Dalam usia 26 tahun, usia yang sangat muda Zainal MUsthafa telah mendirikan pesantren dan menunaikan ibadah haji pada tahun 1928 yang dibiayai pula oleh Hj. Juariyah.

Sebagai ulama yang memiliki sifat ta’at, tabah, qona’at, keadilan, maka tak bisa di pungkiri bila beliau menjadi seorang pimpinan dan panutan umat yang kharismatik, patriotic, berbudi luhur serta berpandangan jauh ke depan. Hal ini terbukti dengan bergabungnya beliau dalam Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1933. Beliau tercatat sebagai Wakil Rois Syuriyah Cabang Tasikmalaya.

Pesantren Sukamanah hadir menjadi pesantren yang memiliki santri kurang lebih 600 – 700 orang. Hal ini menimbulkan kecurigaan yang sangat besar bagi pemerintah Belanda pada saat itu, mereka menganggap bahwa pengajian tersebut adalah perkumpulan yang dimaksudkan untuk Menyusun kekuatan rakyat Indonesia melawan penjajah.

K.H. Zainal Musthafa sering dari mimbar oleh kaki tangan pemerintah Belanda dan ditahan di penjara Tasikmalaya Bersama K.H. Ruhiyat (pimpinan Pesantren Cipasung) pada tanggal 17 November 1941 M / 27 Syawal 1362 H atas tuduhan menghasut rakyat. Sehari kemudian mereka dipindahkan ke penjara Sukamiskin Bandung dan dibebaskan pada tanggal 10 Januari 1942. K.H. Zainal Mustafa ditangkap Kembali dan ditahan di penjara Ciamis pada akhir Februari 1942 menjelang penyerbuan Jepang ke Jawa dan dibebaskan oleh seorang kolonel Jepang tanggal 31 Maret 1942.

Meskipun kekuasaan telah berpindah dari kolonial Belanda kepada tentara Jepang, sikap dan pandangan beliau terhadap penjajah baru tidak berubah. Kebencian beliau semakin memuncak setelah menyaksikan sendiri kezaliman hamba-hamba Tenno Heika Jepang. Beribu-ribu rakyat Indonesia dijadikan romusha, penjualan padi kepada pemerintah Jepang secara paksa, pemerkosaan terhadap gadis-gadis merajalela, segala partai, ormas dan organisasi nasional dilarang dan setiap pagi rakyat Indonesia diwajibkan seikeirei atau ruku ke arah istana kaisar Jepang Tokyo.

Keteguhan iman beliau tidak akan pernah tergoyahkan dengan perbuatan seikeirei tersebut, maka beliau bertekad untuk menegakkan kalimatullah dan berjuang menentang kezaliman Jepang meskipun nyawa menjadi taruhannya.

Setelah pemerintahan Jepang mengetahui sikap K.H. Zainal Musthafa mereka mengirimkan satu regu pasukan bersenjata untuk menangkap beliau dan para santrinya. Namun, mereka gagal dan menjadi tawanan pihak Sukamanah. Keesokan hari nya, hari Jum’át 25 Februari 1944 semua tawanan dibebaskan, tetapi senjata tetap menjadi rampasan. Kira-kira pukul 13.00 datang 4 orang kempetai (polisi militer) dan salah satunya merupakan juru bahasa. 

Mereka dengan congkaknya meminta agar K.H. Zainal Musthafa menyerah dan senjata milik mereka dikembalikan yang terdiri dari 12 buah senapan, 3 buah pistol, 25 senjata tajam. Santri Sukamanah dan masyarakat sekitarnya yang telah rela mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai menjawabnya dengan pekikan takbir dan langsung menyerang mereka. Tiga orang Kempetai (polisi militer) dan seorang juru bahasanya lari ke arah sawah dan meninggal disana, sedangkan yang satu orang lagi berhasil menyelamatkan diri.

Menjelang ashar dating enam kompi polisi istimewa yang didatangkan dari seluruh Jawa Barat. Ternyata mereka adalah tentara bangsa Indonesia sendiri yang langsung membuka salvo dan menghujani barisan santri yang hanya bersenjata bambu runcing, pedang bamboo, dan senjata sederhana lainnya.

