TWIBBONE | HARI SANTRI NASIONAL 22 OKTOBER 2021 | Al-Musri’ Pusat

TWIBBONE UCAPAN SELAMAT HARI SANTRI NASIONAL 22 OKTOBER 2021

Contoh (1)

Contoh (2)

Contoh (3)

Dan dibawah ini adalah link tautan untuk membuat foto ” Selamat Hari Santri Nasional 22 Oktober 2021 “

Cara mengurusi jenazah kembar siam yang meninggal salah satunya

 Pertanyaan : Bagaimana cara mengatasi jenazah kembar siam yang meninggal salah satunya? 

Jawab : Tatkala dilahirkan dua orang kembar siam kemudian meninggal salah satunya, jika memungkinkan untuk dipisahkan dengan tidak ada madharat maka wajib untuk dimandikan, disolatkan dan dikuburkan. Dan apabila tidak memungkinkan untuk dipisahkan, maka wajib mengerjakan hal yang memungkinkannya saja, yaitu memandikan, mengkafani, dan menyolatkannya, Tidak wajib untuk menguburkannya sampai terpisah dengan sendirinya,  karena tidak ada kemungkinan untuk dikuburkan. Dan apabila keduanya meninggal, yang mana salah satunya adalah laki laki dan yang satunya lagi perempuan,  jika memungkinkan untuk dipisahkan maka wajib memisahkannya. Akan tetapi jika tidak memungkinkan maka tidak apa-apa dan mengerjakan hal yang memungkinkan saja, lalu diusahakan pasca penguburannya, yang dihadapkan ke arah kiblat adalah laki-laki.

Dikutip dari buku IZ AT yang disusun oleh santri kelas 2 aliyah (Izzatul Adzkiya). jika para pembaca yang budiman ingin melihat dari referensi aslinya maka lihat kitab Hasiyah al-bujairomi ala syarhi manhajitthulab juz 1 halaman 586.

Jika para pembaca mempunyai pertanyaan seputar fikih maka silahkan cantumkan di kolom komentar. Terima kasih.

 

Sejarah Singkat Berdirinya Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’

KH. Ahmad Faqih (pendiri pertama) adalah seorang alumnus pondok pesantren Sukamanan Tasik Malaya, yang pada waktu itu dipimpin langsung oleh KH. Zaenal mustafa yang di kenal sebagai pahlawan nasional, dalam beberapa tahun beliau mempelajari ilmu agama di pesantren tersebut, setelah beliau cukup untuk bermukim dan mengembangkan ilmu yang diperolehnya, beliau diberi tugas membuka pondok pesantren di kampung halamannya yang tepatnya di Kebon Kalapa, Tasik Malaya, peristiwa ini terjadi pada tahun 1936 M.

Amanat Guru beliau yaitu harus tetap didalam jalur Ahli Sunnah Waljama’ah dan harus ada dalam naungan organisasi NU (Nahdlatul Ulama) dikerjakan dengan sangat tekun dan istiqomah, sehingga para santri berdatangan dari daerah Cibeureum dan sekitarnya, dan pada awal tahun 1946 M santrinya berjumlah 200 orang.

Kemudian beliau pindah ke Cianjur terdorong oleh situasi negara Republik Indonesia diawal-awal tahun kemerdekaannya yang belum sepenuhnya aman, tepatnya ke desa Gunung Halu (kini dimekarkan menjadi empat desa, yaitu : Desa Sindangsari, Desa Sindangjaya, Desa Kertajaya dan Desa Gunung Sari). Di Desa Kertajayalah dirintis kembali Pondok Pesantren yang diberi nama Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Musri’ yang mana lokasi Pondok Pesantren tersebut berdekatan dengan basis Kristenisasi di Jawa Barat. Adapun Pondok Pesantren yang dahulu didirikan di Tasikmalaya sekarang diteruskan oleh keluarga beliau yang menetap di sana.

Tantangan dan hambatan ini lebih berat dirasakan karena kesadaran Umat Islam relatif rendah dan bersifat apatis, ditambah lagi adanya tantangan dari Umat Kristen dari kampung sekitar, bahkan sampai saat ini sembilan Gereja lebih telah mereka miliki dan Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’lah satu-satunya benteng pertahanan agar upaya kristenisasi dapat ditahan.

Disamping sembilan Gereja yang semakin bertambah, mereka juga memiliki fasilitas pendidikan seperti : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), dua Gedung Aula dan Koperasi. Walaupun tantangan dan hambatan yang dihadapi cukup berat, tetapi berkat ketabahan dan kesabaran serta bertawakal kepada Alloh SWT sedikit demi sedikit masyarakat yang berada disekitar Pondok Pesantren mengerti akan kifrah Pesantren sebagai Lembaga Akhlaq.

Syahriahan Alumni, Muqimin dan Muqimat Korda Cianjur Kulon

Pengajian syahriahan merupakan kegiatan program pengajian bulanan yang di terapkan di pondok pesantren Miftahulhuda Al-Musri’.

Tidak hanya di Al-Musri Pusat saja namun di setiap pesantren cabang al-Musri termasuk juga Korda (koordinator Daerah) disetiap wilayah yang sudah terbentuk. Contohnya di Korda Cianjur Kulon yang diadakan setiap hari Minggu di akhir bulan Hijriah. 