Menyadari yang dating adalah bangsa sendiri, K.H. Zainal Musthafa memberikan komando agar tidak melakukan perlawanan sebelum musuh memasuki jarak perkelahian. Setelan mereka mendekat, barulah bamboo runcing, pedang bamboo dan golok menjawab serangan tersebut. Akhirnya, dengan kekuatan yang begitu besar, strategi perang yang hebat dan dilengkapi dengan persenjataan yang canggih, pasukan Jepang berhasil menerobos dan memporak-porandakan pertahanan pasukan Sukamanah dan menangkap K.H. Zainal Musthafa.

Peristiwa pertempuran Sukamanah terjadi pada hari Jumat tanggal 25 Februari 1944 M / Rabiul Awwal 1365 H. Para syuhada yang gugur sebanyak 86 orang dan dikuburkan dalam satu lubang. K.H. Zainal Musthafa ditahan di penjara di Tasikmalaya, kemudian di pindahkan ke Bandung, selanjutnya dipindahkan lagi ke penjara Cipinang dan setelah itu tidak diketahui dimana beliau berada. Alhamdulillah, atas usaha Kol. Drs Nugraha Natosusanto, Kepala Pusat Sejarah ABRI, pada tanggal 23 Maret 1970 telah ditemukan data dari kepala kantor Ereveld (Taman Pahlawan) Belanda bahwa K.H. Zainal Musthafa telah menjadi hukuman mati pada tanggal 25 Oktober 1944 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Belanda Ancol Jakarta.

Zainal Musthafa dianugerahi gelar ‘’Pahlawan Nasional’’ dengan SK. Presiden RI Nomor: 064/TK tahun 1972 tanggal 20 November 1972, diserahkan oleh mintareja SH. Menteri sosial kepada keluarga K.H. Zainal Musthafa pada tanggal 19 Januari 1973. Kerangka jenazah Assyahid K.H. Zainal Mustafa beserta 17 orang santrinya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Sukamanah pada tanggal 25 agustus 1973.

K.H. Zainal Musthafa mempunyai tiga orang istri, yaitu almarhumah Ny. Enoh Sukaenah Hj. Ecin Kuraesin (istri ke tiga) dan 6 orang anak yaitu Almarhum Mumu Najmul MUhtadin, Ny. Siti shofiah (dari istri pertama), almarhumah Ny. Jueriyah, Almarhum Bahaudin, (dari istri kedua), Nyai. Atik Atikah dan almarhum Nazarudin Musthafa, Drs (dari anak ketiga).

Peristiwa “Pertempuran Sukamanah Berdarah” telah berlalu, K.H. Zainal Musthafa telah berpulang ke Rahmatullah, tinggallah Pesantren Sukamanah yang porak poranda. Hadirlah K.H. Moh. Fuad Muhsin (adik kandung K.H. Wahab Muhsin) yang menikah dengan Ny. Siti Shofiyah (salah seorang putri K.H. Zainal Musthafa) mengelola dan membangun kembali Pesantren Sukamanah Bersama-sama dengan K. Uha Abdul Aziz (adik kandung K.H. Zainal Musthafa) dan dibantu oleh para santri K.H. Zainal Musthafa yang masih hidup pada tahun 1950. Kemudian pada bulan Desember  1999 K.H. Fuad Muhsin menyerahkan kepemimpinannya kepada putranya K.H. A. Thahir Fuad.

Pengelola pesantren Sukamanah dan sekolah-sekolah yang berada dibawah naungan Yayasan K.H. Zainal Musthafa Sukamanah dibantu oleh seluruh anggota keluarga besar K.H.Z. Musthafa dan simpatisan sesuai dengan keahlian dan kemampuan yang dimiliki.

Pimpinan Sukamanah dan Sukahideng sepakat untuk mendirikan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Sukahideng pada tahun 1956, mendirikan sekolah menengah pertama (SMP) Al Islah pada tahun 1958/1959. Setelah terbentuk Yayasan K.H.Z. Musthafa Sukamanah pada tahun 17 Agustus 1959 dengan akta notaris no n8 tahun 1959 dan diperbaharui dengan akta notaris no 10 1988, MI, SMP, SMA dan PGAP menjadi MI, SMP, SMA, PGAPK.H.Zainal Musthafa Sukamanah.

Jalan singaparna diresmikan menjadi jalan K.H. Zainal Musthafa pada tanggal 25 Februari 1960. Sejak tahun 1974 setiap tanggal 25 Februari diselenggarakan peringatan Perjuangan Pahlawan Nasional K.H. Zainal Musthafa. Monument aktualisasi perjuangan K.H. Zainal Musthafa Sukamanah di bandara by pass Tasikmalaya diresmikan pada tanggal 16 November 2000 M / 11 Sya’ban 1421 H oleh gubernur Jawa Barat.

Keluarga K.H. Zainal Musthafa Sukamanah menjadi anggota Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia (IKPNI) dan mengikuti musyawarah Nasional anggota IKPNI di Gedung Serbaguna Taman Pahlawan Nasional Kalibata Jakarta pada tanggal 7-9 agustus 2008.

 

Penulis: Dimas Pamungkas

Asal Usul Sunan Giri

Tokoh Wali Songo yang bergelar Prabu Satmata ini makamnya terletak di sebuah bukit di Dusun Kendhaton, Desa Giri Gajah, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik.

Sunan Giri adalah raja sekaligus guru suci (pandhita ratu) yang memiliki peran penting dalam pengembangan dakwah Islam di Nusantara. Sejarah dakwah Islam di Nusantara mencatat jejak-jejak dakwah Sunan Giri dan keturunannya tidak saja mencapai Banjar di Kalimantan Selatan, Kutai di Kalimantan Timur, dan Gowa di Sulawesi Selatan, tapi juga mencapai Nusa Tenggara dan Kepulauan Maluku.

Sumber Babad Tanah Jawi dan Walisana menunjuk bahwa usaha dakwah yang dilakukan Maulana Ishak (ayah Sunan Giri) yang dikirim Sunan Ampel ke Blambangan mengalami kegagalan. Sebab, Maulana Ishak alias Syaikh Wali Lanang diusir oleh mertuanya yang marah ketika diminta memeluk Islam dan meninggalkan agamanya yang lama. Maulana Ishak pergi meninggalkan istrinya yang hamil tua. Merana ditinggal suami, Retno Sabodi (ibu Sunan Giri) meninggal setelah melahirkan seorang anak laki-laki. Dikisahkan, saat itu terjadi wabah besar melanda Blambangan. Raja Blambangan menduga, wabah itu berhubungan dengan kelahiran bayi laki-laki putra Maulana Ishak. Akhirnya, bayi laki-laki itu diletakkan di dalam peti dan dihanyutkan ke tengah laut dan kemudian peti itu tersangkut di kapal milik Nyai Pinatih yang sedang berlayar ke Bali. Menurut Hoesein Djajadiningrat dalam Sadjarah Banten (1983), Nyai Pinatih adalah seorang janda kaya raya di Gresik, bersuami Koja Mahdum Syahbandar, seorang asing di Majapahit.

Bayi yang tersangkut di kapal itu diambil oleh awak kapal dan diserahkan kepada Nyai Pinatih yang kemudian memungutnya menjadi anak angkat. Karena ditemukan di laut, maka bayi itu dinamai Jaka Samudra. Setelah cukup umur, Jaka Samudra dikirim ke Ampeldenta untuk berguru kepada Sunan Ampel. Menurut Babad Tanah Jawi, sesuai pesan Maulana Ishak, oleh Sunan Ampel nama Jaka Samudra diganti menjadi Raden Paku.

Menurut Raffles dalam The History of Java (1965), Raden Paku sebagai penguasa Giri pertama, yang kisahnya penuh dengan mitos dan legenda itu menyimpan jejak sejarah bahwa tokoh yang masyhur dengan sebutan Sunan Giri (Raja Gunung) itu adalah keturunan orang asing dari Barat bernama Maulana Ishak dengan seorang putri Raja Blambangan. Dari garis ibu, Sunan Giri adalah keturunan Bhre Wirabhumi (putra Hayam Wuruk dari selir yang dirajakan di Blambangan).

 

Penulis; Rahmatussalamah

Sumber; Atlas Walisongo

Apel Kebangsaan Langkah Awal Timbul Rasa Cinta Terhadap Tanah Air

Pimpinan Komisariat (PK) Ansor, IPNU dan Pagar Nusa menggelar apel kebangsaan. Kegiatan ini bertajuk “Merawat Warisan Nilai Luhur Pancasila”, di Yayasan Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ dipusatkan di Halaman Asrama Pusat, Kertajaya, Kec. Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat 43282 pada Kamis (16/09/2022) Sore.

Ketua PK Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri, Aditya Nugraha, sebenarnya konsep awal dari apel kebangsaan ini untuk memperingati jasa para pahlawan, seiring berjalannya waktu lalu muncul ide baru perihal apel kebangsaan ini akan dilaksanakan satu bulan sekali di hari kamis sore.