Kitab yang digunakan yaitu kitab Al-Hikam karya Syaikh Ibnu ‘Athoillah Assakandari dan kitab Minhajul ‘Abidin karya Imam Al-Ghazali. Kegiatan syahriahan di setiap Korda ini dihadiri oleh Alumni, Muqimin dan Muqimat Pondok Pesantren Al-Musri Pusat atau Cabang  yang ada di daerah cangkupan Cianjur Kulon yaitu Kecamatan Cipanas, Kecamatan Pacet, Kecamatan Sukaresmi, dan Kecamatan Cugenang. Juga dihadiri oleh AMPUH (Amanat Sepuh) dari Al-Musri Pusat.

Pengajian Syahriahan yang saat ini diadakan bertepatan Hari/Tanggal Minggu, 5 September 2021 yang bertempat di kediaman salah satu Muqimin Al-Musri Pusat yaitu KH. Deden pimpinan Pondok Pesantren Al-Muthma’innah Beralamat di Kp. Sarampat Cugenang.

Kitab Al-Hikam yang dibawakan oleh Aang Ijang Kamaludin Misbah dan Kitab Minhajul ‘Abidin yang dibawakan oleh Ustad. Kakah Angkrong membuat daya tarik tertentu khususnya untuk Jema’ah Korda Cianjur Kulon yang hadir dengan gaya pengajian yang Interaktif antara Jema’ah dengan pembawa materi kitab.

Pengajian syahriahan yang merupakan Amanat dari Pangersa Alm. Mama KH. Ahmad Faqih (Pendiri Pontren Al-Musri Pusat) harus diadakan oleh setiap Alumni, Muqimin dan Muqimat dengan rasa Khidmah, seperti yang disebutkan oleh Aang Ijang “Walaupun peserta pengajian yang hadir belum maksimal pengajian ini harus tetap berjalan dengan dibarengi rasa khidmah”.

Pondok pesantren AL-Musri Pusat sendiri menghimbau bagi Alumni, Muqimin dan Muqimat yang belum merapat dikegiatan Kordanya masing-masing diharapkan segera merapat di kordanya masing-masing yang mana tujuannya hanya untuk Shilaturrahmi, karena dengan shilaturrahmi akan ada banyak keutamaan atau faidah yang akan didapatkan.


Penulis : Abdul Rohman Alfaqih (Almusri Media)

Pengertian Tawasulan Beserta Hukumnya
Pengertian Tawasulan Beserta Hukumnya
Pengertian Tawasul Beserta Hukumnya

Dewasa ini ada Sebagian orang mempersepsikan amaliah kaum muslimin bid’ah akidah. Padahal sebenarnya hal itu merupakan amaliah fikih yang cukup dilandasi dengan dalil-dalil yang bersifat zhanni sebagaimana permasalahan fikih lainnya. Diantara yang paling sering dipermasalahkan adalah tawassul Tawassul dalam tinjauan Bahasa bermakna mendekatkan diri. Sementara munurut istilah, tawasul adalah pendekatan diri kepada Allah S.W.T dengan wasilah (media/perantara), baik berupa amal shaleh, nama dan sifat, ataupun zat dan jah (derajat) orang shaleh semisal para Nabi, Wali dan selainnya. Di antara macam tawassul yang paling dipermasalahkan adalah tawassul dengan menyebut orang-orang shaleh (Shalihin) atau keistimewaan mereka di sisi Allah. Namun mayoritas ulama mengakui keabsahannya secara mutlak. Baik saat para shalihin masih hidup maupun sepeninggalan mereka, berdasarkan dalil al-Qur’an dan praktik rawassul para sahabat Nabi seperti berikut ini;

Firman Allah S.W.T: ياأيها الذين آمنوا اتقوا الله وابتغوا إليه الوسيلة وجاهدوا في سبيله لعلكم تفلحون. (المائدة 35)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah perantara mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kalian berbahagia”(QS.Al-Maidah : 35)

Kata الوسيلة yang secara Bahasa berarti perantara, jika ditinjau dengan disiplin ilmu ushul fikih termasuk kata ‘Amm (umum), sehingga mencakup berbagai macan perantara. Kata al-wasilah ini berarti setiap hal yang Allah jadikan sebagai sebab kedekatan kepada-Nya dan sebagai media dalam pemenuhan kebutuhan dari-Nya. Perinsip sesuatu dapat dijadikan wasilah adalah sesuatu yang diberi kedudukan dan kemuliaan oleh Allah. Karenanya, wasilah yang dimaksud dalam ayat ini mencakup berbagai model wasilah, baik berupa para Nabi dan Shalihin, sepanjang masa hidup dan setelah kematiannya, atau wasilah lain, seperti amal shalih, derajat agung para Nabi dan Wali, dan selainnya. Jika salahsatu wasilah tersebut tidak diperbolehkan, mestinya harus ada dalil pentakhshis (pengkhususan)nya. Jika tidak ada, maka ayat itu tetap dalam keumumannya, sehingga kata al-wasilah dalam ayat itu mencakup berbagai model wasilah atau tawassul yang ada.