Beliu menjelaskan bahwa dengan dilaksanakannya setiap bulan akan menambah kedisiplinan serta untuk mencintai bangsa dan negara sendiri dan kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabdikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa.

Dokumentasi Foto Apel Kebangsaan

Salah satu ayat Al-Qur’an yang menjadi dalil cinta tanah air menurut penuturan para ahli tafsir adalah Qur’an surat Al-Qashash ayat 85;

إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ

Artinya: “Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali.” (QS. Al Qashash: 85)

Selanjutnya, ayat yang menjadi dalil cinta tanah air menurut ulama yaitu Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 66.

وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِم أَنِ اقْتُلُوْا أَنْفُسَكم أَوِ أخرُجُوا مِن دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوْه إِلَّا قليلٌ منهم

Artinya: “Dan sesungguhnya jika seandainya Kami perintahkan kepada mereka (orang-orang munafik): ‘Bunuhlah diri kamu atau keluarlah dari kampung halaman kamu!’ niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka…” (QS. An-Nisa’: 66).

Berikut ini adalah hadits-hadits yang menjadi dalil cinta tanah air menurut penjelasan para ulama ahli hadits, yang dikupas tuntas secara gamblang:

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَنَظَرَ إِلَى جُدُرَاتِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ نَاقَتَهُ وَإِنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا ……. وَفِي الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ عَلَى فَضْلِ الْمَدِينَةِ وَعَلَى مَشْرُوعِيَّة حُبِّ الوَطَنِ والحَنِينِ إِلَيْهِ

Artinya: “Diriwayatkan dari sahabat Anas; bahwa Nabi SAW ketika kembali dari bepergian, dan melihat dinding-dinding madinah beliau mempercepat laju untanya. Apabila beliau menunggangi unta maka beliau menggerakkanya (untuk mempercepat) karena kecintaan beliau pada Madinah. (HR. Bukhari, Ibnu Hibban, dan Tirmidzi).

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa cinta tanah air memiliki dalil yang bersumber dari Qur’an dan Hadits. Terakhir, penulis ingin mengemukakan doa cinta tanah air yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim as yang difirmankan Allah SWT dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 126:

رَبِّ ٱجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا ءَامِنًا وَٱرْزُقْ أَهْلَهُۥ مِنَ ٱلثَّمَرَٰتِ مَنْ ءَامَنَ مِنْهُم بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ

“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian”

Pewarta: Dimas Pamungkas

Musabaqoh Qiro’atul Kutub & Tahfidzul Kutub

Sebanyak 200 orang mengikuti Musobaqoh Qiro’atul Kutub dan Musabaqoh Tahfidzul kutub yang laksanakan langsung oleh kepanitian Mudasmat (musabaqoh dan cerdas cermat) Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ Cianjur pada Senin (12/09/2022).

Kegiatan yang dihelat di lingkungan Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ ini rutin dilaksanakan setiap akhir semester / enam bulan sekali.

Dengan adanya lomba tahfidz, membaca dan memahami kitab kuning ini, menjadi upaya menjaga tradisi keilmuan pesantren.

Panitia ulangan & Mudasmat

Peserta Mudasmat

Menjaga qiroatul kutub adalah salah satu bagian menjaga tradisi warisan pesantren. Tujuan dari menjaga tradisi ini di pondok pesantren Miftahulhuda Al-Musri, adalah sebagai bagian dari menjaga tradisi NU dan Nusantara ini akan tetap terjaga dengan baik.

Dibanding dengan yang ada di Timur Tengah, sekarang ini banyak sekali bermunculan gerakan-gerakan tekstualis yaitu memahami agama hanya dipandang dari bacaan-bacaan tekstual yang tertulis. Padahal dalam mempelajari agama, harus memahaminya baik dari ayat yang tersurat dan tersirat.

melalui lomba Musabaqoh Qiro’atul Kutub (MQK) ini tercetak generasi muda yang mampu menjadi da’i – da’i muda yang bisa mendakwahkan Islam yang Rahmatan Lil’alamin ala Ahlussunah Wal Jama’ah di tengah-tengah masyarakat. Serta mengukir generasi kitab kuning di kalangan generasi muda, yang bersanad sampai ke Rasulullah Muhammad SAW.

 

Pewarta: Dimas Pamungkas